Showing posts with label Generosity. Show all posts
Showing posts with label Generosity. Show all posts

Monday, February 18, 2019

Priskila: Wanita Tangguh itu Indah



by Femmy Kowel

Semua diawali lewat sebuah perjumpaan.

Kalau dipikir-pikir, benar juga. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin ada persahabatan. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin seseorang dapat menikah—apalagi pada zaman dulu yang belum secanggih sekarang! Itu pula yang dialami oleh sepasang suami-istri di Perjanjian Baru, Akwila dan Priskila.

Akwila adalah pria kebangsaan Yahudi, tapi tidak tinggal di wilayah Yahudi. Dia dibesarkan di Pontus, salah satu propinsi kekuasaan Roma. Setelah menikah, Akwila mengajak istrinya pindah ke kota Roma, Italia, untuk menjalani hidup baru mereka. Kemungkinan besar, Priskila juga berkebangsaan Yahudi. Melalui keahlian dalam membuat kemah, akhirnya mereka menjadikan hal itu sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Italia (Kis 18:2).

Sebagai istri yang juga tidak tinggal di tanah kelahirannya sendiri, saya bisa membayangkan bahwa mereka adalah pasangan yang, mau tidak mau, harus berbaur dan beradaptasi dengan adat budaya yang berbeda dari mereka. Mereka harus hidup hati-hati dalam lingkungan itu, serta membangun hubungan yang baik dengan tetangga, pemerintah setempat dan rekan-rekan kerja. Pokoknya harus cari cara biar bisa diterima dan survive.

Namun apa mau dikata?

Tiba-tiba, situasi menyakitkan harus mereka hadapi. Kaisar Klaudius—yang saat itu berkuasa di Roma—memberikan perintah untuk mengusir seluruh orang Yahudi dari Roma.

Saya mencoba membayangkan perasaan Akwila & Priskila saat itu. Pasti hati mereka diliputi perasaan khawatir, down, takut, dan bingung. Situasi pengusiran adalah situasi dadakan alias tak terencana. Coba bayangin deh, gimana perasaan kita kalau diusir dari rumah sendiri. Stress iya, merasa terhina ya iya, dan yang pasti ada rasa takut yang menusuk hati. Jadi, saya bisa merasakan bahwa pasangan ini pasti kaget setengah mati!

Sebagai perempuan, pasti banyak hal yang berkecamuk di hati Priskila; seperti ini:
“Kok gini, sih?”
“Terus, kita harus ke mana?”
“Kita harus ngapain buat dapat penghasilan untuk makan?”
“Besok makan apa?”
“Kenapa setelah nikah jadi begini, ya?”
“Mungkin harusnya aku nggak nikah dengan orang Yahudi… nggak aman “
“Apakah aku salah pilih pasangan?”
… dan seterusnya.

Setelah menerima perintah pengusiran itu, tentunya juga ada banyak pertanyaan dan perdebatan yang harus mereka lalui dengan air mata. Bayangin, deh. Akwila dan Priskila harus meninggalkan kampung halaman mereka yang penuh kenangan, dengan harapan dapat melanjutkan hidup seperti sedia kala di tempat lain. Tanpa diduga, hidup tenang yang didambakan malah lenyap begitu saja karena pengusiran itu.

Long story short, mereka memutuskan untuk menuju ke Korintus dan memulai hidup yang baru di sana. Kitab Kisah Para Rasul 18:2 mencatat, perjumpaan antara Paulus dengan pasangan suami istri ini di Korintus menjadi titik awal kehidupan baru yang penuh arti dalam perjalanan rumah tangga mereka. Secara pribadi, sosok Priskila yang tangguh memberikan peneguhan dan kekuatan baru untuk terus setia dalam panggilan Tuhan atas hidup saya. Dari Priskila, saya belajar bahwa dia dimampukan mendemonstrasikan ketangguhannya itu oleh kasih karunia Allah. Karena-Nya, Priskila sanggup menghadapi kehidupan rumah tangganya dan setia dalam panggilan hidupnya. Dari situlah saya menyadari bahwa menjadi wanita tangguh itu sangat indah.

Eh, tunggu dulu. Ketangguhan seperti apakah yang diperlihatkan Priskila?
1) Ketangguhan hidup berumah tangga
Setelah diusir dari Italia, Priskila tidak berontak ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia dan suaminya harus memulai kembali kehidupan mereka dari awal di Korintus. Kata “memulai” berarti mengerjakan sesuatu dari awal lagi. Ini tidak mudah, dan memerlukan ketangguhan mental dan fisik untuk membangun kehidupan dari awal lagi. Harus mencari tempat tinggal baru lagi, membangun usaha baru, serta membangun pertemanan agar bisa berbaur dan mendapat kesempatan untuk berbisnis. Sebuah keadaan yang menekan, bukan?

Namun di dalam situasi seperti itu, Priskila tetap setia dan tidak meninggalkan suaminya. Sebenarnya bisa saja kan, dia menyerah dan pergi dari suaminya? Tapi dia tidak melakukannya. Priskila taat pada proses dan terus setia mendampingi suaminya (Kisah Para Rasul 18:2-4).

2) Ketangguhan mental untuk mau di-ajar dan taat pada otoritas 
Selama beberapa tahun, Priskila dan suaminya belajar dari Paulus untuk semakin mengenal Tuhan lewat Kitab Suci, serta praktik pelayanan langsung bersama penginjil besar itu. Priskila dan Akwila pergi bersama ke Siria dan berbagai kota lain untuk menemani dan melayani Paulus memberitakan injil. Bahkan Paulus mengatakan Priskila dan suaminya itu telah mempertaruhkan nyawa untuknya (Roma 16:3)! Wow!

3) Ketangguhan pikiran untuk belajar Kitab Suci dengan tekun sehingga tahu kebenaran dan akhirnya berani mengkoreksi dan mengajar 
Priskila dan suaminya berani mengoreksi orang seperti Apolos, lho. Apolos adalah seorang Yahudi yang sangat teliti mempelajari Kitab Suci. Orang-orang seperti ini, biasanya, sangat susah untuk disanggah, di-challenge, apalagi diajari. Kemungkinan besar Apolos pun memiliki sifat demikian. Tetapi yang membuat saya salut, Priskila sanggup mendampingi suaminya untuk mengajar Apolos untuk bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah (Kisah Para Rasul 18:26). Dua ayat terakhir yang membahas Apolos dalam Kisah Para Rasul menceritakan bahwa melalui kasih karunia Allah, Apolos menolong jemaat di Efesus—karena dengan penuh semangat dia membuktikan melalui Kitab Suci bahwa Kristus adalah Yesus, sekaligus membantah orang-orang Yahudi yang meyakini sebaliknya.

4) Ketangguhan dalam tugas pelayanan 
Priskila dibentuk menjadi wanita yang tangguh ketika harus pergi ke tempat-tempat lain untuk menyertai Paulus dalam pemberitaan Injil. Saya bisa membayangkan betapa lelahnya dia. Harus melayani keluarga, membantu pekerjaan suaminya, dan taat pada tugas pelayanan yang diberikan Paulus ke tempat-tempat yang mungkin jaraknya tidak dekat. (Kisah Para Rasul 18:18). Saya percaya bahwa Priskila bisa melakukan semuanya itu karena Tuhan yang menguatkannya.

5) Ketangguhan hati dalam berkorban untuk orang lain 
Alkitab mencatat bahwa rumah Priskila menjadi basecamp bagi jemaat untuk bersekutu, serta memuji dan menyembah Tuhan (baca: komsel). Hm, memangnya nggak capek ya, kalau secara rutin ada banyak orang yang berkumpul di rumah kita? Kita harus selalu menyediakan minum, makan, kursi, meja dan hal-hal lainnya kalau ada yang berkunjung. Sebelum mereka datang, pasti Priskila sudah sibuk membersihkan rumah, menyapu, mengepel dan mengatur rumah agar rapi dan bersih. Belum lagi kalau mereka sudah pulang. Beres-beresnya jadi dua kali, otomatis capeknya bakal terasa dua kali juga, kan?

Tapi Priskila setia. Hatinya tangguh, tidak lemah, menolak, apalagi berontak. Dia tetap mengizinkan persekutuan jemaat terjadi di rumahnya, membuka pintu, melayani dan mengajari mereka. Wow! Full service! (1 Korintus 16:19).

Kita memerlukan ketangguhan untuk memenuhi panggilan hidup kita yang diberikan Tuhan, ladies. Namun ada poin yang harus kita ingat: Ketangguhan bisa diperoleh hanya melalui sebuah proses. Seperti Tuhan memampukan Priskila untuk menjadi wanita tangguh, saya berdoa agar Tuhan juga melakukan hal yang sama pada kita dalam menjawab panggilan-Nya dalam hidup kita masing-masing. 

Yes, a tough-woman-in-God is beautiful.

Monday, August 7, 2017

Prayercast: Pray for the World


by Tabita Davinia Utomo

Hello, ladies! Nggak terasa sekarang udah masuk bulan Agustus. Which means kita bakal merayakan hari kemerdekaan Indonesia, negara tercinta kita, pada tanggal 17 Agustus! :) Yay!

Masih ada banyak pergumulan yang dihadapi negara ini, tapi kita harus tetap percaya bahwa Tuhan mengalirkan darah Indonesia dalam diri kita untuk sebuah tujuan: menjadi alat-Nya bagi kemuliaan-Nya di tempat ini. Memang nggak mudah, tapi bukan berarti nggak mungkin. :) Salah satu tanggung jawab kita sebagai warga negara adalah berdoa bagi Indonesia, agar setiap pemimpin negara dan elemen-elemen di dalamnya dapat bekerjasama untuk mewujudkan revolusi mental (kata Pak Jokowi. Hehe…) bagi bangsa dan negara. Kita juga perlu berdoa bagi rakyat Indonesia agar bersatu dalam menciptakan kerukunan dan kesatuan satu sama lain. :)

Di post ini, aku mau share sebuah link yang dapat menolong kita untuk berdoa bagi Indonesia. Well, nggak cuma Indonesia, sih. Tapi kita juga bisa berdoa bagi negara-negara lain di dunia melalui link ini juga. :D Link yang kumaksud adalah prayercast.com. Link ini berisi video-video doa dan apa yang ada di negara-negara tersebut. Klik Nations yang ada di halaman depan, dan silakan pilih negara mana yang hendak didoakan. Segala pergumulan maupun keindahan alam mereka ada di dalamnya.
Selain video dan konten dari berbagai negara, link ini juga memuat video maupun konten dari berbagai agama maupun aliran kepercayaan yang ada di dunia. Setiap kali kita mengarahkan kursor mouse ke salah satu agama atau aliran di sisi kanan laman, kata-kata ini yang muncul di bawah peta dunia, 
For God so loved... (sesuai agama atau aliran yang tersentuh kursor) that He sent His only Son... 

Yap, itu adalah kutipan dari Yohanes 3:16. :) Dan ayat ini juga mengingatkan kita bahwa Yesus Kristus datang bukan hanya bagi orang Kristen. Dia bukan hanya datang bagi orang Indonesia. Tapi Dia juga datang untuk mereka yang menganut aliran kepercayaan. Dia datang ke dunia bagi mereka yang ada di Kepulauan Pasifik.. And these show how great and deep the Father’s love for us, His masterpiece. 

So, ayo kita berdoa bagi dunia (dan Indonesia, khususnya) agar mengalami perjumpaan yang mengubahkan dengan kehadiran Kristus di tengah-tengah mereka. :) Selamat berbuat kebaikan (melalui doa) bagi bangsa dan negara kita! 

Kami mengasihimu, Indonesia. Tapi Tuhan Yesus jauh lebih mengasihimu  

NB: Oh, ya. Setiap video yang ada bisa di-download, lho! :D Jadi kita bisa ngajakin temen-temen buat nonton video yang ada dan berdoa bersama. :)

Friday, July 28, 2017

Tangan yang Bekerja, Hati yang Melayani


by Mekar A. Pradipta

Kalau kita membaca perikop mengenai istri yang cakap di Amsal 31, mungkin yang pertama terlintas di benak kita adalah betapa sibuknya wanita yang satu ini. Dia bangun sebelum matahari terbit, mengerjakan begitu banyak hal sepanjang hari, dan bahkan pada malam hari pelitanya tidak padam. Bagaimana kalau kita ada di posisinya? Capek? Pasti. Bosan? Mungkin. Bersungut-sungut? Biasa. Tapi, di ayat 13 justru dikatakan, “...ia senang bekerja dengan tangannya.”

Wow! Kira-kira apa ya yang bisa membuat dia mengerjakan segala sesuatu dengan senang? Tidak mudah menemukan alasannya karena Amsal 31 tidak memuat alasannya dengan eksplisit. Tapi jangan lupa, wanita ini adalah wanita yang takut akan Tuhan. Sebagai wanita yang takut akan Tuhan, ia mengerti bahwa ia ada di dalam Kristus dan wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup (1Yohanes 2:6). Bagaimana sesungguhnya Kristus hidup? Matius 20:28 mengatakan Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Kristus melayani, maka kita wanita-wanita Allah, juga wajib melayani.

Wanita-wanita Allah mengerti bahwa ketika ia melayani maka ia adalah hamba. Dalam Kolose 3:22-24, Allah mengajar kita demikian: 
“Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya”

Wanita Amsal 31 memahami bahwa pekerjaan sehari-hari melayani orang lain sesungguhnya adalah pelayanan kepada Allah. Ketika melayani suami, anak-anak, sahabat atau rekan bisnis, ia melakukannya seperti untuk Tuhan. Ia tahu bahwa melayani Tuhan sesungguhnya adalah sebuah kehormatan. Ketika ia memasak untuk keluarganya, ia tahu ia sesungguhnya sedang memasak untuk Tuhan yang adalah Raja, ia sedang menjadi koki Kerajaan. Pantas saja ya dia bisa melakukan pekerjaannya dengan senang.

Omong-omong tentang melayani Tuhan, Firman-Nya memuat sebuah prinsip penting.

Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor,
biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan (Roma 12:11)

Melayani Tuhan, termasuk di dalamnya melayani sesama, ternyata punya kaitan erat dengan kerajinan. Ini juga merupakan salah satu karakter utama wanita Amsal 31. Di ayat 27 kita membaca kalau wanita ini tidak memakan makanan kemalasan. Kalau kita membaca beberapa terjemahan lain, kemalasan disamakan dengan idleness (tidak sedang melakukan apa-apa). Idleness (NKJV) ini berlawanan dengan busy and productive (The Message). So, hati-hati, jika kita merasa kita punya banyak waktu luang tapi kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang produktif, mungkin kita sedang terperangkap dalam kemalasan.

Menjadi sibuk dan produktif sendiri memang adalah perintah Allah. Raja Salomo yang berhikmat menuliskan, "Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik" (Pengkhotbah 11:6). Bagian ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh beristirahat, tapi menekankan agar kita memanfaatkan waktu kita dengan bijaksana, menggunakannya untuk mengerjakan hal-hal yang produktif. Seperti ditulis pada Pengkhotbah 9:10a, segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga.

Untuk wanita, ada satu bagian khusus yang perlu dikerjakan dengan kerajinan yaitu mengatur rumah tangga (Titus 2:5). Bagian ini terutama ditujukan untuk wanita-wanita tua (berumur, sudah bersuami) namun bukan berarti tidak penting bagi wanita-wanita muda yang masih single. Karena, dalam Titus 2:3-4 dikatakan,

“Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang.

Dari ayat-ayat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa wanita-wanita muda memiliki tugas untuk belajar dan mempersiapkan dirinya menjadi wanita yang berkenan di hadapan Allah, termasuk terampil mengatur rumah tangga. Pendidikan menjadi istri yang cakap justru dilakukan ketika kita masih single.

Wanita-wanita yang sudah menikah memiliki rumah tangga dimana ada suami dan anak-anak. Tapi bagaimana dengan wanita-wanita single? Sudah jelas, rumah tangga mereka adalah keluarga mereka saat ini. Orang tua, kakak-adik, keluarga besar, dan bahkan teman-teman adalah orang-orang dengan siapa kita bisa belajar mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk melayani keluarga kita di masa depan. Rumah kita saat ini adalah sekolah dimana kita dididik menjadi pengatur rumah tangga (homekeepers) yang akan kita lakukan nanti.

Alkitab versi Firman Allah yang Hidup (FAYH) memakai istilah “senang berada di rumah” untuk menjelaskan frase “mengatur rumah tangga”. Kalau direnungkan, hal ini memang penting. Sebagai homekeepers, wanita bertugas membuat rumah menjadi tempat yang menyenangkan. Tapi, kalau kita sendiri tidak senang berada di dalamnya, tidak betah, dan justru lebih sering berada di luar, bagaimana kita bisa melakukan fungsi ini? Kalau kita tidak sering berada di rumah, bagaimana kita bisa mengaturnya? Bagian ini terutama lebih menantang untuk wanita-wanita single, karena dengan kebebasan yang mereka miliki, mereka cenderung melewatkan sebagian besar waktunya di luar rumah. Kadang akibatnya, mereka tidak menyediakan waktu untuk melayani keluarga. Salah satu alasannya adalah karena mereka ingin melewatkan waktu lebih banyak dengan teman-teman. Padahal, tidak ada salahnya loh mengundang teman-teman ke rumah, melayani mereka sebagai tamu, sekaligus belajar hospitality atau seni memberikan tumpangan.

Sebagai orang percaya, hospitality merupakan hal yang penting karena merupakan salah satu perintah Allah dalam Roma 12:13. Dari beberapa versi Alkitab kita bisa menyimpulkan hospitality sebagai kesediaan menerima orang lain di rumah kita serta memberikan makanan dan, kalau diperlukan, penginapan kepada mereka. Bayangkan, kalau rumah kita seperti kapal pecah, bagaimana bisa kita membuat tamu-tamu kita nyaman? Atau, kalau masakan kita tidak enak, jangan-jangan tamu-tamu kita justru sakit perut setelah memakannya. Padahal, Firman Tuhan sendiri mengatakan, ketika kita menjamu tamu sesungguhnya kita sedang menjamu malaikat (Ibrani 13:2).

Kesimpulannya, banyak hal yang bisa dilakukan agar kita bisa menjadi wanita yang senang bekerja seperti Amsal 31. Yang penting adalah kita memiliki hati yang bersedia melayani dan melakukan pelayanan itu dengan rajin. Pada akhirnya, yang terpenting adalah melakukan semua itu untuk kemuliaan Tuhan dan menjadi kesaksian bagi orang lain, sama seperti yang ditulis dalam Titus 2:4 yaitu agar Firman Allah tidak dihujat orang.

Monday, July 24, 2017

The Heart of Hospitality


by Felisia Devi


Arti Hospitality.


Apa yang terlintas pertama kali saat mendengar kata hospitality. Bukankah hospitality adalah salah satu mata kuliah jurusan perhotelan? Benar, tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi apa arti hospitality menurut kebenaran Injil?

Hospitality (hospitalitas) adalah terjemahan dari kata benda Latin hospitium (atau kata sifatnya hospitalis), yang berasal dari kata hospes, yang artinya “tamu” atau “tuan rumah”. Kata ini juga dipengaruhi oleh kata Yunani xenos, yang artinya menyambut orang asing atau melakukan penyambutan terhadap orang lain. (Michele Hershberger). Hospitality bisa diartikan sebagai keramahtamahan, wujud nyata dari ungkapan kehangatan seseorang dalam menerima orang lain, disertai rasa hormat, serta hubungan persahabatan dan persaudaraan kepada orang lain, terutama kepada tamu yang datang. 

Hospitality yang kita temui di restoran, hotel, atau tempat jamuan lain, mungkin ya mereka memang melakukan penyambutan dengan excellent, tapi apakah mereka benar-benar mengerti dan melakukannya dengan sungguh-sungguh? Hospitality bukan sekedar tentang apa yang kelihatan, bukan juga tentang penyambutan yang sempurna, tapi lebih kepada melakukan secara hati. Kenapa hati? Karena dari situlah terpancar kehidupan (Amsal 4:23). Penyambutan, penerimaan orang lain yang mengalir dari hati kita yang tulus, akan sangat terasa berbeda dan sampai juga ke hati yang menerimanya, dan mengandung pesan bahwa kita menerima mereka. Dahulu, Tuhan memerintah orang Israel agar memperlakukan orang asing seperti orang Israel asli, bahkan dikasihi seperti diri sendiri. Allah ingin orang Israel ingat bahwa merekapun dulu adalah orang asing di Tanah Mesir (Imamat 19:34). Dalam konteks saat ini, orang asing yang kita temui seharusnya diperlakukan seperti keluarga, dan dikasihi seperti diri kita sendiri. 


Mengapa kita perlu melakukan hospitality?


Hospitality harusnya mengalir secara alami dan didasarkan atas kasih Yesus kepada kita, karena Dia telah mengasihi kita terlebih dahulu (1 Yohanes 4:19). Kasih inilah yang kita salurkan melalui keramahtamahan kepada orang di sekitar kita. 

Inti dari Injil juga adalah hospitality. Sejak lahir kita sudah berada dalam permusuhan dengan Allah karena dosa, dan kita pun tidak mampu menyelamatkan diri dari hal ini. Tapi Allah mengutus Yesus untuk menebus dosa kita bagi yang percaya kepada-Nya, serta membuat tempat bagi kita dalam kerajaan-Nya. Kemurahan dan keramahan-Nya mengembalikan hubungan kita dengan Dia, dan Yesus adalah hadiah yang paling besar dalam sejarah, yang membuat kita ada sampai detik ini. Jadi ketika kita melakukan hospitality, kita sedang mencerminkan cinta-Nya, mengundang orang lain untuk melihat Tuhan melalui diri kita.

Yesus juga memberi contoh tentang melakukan hospitality, dimana Yesus mengajarkan serta melakukan kehambaan kepada para murid lewat tindakan membasuh kaki para murid-Nya (Yohanes 13:1-16). Karena Yesus sendiri datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Kita, sebagai pengikut Kristus yang mempunyai tujuan hidup untuk semakin serupa dengan diri-Nya, melakukan keramahtamahan seperti yang Yesus lakukan sudah merupakan hal yang wajar dilakukan.


Apa dan kepada siapa saja yang perlu diberikan keramahtamahan?


Ada banyak kesempatan dalam kehidupan sehari-hari kita untuk mempraktekkan hal ini : 
  • Ditengah keluarga kita : membantu pekerjaan rumah ibu, melayani ayah, dan menolong kakak atau adik dalam mengerjakan tugas. 
  • Melayani suami dan anak-anak bagi yang sudah menikah dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. 
  • Memberikan bantuan kepada saudara atau keluarga lainnya, misalnya dengan mengadakan jamuan atau tumpangan bagi mereka yang sedang singgah ke kota kita. 
  • Menjamu para tetangga samping kanan kiri depan rumah kita, mungkin dengan menjadi tuan rumah dalam pertemuan lingkungan atau sejenisnya. 
  • Menolong rekan-rekan kerja yang membutuhkan, dengan mengajari dan membagi ilmu yang kita punya. 
  • Membantu saudara seiman lainnya dalam pelayanan atau hal lain, misal membantu pekerjaan misionaris dengan melakukan kunjungan. 
  • Memenuhi kebutuhan dasar orang lain khususnya masyarakat miskin tanpa mengharapkan pembayaran (Prov. 19:17), dengan menyumbang pakaian yang masih layak atau berbagi harta benda. 
  • Memperlakukan para pemberi jasa (supir taksi, pramuniaga, pelayan restoran dsb) dengan baik. Mengucapkan tolong dan terima kasih dengan sopan ketika berinteraksi dengan mereka. 
Dalam Alkitab, kata Yunani asli untuk hospitality adalah Philoxenia, yang berarti mengasihi orang lain (Rom. 12:13). Banyak contoh dalam Alkitab dalam mempraktekkan hospitality, yang intinya kita menghormati Allah ketika kita baik kepada yang membutuhkan (Amsal 14:31; 19:17), memberi tumpangan (Ibr 13: 1-2; 1 Tim 3: 2), memperhatikan janda serta anak yatim ( 1 Tim 5: 1-16), ‘menjamu’ orang kafir (Lukas 5:29), orang miskin dan membutuhkan (Lukas 14: 12-14), misionaris (Mat 10: 9-11; Lukas 10: 5-16), orang asing, imigran, pengungsi (Kej 18: 1 -22), dan bahkan musuh (Rom 12:20) seolah-olah mereka adalah keluarga kita sendiri. 

Arti dari semua yang bisa kita lakukan menurut Alkitab sebenarnya tentang pengorbanan, kita rela berkorban untuk memenuhi kebutuhan orang lain, keluar dari area nyaman, dan tidak berusaha untuk mengesankan orang lain. Bukan hanya kepada sesama orang Kristen, tetapi juga kepada orang asing lain yang membutuhkan. Seperti kata Yesus, "Ketika Anda memberi perjamuan, mengundang orang miskin, cacat, orang lumpuh, buta, dan Anda akan diberkati" (Lukas 14:13).

Kristus juga mengajarkan kita di perintah kedua dari dua hukum utama, yaitu mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (Matius 22:39). Dia juga menekankan hal yang sama pada perumpamaan tentang orang Samaria yang baik. Ia mengajarkan kepada kita bahwa "sesama" tidak ada hubungannya dengan aspek geografi, kewarganegaraan, atau ras. Dimanapun dan kapanpun orang membutuhkan kita, kita bisa siap melakukan sesuatu seperti Kristus menunjukkan belas kasihan. Ini adalah inti dari hospitality

Dalam Injil Matius, Yesus membahas perilaku ramah dari orang-orang yang akan mewarisi kerajaan: "Sebab pada waktu Aku lapar, kalian memberi Aku makan, dan pada waktu Aku haus, kalian memberi Aku minum. Aku seorang asing, kalian menerima Aku di rumahmu. Aku tidak berpakaian, kalian memberikan Aku pakaian. Aku sakit, kalian merawat Aku. Aku dipenjarakan, kalian menolong Aku."(Matius 25: 34-36). Hospitality merupakan bagian penting dari pelayanan Kristen (Roma 12:13; 1 Petrus 4: 9). Dengan melayani orang lain berarti kita melayani Kristus (Matius 25:40) dan kita membantu penyebaran kebenaran Allah (3 Yohanes 5-8). 

Masih banyak contoh lainnya yang bisa dipraktekkan. Sebagai wanita yang diberi kepekaan sebagai kelebihan kita, gunakan kepekaan itu untuk bisa mengerti siapa dan hal apa yang bisa atau perlu dilakukan. Lakukan keramahtamahan dengan tujuan memperkenalkan atau mewujudkan Allah kepada orang lain, terutama bagi mereka yang belum mengenal Kristus. Kita tidak tahu dampak keramahtamahan yang bisa kita lakukan, tapi pasti sangat bermanfaat dan tidak sia-sia, karena dilakukan juga untuk tujuan memperluas kerajaan Allah.

Seperti dalam pelayanan yang Yesus lakukan bersama murid-muridNya, mereka tergantung pada kebaikan orang lain dari tempat-tempat yang mereka kunjungi (Matius 10 : 9-10). Demikian juga dengan pelayanan para rasul dalam memberitakan Injil (Kis 2:44-45 ; 28:7). Jadi lakukan bantuan atau keramahtamahan yang bisa kita lakukan, selama ada dan masih bisa kita lakukan, apalagi jika Tuhan yang sudah menggerakkan (Amsal 3:28). 

Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin.
Amsal 31:20

Friday, July 14, 2017

Be Kind to the Unthankful?


by Azaria Amelia Adam

Tentang kemurahan hati, saya belajar hal penting dari Tante saya yang dua kali menyekolahkan anak dari SMA sampai Perguruan Tinggi. Saya punya keluarga besar yang hidupnya tidak seberuntung saya. Ada sepupu yang tidak berkesempatan untuk melanjutkan sekolah, dua diantaranya disekolahkan oleh Tante saya. Lalu, apa istimewanya menolong keluarga? 

Ceritanya seperti ini, setelah lulus SMP, sepupu saya disekolahkan ke jenjang SMA oleh Tante saya. Tante saya menanggung semua biayanya, mulai dari pendaftaran, SPP, buku, seragam, dan uang saku. Sepupu saya yang berasal dari sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) disekolahkan di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Ya, pastinya fasilitas pendidikannya jauh lebih baik. Tetapi, entah kenapa, nilai akademis mereka kurang memuaskan. Untungnya, sepupu yang pertama berhasil lulus SMA dan disekolahkan lagi ke perguruan tinggi di Kupang. Tetapi dalam perjalanan kuliahnya, ternyata dia sering bolos dan akhirnya terancam drop out. Sepupu yang kedua, tidak bisa melanjutkan sekolah karena nilai ujian yang tidak melewati passing grade ke perguruan tinggi. 

Beberapa kali saya pernah spontan bicara kepada Tante saya, “Ngapain sih Tante kasih sekolah orang-orang seperti itu? Mereka kayak gak berterima kasih udah disekolahin di tempat bagus. Liat aja caranya mereka, ngga pernah belajar, malas banget. Udahlah ngga usah lagi Tante sekolahin sepupu-sepupu yang kayak gitu”. Tetapi tetap saja, ada lagi sepupu lain dari NTT, diajak ke Surabaya untuk disekolahkan. Kata Tante, “Lebih baik kita bantu keluarga kita yang membutuhkan”.

Saat itu saya jadi tambah kesal mendengar jawaban Tante. Oke, memang kita harus saling menolong, tapi kalau dua kali tidak ada hasilnya, buat apa? Daripada menyekolahkan sepupu yang tidak bisa berterima kasih, masih banyak orang lain yang ingin sekolah. Tetapi setelah mempelajari ciri kasih yang murah hati, saya mengerti, justru perbuatan itulah yang Tuhan ingin kita lakukan. 

Dalam Galatia 5, buah roh kemurahan adalah perbuatan yang digerakkan karena kepedulian akan orang lain, keinginan untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Kemurahan dimulai dari kepedulian, berbelas kasih kepada orang lain. Jika Tuhan menginginkan kita memperhatikan sesama manusia (Amsal 12:10). 

Kemurahan hati membutuhkan usaha. Jujur saja lebih mudah kita mengikuti keinginan daging daripada keinginan roh (Galatia 5:16-17). Rasa mementingkan diri sendiri lebih mudah muncul secara natural. Berbeda dengan kemurahan hati yang meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Seperti yang dikatakan dalam Filipi 2:3-4, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”

Firman Tuhan menegur saya dengan keras, jika kamu hanya bermurah hati pada orang yang baik, lalu apa jasamu? Apa yang membedakan pengikut kristus dengan orang biasa? Bahkan dalam ‘standar normal’ orang berdosa pun tahu bagaimana berbuat baik untuk orang yang dianggap menguntungkan baginya (Lukas 6:32-34). 

Sekarang jika kita melakukan sesuatu untuk kebaikan orang lain tetapi tidak dibalas dengan rasa terima kasih, secara manusia kita pasti jengkel dan rasanya tidak mau lagi menolong mereka. Tetapi bermurah hati untuk orang yang baik saja tidak cukup, jika kita ingin disebut pengikut Kristus. Kita perlu berbuat lebih dari standar normal dunia.

Firman Tuhan jelas memberikan standar yang lebih tinggi untuk pengikut Kristus: berbuat baik kepada semua orang, bahkan yang jahat sekalipun. Yesus mengajarkan agar kita mengasihi dan berbuat baik kepada musuh kita. Memberikan pinjaman dengan tidak mengharapkan balasan. Dengan melakukan semua itu, baru kita layak disebut anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi. (Lukas 6:35).

Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati (Lukas 6:36)