Friday, September 28, 2018

Speak The Truth In Love


by Grace Suryani Halim

Gals, kali ini kita akan belajar bagaimana berbicara tentang kebenaran dengan kasih. Tokoh yang akan kita pelajari adalah Yitro, mertua Musa.

Setelah Musa dan bangsa Israel berada di padang gurun, Yitro datang mencari Musa bersama dengan istri dan anak-anaknya. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari Yitro ketika dia memberikan nasihat kepada Musa—yang masih relevan sampai hari ini. 

1. Yitro melihat, mengamati dan bertanya dahulu. 
Ketika mertua Musa melihat segala yang dilakukannya kepada bangsa itu, berkatalah ia "Apakah ini yang kaulakukan kepada bangsa itu? Mengapakah engkau seorang diri saja yang duduk, sedang seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi sampai petang?"
(Keluaran 18:14 / TB)

Sering kali, kesalahan utama kita adalah kita langsung menyampaikan tanpa mengamati dan bertanya. Namun tidak dengan Yitro. Dia mengamati apa yang Musa lakukan seharian bagi Israel, setelah itu barulah dia bertanya kepada Musa, "Apa yang kau lakukan?"

2. Yitro mengedepankan kepentingan Musa
Tetapi mertua Musa menjawabnya: "Tidak baik seperti yang kaulakukan itu. Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja.
(Keluaran 18:17-18 / TB)

Sebelum kita menyatakan kebenaran pada orang lain, ada baiknya kita menilik isi hati kita dengan jujur. Untuk kepentingan siapa kita mengatakan ini? Apakah benar untuk kepentingan lawan bicara kita? Atau jangan-jangan ada kepentingan kita juga di situ? Sebelum Yitro menyampaikan sarannya, ia mengungkapkan isi hatinya bahwa saran ini semata-mata untuk kebaikan dan kepentingan Musa. 

3. Yitro memberikan solusi dan action plan
Jadi sekarang dengarkanlah perkataanku, aku akan memberi nasihat kepadamu dan Allah akan menyertai engkau. Adapun engkau, wakililah bangsa itu di hadapan Allah dan kauhadapkanlah perkara-perkara mereka kepada Allah.
(Keluaran 18:19 / TB)

Yitro tidak hanya mengkritik, “Ini bagus”, “Ini ga bener”, “Ini ga baik”, tapi dia juga memberikan solusi. Ketika kita ingin menyampaikan sesuatu, ada baiknya kita berdoa dan hikmat Tuhan untuk tau apakah ada solusi yang bisa kita berikan. Di dunia ini sudah terlalu banyak orang yang pintar mengkritik, mencari masalah, dan—sayangnya—tidak banyak yang bisa memberikan solusi. Tapi di dalam Tuhan, kita bisa jadi anak-anak Terang yang menyatakan kebenaran dan membawa perubahan.

Selain solusi, Yitro juga memberikan action plan

Adapun engkau, wakililah bangsa itu di hadapan Allah dan kauhadapkanlah perkara-perkara mereka kepada Allah. Kemudian haruslah engkau mengajarkan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan, dan memberitahukan kepada mereka jalan yang harus dijalani, dan pekerjaan yang harus dilakukan. Di samping itu kau carilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; … Jika engkau berbuat demikian dan Allah memerintahkan hal itu kepadamu, maka engkau akan sanggup menahannya, dan seluruh bangsa ini akan pulang dengan puas senang ke tempatnya.
(Keluaran 18:19b-23 / TB)

Ketika membaca ayat-ayat di atas, saya rasa Yitro tidak memberikan usulan itu dengan spontan, tapi dia sudah memikirkan dan menggumulkannya. Karena itu, action plan yang diberikannya adalah sesuatu yang benar-benar berguna, bukan hanya asal ngomong. 


--**--


Yang sangat perlu kita lakukan sebelum berbicara dengan seseorang, kita perlu berdoa minta hikmat Tuhan supaya Tuhan sendiri yang memimpin percakapan kita. Sama seperti Yitro, yang menyerahkan hasilnya kepada Allah setelah menyampaikan semuanya. 

"Jika engkau berbuat demikian dan Allah memerintahkan hal itu kepadamu…"
(Keluaran 18:23a / TB)

Ini adalah sebuah klausal penutup dari nasihat panjang-lebar Yitro. Jika Allah memerintahkan hal itu kepadamu. Yitro tidak mengancam, “Kalau kamu tidak menaati nasihatku, celakalah dan terkutuklah kamu.” Tidak. Sebaliknya, dia malah meminta Musa juga bertanya kepada Allah, apakah sarannya itu adalah sesuai dengan kehendak Allah atau tidak.

Mari kita meneladani Yitro di dalam percakapan kita sehari-hari. Tidak cepat bicara, melainkan mengamati terlebih dahulu. Bertanya dan tidak membuat asumsi sendiri. Menjadi pemberi solusi dan bukan hanya tukang kritik dan setelah semuanya, menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan sendiri :)

Tuhan memberkati.

Wednesday, September 26, 2018

Si Pemburuk


by Glory Ekasari

Apakah pembaca punya teman/anggota keluarga/kenalan yang selalu punya hal buruk untuk dibicarakan tentang orang lain? Sebut saja orang itu si pemburuk—karena dia membuat siapa saja kelihatan buruk. “Si A orangnya baik ya, mau bantuin temen yang lagi susah,” kata kita. “Iya sih, tapi lu ga tau aja gimana dia kalo lagi marah,” kata si pemburuk; dan dimulailah sesi rumpi. Atau tentang seorang pengkhotbah di gereja, “Khotbahnya bagus ya!” ujar kita. Si pemburuk menyahut dengan nyinyir, “Asal dia sendiri bisa praktekin khotbahnya aja.”

Ada orang-orang yang *puji Tuhan* lahir dengan pikiran yang positif, optimis, selalu melihat segala sesuatu dari sisi baiknya, layaknya orang Jawa yang konon sering bilang, “Untung...” Kalau kecelakaan dan harus amputasi kaki, dengan legowo dia bilang, “Untung yang diamputasi bukan kepalanya.” Senang sekali hidup seperti itu, selalu ada yang disyukuri. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang memelas, kecenderungan pikirannya negatif terus. Bahkan di tengah pegunungan yang adem, ayem, tenang, pemandangan indah, mereka mengeluh dan bilang, “Enakan di pantai.” Bayangkan apa yang mereka lihat pada diri sesama mereka, manusia yang tidak sempurna.

Susah ya, hidup dengan orang seperti ini. Apalagi kalau orang ini adala suami/isteri kita—layaknya pikul salib seumur hidup. Tapi berhubung kita ga bisa mengubah orang lain, dan kita juga tidak bertanggung jawab atas hidup mereka tetapi atas hidup kita sendiri, kita perlu introspeksi diri: Jangan-jangan saya termasuk golongan orang yang diam-diam diberi gelar “si pemburuk” oleh orang lain?


// BAGAIMANA SAYA MELIHAT DIRI SENDIRI?

Loh, kok mulai dari sini? Iya dong, kan Tuhan Yesus bilang, “Apa yang diucapkan mulut, meluap dari hati.” Jadi, bila orang begitu mahirnya menemukan keburukan dari segala sesuatu, itu sebenarnya mencerminkan isi hatinya.

Banyak orang merasa diri “ga jelek-jelek amat.” “Emang sih, saya ga sempurna,” demikian kata orang, “tapi saya bukan orang jahat.” Sayangnya Alkitab ga setuju dengan pernyataan itu. “Betapa liciknya hati,” kata nabi Yeremia. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak,” kata pemazmur. “Semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” demikian tulis rasul Paulus. Kita semua telah menerima satu putusan dari pengadilan ilahi: Bersalah.

Dan, dibanding semua orang yang mengenal kita, kalau kita mau jujur pada diri sendiri, kita akan mengakui bahwa memang benar, hati kita jahat. Kitalah yang paling tahu kekurangan kita. Kitalah yang paling tahu niat hati kita. Kitalah yang paling tau isi pikiran kita. Dan kata-kata kita yang negatif menjadi kesaksian bahwa: Kita orang berdosa. Lebih jauh lagi, orang-orang yang suka mengecilkan, menjelekkan, dan mencari-cari kesalahan orang lain, harus bertanya kepada dirinya sendiri, “Jangan-jangan seperti itulah saya memandang diri sendiri: kecil, penuh kekurangan dan kesalahan.”

Tentu saja ga ada manusia yang suka mengaku salah. Namun Amsal berkata, “Orang yang mengakui pelanggarannya dan meninggalkannya, akan disayangi.” Kalau kita mau berubah, hal itu harus dimulai dari pengakuan akan kekurangan dan kesalahan kita.


// AKU ANAK RAJA!

Apa kata firman Tuhan tentang orang-orang yang bertobat dan percaya kepada Yesus? Kepada mereka dikaruniakan Roh Tuhan, dan mereka disebut anak-anak-Nya! Betapa berbedanya cara kita memandang sesama orang percaya kalau kita menyadari bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan Yang Mahamulia. Mereka bukan “orang biasa”; mereka adalah orang-orang yang dikasihi Tuhan—begitu dikasihi, hingga Yesus Kristus, Anak Allah, mati demi keselamatan mereka! Dan sekalipun sekarang kita dan mereka belum sempurna dalam hal karakter, tapi Tuhan sedang memimpin kita menuju ke sana.

Dengan kacamata yang baru ini, kita memandang dunia dengan cara yang berbeda. Orang-orang di sekitar kita bukan lagi orang-orang yang menyebalkan, mengesalkan, dan penuh kekurangan. Mereka sekarang adalah orang-orang yang dikasihi Tuhan, anak-anak-Nya, yang penuh potensi untuk melayani Dia dan menuju pada kesempurnaan.


// KASIH - KEGENAPAN HUKUM

Menarik sekali bahwa Tuhan Yesus menempatkan kasih kepada sesama sejajar dengan kasih kepada Tuhan (bukansama, tapi sejajar—artinya, kedua-duanya imperatif). Yohanes menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa tidak mungkin orang yang tidak mengasihi manusia yang kelihatan, bisa mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan.

Kalimat Tuhan Yesus adalah, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Siapa orang yang paling sering kita maklumi kekurangannya, maafkan kesalahannya, dan tetap kita perhatikan dengan tulus sekalipun dia berbuat salah lagi dan lagi? Jawabannya sudah tentu: diri sendiri. Ga mungkin kan, kita ngomong pada diri sendiri, “Karena kesalahan lu terlalu banyak, gw ga kasi lu makan, mandi, ganti baju, kerja, pokoknya gw tiduran terus aja di kasur sampe mati!” Kita tetap mengasihi diri kita sendiri, mengurusnya dengan baik, apapun kesalahan yang kita lakukan. Dan, teman-teman, Tuhan menghendaki kita berbuat hal yang sama pada orang lain: maklumi kekurangan mereka, ampuni kesalahan mereka, dan jangan berhenti mengasihi mereka, sekalipun mereka memang banyak kekurangan. Jangan lupa, Tuhan sudah mengasihi kita lebih dulu, di dalam segala kekurangan dan kesalahan kita.


// KEKANG LIDAHMU!

Dalam Perjanjian Lama, kitab yang terkenal sebagai kitab hikmat adalah Amsal. Dalam Perjanjian Baru, padanannya adalah surat Yakobus. Dan kedua-duanya memberikan perhatian besar pada perkataan. Tidak mengherankan, karena sebagian besar kesalahan kita dalam hidup ini pasti berupa salah ngomong.

Yakobus memberi pemahaman demikian: “Barangsiapa menyebut dirinya beribadah namun tidak mengekang lidahnya (artinya, ngomong sembarangan, termasuk tentang orang lain), ia menipu dirinya sendiri, dan sia-sialah ibadahnya.” Dari peringatan yang keras ini kita belajar bahwa mulut harus diatur. Sama seperti atlet melatih tungkai-tungkai tubuhnya supaya bisa bergerak sesuai yang ia inginkan, mulut harus dilatih untuk mengatakan hanya hal-hal yang berguna.

Jadi kalau kita sudah mengakui dosa kita di hadapan Tuhan, memohon pengampunan, meminta kemampuan mengendalikan kata-kata kita, maka ini waktunya kita praktek. Berjalanlah dengan iman dan selalu pertimbangkan dahulu apa yang hendak kita katakan.
Lu sendiri gimana?

Nah, waktunya kesaksian pribadi. Kalo dilihat dari sifat orok, aku sebenernya orang yang termasuk golongan “si pemburuk”. Dulu aku hobi mengkritik dan menghina segala sesuatu dan semua orang; kayaknya gampaang bener liat kekurangan orang lain dalam segala hal.

Tapi—dan puji Tuhan ada kata “tapi” ini!—Tuhan, dalam anugerah dan kesabaran-Nya yang besar, mengubah aku selama bertahun-tahun. Dari melihat kekurangan orang lain demi mengkritik mereka, aku sekarang melihat kekurangan orang lain demi menolong mereka. Yang muncul bukan keluhan karena orang lain ga sempurna, tapi ucapan syukur karena mereka sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dari “hakim”, menjadi pengajar; dari pengkritik, menjadi motivator untuk jadi lebih baik.

Dan itu semua adalah karya Tuhan, karena—seperti yang aku bilang tadi, dari sananya sifatku ga baik. Jadi, kalau orang seperti aku bisa diubah oleh Tuhan, jangan kuatir, ada harapan bagi pembaca semua yang ingin berubah jadi lebih mirip sifatnya Tuhan Yesus. ;)


“Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu
dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras
dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.
Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu
dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku
dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.”
(Yehezkiel 36:26-27)

Monday, September 24, 2018

Ketika Kasih Berkata Tidak


by Grace Suryani Halim

Guys, akhir-akhir ini gue lagi beresin file-file lama gue en nemu beberapa tulisan yang gue suka. :p Salah satunya puisi ini. Puisi ini gue tulis di saat gue habis putus. :p

Banyak orang kecewa sehabis putus karena sehabis putus yang katanya 'baik-baik', kok ex nya menjauh dan sulit dihubungi. :p Katanya kita putus baik-baik, kok loe sekarang jadi gitu sih!?!?!? Well the truth is, abis putus, hal terbaik yag bisa kau lakukan utk ex mu dan untuk dirimu sendiri adalah... memutuskan segala jenis kontak sampai hati kalian berdua bisa lebih pulih kembali.

Coz kalian butuh waktu dari kata "kita" kembali ke kata "saya". Butuh waktu untuk menetralkan kembali isi hati. Butuh waktu untuk menangisi segala impian yang terkoyak. Butuh waktu untuk sendiri dan menangis bersama dengan Dia.

Puisi ini gue tulis di masa-masa itu. En gue bersyukur karena mantan gue cukup tegas utk tidak memberikan harapan apapun. :p No hope, no promise that maybe we can be together again. Menyakitkan?! Sangat. Gue 3 bulan jadi zombie. Hahahaha. Hidup segan mati tak mau. :p En itu masa menjelang ujian akhir SMA. But itu juga masa di mana Tuhan memeluk gue dengan sangat erat.

Itu masa-masa ketika gue belajar bahwa kadang yang terbaik adalah hal menyakitkan yang sedang gue alami saat ini! Gue belajar satu sisi dari Tuhan, bahwa kadang kasih itu berkata tidak. :)


***

KETIKA KASIH BERKATA TIDAK

Seringkali manusia salah menangkap
Makna kasih
Bagi banyak orang
Kasih berarti
YA!!
Apa buktinya kau mengasihiku?
Ehm….
Apa yah?!
Mau ngga mengantarku ke mall?
YA
Pergi ke gereja yuk
YA
Do u love me ?
Oh YES
A big YES

Anggapan umum
Kasih sama dengan YA
Tapi pernahkah kita berpikir
Kasih juga berarti TIDAK

Pernahkah kita berpikir
Seperti apa
Perasaan Tuhan ketika IA harus berkata, "Tidak!"
Seringkali kita menuduh IA jahat ketika
"TIDAK" keluar dari mulut-Nya.

Kita mencaci maki-Nya, kita mengatakan IA tidak peduli, IA tidak mengerti

Adakah hal yg lebih menyakitkan
Selain disalah mengerti oleh seorang yang anda kasihi?

Apa reaksi-Nya
Ketika kita mencaci-Nya, ketika kita menuduh-Nya
Adakah IA mencabut kesakitan kita
Supaya kita mengatakan IA BAIK?!
Adakah IA menurunkan standar rencana-Nya utk kita
Supaya kita berhenti menuduh-Nya?
Adakah IA berhenti memurnikan kita
Supaya kita memuji nama-Nya?!

Perlukah ALLAH menyogok kita utk berhenti menghujat DIA ?

Pernahkah kita mau membayangkan
Perasaan Tuhan ketika
Kita menjalani ujian-Nya
Siapa yang lebih sakit?
DIA
Karena Dia yang menanggung semua dosa dan kesalahan kita
Dia yang mengerti hati kita yang terdalam

"Tuhan, kalau Kau tidak mencabut rasa sakit ini, aku akan meninggalkan-MU"
"Tuhan, kalau Kau tidak mengembalikan ayahku, lebih baik aku mati"
"Tuhan, kalau Kau tidak menyembuhkanku, aku akan berhenti ke gereja"
"Tuhan, kalau Kau tidak mengizinkan aku dengan dia, lebih baik aku berhenti pelayanan"
"Tuhan, SAKIT……."
"Tuhan, tidakkah KAU mencintaiku ?”

Apa yang Ia lakukan
Ketika mendengar doa-doa yang penuh dengan ‘ancaman’
Apakah IA berbalik dan menuruti ancaman kita?
Apakah IA takut lalu memutuskan untuk mencabut semua rasa sakit?
Apakah IA berpikir, "Ya sudahlah karena AKU mengasihinya, biarkan saja"
Itukah KASIH ?

Kasih berkata tidak
Ketika Tuhan ingin memberikan yang lebih baik buat kita
Kasih berkata tidak
Ketika IA menghajar kita supaya kita berbalik
Kasih berkata tidak
Ketika IA tetap memukul kita, sekalipun kita menghujat DIA
Bukan karena IA jahat
Tapi karena IA ingin kita sempurna
Karena Ia mengasihi kita

Kasih tidak takut untuk dibenci
Kasih tidak takut untuk ditinggalkan
Kasih tidak takut untuk dihujat
Karena kasih sabar menanggung segala sesuatu
Kasih mengharapkan segala sesuatu
Kasih percaya segala sesuatu

Ia mengharapkan segala sesuatu
Ia berharap
Suatu hari nanti
Kita bisa menjadi anak-anak yang bisa Ia banggakan
Ia berani berharap karena
Ia percaya pada kita

IA percaya pada kita
Bahwa suatu hari nanti
Kita akan mengerti
Segala sesuatu yang terjadi
Hanya karena IA mengasihi kita

Ketika IA berkata
TIDAK
Dan Ia melihat kita menangis
Ia pun menanggis lebih keras daripada kita

***

Batavia, 29 Juni 2002

Special thx to JESUS, thx for saying NO!!
And also thx to pfk.
Terima kasih utk bersikap tegas.
Sekalipun itu menyakitkan.
I know that’s the best way for us.

**

Guys, baca yang foot note terakhir sih sekarang gue ketawa-ketawa. :p Tapi ketika gue nulis itu, hati gue hancur sehancurnya. En footnote itu sengaja ngga gue hapus, so that all of you can know, God really have wonderful plan for each of His children that loved Him. :)

Friday, September 21, 2018

Pembawa Damai



by Natalia Setiadi

Berbahagialah orang-orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
(Matius 5:9)

Pernah ga sih nyoba jadi pembawa damai?
Sering yah?
Susah ga?
Susaaaahhhhh yah?

-.-‘ Nenek-nenek juga tau...

Enak ga sih jadi pembawa damai?
Menurut saya, ga enak.
Ga enak banget malah.

Karena jadi pembawa damai itu bukan kaya di film Hollywood, di mana sang tokoh pembawa damai nan cantik rupawan dan wangi menebar senyum sambil ngomong hal-hal yg menyentuh hati dan mengena tepat ke sasaran, terus 2 pihak yang bertengkar/bertikai langsung “TING!” kayak ada lampu nyala di benaknya, sadar salahnya di mana, saling minta maaf, trus berpelukan dlm persahabatan/percintaan yang kembali akur dan penuh kasih.

Kalo gitu sih wuenaaak tenan, eke juga mao dong…! Langsung disebut anak Allah pula… *ngiler*

Tapi coba liat pemenang Nobel Perdamaian, Nelson Mandela. (Terpaksa pake contoh doi, gak tau lagi yang laen soalnya hihihi… *ketawa malu*) 

Berapa taon noh dia ngedekem di penjara? Puluhan taoonnn, sampe udah ubanan! Demi perdamaian antar kelompok etnis di Afrika Selatan. Orang-orang yang hidup di negeri yang sama, cari makan dari bagian bumi yang sama, yang herannya gak bisa akur. Yah sebenernya ga heran juga sih ya, wong zaman sekarang di mana-mana ada perang saudara. Yang lagi hot sekarang, Papua. Sekeluarga bisa musuhan gagara yang satu pengen merdeka, yang lain pengen ikut NKRI.

*Menghela napas*

Yang ada, dunia yang udah bobrok ini dipenuhi situasi sulit, jauh di luar zona nyaman. Kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Tekanan hidup. Amarah. Rasa tidak puas. And so on and so forth… 

Boro-boro pengen membawa damai, seringnya pengen memuntahkan angkara murka, semburin api dari mulut, asep dari telinga dan dari every possible lubang di kepala! HAR HAR!! 

(Eh jangan-jangan yang begini gue doang ya… Hadoh… menyebar aib sendiri di dunia maya… Wekekek… Yo wis lah, barangkali emang terpanggil utk ‘ngaku dosa’ secara terbuka, siapa tau ada orang yang bisa belajar dari kesalahanku).

Tapi justru dalam ketidak-idealan inilah Tuhan menyuruh kita jadi pembawa damai. (Kalo ideal mah gampang atuh…)

Emangnya Yesus ga tau, bahwa 2000 taon lebih setelah Dia naik ke surga, dunia bakal jadi kayak gini? Dengan segala intrik kebusukan dan manusia-manusia yang makin hari makin tambah ‘ajaib’ (in a REALLY bad way)? Tau lah yauw… 

Gimana ya caranya jadi pembawa damai?

Hm… terus terang saya juga kagak begitu tau… *gubrak*

Yang saya tau, saya sering jadi pemicu “ketidak-damaian” (nah ngaku dosa lagi, makin lama yang baca tambah seneng, soalnya makin banyak “dirty laundry” yang keluar wakakak…). Alias jadi pemicu yang bikin orang laen marah. Or bikin situasi jadi ga enak karena ngambek2 sendiri. 

So maybe salah satu cara yang gampang disadari (tapi sulit ditindaklanjuti) adalah:

// MENCOBA UNTUK TIDAK MENJADI PEMICU PERSELISIHAN

Belakangan ini saya ceritanya lagi nyoba untuk jadi orang yang lebih sabar nih. Bertaon-taon-taon berdoa, naga-naganya kagak ada kemajuan -.-‘ But of course itu tipuan iblis, sodara2 pembaca! Waktu saya bener-beneerrr perhatiin, ada juga loh, saat-saat di mana saya berhasil mengalahkan pitam yang mulai naik (hampir naik pitam maksudnya). 

Caranya?

Dengan buru-buru berdoa (singkat aja, ngomong ama Tuhan dlm ati doang, gak perlu pake posisi berlutut dan tangan dilipat menutup mata dll, weleh keburu pitamnya meledak kalo gitu mah…), and memaksa diri utk cari hal-hal yang bisa disyukuri dan membesar-besarkan hal itu. Kesannya jelek ya, membesar-besarkan. But it’s actually good, and sehat buat jiwa loh. Daripada membesar-besarkan masalah (yang sebenernya kecil, iblis noh yang ngomporin, gak kerasa ya? Kasian deh lu hehehe… becanda!), lebih baik membesar-besarkan berkat kan? 

Lah berkat itu emang besar-besar kok, wong kita ini pada dasarnya gak layak diberkatin. Kita sering MERASA BERHAK menerima segala yang baik dari Tuhan, padahal siapa sih kita ini? Cuma seonggok debu yang amat sangat dikasihi-Nya. Berkat dan segala yang baik dan mudah dan lancar yang kita terima dari Tuhan itu KARUNIA, bukan HAK.

Sebelom saya mulai ngalor ngidul, balik lagi yuk ke bagian pitam :)

Ternyata cara gitu berhasil loh, surprise surprise! 

Entah apa yang terjadi, yang jelas hati saya jadi adem gitu. Kagak damai sejahtera eforia, tapi calon angkara murka menguap menghilang. Sampe terkaget-kaget sendiri. Soalnya usaha bertaon-taon tuh bisa diitung jari deh buah kesabaran yang bisa saya liat. I rejoiced in that small victory. Sangat kecil, tapi tentu aja saya besar-besarkan (sampe jadi satu postingan blog huahahah). Buat reminder pribadi, sekalian nyemangatin utk terus berusaha. Saya rindu banget bisa punya “roh yang lemah lembut dan tenteram” (1 Petrus 3:4), meskipun temperamen saya sama sekali kagak lemah lembut, tapi rohnya bisa kok lemah lembut (semoga!).

So, semangat ya para pembaca sekalian!

Mari kita jadi pembawa-pembawa damainya Tuhan. Karena kita memang anak-anak-Nya.

Saya nulis begini bukan berarti saya udah jadi wanita penyabar, putri yang mulia, harum namanya (Kartini kali…). Simply saying that buat yang segahar saya pun masih ada harapan :) Tuhan sanggup!

Yang punya kiat laen utk jadi pembawa damai, saya pengeeenn banget dikasih tau, share ya… Siapa tau yang lagi pada galau bergumul bisa dapet pencerahan :)

Wednesday, September 19, 2018

Mengapa Tuhan Mengizinkan Penderitaan



by Grace Suryani Halim

Kenapa Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya mengalami penderitaan? Katanya anak Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, tapi kok menderita? Kenapa Tuhan ga kasih garansi bahwa semua orang yang percaya pada Tuhan Yesus tidak akan menderita lagi? Kan enak... 

The last 6 months are one of the hardest time in my life. Ever. Pergumulan datang silih berganti. I've seen death face to face few times. Dihimpit kanan kiri. Belum selesai, masalah baru sudah menanti. Dari gue yang tadinya selalu yakin dan tiap berdoa gue sering ngomong, "I know You, Lord. I know You are a good God," menjadi sampai di titik, "I don't know You anymore..." Semua masalah ini membuat gue jadi orang yang berbeda. Gue menghindari ketemu orang-orang, lebih pengen sendiri, ga terlalu pengen cerita-cerita (oh my, gue sendiri bingung kok gue ga kayak gue lagi). Yang biasanya ember, sekarang jadi keran. Rapet... Netes juga kagak. 


Di sisi lain, something amazing terjadi. Gue jadi peka—sangat peka dengan orang-orang lain yang sedang berduka. Di waktu yang hampir bersamaan, ada seorang rekan yang kehilangan anak dan papanya hanya dalam waktu 2 minggu. Ketika gue hubungin ybs dan bilang, "I'm so sorry for your loss. I'm praying for you," itu bukan kata-kata basa basi. I did pray like crazy for him. I can feel his pain. His loss. His suffering. 

Peristiwa itu membuat gue teringat kejadian sewaktu gue keguguran ampir 3 tahun lalu. Sebelum kejadian, ketika gue pergi check ke dokter kandungan, ada sepasang suami istri yang keluar dari ruang dokter sambil menangis. Respons pertama gue, "Waduh Tuhan, jangan sampeee gue kayak begituu..." 2-3 minggu kemudian, gue keluar flek-flek. Deg. I prayed like crazy, several sleepless nights. Ketika lagi nunggu dokter, ada seorang ibu lain yang begitu keluar lgsng didorong pake kursi roda dan dibawa ke ruang perawatan, she cried. Respons pertama gue, "Lord, please help her... Please take care of her baby. I hope she's okay. Please help her. Please..." 

3 minggu sebelumnya, gue ga peduli sama sekali dengan pasangan suami istri yg pertama. Gue cuman berdoa, jangaaann sampeee gue harus begitu. Did I care about them? Nope. I only cared about myself. Yang penting bayi gue ga kenapa-kenapa. Bayi orang laen, nasib dia lah. 3 minggu kemudian, gue bahkan ga sempet mikir semoga bayi gue ga kenapa-kenapa (waktu itu belon tau kalo keguguran, baru ada flek-flek). Gue bener-bener berharap she's okay dan bayinya juga baik-baik saja. Apa yang membuat gue yang tadinya yang punya mental, gue ga peduli bayi laen gimana yang penting bayi gue ga kenapa-kenapa, menjadi otomatis (sekali lagi OTOMATIS) mikirin bayi orang lain juga? Penderitaan. Suffering. 
Penderitaan itu mengubah engkau. Penderitaan menghancurkan ego. Meremukkan kesombongan. Menghilangkan self-righteous. Penderitaan itu membuat lubang di hatimu, sehingga ada tempat untuk orang lain di sana... Penderitaan membuat kita sadar, betapa rapuhnya hidup ini. Ya, jika boleh merumuskan apa itu penderitaan, buat gue penderitaan itu membuat lubang besar di hatimu, sehingga ada tempat untuk orang-orang lain di sana dan ada lebih banyak tempat untuk Yesus. Hatimu tak lagi penuh dengan SAYA, SAYA, dan SAYA.
Mungkin itu sebabnya Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya tetap mengalami penderitaan di dunia ini. Supaya mereka tetap in-touch with reality. Mereka bisa berempati dengan dunia yang terluka. Mereka bisa menangis dengan jiwa-jiwa yang menderita. Mereka bisa mengerti bahasa tetesan air mata. Orang-orang yang pernah mengalami luka yang sama, bisa berkomunikasi dengan kedalaman yang hanya bisa dimengerti oleh yang pernah terluka. 

Bayangkan jika semua anak Tuhan kebal terhadap penderitaan, bagaimana kita bisa mengerti raungan orang-orang yang terpinggirkan di ujung sana? Bagaimana kita bisa menjadi saksi Kristus yang efektif juga kita tidak benar-benar bisa peduli? Bagaimana kita bisa peduli jika kita tidak pernah mengalami? Bagaimana kita bisa mencerminkan Allah yang peduli kepada dunia, jika kita hidup di dalam rumah kaca yang steril terhadap penderitaan? Itu bukan cerminan Yesus. Yesus justru keluar dari 'rumah kaca' untuk masuk ke dalam penderitaan! Karena itu mensetrilkan anak-anak-Nya dari penderitaan justru mengingkari teladan Yesus Kristus, Tuhan kita. 

Beberapa teman-teman baik gue yang sangat gue kagumi karena mereka orang-orang yang sangat considerate, sangat bisa menguatkan org, pandai memilih kata-kata yang membangun, tulus, orang-orang yang sangat optimistik justru adalah orang-orang yang sudah banyak mengalami ups and downs dalam hidup mereka. Mereka orang-orang yang membuat banyak orang nyaman dengan mereka. Sekarang baru gue ngeh kenapa... Itu bukan karena they had a good upbringing, atau mereka pintar. Bukan. Mereka orang-orang yang sering digodok dalam kesukaran, tapi mereka tidak menjadi pahit. 

Buat teman-teman yang juga sedang dirundung masalah, yang merasa tertekan, izinkan gue share ayat favorit gue di masa-masa ini, 

"Buatlah kami bersukacita seimbang dengan hari-hari Engkau menindas kami, seimbang dengan tahun-tahun kami mengalami celaka."
(Mazmur 90:15)

Ayat barusan gue ketik di luar kepala. Karena ini ayat yang jadi pegangan gue di hari-hari ini. Ini ayat yang gue dapet sewaktu gue masih kuliah di China. Pertama kali baca ayat itu gue ngerasa lega. AKHIRNYA... Ada ayat yang mengakui bahwa terkadang Tuhan menindas umat-Nya. Instead of saying, "Everything will be okay, just trust Him," penulis Mazmur ini berani berkata dengan lantang, “Tuhan, Kau menindasku!” Oh Tuhan, tolong jangan cuman tindas gue, buatlah juga gue bersuka cita seimbang dengan hari-hari gue mengalami sengsara. Ayat ini nancep, karena ini ayat yang jujur. Ga muna. Ga sok beriman. Dan ini ayat yang ditulis oleh orang yang dirundung duka. Orang yang mengalami celaka. Tapi ia tahu, ia berani meminta Tuhan, buatlah gue bersukacita seimbang dengan hari-hari gue mengalami celaka. Ini ayat yang mengandung pengharapan. Pengharapan bahwa di depan akan ada 'payback time from God'. Akan ada hari-hari dimana Tuhan membuat kita bersukacita. Dan tidak hanya sekedar bersukacita, tapi Ia akan membuat gue bersukacita SEIMBANG bahkan lebih dari bulan-bulan gue mengalami celaka.

Dan ayat kedua,

"I will see the goodness of the Lord in the land of the living."
(Psalm 27:13)

Kalo lagi menderita emank paling enak baca Mazmur. Ini ayat sebenernya juga agak 'kurang ajar' sih. Pede banget si Daud, berani bilang dia bakal liat the goodness of the Lord selama dia masih hidup. Kok dia yakin? Siapa tahu Tuhan mau kasih berkatnya setelah dia mati? Ga ada yang tau kan? Ini yang dipelajarin dari para pemazmur. Mereka orang-orang yang jujur. Ga ada basa-basi. Jujur dengan kesedihan mereka, dengan ketakutan mereka, dengan rasa frustasi mereka, dengan kemarahan mereka. But they're also very bold. Mereka berani meminta. Bukan sekedar doa, "Terserah Tuhan... Tuhan tau yang terbaik. Keliatan beriman, tapi kadang itu lahir dari ketakutan. Iya kalo dikasih... Kalo Tuhan ga kasih gimana? Terserah Tuhan aja dah. Main aman. Pemazmur tidak seperti itu. Ia meminta apa yang ia percaya. Ia percaya hal-hal yang besar. Dan mereka percaya, Tuhan itu Tuhan yang baik. Tuhan yang tidak marah ketika anak-anak-Nya meminta. Dan gue bersyukur gue punya Tuhan yang sama dengan mereka. :) 

*** 

God, I know You’re too wise to be mistaken.

Monday, September 17, 2018

As Sweet As Honeycomb


by Leticia Seviraneta

Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati
dan obat bagi tulang-tulang.
(Amsal 16:24 / TB)

Perkataan ibarat sebuah lift. Ia dapat membawa orang-orang di dalamnya ke atas maupun ke bawah. Perkataan dapat dipakai untuk membangun, namun juga dapat dipakai untuk menjatuhkan. Perkataan dapat dipakai untuk mendatangkan penghiburan, namun juga dapat dipakai untuk menyakiti. Yakobus menuliskan bahwa lidah, anggota kecil dalam tubuh, seperti kemudi yang mengendalikan seluruh badan kapal yang besar. Lidah pun dapat diibaratkan seperti api kecil yang dapat membakar hutan yang besar.

Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi. Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. 
(Yakobus 3:4-5 / TB)

Perkataan kita menciptakan dunia kita. Perkataan kita mengarahkan kehidupan kita ke arah yang lebih baik maupun buruk. 

Seorang yang dapat mengendalikan perkataannya adalah orang yang dapat juga mengendalikan hidupnya (Yak 3:2). Ia seperti memegang tombol lift dan dengan sengaja dapat mengambil keputusan ke mana lift itu akan pergi, ke atas maupun ke bawah. Selama masih di bumi ini, kita memang memiliki kelemahan di area mengendalikan perkataan, namun kita dapat bertumbuh semakin dewasa di area ini. 

Sebagai seorang wanita Allah, sadar atau tidak, perkataan kita memiliki kuasa yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan di sekitar kita. Perkataan kita sebagai seorang istri dapat menentukan mood suami kita sepanjang hari. Perkataan kita sebagai seorang ibu dapat memberikan kepercayaan diri kepada anak-anak. Perkataan kita sebagai seorang teman dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam hidupnya. Ketika kita memutuskan untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan Yesus, Roh Kudus tinggal di dalam kita menjadi mata air kehidupan yang memancar dari dalam ke luar kehidupan kita. Satu mata air Roh Kudus tidaklah layak bila mengeluarkan air tawar sekaligus air pahit. Kita tidak dapat menggunakan mulut kita untuk memuji Tuhan setiap hari Minggu, namun menggunakan mulut kita untuk berbohong dan bergosip dari hari Senin sampai Sabtu. 

Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.
(Yak 3:9-12 / TB)

Dengan kuasa Roh Kudus, kita dimampukan untuk dapat berkata-kata dengan baik di setiap kesempatan. Ini adalah sebuah kebiasaan yang perlu kita bangun dan latih setiap hari. Di sepanjang perjalanan mungkin akan ada kalanya kita terbawa emosi dan mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak baik, namun kita pun dapat meminta maaf terhadap orang yang kita sakiti. Bertutur kata yang membangun senantiasa adalah sebuah pilihan yang harus kita buat terus-menerus. Untuk membangun kebiasaan mengambil keputusan yang tepat dalam bertutur kata, ada satu prinsip yang dapat kita terapkan, yaitu prinsip output akan sangat ditentukan oleh input.

Di dalam Matius 15, orang Farisi yang mencemooh murid-murid-Nya karena mereka tidak membasuh tangan sebelum makan. Yesus kemudian menegur mereka karena melanggar perintah Allah demi melakukan adat istiadat nenek moyangnya. Orang Farisi pandai dalam memenuhi semua ritual keagamaan dan peraturan-peraturan yang dibuat manusia, namun hati mereka jauh dari Allah. 

Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang."
(Mat 15:10-11 / TB)

Yesus menekankan bahwa bukan makanan fisik yang masuk ke dalam mulut kita yang membuat kita menjadi tidak kudus, melainkan perkataan yang keluar dari mulut kita, itulah yang dapat membuat kita menjadi tidak kudus.

Perkataan itu merupakan output atau produk dari apa yang kita pikirkan. Dan pikiran kita sendiri adalah output dari setiap stimuli yang kita terima di sekitar kita. Stimuli ini dapat berupa perkataan yang kita dengar, film yang kita tonton, buku yang kita baca, games yang kita mainkan, dst. Stimuli ini memasukkan nilai-nilai ke dalam pikiran kita. Secara otomatis, otak kita dapat terbawa meresponi stimuli tersebut dan dapat membuat kita memikirkan hal-hal tersebut. Itulah mengapa prinsip paling utama untuk membangun kebiasaan berkata-kata yang benar adalah juga membangun kebiasaan berpikir yang benar. Setiap pikiran yang tidak kudus dan tidak berkenan kepada Allah harus kita singkirkan. Lalu setiap stimuli yang kita terima setiap harinya pun harus kita filter agar tidak membuat kita berpikir yang buruk.

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
(Filipi 4:8 / TB)

Akan menjadi sangat sulit untuk membangun kebiasaan berkata-kata yang baik apabila kita senantiasa bergaul dengan orang yang suka berkata kasar atau yang suka marah-marah. Akan menjadi sulit untuk berkata-kata membangun bila kita senantiasa mendengarkan perkataan yang menjatuhkan, menghina, dan bergosip setiap harinya. Akan menjadi sulit untuk memiliki pikiran yang jernih bila kita menonton film berjam-jam yang banyak adegan kasar dan perkataan yang buruk. Jadi kita harus bijaksana dalam mengatur intensitas dikelilingi oleh hal-hal yang tidak akan mendukung perkembangan kita dalam membangun kebiasaan berkata-kata baik. Kita perlu lebih banyak menghabiskan waktu kita membaca artikel atau buku yang membangun, menonton film yang mengajarkan nilai-nilai yang baik, serta terutama merenungkan Firman Tuhan. 
“Kamu cantik sekali hari ini.”
“Kamu pasti bisa melakukannya.”
“Saya menyukai seleramu berpakaian.”
Kita semua senang bila mendengar seorang berkata yang menyenangkan tentang kita. Perkataan yang manis selayaknya sarang madu yang dapat membuat hari-hari yang pahit pun menjadi lebih manis. Ia dapat menyejukkan jiwa dan membawa kesembuhan dari penyakit sekalipun. Namun perkataan yang manis bukanlah hanya berbicara tentang pilihan kata yang dipakai, namun juga intonasi dalam mengucapkannya. Nada Do = C dengan Do = A akan sangat berbeda dampaknya bagi orang yang mendengar meskipun kata-katanya sebenarnya netral. Intonasi sangat krusial terlebih lagi di situasi perdebatan yang memanas. 

Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.
(Amsal 15:1 / TB)

Ingatlah bahwa semakin keras intonasi lawan bicara kita, intonasi kita harus semakin lembut. Kelembutan itu akan meredakan kemarahan, ibarat air dingin memadamkan api yang sedang membara. Penghalang kita untuk melembutkan suara biasanya adalah pemikiran yang keliru. Kita seringkali menganggap bahwa semakin besar dan semakin tinggi intonasi kita, maka kita akan semakin didengar. Hal ini salah besar. Semakin bising suara, kita justru semakin ingin menutup telinga dan meninggalkan lawan bicara sejauh mungkin. Kita tidak tertarik mendengar isi perkataannya lagi karena kita sudah terganggu dengan caranya menyampaikan pesan. Bandingkan dengan seorang yang sedang berbisik kepada kita. Kita akan secara refleks mencondongkan telinga atau badan kita kepadanya dan menaruh perhatian lebih besar untuk mendengarkan isi perkataannya. Penghalang lain biasanya juga adalah rasa gengsi dan tidak mau kalah. Kita tidak mau dianggap lemah dan kalah dalam perdebatan. Kita seperti terbawa untuk membalas setiap perkataan agar ‘memenangkan’ argumen tersebut. Namun kasih sejati sesungguhnya tidak mengenal gengsi. Apalah artinya memenangkan sebuah argumen namun kehilangan hubungan dengan orang tersebut? Bila kita renungkan dengan sesama, yang diperdebatkan sama sekali tidak sepadan bobotnya dengan hubungan antar manusia.

Banyak yang berdalih bahwa kehidupan yang keras menjadikan dirinya berkata-kata kasar. Namun, daripada kita disetir oleh kehidupan, marilah kita ambil alih kemudi kehidupan kita. Bila kita menginginkan kehidupan yang manis, maka kita perlu mengubah haluan kemudi perkataan kita menjadi bertutur kata yang manis. Perkataanmu menciptakan duniamu. Bila ingin mengubah duniamu, ubahlah perkataanmu. 

Friday, September 14, 2018

Melakukan Tugas dan Peran dengan Baik



by Alphaomega Pulcherima Rambang

 “Aarrrrgggghhhhh.......!!!!!!!!!!!!!!”, pagi-pagi dah esmosi aku rasanya. Gimana gak esmosi, ruangan kami gak bisa dibuka, gara-gara PENJAGA MALAM di kantor ga membuka ruangan.  Gak dikasi tahu apa dia, kalo dia juga bertugas membuka ruangan?? Haissss...

Juengkeellleee... Pollll!!! Pengen balik kanan bubar jalan aja ke rumah, pulang! Haissss... Ditelepon tu penjaga malam, eh ga diangkat-angkat pulak *darah naek ke ubun-ubun*. Entah napa di beberapa ruangan ternyata bisa dibuka paksa, tapi beberapa yang lain gak bisa *tambah bete*

Menelepon cleaning service yang SEHARUSNYA juga punya kunci semua ruangan, eh... Dia bilang gak punya kunci (dan gak berapa lama aku tahu kalo dia BOONG, ditanyain kawan yang minta dengan nada memerintah, eh dia baru ke kantor).

Di tengah kekacauan , kebetean dan kegalauan ini (haissss... Lebaaayyyy), tiba-tiba sekretaris kami memintaku menyapu halaman kantor gara-gara TUKANG KEBUN kami gak melaksanakan perintah kepala dinas untuk menyapu tu halaman. ASLI! Aku langsung manyun, moment-nya gak pas bo! Orang lagi terbakar amarah bin bete (sampai hampir hangus gini) ehhhh... Malah disuruh nyapu gitu.  Hellooowwww......!!! Aku gak suka memilih pekerjaan, tapi aku bener-bener gak mood. TAPIIIII... Berhubung sekretaris kami gak cuman nyuruh, tapi dia juga dah duluan kasih teladan dan nyapu-nyapu, yeaahhhhh... Aku jadi gak enak sendiri buat nolak. Aku nyapu dah T_T

Singkat cerita, pintu-pintu ruangan terbuka setelah Kasubag TU datang, dia juga punya kunci serep se-kantoran. Akhirnya, setelah 1.5 jam menunggu, tu pintu terbuka. Serius, ini seperti 1.5 jam terlama dalam hidupku, menunggu pintu ruangan ini terbuka aja berasa luamaaaaa buanget! Mungkin karena aku menunggunya pake acara kesel dan gak tenang gitu ya, jadi bawaannya mau meledak aja, haissss! Cuma 1.5 jam dan buanyak buanget pelajaran yang aku ambil, yang aku dapat.

Oke, ini pelajaran yang mau aku bagikan:

// SETIAP ORANG PUNYA PERAN MASING-MASING DI DALAM KEHIDUPAN

Setiap kita punya tugas yang harus dijalankan, dan kalo kita gak menjalankan tugas kita, maka akan terjadi kekacauan! Apapun peran yang TUHAN percayakan pada kita, lakukanlah tugas dan fungsi yang menyertainya dengan baik, jangan mengabaikannya, atau jangan pula mengambil peran lain, ntar pasti KACAU!

Renungkan sejenak...

Apa peranmu sekarang?
Di kantor?
Di gereja?
Dalam pelayanan?
Dalam keluarga?
Dalam masyarakat?
Dalam tubuh Kristus?

Jika di kantor kita adalah penjaga malam, jadilah penjaga malam yang baik, jangan coba menjadi kepala dinas, ntar KACAU. Jika kita adalah staf, jangan melangkahi atasanmu, jangan melakukan tugas tanpa mandat darinya, bisa saja tugas itu gak akan dapat kau selesaikan karena memang kau belum diperlengkapi untuk tugas itu, atau bisa pula atasanmu merasa dilangkahi. Jika kau kepala dinas dan mencoba mengambil alih tugas tukang kebun, waaaa... Keenakan tukang kebunnya dong, dia gak akan pernah sadar tugasnya, kalo Cuma sekali atau dua kali kekacauan mungkin gak akan terjadi, tapi kalo terus-terusan. Alamakkkkk, mana sanggup, sedangkan kepala dinas punya tugasnya sendiri. Jika kau punya tugas tertentu dan tiba-tiba tugas orang lain dilimpahi semua samamu, again... KEKACAUAN terjadi, yang ada adalah beban kerja tiap orang berbeda sehingga timbul rasa iri, dannnnn... Kamu pasti keteteran! KACAU kan?

Jika di rumah kamu adalah seorang istri, jangan coba-coba mengambil tugas sang suami. Aku melihat terlalu banyak istri-istri yang gak sabaran terhadap suaminya, sehingga mulai mengambil tanggung jawab sang suami. Waspadalah! Ini akan mengacaukan keluarga. Dan suami-suami, plis kerjakan tanggung jawabmu, jadilah suami yang dapat dipercaya dan diandalkan, sehingga para istri tidak perlu mengencangkan otot-ototnya dan mulai mencerewetimu. Jika kita adalah seorang anak, belajarlah taat dan tunduk pada orang tuamu, hormatilah mereka sebagai orang-orang yang telah dipercayai Tuhan untuk menjadi wakilnya di bumi menjagamu. Banyak orang tua yang mencoba menjadikan anaknya sahabatnya, tapi tidak menjadi orang tuanya, owww... Jangan pernah lupa, anak-anak memerlukan orang tua, sesekali bersikap tegas gak akan merusak anak-anak, malahan akan membuat anak belajar menghormati orang-orang yang memang layak dihormati.

Bayangkan bagaimana kalo setiap orang dengan perannya yang khusus itu mogok kerja, males kerja, atau mengabaikan pekerjaannya. Kekacauan macam apa yang akan terjadi? Buanyak buanget lah ya kekacauan. (At least, kekacauan emosi kayak yang aku alami, hahahaha ^^V)

Ada kemarahan dan rasa frustasi.
Ada tugas  yang terbaikan.
Ada tugas yang gak terselesaikan.
Ada kerja paksa.
Ada yang merasa terluka.
Ada yang kelelahan.
ADA PERPECAHAN.
PERPECAHAN Meg? Gak berlebihan kamu?
Ehhh... Gak percaya? Beneran ini!

Di kantor aja berasa gak enak suasananya, karena banyak mereka yang gak mengerjakan tugasnya, akibatnya antara satu dan yang lain seperti ada bom waktu yang akan meledak, gak ada kesatuan! Apalagi dalam keluarga, pasti lebih berasa lagi... Banyak anggota, tetapi satu tubuh. Itu baru contoh sehari-hari yang memang kita alami dan lihat. Apalagi di dalam tubuh Kristus... Jadi ingat ayat ini:

"Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus."
(Korintus 12:12)

Setiap kita, anggota tubuh Kristus memiliki fungsi masing-masing, punya peran masing-masing, dan saat kita gak menjalankan peran itu dengan benar, kekacauan terjadi. Setiap orang percaya telah diperlengkapi dengan karunianya masing-masing untuk mengerjakan tugasnya sebagai anggota tubuh Kristus.

"Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya."
(1 Kor 12:9)

Jika kita menyadari peran kita di dalam tubuh Kristus, jangan pernah mengabaikan tugas kita! Kita gak tahu apa yang kita lewatkan saat kita memilih untuk diam dan gak melakukan tugas kita, kita akan kehilangan sukacita yang turut bekerja untuk kemuliaanNya! Mengetahui kita merupakan bagian dalam rencana besar Tuhan merupakan hal yang baik, tapi ambil bagian di dalamnya, wowwww... Itu luar biasa. Mengetahui bagaimana Allah menggunakan kita, melihat tangan-Nya memproses kita, itu SESUATU banget looo...

Mungkin kita protes kenapa TUHAN memberikan kita peran seperti ini atau seperti itu, well... Believe me! Dia gak pernah salah. Dia mengenal kita, Dia tahu siapa kita. Saat kita diserahi tugas dan tanggung jawab tertentu, jangan lari... Rugiiii!! Kita kehilangan berkat yang telah disediakan-Nya bagi kita melalui peran tersebut.

Jangan pernah iri dengan peranan orang lain, lalu mencoba melakukan peran orang lain. Well, mungkin saja kita bisa melakukannya dengan baik, tapi kita gak akan maksimal sesuai rencana Tuhan. Bayangkan deh kaki yang mencoba melakukan pekerjaan tangan, dengan buanyak latihan dan kerja keras, aku yakin pasti bisa, tapi hasilnya gak akan semaksimal kalo dia mengerjakan sesuai tugasnya. Selain itu, ntar tangan jadi nganggur dong, hahahahahaa ^^V

Aih, semakin kacau saja tulisan ini. Baiklah, aku akhiri saja, hahahahaha.
Intinya, mari kita melakukan tugas dan peran kita dengan penuh tanggung jawab supaya kekacauan tidak terjadi ^^

Wednesday, September 12, 2018

How to be Kind


by Leticia Seviraneta

Kita telah belajar bahwa kebaikan merupakan tindakan nyata yang baik dan dapat dirasakan oleh orang lain. Kebaikan secara mutlak membutuhkan subjek penerima. Kebaikan dirasakan melalui bagaimana cara kita memperlakukan sesama manusia: Apakah kita menghargai mereka? Apakah kita memandang mereka dengan hormat? Apakah kita mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama? Mungkin sebagian kita merasa ‘jleb’ karena banyak yang tersentil ternyata kita selama ini belum sebaik standar yang Tuhan inginkan. Hey, it’s okay! Dengan menyadarinya sekarang, kita memiliki ruang untuk bertumbuh dan berkembang lebih baik lagi. Yuk kita gali lebih dalam lagi tentang bagaimana caranya untuk menjadi baik.

1. Andalkan Tuhan sebagai sumber dan role model kebaikan

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak akan berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”
(Yoh. 15:7)

Pernahkah teman-teman melihat sebuah ranting yang berkeringat susah payah untuk menghasilkan buah? Hal ini terdengar konyol bukan? Sebuah ranting berbuah dengan sendirinya secara alami selama ia terhubung dengan baik dengan batang pohon, akar-akar, serta tanah yang subur. Selama ia terhubung dengan sumbernya tersebut, ranting tersebut secara pasti dan berkelanjutan akan menerima nutrisi yang dibutuhkan untuk berbuah. Demikian juga halnya dengan kita. Kita perlu untuk selalu terhubung dengan Yesus melalui hubungan yang intim, solid, dan teratur. Kita perlu berdiam dalam kekaguman akan kebaikan dan karya-karya-Nya di bumi ini untuk mendapat asupan nutrisi bagi roh dan jiwa kita. Selama kita terhubung, kita akan peka mendengar suara-Nya. Ia akan menunjukkan bagaimana kita harus bersikap kepada sesama. Lalu yang perlu kita lakukan adalah menaati arahan Roh Kudus tersebut. Apakah ia meminta kita untuk menolong orang yang tidak kita kenal yang sedang kesulitan di depan mata? Lakukanlah. Apakah ia meminta kita untuk tidak tersinggung dan melepas pengampunan pada orang yang berkata kasar kepada kita? Lakukanlah. Bila kita dapati diri kita sedang berlaku tidak baik kepada sesama, cobalah cek dan tanya diri kita kembali, “Bagaimana hubunganku dengan Yesus belakangan ini?” Bila kita sadari bahwa hubungan kita sudah mulai kendor, kita malas berdoa dan membaca Fiman-Nya, segeralah bangkit dan bangun kembali hubungan dengan-Nya.

2. Latihlah kebiasaan untuk berkata-kata yang baik dan membangun saja 

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”
(Efesus 4:29)

Sadar atau tidak, kata-kata seseorang menunjukkan keadaan hati orang tersebut yang sesungguhnya. Tidak ada istilah, “Ah dia kata-katanya memang pedes, tetapi dia orangnya mah baik.” Karena Matius 5:18 menyatakan, “Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati, dan itulah yang menajiskan orang.” Menurut Amsal 31, wanita bijak akan bertutur kata dengan lemah lembut dan penuh hikmat. 

“She opens her mouth with wisdom, and the teaching of kindness is on her tongue.”
(Proverbs 31:26 / ESV)

“When she speaks she has something worthwhile to say, and she always says it kindly.”
(Proverbs 31:26 / MSG)

Melalui ayat ini, kita diajar untuk menyaring kata-kata yang akan kita keluarkan sebelum membuka mulut kita. Apakah perkataanku ini baik? Apakah perkataanku ini membangun? Apakah perkataanku ini dapat menyakiti lawan bicaraku? Menarik bahwa di versi terjemahan The Message, dikatakan bila ia memiliki sesuatu yang layak untuk dibicarakan, ia selalu memperkatakannya dengan lembut. Jadi saringan tambahan sebelum kita mengucapkan sesuatu adalah apakah hal ini berharga untuk diucapkan? Bagaimana sebaiknya kita menyampaikannya? Bila perkataan yang akan kita ucapkan tidak lolos semua screening sebelumnya, lebih baik kita tidak membuka mulut kita. Terutama di saat kita sedang emosi dan marah, tidak akan ada hal baik yang dapat keluar dari mulut kita. Di saat-saat seperti itulah kita harus dapat menahan diri untuk tidak berbicara. 

3. Bersikaplah ramah kepada orang yang dipandang lebih rendah 

“Dan Raja itu akan menjawab kepada mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
(Mat. 25:40)

Ada sebuah ungkapan populer di dunia psikologi untuk menilai kepribadian seseorang: “Bila engkau ingin mengenal karakter sesungguhnya seseorang, lihatlah dari cara mereka memperlakukan pelayan restoran.” Ya, pelayan restoran merupakan orang yang mudah dijumpai di sekitar kita, yang sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari konsumennya. Banyak yang ketika memesan tidak memandang mata si pelayan, tidak mendengarkan ketika pelayan tersebut mengulang pesanan makanan kita, dan mengomeli pelayan ketika makanan lama disuguhkan, terlebih lagi bila pesanan yang diantarkan salah. Hal-hal kecil dalam memperlakukan orang-orang yang secara jabatan maupun status sosial dipandang rendah merefleksikan betul apakah seseorang baik atau tidak. Yesus senantiasa mengajarkan bahwa setiap tindakan yang kita lakukan bagi orang-orang yang dipandang hina atau rendah bagi kebanyakan orang, kita lakukan bagi-Nya. Kita mungkin selama ini tidak sadar bahwa hal-hal yang terlihat kecil seperti ini berarti bagi-Nya. Oleh karenanya, mulailah belajar bersikap ramah dan menghargai keberadaan siapa pun tanpa merendahkan pekerjaan dan status sosialnya. Mulailah buat eye contact dan menyimak perkataan orang lain seperti itu penting bagi kita. Mulailah memperhatikan kebutuhan orang sekitar dan sedapat mungkin bantulah yang mengalami kesulitan.

4. Mudahlah mengampuni dan tidak menyimpan kesalahan orang lain 

“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
(Efesus 4:31-32)

Sebuah hubungan persahabatan, terlepas dari berapa lama pun terjalin, akan berakhir ketika ada salah satu atau pun kedua pihak yang mengingat-ingat kesalahan temannya dan memutuskan untuk tidak mengampuni. Ketika kita tidak mengampuni, kita sedang berlaku tidak baik kepada sesama kita (baik secara langsung maupun tidak). Keengganan untuk mengampuni akan menjadi tembok dalam hubungan tersebut, yang menyulitkan kita untuk bersikap ramah dan berbuat baik kepada orang tersebut. Banyak dari orang Kristen bersikap tidak ramah karena berakar dari tidak mengampuni ini. Sikap tidak ramah tersebut akan terlampiaskan ke siapa saja, termasuk kepada orang yang tidak bersalah kepadanya. Jadi, cara untuk mempraktikkan kebaikan secara konstan adalah juga dengan memperbesar kapasitas hati kita untuk tidak mudah sakit hati, tidak mudah tersinggung, dan murah untuk melepaskan pengampunan.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.”
(Efesus 4:26)

5. Kembangkanlah kebiasaan suka memberi 

“A generous person will prosper; whoever refreshes others will be refreshed.”
(Proverbs 11:25 / NIV)

Kebaikan selalu berjalan berdampingan dengan tindakan memberi. Memberi waktu, perhatian, kesabaran untuk mendengarkan, uang, memberi pengetahuan, dsb merupakan manifestasi dari kebaikan. Kita secara natural tidak terbiasa untuk memberi, karena manusia secara daging merasa lebih nyaman menerima daripada memberi. Memberi terkadang membutuhkan harga yang harus dibayar dan pengorbanan dari pihak si pemberi. Untuk dapat melatih kebiasaan memberi kita harus percaya bahwa berkat Tuhan cukup bagi kita, dan mengerti bahwa tujuan kita diberkati adalah untuk memberkati orang lain. Mulailah dari memberikan sesuatu yang kecil, baru perlahan-lahan memberikan sesuatu yang semakin berharga bagi kita. Memberi bukan hanya sekedar tindakan kebaikan yang nyata, namun juga merupakan tindakan yang mengungkapan rasa syukur kita atas pemberian Tuhan, dan tanda rasa percaya bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita kekurangan. 

“Tidak ada satu pun tindakan kebaikan yang sia-sia”
- Unknown

Monday, September 10, 2018

Kindness


by Lia Stoltzfus

“Rafa, come... I can read the book for you. Let mama rest...” 

Demikian kata si sulung yang menawarkan diri untuk membantu ketika adiknya meminta mama membacakan buku. Anak berusia 6 tahun. Hati saya tersentuh oleh kepeduliannya. Ya, gantian saya yang sakit setelah dua minggu merawat keempat anak saya yang bergantian sakit. Saya pun demam dan sakit kepala karena kurang tidur berhari-hari mengurus anak-anak yang sakit. Tapi si sulung sudah lebih baik, dan malam itu dia menulis catatan ini. 

“Thank you for being a kind mama.” 
What a gratitude, what an appreciation, what a title I love to get. “A kind mama.” 

Saya merenung. Showing kindness, loving my children, sacrificing for them… Those things did NOT come naturally for me. Waktu mereka masih bayi, sepertinya iya. Secara natural saya mau melakukan apa saja untuk mereka. Rela deh, mau bangun tengah malem berapa kali buat nenenin juga oke, mau ribet masak ini itu untuk MPASI anak juga ayo, mau bikin aktivitas ini itu untuk stimulasi anak juga diladenin. But as they grow, saya berhadapan dengan ketidaktaatan, kerewelan, bad attitude, dan juga serangkaian tingkah laku mereka yang tidak menyenangkan. Saya pun capek. Come on, that is realitanya kan… Babies are cute, so easy for us to forgive. They kick us tanpa sengaja, kepala nyundul kena bibir sampe jontor dan berdarah, gak mungkin kan kita pukul atau marahi dengan bilang, “Hati-hati dong kamu, gak bisa diem amat!” Tapi gimana kalo anak umur 4 tahun yang kayak gitu? Yang sudah beberapa kali kita peringatkan untuk gak salto atau menari-nari di ranjang deket mama yang lagi sibuk maen hp? (Ups?) 

A kind mama 
adalah seorang mama yang murah hati, penuh kasih, lembut, punya kehendak baik, memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri. 

A kind mama 
adalah seorang yang generously forgive ketika si anak mengucapkan kata-kata yang bikin kesal atau sedih, tidak menghargai segala usaha yang kita lakukan untuk memberi yang terbaik.

A kind mama 
adalah seorang yang menahan lidahnya, mengigit bibirnya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan atau melukai, yang memilih diam dan tidak marah-marah, tidak mengecam, menghakimi dan melakukan manipulasi emosional. 

Kindness: 
benevolence, humanity, generosity, charity, sympathy, compassion, tenderness, goodwill.

(Kebaikan: kebajikan, rasa kemanusiaan, kemurahan hati, kasih, simpati, belas kasihan, kelembutan, niat baik.)

Sejujurnya, saya masih sangat jauh dari definisi itu semua. Tapi saya sedang terus belajar mengembangkan karakter tersebut. Kindness adalah karakter yang bisa kita latih kembangkan, serta merupakan buah Roh, hasil persekutuan kita dengan Tuhan. 

Tetapi buah Roh adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri.
(Galatia 5:22-23)

Kebaikan juga adalah kebiasaan yang bisa kita latih tiap hari. Setiap hari kita punya kesempatan untuk memilih bersikap baik, bukannya cuek atau malah kasar. 

Yang jadi pertanyaan besar adalah bagaimana kita bisa exercising God’s kindness to others? 
1) Start with your home 
Buat yang single, be kind to your parents and siblings, lakukan hal yang baik bagi orang-orang di sekitarmu. Contohnya: 
  • Inisiatif membantu mama mengerjakan pekerjaan rumah. “Ma, aku bantu cuci piring ya. Mama istirahat deh.” 
  • Membelikan ART makanan kesukaannya. “Mbak, saya beliin somay buat kamu nih... Saya liat tukang somay lagi nongkrong pas jalan pulang, inget kamu suka ini.” 
  • Merapikan kamar adik laki-lakimu yang super berantakan dan tulis note kecil, “Kamar rapi, bersih dan nyaman bikin suasana hati senang dan konsen belajar. Semangat yah dek belajar untuk ujiannya.” 
  • Bikinin papi teh hangat jahe ketika papi pulang kantor hujan-hujanan. 
  • Ajak oma jalan-jalan di taman, dorong kursi rodanya, sepanjang jalan ajakin oma ngobrol. 

Buat yang sudah menikah, lakukan itu untuk suami dan anak-anakmu, juga ART atau mertua yang tinggal di rumahmu. 
  • Ketika terjadi konflik dengan suami, jaga nada suara agar tidak jadi kurang ajar, terutama ketika mengemukakan ketidaksetujuan atau perbedaan pendapat. 
  • Tahan lidah, gigit bibir untuk gak “nyaut”, untuk berhenti ngoceh-ngoceh atau ngedumel. Kalo emang anak salah, yah cukup ditegur tapi tidak perlu panjang-panjang dan berlarut-larut (emangnya seminar). 
  • Memaafkan mertua atau ipar yang tinggal serumah apabila ada kata-kata mereka yang cukup “nyelekit”. 
  • Be kind to the children saat mereka menolak makan dan bilang, “Gak enak! Aku gak suka ini. Kenapa kita gak makan di luar aja?” Jaga kata-kata agar tetap baik, tidak jadi tajam dan menyakitkan. 
  • Memuji anak untuk apa yang mereka buat. Bilang terima kasih kepada suami ketika suami membantu mengerjakan pekerjaan rumah. 

2) Proaktif untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain 
Cari kesempatan untuk melakukan kebaikan pada orang lain. Jangan hanya bereaksi. 2 Sam 9:1 mencatat bahwa raja Daud berusaha mencari jalan untuk show kindness to others. Luar biasa ya; sekalipun sahabatnya, Yonatan, sudah meninggal, tapi Daud tetap mau berbuat kebaikan untuk keturunan Yonatan. 

Biarlah kita juga menjadi Tabita-Tabita akhir zaman (Kisah Para Rasul 9:36) yang terkenal sebagai murid Tuhan yang murah hati dan suka menolong. Proaktif, “tanya Tuhan”, kepada siapa Dia mau menunjukkan kebaikan-Nya melalui kita. Tuhan bisa kasih kita kepekaan loh. Dan kalo kita belajar peka dan taat sama Roh Kudus, kita benar-benar bisa jadi perpanjangan tangan kasih Tuhan untuk menolong orang lain di saat yang tepat. 

Saya gak pernah bisa lupa, 11 Juli 2011 dini hari suami saya telpon dan kasih tau bahwa papa saya meninggal. Suami sedang dalam perjalanan ke Bangkok ketika mama saya telpon dan memberi kabar. Saya menangis memeluk bayi saya yang masih berusia 8 minggu di kota asing sendirian. Sekitar jam 10 pagi, seorang teman datang ke rumah membawakan cupcakes buat saya. Sambil buka pintu saya tanya, “How do you know?” dan dia terlihat keheranan, tidak mengerti apa yang saya maksud. Ternyata dia memang tidak tahu kalo papa saya baru saja meninggal, tapi dia ada dorongan untuk visit saya dan membawakan cupcakes yang baru saja dibuatnya. She cried with me, hugged me, and prayed for me. What a blessing to have a friend around while my husband was away and I was processing sadness alone. 

Ada banyak peristiwa yang saya anggap sebagai “a hug from heaven” ketika orang meneruskan kebaikan Tuhan kepada saya yang bisa saya ceritakan, tapi kesaksian tadi adalah salah satu yang paling berkesan untuk saya. Saya pun mau belajar taat dan peka terhadap pimpinan Tuhan ketika Dia menggerakkan saya untuk melakukan sesuatu untuk orang lain. 

3) Renungkan dan hafalkan ayat-ayat tentang kindness 
Kalau saya sedang mau bertumbuh dalam suatu area, biasanya saya suka kumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hal tersebut. Misalnya saya mau belajar tentang self-control, saya akan baca dan hafalkan ayat-ayat tentang pengendalian diri; karena dengan menyimpan kebenaran/Firman Tuhan dalam hati dan pikiran kita, Roh kudus akan dengan mudah memakai itu untuk mengingatkan kita atau menjadikan ayat-ayat tersebut sebagai sumber encouragement untuk kita. 

Nah untuk kindness ada tujuh ayat yang saya pilih dari Amsal yang kita bisa baca, renungkan dan hafalkan. 
  1. Perempuan yang baik hati beroleh hormat; sedangkan seorang penindas beroleh kekayaan. (11:16) 
  2. Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri, tetapi orang yang kejam menyiksa badannya sendiri. (11:17) 
  3. Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam. (12:10) 
  4. Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia. (12:25) 
  5. Siapa menghina sesamanya, berbuat dosa; tetapi berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita. (14:21) 
  6. Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu. (19:17) 
  7. Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan harta itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah. (28:8) 
Yuk kita sama-sama belajar bertumbuh dalam karakter ini. Pikirkan jawaban dari pertanyaan ini: Hal praktis apa yang kita bisa lakukan untuk menunjukkan kebaikan kepada orang lain? How am I exercising God’s kindness toward my family members, and toward others, so I will have a testimony of goodness?