Monday, December 30, 2019

He Gave Us Stories


by Tabita Davinia

Sebagai mahasiswi konseling, saya (dan teman-teman) wajib menyelesaikan beberapa tugas book report. Salah satu buku yang dibaca adalah karya Richard L. Pratt, Jr. yang berjudul He Gave Us Stories. Meskipun isinya tentang cara menafsirkan Perjanjian Lama, namun saya menangkap sebuah kesimpulan manis yang ditekankan buku ini berulang kali:
The Bible shows how God made them wonderfully,
and it reflects that He is the center of the story.
The story is made by Him to glorify Him alone,
and so are you.
Selama tahun 2019 ini, kita sudah belajar banyak hal dari para wanita yang ada di Alkitab. Sebagian di antaranya mencerminkan karakter-karakter yang perlu diteladani, sebagian lainnya tidaklah demikian. Terlepas dari berbagai perbedaan latar belakang maupun sifat yang ada, Tuhan memakai mereka dalam karya keselamatan-Nya sampai hari ini. Buktinya ada di kita. Tanpa kehadiran para wanita ini, keselamatan akan memiliki alur cerita yang berbeda—bahkan tidak akan ada Alkitab. Iya lah. Gimana mau melahirkan para penulis tanpa keberadaan satupun perempuan di dunia ini (wong Yesus aja lahir dari Maria)? *okay ini receh, sih*

Setiap kita berasal dari keluarga dan memiliki pergumulan masing-masing, kan? Begitu pula dengan para wanita yang telah kita bahas sepanjang tahun ini. Tapi sekali lagi, ada satu kesamaan di antara mereka: Tuhan memakai mereka untuk menyatakan karya keselamatan-Nya bagi dunia, sekaligus menegakkan keadilan-Nya di antara umat-Nya.

Abigail menjadi role model bagi kita dalam bersikap bijak terhadap pasangan—semenyebalkan apapun dia. Dalam kondisi yang menyesakkan seperti itu, kita perlu terus belajar menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber kekuatan yang sejati.

Priskila menginspirasi kita untuk menjadi wanita yang tangguh di dalam Tuhan. Tangguh di sini tidak hanya berbicara tentang kuat secara fisik, tapi juga secara mental dan rohani. Yes, being a tough woman in God alone is beautiful.

Wanita ini menunjukkan bahwa iman selalu berbuah manis. Meskipun apa yang kita doakan tidak kunjung datang (atau terjawab dengan cara yang tidak kita inginkan), don’t worry! Tuhan mendengar setiap doa kita, Ladies... Yang Tuhan inginkan adalah kita dapat terus bertumbuh di dalam pengharapan kepada-Nya, dan setia dibentuk untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya.

Dari Maria, kita belajar untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Mungkin persembahan itu berupa suara kita, handcrafting kita, kemampuan untuk mengajar, atau bahkan menjadi homemaker. Tapi kita juga perlu mengingat: Kita tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Mereka bisa saja menilai pemberian kita dengan negatif, sehingga membuat niat kita jadi ciut. Namun kita patut bersyukur, karena Tuhan memandang hati kita yang mau menyerahkan seluruh hidup ini kepada-Nya sebagai persembahan yang sejati.

Janda miskin ini melakukan hal yang sama dengan saudari Lazarus itu: menyerahkan hidupnya secara total kepada Tuhan. Mungkin kita juga sedang bergumul dengan keperluan maupun perencanaan di masa depan. “Nanti mau makan apa, ya? Uangku udah mulai menipis...” Tapi satu hal yang perlu kita pegang teguh: “Tuhan yang menciptakan kita adalah Pribadi yang juga memelihara kehidupan kita, because He is our Jehovah Jireh.” Iya, Tuhan tahu pergumulan kita secara spesifik, tapi Dia ingin mendidik kita untuk beriman kepada-Nya melampaui apapun. Seperti kata Fanny J. Crosby dalam lagu He Leadeth My Soul, “He giveth me strength as my day.”

Nama Damaris hanya disebut satu kali saja di dalam Alkitab, namun kehadirannya di Areopagus saat itu bukanlah tanpa alasan. Mungkin kita berpikir bahwa status sebagai orang Kristen jugalah kebetulan, “Yah gw soalnya emang lahir dari keluarga Kristen, sih! Jadi ya udah, ikutan jadi Kristen aja. Toh pengajarannya juga bagus-bagus…” But we need to think it again: keselamatan BUKAN karena kita beragama Kristen, tapi karena Tuhanlah yang memilih kita sejak semula untuk diselamatkan—sebuah anugerah yang tidak bisa ditolak (irresistable grace). Damaris termasuk di antaranya, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyambut anugerah itu sebagaimana mestinya?

Mungkin kita sedang bergumul mengenai masa depan anak-anak kita seperti Eunike. Kita khawatir apakah iman mereka akan tetap bertahan di tengah-tengah badai kehidupan ini. That’s why we need to follow what she’d done to Timothy, her son. Kita tidak bisa menabur benih Firman Tuhan dengan kekuatan sendiri; kita butuh Tuhan, Sumber Hikmat itu. Tidak berhenti di situ, kita juga perlu mendidik dan membimbing anak-anak kita untuk peka terhadap kehendak Tuhan bagi mereka. Tapi bagaimana mereka bisa paham kalau kita tidak pernah berelasi dengan-nya secara pribadi? Saya teringat dengan salah satu pernyataan Ci Sarah Eliana,
“Orang tua cuma bisa menabur benih Firman Tuhan, tapi perkara sang anak mau terima Tuhan atau nggak yaaa kembali lagi pada kasih karunia Tuhan dan keputusan anak itu. Bukan berarti orang tua lalu bisa lenggang-lenggong nggak menabur benih Firman Tuhan, ya! Ngajarin tentang Tuhan Yesus pada anak adalah tanggung jawab dan kepercayaan dari Tuhan, juga bukti kasih orang tua bagi Tuhan.”[1]
Sama seperti Eunike, Yokhebed mungkin tidak pernah membayangkan bahwa anak laki-lakinya akan menjadi seorang pemimpin bagi banyak orang. Selagi sang anak masih kecil, Yokhebed mengasuh serta mendidiknya untuk mengenal identitasnya sebagai orang Israel—umat pilihan Allah. Kelak Musa, anak itu, menjadi pemimpin bangsanya untuk keluar dari tanah perbudakan menuju tanah perjanjian—tanah yang dijanjikan Tuhan pada Abraham, nenek moyangnya, lebih dari 600 tahun sebelumnya. Yaps, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita nanti; namun satu hal yang harus kita lakukan—selama masih ada kesempatan—adalah terus menjadi teladan iman bagi mereka. Believe it or not, mereka bisa melihat dan meneladani ketaatan kita kepada Tuhan ketika pikiran, perkataan, dan perbuatan kita memancarkan citra-Nya.

But don’t forget. If there’s a “flawless” side, there’s also a “dark side” too.

Ada saat di mana kita juga bergumul dengan dosa maupun kesulitan yang kita hadapi. Para wanita ini pun mengalami hal yang sama! Namun kita perlu mengingat untuk selalu belajar dari setiap pesan di balik kehadiran mereka di dalam Alkitab.

Melalui istri Ayub, kita belajar bahwa it’s okay to not be okay—terutama saat ada pergumulan dalam pernikahan kita. Namun kita perlu mengingat, “God counts every heart that chooses to serve, to suffer together, and to sacrifice.” Janji yang kita ucapkan saat menikah itu bukan hanya untuk “ritual” semata, tapi harus kita hayati dan lakukan sampai kematian memisahkan kita dari pasangan. It’s not easy, so that’s why God will help us to commit the vow faithfully ‘till death do us part from our husband. Pertanyaannya: kita mau menaati kehendak-Nya atau tidak?

Kita juga belajar dari Hawa tentang konsekuensi yang selalu ada untuk setiap keputusan (bahkan yang berujung pada kesalahan) yang kita buat. Namun Tuhan selalu menunggu kita untuk bertobat dan menguatkan kita dalam menjalani konsekuensi itu. Wajar sih, kalau kita ingin memperbaiki peristiwa itu… but the past is in the past. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain mengakui kesalahan kita di hadapan Tuhan (dan orang yang kita lukai), dan berjanji akan berubah dengan sungguh-sungguh.

Mungkin kita juga sama seperti Batsyeba yang pernah melakukan kesalahan saat melepas hak untuk suami kita bagi laki-laki lain, bahkan menyebabkan hamil di luar nikah. Mungkin masih ada memori yang berkelebat saat kita mengingatnya, dan membuat kita menyesal sampai ragu-ragu apakah Tuhan masih berkenan mengasihi kita atau tidak. Tapi melalui kisah wanita ini, kita diteguhkan bahwa Tuhan rindu kita kembali kepada-Nya, mengakui dosa kita, serta berkomitmen untuk menghidupi kehidupan yang baru bersama-Nya.

Melalui Miryam, kita diingatkan untuk terus waspada agar tidak lengah terhadap godaan dosa. Saat kita merasa iman kita baik-baik saja, Iblis justru bisa menggoncangkan iman kita dengan mudah. Mungkin ada benih-benih pemberontakan yang tersemai dan bertumbuh subur tanpa kita sadari, sehingga saat kita merasa Tuhan tidak adil, kita jadi menyalahkan-Nya. Tapi sama seperti yang dialami Hawa, Batsyeba, dan Miryam, Tuhan tetap mengampuni dan mengasihi kita—meskipun selalu ada konsekuensi yang harus kita tanggung. With great power, comes great responsibility, Ladies!

Last but not least, jangan sampai kita jadi seperti Izebel yang justru jadi batu sandungan bagi suaminya. Kita perlu mengingat pepatah, “Di balik pria yang kuat, ada wanita yang kuat.” Kita juga perlu terus mengevaluasi diri, “Apakah aku sudah menjadi orang yang terus mendorong orang lain (khususnya pasangan dan keluarga) untuk bertumbuh di dalam Tuhan? Atau aku malah membuat mereka semakin menjauh dari-Nya?”

Anyway, kalau Pearlians perhatikan, setiap link tentang para wanita di atas adalah perwakilan dari karya para penulis Pearl selama tahun ini! Yayyy… Sama seperti para wanita di Alkitab, kami juga memiliki pergumulan masing-masing… Tapi kami rindu agar dari hari ke hari, Tuhan terus membentuk kami untuk semakin mengenal dan mencintai-Nya melalui proses yang Dia berikan dalam hidup kami. For God is too wise to be mistaken, and He is too good to be unkind. He knows better than us, because He is the center of the story, right?

***

Personally, I really thank God for giving me a chance to end this article (for this year) with something different from other articles hehe. Thank you so much buat Ci Lia, Ci Femmy, Kak Poppy, Ci Sarah, Kak Dhieta, Kak Glory, Ci Yunie, Ci Irene, Ci Benita, Kak Mega, Ci Eunike, dan Ci Grace! :) Thank you juga buat para pejuang medsos (poke Ci Eden, Ci Melissa, dan Ci Michelle) yang (dengan sabar haha) menunggu update artikel dari para penulis And thanks to all of Pearlians too! Mewakili Pearl, saya bersyukur untuk setiap support dan doa dari Pearlians… Kiranya pelayanan Pearl di tahun-tahun berikutnya boleh semakin efektif menjangkau para wanita (even pria juga boleh, deh. Lol) dan menjadi alat kemuliaan bagi Tuhan. Soli Deo Gloria! Y

— Kemang Utara, 26 November 2019 || 01.08




[1] Dikutip dari notes Facebook-nya Ci Sarah Eliana yang berjudul “Para Malaikat pun Berpesta..” (12 Desember 2013)

Monday, December 23, 2019

Nyanyian Pujian Maria


by Glory Ekasari

“Jiwaku memuliakan Tuhan,
dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, 
sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.
Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,
karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku—
kuduslah Nama-Nya!—dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya
dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar,
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;
Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya,
seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita,
kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.”
(Lukas 1:46-55)

Setiap kali saya membaca nyanyian pujian Maria yang terkenal dengan nama The Magnificat ini, saya selalu terkesan. Seorang gadis muda yang umurnya belum lagi dua puluh tahun, yang tidak berpendidikan tinggi (pada masa itu pendidikan tinggi hanya bagi kaum pria), bisa menyanyikan sebuah nyanyian yang tidak kalah bobotnya dengan Mazmur. Lagipula dari nyanyian ini saya bisa melihat betapa Maria mengenal Allah secara pribadi. Dalam nyanyiannya kita bisa melihat cerminan dari kitab para nabi, janji Allah bagi Abraham, dan pengungkapan rencana keselamatan bagi manusia.

Saya percaya bahwa Tuhan memilih orang bukan karena orang itu lebih baik dari orang lain, tetapi karena anugerah-Nya. Ada orang yang dipilih sebelum dia lahir, seperti Simson dan Yeremia. Ada yang dipilih sekalipun latar belakangnya kurang baik, seperti Yefta dan Paulus. Juga ada orang yang pernah berbuat kesalahan besar terhadap Tuhan, namun diampuni dan dipakai-Nya, seperti Petrus. Namun saya juga percaya bahwa “mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takut akan Dia” (Mazmur 33:18), dan Dia menyiapkan kesempatan bagi mereka yang mengasihi-Nya untuk melayani Dia. Orang-orang yang takut akan Tuhan mungkin terlewat dari mata manusia, namun tidak terlewat dari mata Tuhan. Maria dengan yakin berkata:

“Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.”

Perhatikan bahwa Maria menyebut dirinya sebagai “hamba”. Ia memandang Tuhan begitu besar dan mulia, dan dirinya hanya sebagai pelayan. Namun Allah yang mulia itu melihat kepada hamba-Nya yang mengasihi Dia. Dan bagi seorang hamba yang mengasihi tuannya, kehormatan terbesar adalah bila ia bisa melayani tuannya itu dengan segenap hati. Namun Maria tidak hanya memandang dirinya sendiri, ia berbicara juga atas nama seluruh bangsanya, yang sedang menantikan seorang Mesias yang dijanjikan Allah.

Allah berjanji kepada bangsa Israel bahwa Ia akan memberi mereka seorang Raja dari keturunan Daud, yang akan berkuasa selama-lamanya (1 Tawarikh 17:11-14). Lama sekali bangsa Israel menunggu penggenapan janji ini; bahkan sebelum Yesus lahir, selama empat ratus tahun bangsa itu tidak memiliki nabi yang membawa firman Allah bagi mereka. Wajar sekali bila Israel berpikir bahwa mereka ditinggalkan oleh Allah.

Seribu tahun telah berlalu setelah janji Allah kepada Daud, ketika suatu hari malaikat Gabriel datang kepada Maria. Ia memberitahu Maria bahwa Maria akan mengandung Anak yang akan menjadi Sang Mesias, penggenapan janji Allah bagi Israel. Di Israel ada segelintir orang yang menanti-nantikan datangnya Mesias, yang bertekun dalam ibadah dan pengharapan mereka, dan Maria adalah salah satu diantaranya. Perhatikan bahwa empat ratus tahun telah berlalu tanpa penglihatan dan tanpa firman Tuhan, dan tiba-tiba Maria bertemu dengan malaikat Gabriel. Namun ia percaya akan berita yang dibawa malaikat Gabriel, dan ia setuju untuk menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menjalankan rencana-Nya. Dengan kedewasaan yang luar biasa, Maria menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38).

Maria mengerti bahwa bukan perbuatan baik bangsa Israel yang menggugah Tuhan untuk mengingat perjanjian-Nya, tetapi kesetiaan Allah kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, nenek moyang Israel.

“Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.”

Ketika Israel ada dalam kesusahan selama ratusan tahun, Allah tidak melupakan mereka. Ketika orang-orang benar di Israel berseru kepada Allah memohon pertolongan-Nya, Allah tidak mengabaikan mereka. Ketika para raja menindas umat Allah, Allah tidak melupakan umat-Nya. Allah bertindak untuk menyelamatkan umat-Nya, namun cara-Nya dan waktu-Nya adalah kedaulatan Allah sendiri. Dan cara Allah itu melibatkan bukan raja-raja atau penguasa, namun justru seorang gadis muda dari desa kecil—satu hal yang tidak terbayangkan oleh orang Israel. Maka Maria berseru:

“Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku—kuduslah Nama-Nya!”

Bagian ini sangat personal bagi Maria. Hatinya senantiasa siap untuk melayani Allah, dan Allah memilih dia di antara semua perempuan lain di Israel untuk melahirkan Sang Mesias. Sungguh Tuhan memilih cara-cara yang kelihatannya biasa, bahkan hina, bagi manusia untuk menggenapi rencana-Nya! Maria mengenal Allah ini, yang tidak memandang wajah, namun memandang hati. Dan tepat seperti perkataan Maria: tidak ada wanita lain sepanjang sejarah yang mendapat kehormatan begitu besar untuk membawa Sang Juruselamat datang ke dalam dunia. Sungguh, kebahagiaan sejati adalah apabila kita diberi kehormatan untuk melayani Tuhan dengan cara yang Ia inginkan.

Maria menyebut Allah “Juruselamatku”. Menarik sekali bahwa nama yang dipilih Allah untuk Anak-Nya yang tunggal adalah Yesus, yang berarti “Allah menyelamatkan”. Keselamatan hanya datang dari Tuhan, bukan dari manusia. Karena itu, Dia yang datang ke dunia juga bukan manusia biasa, melainkan Allah sendiri, sesuai firman-Nya:

Bukan seorang duta atau utusan, melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka; Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya.
(Yesaya 63:9)

Bagaimana seorang gadis muda bisa memiliki wawasan teologis yang begitu luas? Roh Kudus telah turun ke atasnya (Lukas 1:35) dan Ia membuka pikiran Maria, sehingga firman yang selama ini Maria simpan dalam hatinya menjadi hidup. Ketika hati yang siap melayani bertemu dengan kuasa Roh Kudus, yang terjadi adalah persembahan hidup yang manis dan memuliakan Allah.

Menjelang Natal tahun ini, mari kita merenungkan apa yang dialami Maria. Maria mendapat kehormatan yang luar biasa untuk menjadi ibu Tuhan, namun segala kemuliaan tetap hanya bagi Allah, yang memilih hamba-Nya dan melakukan perbuatan yang besar lewat hidup seorang gadis biasa. Kita semua adalah orang-orang biasa, namun lewat kita Tuhan bisa melakukan pekerjaan yang luar biasa, apabila kita menyediakan diri kita untuk melayani Dia. Karena Allah yang disembah Maria adalah Allah yang sama yang kita sembah, dan Dia masih terus bekerja sampai sekarang.

Monday, December 16, 2019

Dorkas: Meneladan Sang “Rusa Kecil”


by Poppy Noviana

Dalam sebuah kesempatan melayani keluarga yang sedang berduka, saya bertemu dengan seorang pria dewasa yang sedang kehilangan ayah dari hidupnya. Maut telah memisahkan mereka dan yang tersisa hanyalah kenangan. Malam itu saya mendengarkan kesaksiannya, yang (ternyata) adalah seorang manajer marketing—dimana beberapa anak buahnya juga datang melayat. Beliau berkata bahwa dirinya yang ada saat ini adalah dampak dari ajaran ayahnya yang selalu mendidiknya untuk hidup disiplin. Hal yang paling membekas dalam memorinya adalah saat sang ayah mengembalikan sepatu yang selalu dilemparkannya—saat tiba di rumah—ke rak sepatu seperti semula. Bentuk kedisiplinan inilah yang menjadi warisan terindah sang ayah, karena benihnya telah berbuah dalam kehidupan pria ini di kantornya—sehingga beliau bisa menjadi seorang manajer di sana.

Mungkin Pearlians pernah mendengar peribahasa, “Gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnnya, manusia mati meninggalkan namanya.” Ya, kematian seseorang selalu membawa dampak bagi yang ditinggalkan. Dampak tersebut bisa berupa jasa-jasa maupun perbuatan baik yang akan dikenang, atau justru perasaan kesal dan kesedihan yang belum terselesaikan atas perbuatan buruk yang dilakukan orang tersebut. Tapi bagaimana jika kematiannya menimbulkan ketidakberdayaan orang yang ditinggalkan?

Well… kira-kira itulah yang dirasakan oleh beberapa wanita yang berduka atas kematian seseorang yang baru saja meninggal. Kisahnya dicatat di Alkitab (Kisah Para Rasul 9:36-43), menandakan bahwa ada peran besar dari orang ini bagi lingkungannya—khususnya di sebuah kota yang bernama Yope—waktu itu.

Namanya Dorkas (alias Tabita). Dalam bahasa Yunani, Dorkas berarti “rusa kecil”. Dia disebut sebagai murid perempuan, seorang wanita yang “selalu berbuat baik” dan pemberi/donatur kepada janda-janda di Yope. Yang menarik adalah, Alkitab menuliskan tiga karakter Dorkas justru setelah kematiannya, dan hal itu menunjukkan bagaimana ia dikenang semasa hidupnya oleh orang-orang yang ditolongnya. Mari kita simak bersama karakter-karakter yang dimaksud:

1. MENJADI MURID
Menjadi seorang murid memerlukan kerendahan hati untuk dikoreksi dan dibentuk—yang bertujuan demi kebaikannya. Artinya, murid yang baik adalah seseorang yang menerima didikan, memperbaharui pemikirannya seturut kebenaran yang diberikan, dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai murid, tentu ada hal-hal yang membuat kita harus melepaskan ego dan menaati Tuhan. Ini bukan perkara mudah—apalagi kalau kita masih ingin hidup sesuka hati sendiri! Oleh karena itu, coba kita pikirkan baik-baik; apakah selama ini kita sudah menjadi seorang murid Kristus yang rela “terbentur dan terbentuk”, atau kita cenderung mementingkan keinginan diri sendiri di atas kehendak Tuhan?

Begitu pula dengan Dorkas. Tidak diceritakan apakah dia pernah merasa lelah untuk membantu para janda di Yope. Mungkin dia merasa mereka hanya menghambat finansialnya (ingat, Dorkas juga memberi sedekah (ayat 36)). Namun satu hal yang pasti, kematiannya membuat para murid di Yope (termasuk para janda di sana) merasa sangat kehilangan. Oleh karenanya, mereka memanggil Petrus untuk membangkitkan Dorkas—sehingga Tuhan menggunakan momen itu untuk menyatakan kemuliaan-Nya di Yope dan banyak orang di sana menjadi percaya kepada Tuhan. Ya, buah dari seorang murid memang belum tentu menghasilkan sesuatu semasa hidupnya; tapi mari kita terus berjuang menjadi murid yang menunjukkan citra Kristus—termasuk dalam hal mengasihi. Karena “semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).

2. MENJADI SALURAN BERKAT
“Now in Joppa there was a disciple named Tabitha, (which translated into Greek means Dorcas). She was rich in acts of kindness and charity which she continually did.”
(Acts 9:36)

Tentu ini adalah salah satu hal yang paling diinginkan semua orang. Ironisnya, tidak jarang kebaikan kita justru disalahpahami oleh orang lain. Ada yang menilai kita hanya ingin panjat sosial (pansos), menduga bahwa kita ingin memamerkan apa yang kita miliki, atau kita sendiri merasa terpaksa melakukannya demi “status Kekristenan” kita.

Tapi bagaimana dengan Dorkas?

Meskipun tidak diceritakan secara gamblang, namun kita bisa melihat bagaimana Dorkas terus menabur kebaikan dan berbagi hidup kepada para janda yang berkekurangan—termasuk membutuhkan kasih sayang sejak ditinggal oleh para suami mereka. Melalui harta yang dimilikinya, Dorkas menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk memberkati orang lain (misalnya melalui pakaian yang dijahitnya bagi para janda). Kedukaan mereka atas kematian Dorkas menunjukkan bagaimana dia memperhatikan kebutuhan mereka dengan penuh kasih, bukan untuk panjat sosial.

3. MENJADI ORANG YANG SUKA MEMBERI
Melanjutkan poin kedua, menjadi saluran berkat tentu memerlukan kerelaan hati untuk memberi apapun yang bisa kita berikan pada orang lain. Dalam hal ini saya belajar dari Dorkas yang berempati kepada para janda yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Salah satu bukti nyatanya adalah melalui pakaian yang dijahitkan Dorkas. Kalau Pearlians pernah melihat Spongebob Squarepants, ada salah satu episode dimana Spongebob menginginkan sweater dengan cinta dari sang nenek di setiap rajutannya. Mungkin itu pula yang dilakukan Dorkas: dia menjahit dengan sepenuh hati bagi para janda itu.

Proses menjahit itu tidak mudah. Biaya materialnya juga tidak murah. Belum lagi ketelitian dan kesabaran selama prosesnya. Plus, pakaian-pakaian itu ditujukan bagi para janda (bukan satu janda saja!). Well, ketika kita memberi, pemberian itu membawa pesan: extending the grace of God to others brings Him glory.

Seperti Dorkas yang memberikan hidupnya untuk melayani para janda di Yope, mari kita juga mulai belajar memberi dengan penuh kerelaan bagi orang lain yang membutuhkan. Pemberian itu tidak selalu harus berupa sumbangan dana dalam jumlah besar, tapi kita bisa memberi melalui apa yang kita miliki (baca: tanpa berutang demi pujian mereka). Lagipula, tujuan pemberian kita seharusnya bertujuan untuk memuliakan Tuhan. Yaps, bukan hal yang mudah untuk meneladan Dorkas di dalam dunia yang menggaungkan kehidupan serba instan, busy, fast, dan selfish ini. Namun apakah Tuhan menghendaki kita mengikuti ajaran duniawi tersebut? Jika ya, lalu apa gunanya Dia mengurbankan diri-Nya untuk menebus dosa-dosa kita?

Tuhan tahu bahwa kita tidak sanggup berjuang sendirian dalam menjalani peran kita sebagai saluran berkat. Karena itu, dia berkata:

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”
(Yohanes 15:3)

Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk terus memiliki kerinduan hidup di dalam Pokok Anggur yang benar, sehingga kita dapat menjadi “rusa kecil” yang menarik perhatian orang lain untuk memandang kepada Sang Pencipta yang mengasihinya.

“True humility and fear of the Lord lead to riches, honor, and long life.”
(Proverbs 22:4 NLT)

Monday, December 9, 2019

Ester: Untuk Saat Seperti Ini


by Glory Ekasari

Kitab Ester dibuka dengan penjelasan tentang latar belakang keadaan pada zaman Ester hidup. Pada masanya, Kerajaan Persia di bawah raja Ahasyweros adalah kekuasaan terbesar di dunia, baik secara politik maupun militer. Kekuasaan sang raja begitu mengagumkan:

Pada zaman Ahasyweros—dialah Ahasyweros yang merajai seratus dua puluh tujuh daerah mulai dari India sampai ke Etiopia.
(Ester 1:1)

Sementara itu, orang Yahudi adalah minoritas yang merupakan jajahan dari bangsa Persia; jumlah mereka tidak terlalu banyak dan mereka bukan orang penting di mata dunia. Mereka ditaklukkan Babel—bangsa yang kemudian dikalahkan Media-Persia—puluhan tahun sebelumnya, dan sebagian dari mereka diangkut ke Babel untuk bekerja bagi raja.

Dalam keadaan yang demikian, Ester juga bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang wanita Yahudi yang tinggal bersama pamannya yang bernama Mordekhai, yang merupakan pegawai kerajaan. Namun Mordekhai adalah seorang yang cerdik, dan ia cepat tanggap terhadap kesempatan. Ketika terjadi insiden kerajaan yang membuat ratu Wasti dipecat dari jabatannya dan diusir dari istana, Mordekhai menyadari bahwa Ester memiliki peluang untuk masuk dalam istana, menggantikan posisi sang ratu.

Kisah Ester seperti fairy tale. Ia sangat disukai oleh semua orang yang berinteraksi dengannya, termasuk sang raja. Dan akhirnya raja memang memilih Ester dibandingkan semua wanita lain dan menjadikannya ratu yang baru. Dalam kisah-kisah princess pada umumnya, setelah sang puteri dinikahi oleh pangeran tampan pewaris kerajaan, ceritanya selesai dengan, “And they lived happily ever after.” Namun dalam kisah Ester, pengangkatannya sebagai ratu ternyata hanya awal dari apa yang akan Tuhan kerjakan bagi umat-Nya melalui dia.

Bencana mengancam orang Yahudi ketika Mordekhai membuat marah Haman bin Hamedata, tangan kanan raja Ahasyweros. Haman mungkin adalah negarawan yang ahli, namun ia penuh kesombongan dan kejahatan. Dalam kemarahannya pada Mordekhai, dia merencanakan pembalasan dengan pembunuhan massal: bukan hanya Mordekhai yang harus mati, tapi semua kaumnya—yaitu, semua orang Yahudi. Dengan kuatnya bangsa Persia dan tingginya kekuasaan Haman, orang Yahudi di seluruh wilayah negeri itu sadar bahwa hidup mereka tinggal hitungan hari.

Siapa yang bisa melakukan sesuatu bagi bangsa Yahudi agar mereka tidak mengalami holocaust oleh bangsa Persia? Ester adalah orang yang tepat! Dia adalah permaisuri dari raja Ahasyweros sendiri, sehingga dialah yang paling bisa berbicara secara langsung kepada raja. Tetapi Ester merasa takut, karena sekalipun dia ratu, raja bisa sewaktu-waktu mengusir bahkan membunuh dia bila dia muncul tanpa dipanggil oleh raja. Pada saat itulah Mordekhai mengingatkan Ester:

“Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.”
(Ester 4:13-14)

Ketika Ester menguatirkan keselamatannya sendiri, Mordekhai mengingatkan bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar di pundaknya. Seluruh bangsanya dalam ancaman kebinasaan; tetapi Tuhan pasti akan menolong mereka dengan cara apapun juga. Bila Ester ada di posisinya sekarang sebagai salah satu orang yang terdekat dengan raja Persia, Mordekhai mengingatkan, bisa jadi Tuhan mau memakai dia untuk menolong bangsanya.

Singkat cerita, Ester menggerakkan semua orang Yahudi untuk berdoa puasa baginya, dan dia menyusun rencana yang cerdik untuk memberitahukan masalah ini pada raja Ahasyweros. Ketika ia menghadap raja, raja berkenan kepadanya dan Ester dapat menyampaikan permohonannya. Bangsa Yahudi akhirnya selamat dari kebinasaan, bahkan Haman, sang pembenci orang Yahudi, dihukum mati beserta keluarganya oleh raja.

// RENCANA TUHAN MELALUI KITA
Banyak orang Kristen berpikir bahwa hidupnya adalah urusannya sendiri, yang tidak berhubungan dengan keadaan orang lain. Kita minta agar Tuhan memberkati masa depan kita, rencana kita, pekerjaan kita, keluarga kita, dsb. Tetapi kita tidak sadar bahwa Tuhan memberkati kita dengan tujuan. Tuhan punya rencana; rencana-Nya itu melibatkan kita, dan berarti rencana itu lebih besar dari hidup kita.

Sama seperti Ester belajar bahwa dia ditempatkan sebagai ratu untuk menggenapi rencana Tuhan, kita juga perlu belajar bahwa kita ini bukan pemeran utama dalam kehidupan kita. Kita ada untuk melayani Tuhan, dengan segala hal yang Dia sediakan dalam hidup kita: dengan keluarga yang kita miliki, dengan keuangan kita, dengan jabatan kita, dengan kesehatan kita, dsb. Beberapa orang bahkan ditempatkan di waktu dan tempat yang sangat khusus, dalam keadaan yang sangat spesifik, untuk melayani Tuhan di situ.

// RENCANA TUHAN BAGI UMAT-NYA
Trivia: di dalam kitab Ester sama sekali tidak ada kata “Tuhan” atau “Allah”. Namun seluruh kitab ini adalah kisah perlindungan Allah yang ajaib bagi umat-Nya. Dia mengatur segala sesuatu agar berjalan sesuai kehendak-Nya dan memelihara umat-Nya dari musuh-musuh mereka. Bangsa Israel memang memberontak pada Allah dan menanggung hukuman, tetapi Allah tidak meninggalkan mereka. Di manapun mereka berada, Allah menyertai mereka. Sampai sekarang, orang Yahudi masih merayakan hari raya Purim, yang mulai mereka rayakan sejak zaman Ester, untuk mengingat bagaimana Tuhan menyelamatkan bangsa mereka dari kebinasaan.

Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang setia akan janji-Nya. Dia berjanji kepada Abraham bahwa keturunan Abraham akan menjadi bangsa yang besar; kepada Daud bahwa keturunan Daud akan menjadi raja atas Israel selama-lamanya; dan Dia memenuhi janji-Nya. Sebelum menulis post ini saya sempat melihat artikel di Wikipedia tentang sejarah anti-semitisme (kebencian terhadap orang Yahudi) dari masa ke masa. Setiap abad, dari abad pertama sampai abad ke-21, terus-menerus terjadi tindakan anti-semitisme, yang puncaknya adalah pada holocaust oleh Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Namun bangsa Israel justru pulang kembali ke tanah mereka dan mendirikan negara Israel, serta berseru, “Am Yisrael Chai (Hidup umat Israel)!” Ini adalah bukti bagaimana Tuhan tetap memelihara umat-Nya dalam segala keadaan, melewati segala zaman.

Karena itu, selama kita adalah anak-anak Allah, maka Bapa kita yang baik akan memelihara kehidupan kita. Kita tidak pernah ditinggalkan. Dalam kitab Ester kita melihat apa yang seolah-olah adalah gejolak politik dan militer, namun sesungguhnya ada tangan Tuhan yang perkasa di balik semua itu. Yang kita lihat dalam hidup kita adalah rangkaian peristiwa, dan kadang rasanya Tuhan tidak berbuat apa-apa. Namun seperti dalam kitab Ester, sekalipun nama Tuhan tidak disebutkan, kuasa Tuhan dinyatakan lewat tangan orang biasa seperti Ester.

Maukah kita memberi diri kita untuk dipakai Tuhan? Untuk menggenapi tujuan Tuhan, kita berada dalam lingkungan kita sekarang, menikah dengan suami kita, melayani di gereja tempat kita beribadah sekarang, mengerjakan pekerjaan kita sekarang. Maukah kita merendahkan diri dan berkata seperti Yesaya, “Ini aku, utuslah aku”? Maukah kita mengambil resiko untuk melakukan apa yang benar di tengah keadaan yang tidak mendukung? Mungkin justru untuk saat seperti inilah kita berada di mana kita berada sekarang.

Monday, December 2, 2019

Rizpa: Setia dan Teguh Mengejar Pemulihan


by Mekar Andaryani Pradipta

Dari sekian banyak wanita di Alkitab, Rizpa termasuk salah satu yang jarang sekali dibahas. Namanya hanya disebut 4 kali, yaitu di II Samuel 3 dan II Samuel 20. Siapakah sebenarnya Rizpa dan apa yang bisa kita pelajari dari dia?

Saul mempunyai gundik yang bernama Rizpa; dia anak perempuan Aya. Berkatalah Isyboset kepada Abner: "Mengapa kauhampiri gundik ayahku
(II Samuel 3:7)

II Samuel 3:7 memberi gambaran siapa itu Rizpa. Dia adalah salah satu gundik Saul, yang setidaknya memiliki dua orang anak. Karena ia gundik, statusnya dianggap lebih rendah dibandingkan istri. Namun, peran Rizpa menjadi krusial karena ia berada di tengah perebutan kekuasaan di Israel setelah Saul mati.

Karena Saul mati terbunuh di Gilboa dalam peperangan dengan orang Filistin, maka Isyiboset menjadi penerusnya. Ia didukung oleh Abner, sepupu Saul sekaligus panglima perangnya. Diduga karena takut kekuasaannya direbut oleh Abner, Isyiboset menuduh Abner menghampiri Rizpa. Pada masa itu, meniduri istri atau gundik raja sama artinya dengan merebut tahta raja tersebut.

Alkitab tidak menjelaskan apakah tuduhan Isyiboset benar, namun Abner menolak tuduhan tersebut. Perseteruan ini membuat Abner meninggalkan Isyiboset dan pergi ke pihak Daud, meskipun kemudian Abner mati di tangan Joab, tangan kanan Daud.

Isyiboset sendiri juga akhirnya mati terbunuh oleh pihak Daud.

Di tengah segala kekacauan tersebut, tidak ada catatan tentang respon Rizpa. Ada dua kemungkinan. Pertama, Rizpa merespon namun Alkitab tidak menjelaskannya. Kedua, Rizpa tidak melibatkan diri, sehingga Alkitab tidak menyebutkan apapun tentang reaksi Rizpa.

Yang kita ketahui, Rizpa bertahan hidup sampai kekuasaan Israel beralih ke tangan Daud.

Peristiwa kedua yang melibatkan Rizpa ada di II Samuel 21

Lalu raja mengambil kedua anak laki-laki Rizpa binti Aya, yang dilahirkannya bagi Saul, yakni Armoni dan Mefiboset, dan kelima anak laki-laki Merab binti Saul, yang dilahirkannya bagi Adriel bin Barzilai, orang Mehola itu, kemudian diserahkannyalah mereka ke dalam tangan orang-orang Gibeon itu. Orang-orang ini menggantung mereka di atas bukit, di hadapan TUHAN. Ketujuh orang itu tewas bersama-sama. Mereka telah dihukum mati pada awal musim menuai, pada permulaan musim menuai jelai (II Samuel 21:8-9).

Dua anak Rizpa termasuk dalam tujuh anak Saul yang dikorbankan agar Israel dapat membayar hutang darah dengan bangsa Gibeon, sehingga kelaparan di Israel yang telah berlangsung 3 tahun dapat diakhiri.

Kali ini Alkitab mencatat respon Rizpa.

Lalu Rizpa binti Aya mengambil kain karung, dan membentangkannya bagi dirinya di atas gunung batu, dari permulaan musim menuai sampai tercurah air dari langit ke atas mayat mereka; ia tidak membiarkan burung-burung di udara mendatangi mayat mereka pada siang hari, ataupun binatang-binatang di hutan pada malam hari.
(II Samuel 21:10)

Rupanya setelah menggantung tujuh anak Saul, Daud membiarkan mayat mereka begitu saja. Hal ini membuat Rizpa menunggui mayat tersebut, bukan sehari dua hari, tapi berbulan-bulan. Masa menuai jelai diperkirakan pada awal April, yang diikuti musim menuai gandum pada Juli hingga September. Setelah itu, barulah hujan turun pada bulan Oktober hingga November. Setidaknya, Rizpa menjaga mayat tujuh anak Saul selama kurang lebih 6 bulan. Siang dan malam. Bisa dibayangkan, Rizpa hamper-hampir tidak pernah tidur demi menjaga mayat-mayat itu.

Membayangkannya saja mengerikan. Bagaimana rasanya tinggal bersama mayat, tidak hanya satu, melainkan tujuh mayat?

Tapi Rizpa setia pada apa yang ia perjuangkan. Dan kesetiaannya membuahkan hasil.

Ketika diberitahukan kepada Daud apa yang diperbuat Rizpa binti Aya, gundik Saul itu, maka pergilah Daud mengambil tulang-tulang Saul dan tulang-tulang Yonatan, anaknya, dari warga-warga kota Yabesh-Gilead, yang telah mencuri tulang-tulang itu dari tanah lapang di Bet-San, tempat orang Filistin menggantung mereka, ketika orang Filistin memukul Saul kalah di Gilboa. Ia membawa dari sana tulang-tulang Saul dan tulang-tulang Yonatan, anaknya. Dikumpulkanlah juga tulang-tulang orang-orang yang digantung tadi,lalu dikuburkan bersama-sama tulang-tulang Saul dan Yonatan, anaknya, di tanah Benyamin, di Zela, di dalam kubur Kish, ayahnya. Orang melakukan segala sesuatu yang diperintahkan raja, maka sesudah itu Allah mengabulkan doa untuk negeri itu.
(II Samuel 21:11-14)

Alkitab tidak mencatat reaksi Rizpa saat anaknya digantung. Ia tidak melakukan protes kepada raja Daud. Di tengah kesedihannya, ia memahami kematian anaknya akan membawa pemulihan bagi seluruh negeri. Tapi, Alkitab mencatat perjuangan Rizpa supaya kedua anaknya mendapatkan penguburan yang layak. Respon Rizpa ini menjadi kunci pemulihan di Israel. 

Hal ini mengingatkan kita pada Serenity Prayer yang terkenal itu, 

God grant me the serenity to accept the things I cannot change;
Courage to change the things I can; And wisdom to know the difference.

Rizpa tahu ia tidak bisa mengubah keputusan Daud untuk mengorbankan anaknya. Anak-anaknya sudah mati digantung dan tidak akan pernah hidup lagi. Tapi, ia tahu, ia bisa mengubah hati Raja untuk memberi penghormatan terakhir bagi Saul dan keturunannya.

Dalam hukum Israel, mayat adalah sesuatu yang najis. Ketika mayat dibiarkan begitu saja, maka berarti kenajisan bisa menyebar, karena orang-orang yang menyentuh mayat dinyatakan najis (Bilangan 11:19). Orang-orang yang najis ini tidak diperkenankan datang kepada Allah. Selain karena mengasihi anak-anaknya, Rizpa sedang melakukan hal yang lebih besar: ia tidak ingin pengorbanan anak-anaknya sia-sia karena mayat mereka yang dibiarkan menghalangi pemulihan dari Tuhan. 

Rizpa punya cukup alasan untuk hidup dalam kepahitan. Dia dimanfaatkan dalam perebutan kekuasaan. Suami dan anak-anaknya mati terbunuh. Tapi Rizpa tidak menghabiskan hidupnya untuk membalas dendam. Rizpa justru melakukan apa yang benar: mengejar pemulihan Tuhan bagi negerinya, dengan kesetiaan dan keteguhan. Allah mengabulkan doa Israel, hanya setelah Daud menguburkan Saul dan keturunannya dengan layak – langkah yang diambil Daud setelah ia mendengar tentang tindakan Rizpa.

Monday, November 25, 2019

Elisabet: Mengasihi dan Mengenal Allah dalam Penantian dan Mukjizat


by Poppy Noviana

Pernahkah kamu mengalami mukjizat yang sebelumnya tidak terbayangkan? Sudah? Atau belum? Alkitab dipenuhi kisah-kisah tentang mukjizat. Kali ini kita akan membahas tentang Elisabet, seorang wanita yang menerima mukjizat dari Allah. Elisabet istri Zakharia, dikenal sebagai wanita mandul. Ia tidak memiliki keturunan sampai usia tuanya. Pada masa itu, kemandulan adalah aib bagi seorang wanita. Bayangkan bagaimana perasaan Elisabet. Pasti ada masa-masa dia merasa gagal sebagai wanita. Pasti ada masa-masa dia harus menghadapi penghakiman dari masyarakat. Yuk, kita belajar dari kehidupan Elisabet.

1. MUKJIZAT BERAWAL DARI KEMUSTAHILAN
Setiap mukjizat yang diceritakan di Alkitab, pasti berawal dari sebuah kemustahilan. Kemustahilan adalah ruang untuk Tuhan bekerja, if you let go and let God in yours. Mukjizat Elisabet dan Zakharia juga berawal dari kemustahilan, yaitu kemandulan.

Tapi sebenarnya, kemustahilan hanya ada dalam kamus manusia. Di kamus Tuhan, kemustahilan tidak pernah ada.

Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.
(Lukas 1:37)

Tuhan mampu memutarbalikkan keadaan dengan cara apapun yang Ia berkenan. Pertanyaannya adakah Ia menemukan iman yang menggerakkan mukjizat? Atau pilih meragu saja, seperti kisah Zakharia, suami Elisabet, yang abai terhadap pribadi Allah yang Maha Kuasa dan memilih untuk meragukan-Nya? Begini respon Zakharia terhadap malaikat yang memberitahu janji mukjizat dari Allah,

Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu: "Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya. Jawab malaikat itu kepadanya: "Akulah Gabriel yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk berbicara dengan engkau dan untuk menyampaikan kabar baik ini kepadamu. Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.
(Lukas 1:18-20)

Namun, bahkan ketika Zakharia tidak sepenuhnya percaya, kehendak Tuhan untuk memberinya keturunan tidak kemudian batal, meski tetap ada harga yang harus dibayar Zakharia sampai mukjizat Tuhan menjadi nyata. Ia ‘dibisukan’ oleh Allah sampai anak mukjizatnya lahir dari rahim Elisabet.

Kemustahilan tidak menjadi penghalang bagi Tuhan melakukan perbuatan besar dalam hidup kita.

2. MUKJIZAT MEMBANGUN KEHIDUPAN
Tuhan membuat mukjizat sesuai hikmat-Nya. Dia tahu waktu yang tepat dan cara yang tepat untuk memproses anaknya hingga menghasilkan buah. Mukjizat dilakukan untuk menggenapi tujuan Allah dalam hidup orang percaya, bukan sekedar membuat kita bahagia. Itulah kenapa, mukjizat bukan satu-satunya hal yang penting, juga bukan tujuan akhir. 

Apakah dalam perjalanan menuju mukjizat karaktermu diubah? Apakah setelah menerima mukjizat, pengenalanmu akan Tuhan makin bertambah? Elisabet mengimani dengan pasti, bahwa kehamilannya adalah anugerah Tuhan, dan Ia berani menyaksikannya.

"Inilah suatu perbuatan Tuhan bagiku, dan sekarang Ia berkenan menghapuskan aibku di depan orang."
(Lukas 1:24)

Iman Elisabeth ini muncul pada kesempatan lain ketika Ia dikunjungi oleh Maria. 

Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
(Lukas 1:39-44)

Lihat bagaimana sekarang Elisabeth bisa mempercayai Allah dengan lebih mudah. Hanya dengan lonjakan bayi yang ia rasakan di rahimnya karena salam Maria, ia percaya di rahim Maria adalah Tuhan-Nya.

Mujizat yang dilakukan Tuhan dalam hidup Elisabet memberinya pengertian baru tentang iman kepada Allah,

“Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”
(Lukas 1:45)

3. MUKJIZAT BUKAN SEGALANYA
Mukjizat Elisabet dan Zakharia juga harus melalui proses yang tidak sebentar. 

"Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes.”

Pasangan ini berdoa sekian lama, sampai pada satu titik mereka tidak lagi terlalu berharap. Tapi apakah dengan berkurangnya keinginan mereka akan mukjizat, cinta mereka pada Allah ikut berkurang? Alkitab mencatat dengan jelas,

Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.
(Lukas 1:6-7)

Diberi mukjizat atau tidak, Elisabet dan suaminya tetap hidup benar. Mereka tetap melayani Tuhan. Mereka tidak menjauh dari Tuhan disaat mukjizat belum terlihat mata. Pasangan ini menyadari bahwa mengasihi Allah tidak terbatas pada melihat perbuatan tangan-Nya, tapi juga pengenalan akan pribadi Tuhan dan tetap setia melayani-Nya. 


***

Jadi, jika orang-orang yang ada di sekitar kita sudah menerima mukjizat sedangkan kita belum, atau bahkan tidak sama sekali, jangan berkecil hati. Tuhan tetap baik dan rencana-Nya tetap sempurna. Dalam masa penantian seperti ini, penting untuk tetap punya sikap hati yang percaya dan berserah penuh, sebab disitulah terdapat kekuatan besar yang memampukan kita menghadapi situasi yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Berdoalah untuk hikmat dari Tuhan agar kita dapat memahami situasi dengan baik, dan mengerti tujuan Tuhan sampai kita berhasil melaluinya. Jadilah seperti Elisabet, yang tetap setia mengasihi Allah, bahkan ketika mukjizat belum terjadi dalam hidupnya.

Monday, November 18, 2019

Wanita Sunem: Ketulusan Hati tanpa Pamrih


by Irene Salomo

Hai teman-teman. Kali ini kita akan belajar dari seorang tokoh wanita yang tidak disebut namanya dalam Alkitab. Ia hidup pada zaman nabi Elisa dan berasal dari Sunem, sehingga Alkitab mencatatnya sebagai perempuan Sunem. Meskipun tidak banyak yang diceritakan Alkitab tentangnya, ada beberapa teladan hidup yang bisa kita pelajari dari perempuan ini, khususnya dari perikop 2 Raja-Raja pasal 4

1. Ia dengan murah hati membagikan berkat Tuhan kepada orang lain
...Di sana tinggal seorang perempuan kaya yang mengundang dia (Nabi Elisa) makan. Dan seberapa kali ia dalam perjalanan, singgahlah ia ke sana untuk makan.
(2 Raja-raja 4:8)

Pada zaman itu, biasanya para nabi mengandalkan kemurahan hati orang-orang yang mengundang mereka makan ke rumah. Alkitab mencatat perempuan Sunem bukan sekali saja, tapi berkali-kali mengundang nabi Elisa makan di rumahnya. Ia bahkan khusus membuat kamar bagi Elisa dan bujangnya, Gehazi, lengkap dengan beberapa perabotan esensial. Perempuan ini ingin memastikan bahwa Elisa dan Gehazi bisa beristirahat dan bekerja di kamar tersebut dengan leluasa.

Berkatalah perempuan itu kepada suaminya: “...Baiklah kita membuat sebuah kamar atas yang kecil yang berdinding batu, dan baiklah kita menaruh di sana baginya sebuah tempat tidur, sebuah meja, sebuah kursi dan sebuah kandil, maka apabila ia datang kepada kita, ia boleh masuk ke sana.”
(2 Raja-raja 4:10)

Dari ayat ini, kita juga bisa melihat bahwa perempuan Sunem menghormati suaminya. Ia tidak langsung mengambil keputusannya sendiri, namun dia meminta persetujuan dari suaminya dulu. Meskipun kita tahu keputusan ini untuk berbuat baik, dia tetap melibatkan suaminya.

2. Ia memberi dengan ikhlas dan tulus
Ketika Elisa bertanya apa yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikannya, dia menolak Elisa dengan halus. Padahal, ia tahu Elisa ini adalah abdi Allah yang punya relasi dengan raja Israel, tapi ia tidak memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari Elisa.

Elisa telah berkata kepada Gehazi: “Cobalah katakan kepadanya: Sesungguhnya engkau telah sangat bersusah-susah seperti ini untuk kami. Apakah yang dapat kuperbuat bagimu? Adakah yang dapat kubicarakan tentang engkau kepada raja atau kepala tentara?” Jawab perempuan itu: “Aku ini tinggal di tengah-tengah kaumku!”
(2 Raja-raja 4:13)

Bagaimana sikap kita ketika diberi kesempatan untuk menolong atau membagikan berkat Tuhan pada orang lain? Apakah kita masih hitung-hitungan tentang balasan apa yang bisa kita dapatkan? Atau kita memberi dengan ikhlas dan senang hati?

Dari ayat selanjutnya, kita juga tahu bahwa perempuan Sunem tidak mempunyai anak dan suaminya sudah tua. Sehingga Elisa menjanjikan anak dan di tahun berikutnya, perempuan Sunem dikaruniakan seorang anak laki-laki.

3. Ia menyerahkan masalahnya pada sumber yang tepat
Setelah anak itu menjadi besar, pada suatu hari keluarlah ia mendapatkan ayahnya, di antara penyabit-penyabit gandum. Tiba-tiba menjeritlah ia kepada ayahnya: “Aduh kepalaku, kepalaku!” Lalu kata ayahnya kepada seorang bujang: “Angkatlah dia dan bawa kepada ibunya!” Diangkatnyalah dia, dibawanya pulang kepada ibunya. Duduklah dia di pangkuan ibunya sampai tengah hari, tetapi sesudah itu matilah dia. Lalu naiklah perempuan itu, dibaringkannyalah dia di atas tempat tidur abdi Allah itu, ditutupnyalah pintu dan pergi, sehingga anak itu saja di dalam kamar. Sesudah itu ia memanggil suaminya serta berkata: “Suruh kepadaku salah seorang bujang dengan membawa seekor keledai betina; aku mau pergi dengan segera kepada abdi Allah itu, dan akan terus pulang.” Berkatalah suaminya: “Mengapakah pada hari ini engkau hendak pergi kepadanya? Padahal sekarang bukan bulan baru dan bukan hari Sabat.” Jawab perempuan itu: “Jangan kuatir.”
(2 Raja-raja 4:18-23)

Yang menarik adalah bagaimana respon perempuan Sunem setelah anaknya meninggal. Alih-alih menangis histeris atau mulai mempersiapkah penguburan anaknya, dia dengan tenang membaringkan anaknya di kamar dan pergi mencari Elisa. Saat itu, Elisa sedang berada di gunung Karmel, yang berjarak sekitar 32 km atau satu hari perjalanan dari Sunem.

Bisakah kita bayangkan gimana perasaan perempuan Sunem sepanjang perjalanan itu? Mungkin perempuan Sunem berpikir, jika Elisa sanggup melakukan mukjizat untuk memberikannya anak ini, maka ia mungkin sanggup membangkitkannya kembali. Setelah menemukan Elisa dan Gehazi, perempuan Sunem tersungkur di hadapan Elisa dan dengan terus terang mencurahkan kepedihan hatinya.

Dan sesudah ia sampai ke gunung itu, dipegangnyalah kaki abdi Allah itu, ....Lalu berkatalah perempuan itu: “Adakah kuminta seorang anak laki-laki dari pada tuanku? Bukankah telah kukatakan: Jangan aku diberi harapan kosong?”
(2 Raja-raja 4:27-28)

Bagaimana dengan kita? ketika mengalami kesusahan, apakah kita menyerahkan pergumulan hati kita kepada Tuhan? Atau mungkin kita lebih banyak curhat di social media atau teman dan keluarga, tanpa melibatkan Tuhan?

Kisah perempuan Sunem ini berakhir bahagia setelah Elisa melakukan mukjizat membangkitkan kembali anaknya.

Di zaman modern yang serba sibuk ini, kapan terakhir kita membuka rumah bagi orang lain untuk makan ataupun tinggal? Kisah perempuan Sunem mengingatkan saya pada Rosaria Butterfield - mantan aktivis lesbian dan profesor literatur yang tadinya anti kekristenan [1].

Pada suatu hari, ia diundang makan malam oleh tetangganya, Ken dan Floy Smith. Pasangan Kristen ini mengundang Rosaria untuk makan ke rumah mereka. Bukan hanya satu atau dua kali, tapi selama dua tahun mereka rutin menjamu Rosaria. Sehingga Rosaria bukan hanya berdiskusi intelektual dengan Ken, ia juga melihat dan mengalami bagaimana teman-teman gereja Ken saling mengasihi dan rutin ikut menyambut tamu non-Kristennya. Rosaria akhirnya bertobat dan menjadi penulis buku rohani, salah satunya tentang hospitality yang berjudul The Gospel Comes with a House Key: Practicing Radically Ordinary Hospitality in Our Post-Christian World. Ini semua diawali dengan undangan sederhana dari Ken untuk datang dan makan di rumahnya.

Teman-teman, kiranya kisah perempuan Sunem dan Rosaria Butterfield mendorong kita untuk menyatakan kasih Tuhan pada orang lain dengan bermurah hati tanpa pamrih, dan membuka rumah kita bagi mereka. 

[1] https://rosariabutterfield.com/

Monday, November 11, 2019

Dari Mata Turun Ke Hati: Pelajaran dari Istri Potifar


by Yunie Sutanto

Mata adalah jendela jiwa. Mata adalah cermin kedalaman hati dari si pemilik. Begitu menurut pepatah. Tetapi apa kata Firman Tuhan tentang mata?

Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 
jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu.
(Matius 6: 22-23a)

Mata seorang wanita adalah pelita tubuhnya. Terang atau gelap kehidupan kita, tergantung pada bagaimana kita menggunakan mata kita. Ia berhubungan dengan hati. Apa yang senang kita lihat menunjukkan kecenderungan hati kita. Mata pula yang mengisi hati kita, dengan terang atau dengan kegelapan.

Jika mata kita baik, teranglah seluruh tubuh kita. Jika mata kita jahat, gelaplah seluruh tubuh kita.  Area ‘penglihatan’ bisa jadi peperangan rohani, karena mata adalah salah satu benteng hati kita. Saat kita menjaga mata, maka kita sedang menjaga hati.

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, 
karena dari situlah terpancar kehidupan.
(Amsal 4:23)

Menjaga hati dimulai dari menjaga pikiran atas apa yang dilihat mata.

Nah sekarang, kita akan belajar dari seorang wanita Mesir yang membiarkan matanya liar dan pikirannya jahat.

Wanita itu adalah istri Potifar. Kata "istri" ini cukup menjelaskan siapa status wanita ini. Istri Potifar tentunya panggilan yang merujuk pada seorang wanita yang berstatus menikah dengan Potifar. Di seantero Mesir, siapa yang tidak mengenal Potifar? Ia adalah orang kepercayaan Raja, salah satu yang paling berkuasa di Mesir saat itu.

Namun, apa yang tercetus di pikiran kita saat mengingat istri Potifar?

Kebanyakan tentu akan menggambarkannya sebagai seorang istri yang tidak mengindahkan statusnya sebagai istri dan hidup dikuasai oleh keinginan matanya yang jahat. Ulahnya cukup sukses memenjarakan Yusuf, seorang pria yang menjadi kecintaan Tuhan. 

Ulah istri Potifar ini tercatat rapi di Kejadian 39 

Yusuf itu manis sikapnya dan elok parasnya. Selang beberapa waktu isteri tuannya memandang Yusuf dengan berahi, lalu katanya: "Marilah tidur dengan aku." Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada isteri tuannya itu: "Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku, bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" Walaupun dari hari ke hari perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia.

Kejahatan apa yang dilakukan Istri Potifar? 

Matanya menginginkan pria yang bukan suaminya. Ini adalah benih subur untuk perzinahan. Amsal mengatakan, memikirkan kebodohan mendatangkan dosa. Sesuatu yang terus dipikirkan akan berpotensi kuat untuk diwujudkan dalam ucapan dan tindakan. 

Tuhan Yesus pun mengingatkan mengenai perzinahan hati di Matius 5:27-29

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan (baca: lelaki) serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka

Urusan pandangan mata ternyata bukan hanya monopoli kaum pria. Wanita pun bisa jatuh di area mata. Mata genit dengan lirikan penebar pesona pada lawan jenis bisa saja dimiliki wanita yang sudah bersuami sekalipun. Mata yang suka melihat film porno dan berimajinasi aneka fantasi seksual pun bisa saja dimiliki seorang remaja belasan tahun. Mata adalah pintu masuk godaan. Hawa pun tergoda saat melihat buah pengetahuan yang baik dan jahat itu. Buah terlarang yang semakin dipandang semakin menggiurkan. 

Kejahatan berikutnya yang dilakukan istri Potifar adalah mengambil kesempatan untuk bercinta dengan Yusuf saat suaminya tidak ada. Ia membujuk Yusuf dari hari ke hari, bukan hanya sekali. Berbagai kesempatan disiapkannya untuk berbuat kejahatan. Semua itu masih ditambah dengan fitnah yang membuat Yusuf dipenjarakan. 

Dosa istri Potifar diawali dari tatapan mata penuh birahi terhadap Yusuf yang elok parasnya dan manis sikapnya. Dari mata turun ke hati. Bukankah ini mirip dengan rentetan dosa Daud yang diawali dengan tanpa sengaja melihat Bersyeba mandi?

What you see is your battlefield.

Bahkan lagu sekolah minggu pun sudah memberi petunjuk untuk "hati-hati gunakan matamu". Apa yang terjadi di pikiran bisa dikendalikan dari apa yang kita masukkan ke dalamnya. Entah itu tontonan atau bacaan yang dipilih. Sortir apa yang masuk lewat mata. Jika novel romantis yang panas membuat pikiran mudah jatuh ke fantasi tak jelas, hindari. Jika film drama seri membuat ide tentang romansa dan pernikahan menjadi semu, hindari. 

Wanita yg takut akan Tuhan akan melatih dirinya untuk menjauhi kejahatan. Yusuf lari dari keadaan yang berpotensi membuatnya jatuh dalam dosa. Namun, Istri Potifar memberi pelajaran tentang wanita yang memilih mendekati kejahatan dan terjerat di dalamnya. 

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan. Jangan beri ruang untuk dosa yang masuk melalui pandangan mata. Jika matamu memandang godaan, larilah seperti Yusuf. Lari dari kejahatan, sebab wanita yang takut akan Tuhan menjauhi kejahatan

tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.
(Ayub 28:28)

Monday, November 4, 2019

Yokhebed: Wanita Yang Tidak Menyerah


by Grace Suryani Halim

Siapakah Yokhebed itu? Namanya hanya disebutkan dua kali dalam Alkitab, yaitu dalam Keluaran 6:19 dan Bilangan 26:59, keduanya dalam daftar silsilah. Mengapa dia penting? Karena dialah ibu dari nabi terbesar Israel, yaitu Musa.

Dan nama isteri Amram ialah Yokhebed, anak perempuan Lewi, yang dilahirkan bagi Lewi di Mesir; dan bagi Amram perempuan itu melahirkan Harun dan Musa dan Miryam, saudara mereka yang perempuan.
(Bilangan 26:59)

Latar belakang keadaan saat kelahiran Musa diceritakan dalam Keluaran 1. Saat itu keturunan Yakub yang semakin banyak jumlahnya masih tinggal di Mesir. Firaun yang sedang berkuasa merasa terancam dengan keberadaan mereka, sehingga ia memperbudak mereka. Ia bahkan mengeluarkan peraturan baru: setiap bayi laki-laki yang lahir dari wanita Ibrani harus dibunuh dengan cara dilempar ke sungai Nil.

Dalam keadaan itulah Musa lahir. Sebelumnya, Yokhebed sudah punya dua anak, yaitu Harun dan Miryam. Lalu tiba-tiba ia hamil lagi; dan pada saat Firaun sudah memberi perintah untuk membunuh semua bayi laki-laki! Sebagai ibu tentu Yokhebed bimbang. Saat mengandung, ia tidak tahu apakah bayi yang dikandungnya laki-laki atau perempuan. Mungkin ia berharap bayinya perempuan.

Lalu lahirlah bayinya: anak laki-laki. Ini yang Alkitab catat dalam Keluaran 2:1-2

Seorang laki-laki dari keluarga Lewi kawin dengan seorang perempuan Lewi; lalu mengandunglah ia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikannya tiga bulan lamanya.

Bagaimana ini? Perintah Firaun tidak mungkin dilawan! Tetapi Yokhebed tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Ia mengambil langkah berani dengan menyembunyikan bayinya. Tetapi lalu anak itu bertambah besar dan tidak bisa disembunyikan lagi, sehingga Yokhebed harus memikirkan cara lain. Ia tetap tidak mau menyerah, dan membuat rencana untuk menyelamatkan bayinya.

Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalnya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil.
(Keluaran 2:3)

Yokhebed mempercayakan nasib anaknya ke dalam tangan Tuhan, setelah ia melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukannya. Sungai Nil bukanlah sungai yang ramah; ada binatang buas dan arus yang deras yang berbahaya, apalagi bagi seorang bayi dalam peti anyaman. Namun itu satu-satunya cara agar puteranya tetap hidup. Dia juga menyuruh Miryam, anak perempuannya, untuk mengawasi laju keranjang adiknya.

Singkat cerita, sang bayi ditemukan oleh puteri Firaun, dan diberi nama Musa, yang berarti “diambil dari air”. Ketika puteri Firaun mencari inang untuk menyusui bayi itu, Miryam segera muncul dan menawarkan inang penyusu, yang tidak lain adalah Yokhebed, ibu bayi itu! Sungguh ajaib apa yang dialami bayi Musa: dari hampir dibunuh bangsa Mesir, menjadi anak angkat puteri Firaun, bahkan kembali tinggal bersama ibunya selama masa kecilnya. Sampai dewasa Musa tidak pernah lupa bahwa ia bukan orang Mesir; ia adalah orang Ibrani. Siapa yang menanamkan identitas kebangsaan yang begitu kuat pada Musa? Siapa yang mengajar dia untuk takut akan Tuhan Allah Abraham? Kemungkinan besar Yokhebed, ketika ia memiliki kesempatan untuk menyusui dan mengajar anaknya.

Musa bukan hanya tumbuh besar dengan aman dan sehat, namun di kemudian hari dia menjadi nabi besar bagi bangsanya. Saya rasa Yokhebed tidak pernah bermimpi Musa akan dipakai Tuhan seperti itu. Musa tidak dibunuh saja sudah bagus! Tapi Tuhan menghargai keputusan Yokhebed; Tuhan melihat perjuangan dan kasihnya bagi Musa. Tuhan memberi lebih daripada yang ia pernah pikirkan. 

Mungkin dalam hidup ini kita juga merasa seperti Yokhebed: hamil di saat yang salah, lahir di keluarga yang salah, berada di kelas dengan guru yang salah, dan sebagainya. Sepertinya keadaan tidak mendukung kita; sepertinya masa depan akan suram. Ketika segala sesuatu keliatan tidak ideal, ingatlah akan Yokhebed yang terus berjuang dengan segala cara yang bisa ia pikirkan. Demi puteranya, Yokhebed tidak mau menyerah pada keadaan. Dan ternyata itu sejalan dengan rencana Tuhan bagi Musa, bagi bangsa Israel, bahkan bagi kita yang hidup sekarang. Seandainya Yokhebed “tidak berdaya” dan tidak ngotot berusaha agar anaknya selamat, mungkin ceritanya akan berbeda.

Moms, sis, jangan mudah putus asa dan jangan sibuk menyalahkan keadaan. Ketika keadaan tidak sesuai harapan kita, ketika kita mengalami masalah, tetaplah berjuang dengan segenap kemampuan kita. Bukankah kita punya Tuhan yang memelihara hidup kita? Lakukan apa yang kita bisa, dan sisanya adalah bagian Tuhan, yang sanggup bekerja lebih dari yang kita bayangkan.