Showing posts with label Mommahood. Show all posts
Showing posts with label Mommahood. Show all posts

Monday, October 14, 2019

One of Godly Mommy



by Tabita Davinia


Coba tebak, siapa saja para wanita di dalam Alkitab yang menjadi ibu? Hm, rasanya banyak banget ya. Ada Hawa, Sara, Rahel, Lea, Rahab, Delila, Ratu Syeba, Bernike, Klaudia, blablabla... tapi, coba kita persempit lingkarannya. Dari sekian banyak wanita yang menjadi ibu, berapa banyak wanita yang menjadi ibu yang mengajarkan tentang firman Tuhan kepada anak-anaknya? Kita bisa menyebut Maria, yang adalah ibu dari Yesus Kristus. Atau mungkin Hana, yang walaupun setelah dia melahirkan Samuel dia menyerahkannya kepada Eli—imam di Silo. Tapi pada tulisan kali ini, kita akan membahas tentang seorang wanita yang mungkin jarang dibahas keberadaannya dalam Alkitab. Dia adalah ibu dari salah satu anak rohani Paulus, di mana kita bisa membaca dua surat Paulus kepada anak muda ini. Coba tebak, siapa ibu yang dimaksud... She is Eunike!


Kamus di alkitab.sabda.org menuliskan arti “Eunike” sebagai “good victory”, dari kata eunich. Wanita ini termasuk keturunan Yahudi. Ibunya bernama Lois. Eunike menikah dengan seorang pria yang merupakan keturunan Yunani. Dialah yang melahirkan Timotius, salah satu anak rohani Paulus itu. Kisahnya hanya tercantum dua kali di dalam Alkitab, tapi di sana Paulus menyatakan bahwa kehidupannya telah menjadi teladan bagi Timotius—satu hal yang juga Paulus lihat.


“Paulus datang juga ke Derbe dan ke Listra. Di situ ada seorang murid bernama Timotius; ibunya adalah seorang Yahudi dan menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani.”
(Kisah Para Rasul 16:1)

”Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.”
(2 Timotius 1:6)

Tidak ada yang tahu bagaimana Eunike lahir, menjalani kehidupannya, bahkan bagaimana akhir hidupnya. Berdasarkan beberapa tafsiran, Eunike dan Lois menjadi orang Kristen setelah mendengar khotbah Paulus tentang Kristus. Mungkin sejak saat itulah, mereka berdua yang mengajarkan Timotius tentang firman Tuhan.



Kalau mengingat kisah tentang Eunike dan Timotius, aku jadi teringat dengan perintah Tuhan kepada orang Israel di Ulangan 6:6—7.


“Apa yang kuperintahkan (setelah Tuhan berfirman kepada Musa) kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”


Sekalipun suaminya bukan orang saleh—menurut orang Yahudi—namun Eunike, bersama Lois, terus menanamkan firman Tuhan dalam kehidupan Timotius, sampai akhirnya... Timotius bersedia untuk mengikuti pelayanan Paulus. Mungkin Timotius masih sangat muda saat memulai pelayanannya bersama Paulus. Bisa saja Eunike berkata, “Tunggu dulu lah, Paulus! Timotius masih muda! Dia boleh kok, melayani di daerah di sekitar sini dulu. Nanti kalau sudah tambah dewasa, dia boleh ikut pelayananmu”.

Hati ibu mana yang tidak sedih saat melihat anaknya pergi jauh dan bahkan tidak tahu kapan dia akan kembali (mencoba memahami kondisi hati seorang ibu, walaupun aku belum jadi seorang ibu huehehe)? Mungkin hati kecil Eunike merasa bingung saat mendengar Paulus mengajak Timotius untuk melayani bersamanya. Tapi ternyata... Eunike let Timotius to go with Paul! Dia mengesampingkan keinginannya agar Timotius tetap bersamanya, dan memilih untuk mengizinkan anaknya itu untuk pergi bersama Paulus.

Ladies, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kelak saat kita memiliki anak. Tapi satu hal yang perlu kita ingat, kita harus mengajarkan firman Tuhan kepada mereka setiap saat. Bukan hanya melalui perkataan kita, tapi juga lewat perbuatan kita (kalau omdo—omong doang—‘kan kita bisa dianggap pembohong sama anak-anak nanti hehe). Aku yakin Timotius telah melihat kehidupan ibunya yang luar biasa, sehingga dia pun meneladani kehidupan ibunya itu.

Entah apapun status kita saat ini (single, masih sekolah/kuliah, mulai meniti karier, baru saja menikah, sedang jadi bumil (ibu hamil), atau bahkan telah mempunyai anak), perintah Tuhan itu harus selalu kita ingat dan lakukan.
Mengajarkan anak-anak untuk melakukan firman Tuhan memang tidak mudah, apalagi kalau anak-anak telah tumbuh dewasa tanpa mengenal firman-Nya. That’s why... setiap ibu (dan calon ibu) harus mempersiapkan diri sejak awal untuk mendidik anak-anak berdasarkan firman Tuhan.


“But it’s very hard for me to teach my children to do God’s will!”

Mommies, mengajari anak tentang apapun itu memang tidak mudah. Jangankan mengajari anak untuk membaca Alkitab, untuk memberikan stimulus anak agar berjalan pun orang tua harus panjang akal (duh, bahasa perkuliahannya mulai keluar huehehe). Karena itu, setiap ibu (dan calonnya) harus selalu percaya dan bersandar kepada Tuhan. We can’t through this moment without God.

Kita perlu belajar dari Eunike, yang dengan rendah hati menyerahkan Timotius kepada Paulus untuk melayani di berbagai tempat. Aku menduga, Eunike bisa melakukannya karena dia percaya bahwa Tuhan yang akan menuntun Timotius untuk tetap hidup di dalam kehendaknya.

And how about us? Sudah siapkan kita untuk menjadi seorang wanita yang tetap percaya kepada Tuhan dalam segala pergumulan kita? Jika suatu saat nanti Tuhan mengaruniakan anak-anak kepada kita, apakah kita akan tetap hidup setia kepada-Nya, dan memberikan teladan hidup benar kepada mereka?

Keep the answer in your heart, and pray that God will help us to be a Godly mommy (wannabe) :)

Tuesday, November 27, 2018

Be Still



by Sarah Eliana

Setiap manusia mempunyai perjalanan kehidupan yang berbeda. Beberapa sedang berada di tanah perjanjian, namun ada pula yang sedang berada di padang gurun. Tapi, sebagai tubuh Kristus, kita semua punya panggilan yang sama, yaitu untuk bertumbuh dalam iman dan untuk memuliakan Nama-Nya. Di tanah perjanjian atau di padang gurun, kita dipanggil untuk terus berjalan dalam iman. Tapi, ahhh… kalau sedang berada di padang gurun, susah ya untuk terus berjalan dalam iman. Nah, itu sebabnya kita memerlukan Roh Kudus.

Seberapa kenal kita dengan Roh Kudus? Tau ngga, Roh Kudus itu seperti seorang gentleman lho. Dia ngga pernah memaksa kita untuk melakukan apa yang kita tidak mau. He doesn’t force Himself on us. However, He will teach and counsel us to make the right decision. Di saat kita mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman, saat itulah Roh Kudus bergegas menghampiri kita, berdiri bersama kita, dan memberikan kekuatan bagi kita untuk menjalani keputusan kita itu. Isn’t He so good?

Setiap kali membaca tentang bangsa Israel yang berputar-putar di padang gurun, aku selalu bingung. Kenapa ya Tuhan bawa bangsa ini berputar-putar? Memang ada yang bilang Tuhan sedang menyiapkan mereka untuk sesuatu yang luar biasa. Tapi, yang aku lihat, mereka berputar-putar karena mereka ngga pernah belajar. Mereka selalu jatuh dalam dosa yang sama, bergumul dengan hal yang sama selama bertahun-tahun. Aku disadarkan tentang satu hal, yaitu bahwa bangsa ini ngga pernah mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman. Mereka bertobat hanya saat dihukum Tuhan, tapi mereka ngga pernah betul-betul mengambil keputusan untuk berjalan terus dalam iman, untuk terus percaya akan kedaulatan Tuhan. Bukankah ketidakpercayaan mereka yang pada mulanya membuat Tuhan membawa mereka berputar-putar di padang gurun, padahal Tanah Perjanjian sudah di depan mata? Mereka tidak percaya bahwa Tuhan bisa dan mau membawa mereka kepada kemenangan melawan orang-orang kuat di tanah Kanaan, dan karenanya mereka pun terpaksa harus menghabiskan 40 tahun di padang gurun.

Kalau melihat ke belakang, tahun 2014 dan 2015 merupakan tahun yang cukup berat bagiku. Aku pernah sakit berat dan efeknya masih ada. Lalu, sebelum aku menikah, Tuhan pernah berjanji padaku lewat Mazmur 113:9,

“Ia mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita. Haleluya!”
(Mazmur 113:9)

Dulu, aku berpikir bahwa ini janji yang luar biasa indah. Aku berpikir bahwa satu hari nanti aku akan bertemu pangeranku, kami akan menikah dan memiliki anak-anak mujizat dari Tuhan kapan saja kami minta. Ternyata, di balik janji itu ada pergumulan dan keputusan yang harus kami ambil bersama. Setelah menikah, kami tidak langsung punya anak. Kami menunggu dua tahun untuk hadirnya buah hati kami. Tahun anak kami lahir adalah tahun di mana teman-teman baikku juga banyak yang sedang hamil atau baru melahirkan anak pertama mereka. 

Sekarang, anak kami sudah berumur empat tahun. Dia sudah punya banyak teman dan teman-temannya kebanyakan punya kakak atau adik. Jadi sekarang dia sudah mulai mengerti bahwa dia berbeda. Dia mulai bertanya kenapa dia sendirian dan ngga punya saudara di rumah? Kami sudah berdoa setidaknya dua tahun untuk memiliki anak kedua, tapi sampai sekarang anak itu belum tiba juga. Nah, tahun 2014-2015 itu adalah tahun ‘baby boom’. Teman-temanku, yang anak-anak pertamanya seumur dengan anak kami, banyak sekali yang sedang hamil atau baru melahirkan anak kedua. Aku senang untuk mereka tentunya, tapi juga sedih untuk diriku sendiri. 

Beberapa bulan belakangan ini, aku banyak bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, Tuhan kan udah janji bahwa aku akan punya anak-anak. Lebih dari satu lho, Tuhan. Where are they? Kok belum nongol juga?” Tuhan diam. Tuhan ngga menjawab apa-apa. Aku merasa sedang berdiri sendirian dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Aku merasa, aku sedang berada di padang gurun, dan hal pertama yang ingin kulakukan adalah keluar dari padang gurun ini. “Tuhan, berikan anak kedua itu kepadaku supaya aku tidak perlu lama-lama berada di padang gurun ini!”. Di saat itulah, Roh Kudus berbisik, “Seberapa lama kamu berada di padang gurun ini, itu adalah keputusanmu sendiri”. Aku tertegun. “Maksudnya apa ya, Tuhan?”. Lalu aku mendengar Roh Kudus berbicara lembut, “Keep walking in faith, sweetheart.”

Ah, Roh Kudus ini bikin bingung. Apa pula maksudnya teruslah berjalan dalam iman. Aku ini sudah berjalan dalam iman kok, Tuhan! Aku sudah percaya dan beriman kalau Tuhan akan beri anak-anak untukku, tapi kan aku ngga bisa menciptakan anak itu dari debu tanah, jadi Tuhan yang harus lakukan itu. Aku sudah beriman, sekarang giliran Tuhan untuk menggenapi janji-Nya!

Aku tegar tengkuk banget ngga sih? Puji Tuhan, Dia ngga diam saja. Melalui seorang wanita yang mengasihi-Nya, Aku diajar oleh-Nya bahwa ada keputusan-keputusan yang harus aku ambil jika aku mau terus berjalan dalam iman.

Dalam hidup kita, saat kita berada di padang gurun, biasanya ada dua skenario, yaitu: 
1. Kita tahu apa yang akan terjadi 
2. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 

Nah, aku belajar bahwa ada satu keputusan yang harus aku ambil setiap kali aku berada di padang gurun, yaitu: BE STILL! Tapi, be still disini bukan berarti gak melakukan apa–apa lho. Untuk tiap skenario di atas, aku belajar bahwa being still can mean different things.

Saat kita tahu apa yang akan terjadi, keputusan yang harus kita ambil adalah:

1. Meditate on HIS ways, not on the facts
Beberapa tahun lalu, saat aku baru selesai dioperasi, aku tau apa yang akan terjadi. Aku tau bahwa aku tidak akan bisa punya anak. Aku tahu bahwa mungkin tidak akan ada pria yang mau menikahiku. Aku ingat, saat aku berada dalam situasi itu, aku banyak merenungi Firman Tuhan, bersandar hanya kepada-Nya. Ini ngga berarti aku mengabaikan kenyataan yang ada. Sama sekali bukan! Ini berarti bahwa kita dengan aktif memilih hal mana yang akan berada dalam posisi lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Apakah kita memilih untuk meletakkan kenyataan bahwa kita belum punya pekerjaan, ditinggal pacar, belum punya anak, atau hal-hal lain, lebih tinggi dibanding karakter dan kepribadian Kristus? Yesaya 55:9 mengatakan, 

Seperti langit lebih tinggi dari bumi,
demikianlah jalan-jalan-Ku lebih tinggi daripada jalan-jalanmu,
dan pemikiran-pemikiran-Ku daripada pemikiran-pemikiranmu.
(Yesaya 55:9)

Biarlah kita terus menempatkan Kristus sebagai yang terutama. Biarlah kita selalu merenungi Firman-Nya dan bersandar kepada kesetiaan-Nya. 

2. Magnify your GOD, not your fear
Waktu aku selesai operasi, aku tahu aku mungkin tidak akan pernah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Apakah aku takut? FOR SURE! Teman, di saat-saat seperti itu… dimana kita tau apa yang akan terjadi, dimana kita dihadapi ketakutan karena kenyataan-kenyataan yang ada di depan mata, marilah kita memilih untuk magnify our God. Magnify ini artinya kita memakai kaca pembesar dan menempatkan kaca pembesar itu di atas sesuatu yg kita mau menjadi fokusnya. Apakah kita memilih untuk menempatkan kaca pembesar itu pada Tuhan atau pada ketakutan kita? Mazmur 34:2-4 menulis demikian,

Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.
(Mazmur 34:2-4)

Ah, lihatlah janji Tuhan! Ketika kita mencari Tuhan, Ia MENJAWAB DAN MELEPASKAN KITA DARI SEGALA KEGENTARAN KITA! Let’s magnify and extol Him! 

Lalu bagaimana saat kita berjalan di padang gurun, namun kita tidak tahu apa yang akan terjadi? Saat ini aku berada dalam situasi ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana Tuhan akan mengirimkan anak untuk kami. Terus terang, kami bahkan tidak tahu apakah Tuhan akan mengirimkan anak lagi kepada kami. You see, saat Tuhan menjanjikan bahwa aku akan menjadi ibu dari anak-anak, Tuhan ngga memberikan detail bahwa anak-anak itu adalah anak-anak kami. Mungkin saja apa yang Tuhan maksud adalah kami akan punya satu anak dan selebihnya adalah anak-anak spiritual. We don’t know! Berminggu-minggu aku bertanya kepada Tuhan. Tuhan, apa yang Tuhan maksud saat Tuhan katakan akan membuat aku menjadi ibu dari anak-anak? Anak-anak spiritualkah? Beri tahu aku sekarang, Tuhan, please, supaya aku bisa menyiapkan hatiku seandainya memang itu yang Tuhan maksud. Tuhan memang belum menjawab pertanyaanku, tapi Roh Kudus telah ajarkan bahwa saat aku berada dalam padang gurun dimana aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku bisa membuat dua keputusan ini: 

// Percaya kepada Tuhan, bukan kepada diriku sendiri 
Selalu tempatkan Tuhan sebagai yang terutama! Saat kita berada dalam padang gurun, mudah sekali bagi kita untuk melepaskan diri dari kebiasan yang baik dan dari pergaulan yang baik. Mudah sekali bagi kita untuk berkata, “Ah lagi ngga mood baca Firman. Cuman hari ini aja kok. Besok aku baru baca deh”, atau “Ah, lagi ngga mood ke gereja. Biasanya juga aku rajin kok. Sekali aja ngga apa-apa.” Satu kali yang dengan mudahnya bisa berubah menjadi berkali-kali. 

Saat kita ditegur saudara seiman, mudah sekali bagi kita berkata, “Ah apa sih urusan situ? Ini urusan gw ama Tuhan! Kok situ yang repot?”. Lalu, kita menjadi malas bersekutu dengan saudara seiman. Kita menjauhi diri dari pergaulan yang baik.

Teman-teman, saat kita berada dalam situasi sulit, jangan sampai kita melepaskan diri dari hal-hal yang Tuhan berikan untuk menjaga kita supaya tetap berada dalam jalur dan jalan-Nya. Teruslah jalani kebiasaan yang baik: bersekutu bersama keluarga Allah, saat teduh setiap hari, renungi Firman-Nya. Teruslah percaya kepada Tuhan. Amsal 3:6 mengatakan “Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Amen! Let’s do that! Mari kita terus mengakui Dia dalam segala laku kita! 

// Think about others, not about yourself
Waduh, teman-teman tau gak? Setiap kali mendengar ada teman yang hamil lagi, rasanya tuh gimana gitu. Bikin bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan, aku kapaaann? Jangan lupa anak-Mu yang satu ini lho!” Di saat aku bereaksi seperti itu, Tuhan ingatkan lewat ayat ini: 

Bersukacitalah bersama yang bersukacita, menangislah bersama mereka yang menangis.
(Roma 12:15)

Ayat ini memberi satu pengertian baru kepadaku. Saat ada orang yang berada dalam situasi yang sama dengan kita, apa yang kita lakukan? Apakah kita sedih untuk mereka, tapi juga senang karena, wah, akhirnya, kita tidak sendirian! Ada orang yang juga berada dalam situasi yang sama dan bisa jadi teman curhat! 

Kebalikannya, saat kita mendengar ada teman yang mendapat jawaban atas pokok doa yang sama dengan yang kita doakan, apa yang kita lakukan? Apakah kita menggedor-gedor pintu Surga dan bertanya kapan Tuhan akan memberikan jawaban yang sama kepada kita? Teman-teman, itu bukan bersukacita dengan yg bersukacita dan menangis bersama yang menangis! Justru kebalikannya! Itu artinya kita bersukacita dengan yang menangis dan menangis bersama yang bersukacita! 

Ah, aku ngga mau jadi seperti itu, karena itu aku mengambil keputusan untuk think about others and not about my own problems. Daripada tiap hari galau mikirin kapan Tuhan akan menjawab doa, alangkah baiknya aku menghabiskan waktuku untuk mendoakan orang lain. Daripada tiap hari kerjaannya curhat dan curhat melulu ngomongin tentang masalahku, lebih baik aku menghabiskan waktu mendengarkan mereka dan memberkati mereka dengan doa dan kebenaran Firman Tuhan! :) 

Waktu aku mengambil dua keputusan ini, yaitu trust in God and not in myself dan think about others, not about myself, Roh Kudus bergegas menghampiriku dan melengkapi, mendorong, memberikan kekuatan, sehingga hari demi hari aku bisa bangun dan memilih untuk percaya kepada Tuhan, untuk memikirkan orang lain, untuk meditate on God’s ways, and to magnify HIM. 

Saat kita mengambil keputusan untuk be still, menjadi tenang di dalam Tuhan, Roh Kudus langsung memperlengkapi kita untuk menjalankan keputusan kita, supaya hari demi hari kita dapat terus melangkah, melangkah, dan melangkah dalam iman. Hingga satu hari tiba, engkau melihat ke bawah, dan tersadar bahwa tidak ada lagi pasir di bawah kakimu! Kamu tidak lagi berada di padang gurun! Kamu berdiri di tanah yang subur, rerumputan hijau dan bunga-bunga indah terhampar sepanjang mata memandang. Kamu sudah berada di tanah perjanjian! Di situ kamu sadar, kamu berada di tanah perjanjian bukan karena situasimu sudah berubah, tapi karena kamu telah mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman dan Roh Kudus telah memampukanmu untuk terus melangkah dalam iman! 

Di saat kamu melangkah dalam iman bersama Roh Kudus, ada sesuatu yang berubah dalam hatimu. Kamu bukan lagi seorang egois yang hanya mengasihani diri sendiri dan memikirkan masalah diri sendiri terus menerus. Kamu bukan orang yang jatuh dalam kubangan yang sama berkali-kali. Di saat engkau berjalan bersama Roh Kudus, hatimu yang ketakutan mungkin akan bertanya kepadamu, “Bagaimana jika… terjadi? What then?”, “Bagaimana jika aku tidak akan pernah punya anak lagi?”, “Bagaimana jika aku tidak akan pernah memiliki pekerjaan yang aku suka?”, “Bagaimana jika aku tidak akan menikah?”. What if? What then?

Roh Kudus akan mengajarimu: “If this happens, then GOD!”. Jika aku tidak akan pernah punya anak lagi, I still have GOD. Aku masih tidak tahu apakah aku akan punya anak lagi, tapi aku tahu aku akan selalu punya Kristus! Hanya ingatlah satu hal: saat kamu berada di padang gurun, ambillah keputusan untuk terus berjalan dalam iman! Ambillah keputusan untuk percaya kepada-Nya, to think about others, to magnify HIM, and to meditate on HIS ways. Tuhan tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan karena IA adalah Tuhan yang menghargai kehendak bebas kita. So, YOU need to make the decision, and when you make the decision, the Holy Spirit rushes to empower you! 

When you find yourself in the desert, the answer is GOD! GOD is my everything, and with my everything I have more than enough! Tanah perjanjianku bukanlah saat aku punya anak lebih dari satu. Tanah perjanjianku adalah tanah dimana aku bisa terus berjalan bersama Roh Kudus dalam iman, bisa terus percaya kepada Tuhan apapun yang terjadi, bisa terus menjadikan Dia yang terutama dalam hidupku. It's not WHAT I have, but WHO I have, and who I have is more than enough! Kristus, Dialah tanah perjanjianku! HE IS MY PROMISE LAND! HE IS MY STRENGTH!

Though he slay me, yet will I hope in him!
(Job 13:15)

Wednesday, August 29, 2018

Susanna Wesley



by Glory Ekasari 

Mungkin tidak ada wanita yang lebih “biasa” dibanding Susanna Wesley, tapi dia bisa jadi adalah salah satu wanita yang paling terkenal dalam sejarah kekristenan. Dari dialah anak-anaknya belajar mengenal Tuhan, sehingga dua dari anak-anaknya, Charles dan John Wesley, dipakai Tuhan dengan luar biasa. John Wesley, putera bungsu Susanna, bersaksi, “Saya belajar tentang Tuhan dari ibu saya, lebih daripada dari semua teolog di Inggris.” Seperti apa wanita yang begitu luar biasa itu? Apakah dia seorang pengkhotbah yang luar biasa, atau seorang profesor yang berprestasi, atau orang kaya yang mampu membayar biaya studi anak-anaknya setinggi-tingginya? 

Susanna Annesley lahir pada tahun 1669 dalam keluarga hamba Tuhan. Ia sangat cerdas, dan seorang yang mencintai Tuhan sejak masa mudanya. Ia banyak membaca buku-buku teologi dan mempelajari Alkitab. Kebiasaan itu ia teruskan sampai setelah menikah dan mempunyai anak. 

Tahun 1688 Susanna menikah dengan Samuel Wesley, seorang pelayan Tuhan. Samuel adalah orang yang cerdas dan disiplin, tetapi ia tidak berhasil secara finansial. Keluarga mereka hidup pas-pasan, bahkan Samuel pernah dua kali masuk penjara karena tidak bisa membayar hutang. Mereka juga mengalami kebakaran rumah dua kali; dalam kebakaran kedua, John, anak mereka, hampir menjadi korban. Samuel dan Susanna memiliki 19 orang anak, 9 di antaranya meninggal ketika masih bayi. Sebagai sesama wanita dan ibu, kita bisa membayangkan betapa kerasnya hidup Susanna; hamil dan melahirkan 19 kali, kehilangan anak 9 kali, mengurus 10 orang anak, dan itu semua dalam keadaan finansial yang buruk, bahkan mengalami malapetaka kebakaran dua kali. 

Hubungan Susanna dan suaminya juga tidak senantiasa adem ayem. Pernah terjadi perselisihan yang cukup parah, yang membuat Samuel sampai meninggalkan Susanna dan anak-anak mereka selama setahun lebih. Dalam keadaan seperti itu, Susanna tidak menjadi pahit dan memutuskan hubungan dengan suaminya. Mereka tetap berkirim surat, dan sekali waktu Susanna menulis: 
Saya ini seorang wanita, yang juga adalah ibu dalam keluarga yang besar. Dan sekalipun tanggung jawab utama atas jiwa-jiwa dalam keluarga kita ada di pundakmu, sekarang ini ketika kamu lama pergi, saya terpaksa memandang setiap jiwa (yaitu anak) yang kamu tinggalkan bersama saya sebagai talenta yang dipercayakan kepada saya. Saya bukan pria, saya juga bukan hamba Tuhan, tetapi saya merasa harus melakukan lebih dari yang sudah saya lakukan selama ini. Saya putuskan untuk mulai dengan anak-anak saya sendiri, dan ini yang saya lakukan: saya menyediakan waktu semampu saya setiap malam untuk mengobrol dengan anak-anak, satu demi satu. Senin dengan Molly, Selasa dengan Hetty, Rabu dengan Nancy, Kamis dengan Jacky, Jumat dengan Patty, Sabtu dengan Charles. 

Dalam keadaan dimana wanita lain mungkin meratap dan hancur lebur, Susanna tetap teguh. Semua yang mengurus rumah tangga tahu bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak ada habisnya, apalagi dengan 10 anak! Tetapi anak-anak Susanna tahu bahwa ada jam tertentu dalam sehari dimana ibu mereka tidak bisa diganggu, karena ia bersekutu dengan Tuhan. Susanna juga sempat-sempatnya membuat jurnal pribadi yang berisi tafsiran firman Tuhan yang ia pelajari tiap hari. Di kemudian hari, ketika Charles Wesley mulai mengalami pengalaman pribadi dengan Tuhan, ia mencari tahu apa makna dari semua pengalamannya itu dan menulis surat kepada orang yang dia tahu pasti memiliki jawaban: ibunya. 

Semua anaknya homeschooling sejak usia 5 tahun. Susanna-lah yang mengajar mereka baca tulis, sampai bahasa Latin dan Yunani. Ia adalah sumber pengajaran bagi anak-anaknya. Tidak hanya itu. Ketika Susanna merasa anak-anaknya tidak mendapat makanan rohani yang cukup dari khotbah di gereja pada Minggu pagi, ia mengumpulkan mereka lagi pada Minggu siang untuk mendengarkan firman Tuhan. Lama-lama semakin banyak yang ikut “kebaktian” yang diadakan Susanna ini, bahkan sampai 200 orang. 

Nama Susanna Wesley menjadi identik dengan ketangguhan dan kesetiaan seorang wanita. Susan Pellowe, penulis biografi Susanna Wesley, menulis demikian: 

“... Sekalipun dia tidak pernah berkhotbah atau menerbitkan buku atau mendirikan gereja, dia dikenal sebagai Ibu Gerakan Metodis. Mengapa? Karena dua dari anak-anaknya, John Wesley dan Charles Wesley, sebagai anak - sadar atau tidak, menerapkan teladan dan pengajaran dan suasana dari rumah tempat mereka berasal.” 

Wanita punya kekuatan yang tidak nampak, yang bernama pengaruh. Seorang ibu yang baik mempengaruhi anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang baik. Seorang isteri yang baik membuat suaminya maju tanpa beban pikiran. Saya rasa orang paling beruntung dalam cerita di atas adalah Samuel Wesley. Dia mendapatkan isteri yang lebih berharga dibanding permata! 

Ketika saya mempelajari kisah hidup Susanna Wesley, saya jadi malu hati. Kesulitan saya tidak ada seujung kukunya, tapi seringkali saya begitu cepat menjadi lemah. Susanna Wesley, sebaliknya, mengambil kekuatan dari mata air yang tidak pernah kering; ia disiplin dalam persekutuan dengan Tuhan, sumber kekuatannya. Wanita yang tidak nelangsa saat ditinggalkan suami dengan anak yang masih kecil-kecil (saat itu John belum lahir), bahkan memandang anak-anaknya bukan sebagai beban melainkan sebagai talenta yang harus dikembangkan, pasti bukan wanita biasa. Ini adalah a woman of strength, a woman of valor. 

Kekuatan yang memampukan Susanna Wesley untuk menang dalam hidupnya, tersedia juga bagi kita. Bukan hanya dia, kitapun dapat menjadi women of valor dengan pertolongan Roh Kudus. 

-

Referensi: 

Wednesday, July 25, 2018

God, My Family, and Me



Compiled by Grace Suryani Halim

Alo moms and moms-to-be! Adalah hal yang sangat wajar setelah punya anak, beberapa atau bahkan banyak dari kita mengalami kesulitan untuk mengatur waktu saat teduh dengan mengurus anak dan keluarga. Kalau dulu, bisa dengan anteng saat teduh pagi-pagi, sekarang sebelum kita bangun sudah ada suara oek-oek bayi yang minta susu. Begitu selesai memberi susu, eh sudah harus menyiapkan sarapan untuk suami, dan seterusnya. 

Secara teori, kita sadar dan paham betul bahwa waktu teduh dengan Tuhan itu luar biasa super duper penting. Tapi kadang dalam prakteknya, kita ga tau harus gimana... Nah, di edisi kali ini, akan ada sharing dari para ibu-ibu single fighter yang mengurus anak sendiri tanpa bantuan babysitter maupun ortu. Gimana sih caranya mereka mengatur waktu untuk saat teduh di tengah kesibukan? Yup, it’s hard, but this is not impossible :) 

***


Sesudah punya anak, waktu teduh saya ga bisa kayak dulu lagi mau kapan dan berapa lama. Sekarang harus pinter-pinter membagi waktu, karena selain spend time with God, saya percaya Tuhan juga mau saya melayani keluarga (suami+anak). Jadi saya cari waktu yang saya bisa duduk diam di hadapan Tuhan. Dan itu biasanya siang atau malam setelah Chloe tidur (karena pas suami ada di rumah dan Chloe sedang bangun, saya ga bisa duduk diam :p).Terus kalau lagi devotion sama Chloe, saya juga kayak devotion lagi, karena ketika saya ceritain dia Alkitab, saya diingatkan lagi tentang kasih Tuhan. Selain itu, saya juga biasain untuk ngobrol sama Tuhan setiap saat - saat masak, cuci piring, main sama Chloe, dan lain-lain. Cuma satu dua kalimat pendek saja (kadang sharing, kadang pujian, kadang keluh kesah, hehe...), tapi saya bisa merasakan Tuhan itu dekat dan mendengarkan saya. 

Well, jadi ibu rumah tangga itu kerjaannya ga pernah habis, tapi saya diingatkan terus sama cerita Maria-Martha. Jangan sampai saya terlalu sibuk sampai ga ada waktu untuk mendengarkan Tuhan. Jangan-jangan sebenarnya saya malah sibuk melayani diri sendiri, bukan Tuhan. Meski saya masih jatuh bangun, saya yakin kasih karunia Tuhan itu selalu cukup dan akan memampukan saya untuk bisa lebih baik lagi dalam mengasihi dan melayani Tuhan dan keluarga :) 

Minda {Mama Chloe - 2.5 tahun}


***


Enam tahun jadi mama, saya udah cobain macem-macem formula buat saat teduh yang efektif, efisien, tapi belum nemu yang pas. Tiap fase umur anak beda waktu luang yang tersedia buat saya. Jadi kudu fleksibel dan siap berubah. Dulu pas anak saya batita rasanya super susah selipin waktu, eh sekarang setelah anak kelas 1 SD kok masih tetep susah juga. Tekad n kemauannya mungkin yang masih kurang. 

Dulu saya suka berlama-lama saat teduh, sambil santai, melamun (baca: meresapi firman :p), mikir ini itu, nyanyi, doa syafaat, dll. Sejak ada anak mah ngga bisa lagi lah yauw, waktu luang udah jadi barang mewah. Jadi saya akalin dengan cara membagi waktu saat teduh jadi beberapa bagian, gak sekaligus. Misal pagi doa dulu, nanti siangan kalo ada kesempatan baca firman barang 5-10 menit, sore kalo anak tidur siang, saya nyanyi beberapa lagu sama doa syafaat, yah begitu deh diselip-selipin aja 'potongan2' waktu saat teduhnya di sela-sela aktivitas. Puas? Engga tuh, karena jadi makin banyak halangan dan bolongnya. Pernah mencanangkan mau bangun pagian, tapi sampe stres sendiri krn ga kunjung berhasil, I'm not a morning person. 

So, buat fase saya sekarang, waktu paling enak adalah setelah saya nge-drop anak di skul. Keluar dari kompleks skul, saya cari tempat di mana saya bisa parkir, terus saya ambil waktu doa bentar, kadang sama baca firman, abis itu baru lanjut aktivitas ke pasar dan sebagainya. Kadang saya buru-buru dan ngerasa ga sempet saat teduh, tapi herannya kok sempet BBM-an ama suami atau temen yang ultah. Balik lagi ke niat ya, niatnya dulu yang hrs diperkuat, baru halangan bisa dilawan. 

Natalia {Mami Darren - 6 tahun}


***


Cara saya untuk tetap saat teduh dan menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan di tengah segala kesibukan adalah dengan berusaha bangun paling tidak 30 menit lebih awal dari Jane. Pernah ada satu masa begitu saya keluar dari kamar, Jane pasti bangun -,- Karena itu beberapa bulan saya saat teduh di toilet kamar pake handphone.

En setelah punya anak, saya jadi sangat sadar bahwa saya bener-bener butuh Tuhan selalu. Terutama kalo Jane lagi cranky dan sangat susah diatur. Karena itu saya berusaha untuk berdoa singkat sesering mungkin. Kalo pas lagi frustasi sama Jane, doa saya, “God, please help meee...” Kalo lagi frustasi en ga tau mesti ngapain ya doa, “Tuhan, I don’t know what to do. Please help me.” Kalo Jane lagi kalem dan baik, “Thanks for your blessing, Lord.” Pokoknya sebisa mungkin selalu melibatkan Tuhan dalam setiap kejadian yang saya alami dengan Jane. Selain itu saya juga menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan lewat nyanyian. Baik itu lewat lagu yang dipasang di computer maupun ketika mengajarkan lagu-lagu rohani kepada Jane. 

Grace {Mami Jane - 2 tahun}


***


Saat teduh saya dalam satu hari bisa 'berseri'. Perlu beberapa 'episode' untuk bisa selesai baca dan doa. Contoh: biasanya saya mulai saat teduh waktu Jeremiah morning nap. Mulai dengan membaca dan merenungkan perikop Alkitab, trus terkadang terpotong karena anak bangun perlu diurus. Trus kadang perlu siapin makan siang, jadi disambung lagi waktu Jere independent play time. Jere main-main, saya duduk di sampingnya dan meneruskan saat teduh. 

Saya merasa bahwa saat teduh harus dilihat sebagai kebutuhan bukan rutinitas. Sehingga kalau itu dilihat sebagai kebutuhan, seperti makan atau mandi maka kita pasti pasti berjuang untuk meluangkan waktu. Tapi jika kita melihatnya hanya sebagai rutinitas, mudah untuk melepas waktu teduh karena ada banyak rutinitas yang lebih keliatan, misalnya menyiapkan makanan, bersih-bersih rumah dan lain-lain. Akhir-akhir ini saya juga banyak merenungkan kebaikkan Tuhan melalui lagu-lagu pujian seperti hymn. Mendengarkan lagu-lagu itu seperti nourishing my soul. 

Ipei {Mama Jeremiah - 1 tahun}


***


Karena gue kerja full-time dan juga aktif pelayanan, waktu di rumah atau alone-time itu sangat sedikit. Pertama-tama habis punya anak, merasa bersalah sekali ga bisa pacaran ama Tuhan sampe berjam-jam kayak waktu single. Tapi after a while, I got sick of feeling guilty if I couldn't spend a lot of time with the Lord alone. Lama kelamaan gue sadar, bahwa meskipun gue ga berjam-jam ngabisin waktu alone with Him, kok gue masih bisa denger Dia ngomong ke gue ya. Maksudnya selalu ada aja yang gue dapetin dari Tuhan. Mau itu pas lagi gantiin diaper anak kek, atau lagi masak kek. 

Someone told me the following statements yang membuka pandangan gue. Selama ini kita biasanya bilang begini: in our life, God is number 1, family number 2, pelayanan number 3. Sebenernya ada yang salah dengan perkataan ini. Instead of putting God number 1, and the rest are secondary, why not we put God in everything. Jadi misalnya family number 1 (God is in there), pelayanan number 2 (God is also there), kerja number 3 (God is there too). So God is everywhere in every aspect of our lives. Bagi gue, itu lebih make sense. And it works for me. 

Gue bukan morning person. Sampe skarang gue berulang kali berusaha bisa bangun jam 5 buat saat teduh, tapi ga kesampean melulu. Kan banyak yang bilang, put God first in your life by waking up early and saat teduh. Aduh, sampe sekarang gue kagak bisa-bisa lakuin itu. Sampe akhirnya bete sendiri dan merasa bersalah kok sepertinya gue ga put Him first before I start my day. Makanya gue agak surprised when I am still able to hear His voice and received fresh revelations eventhough gue ga dwell berjam-jam in His Word. But of course I still need to eat my bread (the Word), jadi gue sedikit-sedikit ambil waktu saat teduh disana-sini. Biasanya sih kalau lagi di bus mau pergi kerja. Perjalanan sekitar 45 menit. Pasang earphone, denger lagu rohani and baca renungan yang gue taruh di HP. Kadang suami gue mengantar gue ke tempat kerja dengan mobil gereja (dia bawa kalo buat pelayanan), gue bacain satu atau dua pasal dari Alkitab buat suami gue dan gue. Lalu kita diskusi apa yang kita dapet dari pasal itu. So, lets make God be in every aspect of our lives. Meskipun ga teratur saat teduh, Tuhan pasti masih bisa ngomong ke kita, karena Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan kita. Yang penting jangan merasa bersalah dan tertuduh. Perasaan-perasaan itu tidak datang dari Tuhan. 

Nelly {Mama Aiden - 1 tahun}


***

Bagaimana moms, membaca sharing-sharing di atas? Semoga kiranya Tuhan sendiri yang menolong dan memampukan kita untuk terus bertumbuh dan makin dekat dengan-Nya. Tanpa pertolongan Tuhan sia-sialah semua usaha kita untuk menjadi orang tua maupun menjadi istri. 

Friday, June 29, 2018

Doa Seorang Ibu


by Sarah Eliana

Seperti kebanyakan ibu, aku bermimpi dan berdoa agar anakku menjadi orang yang sukses. Wajar sekali kan? Ibu mana yang today ngga berdoa seperti itu? Ya ngga? Anyway, doa tentang anakku ini bikin aku ingat dulu ketika aku berdoa tentang pasangan hidup. Salah satu nasihat yang masih kuingat adalah nasihat Oma. Oma bilang, sebagai seorang lajang, aku tidak seharusnya fokus pada daftar kriteria "nanti suamiku harus begini, begitu, begonoy, and begetong," tapi sebaliknya, aku harus fokus pada membentuk diriku menjadi wanita yang berkenan di hadapan Allah. Nah, sama prinsipnya dengan berdoa untuk anak. Daripada fokus pada doa tentang anakku harus begini dan begitu, aku belajar berdoa tentang pembentukan diriku menjadi ibu yang Tuhan inginkan. 

Inilah doaku...
Saat panggilan sebagai seorang ibu aku terima, tolong aku menjadi Ibu yang Engkau kehendaki untuk jiwa- jiwa berharga yang Kau anugerahkan kepadaku. 
Tolong aku menjadi seperti Sarah yang taat pada suaminya, tanpa keluhan dan sungut-sungut, kemanapun Engkau memerintahkan Abraham, suaminya, pergi. Biarlah ketaatanku menadi teladan bagi anak-anakku, Tuhan, agar mereka belajar until taat kepada-Mu. Inilah mimpiku yang terbesar: mereka mengenal, menghormati, takut dan mencintai-Mu, Bapa. 
Tolong aku menjadi seperti Hana yang mau mempersembahkan anaknya, Samuel, untuk melayani-Mu. Kemanapun Tuhan suruh mereka pergi, ke pelosok hutan di Afrika atau jajaran pelaku korporasi, tolong aku until mendukung dan menyemangati mereka. Ajar aku mengerti bahwa kemana mereka Kau panggil untuk pergi, itu Karena Engkau tahu disanalah tempat mereka bisa lebih dekat kepada-Mu. Ajar aku tidak fokus kepada menjadi APA anak-anakku, tetapi menjadi SIAPA mereka di dalam Tuhan. Jangan biarkan aku menjadi Ibu yang yang mendorong mereka menjadi pemimpin, disaat Tuhan ingin mereka menjadi pengikut. Yusuf bukanlah pemimpin yang hebat, tapi dia diberi anugerahkan terbesar sebagai pria yang membesarkan Pangeran Surgawi. Yusuf adalah tukang kayu sederhana yang hidupnya hanya ingin memuliakan-Mu, dan Engkau menghargainya karena itu. Tolong aku, Tuhan, agar tidak mendorong anak-anakku menjadi CEO, pengacara, dokter, ilmuwan, jika yang Engkau kehendaki dari mereka adalah hidup sederhana yang memuliakan nama-Mu. Bukan namaku Tuhan yang utama, melainkan nama-Mu saja. Tolong aku, tolong aku menyerahkan mimpi-mimpiku dan memberi ruang bagi mimpi-mimpi-Mu untuk mereka... APAPUN itu. 
Tolong aku menjadi seperti ibu Raja Lemuel yang mengimpartasikan hikmat Surgawi bagi anaknya. Ajar aku hanya membuka mulutku untuk mengucapkan berkat Dan semangat, khususnya bagi keluargaku. Bungkam aku, Tuhan, jika perkataanku terus menjatuhkan suami dan anak-anakku. Biarlah bibirku menjadi sumber perkataanku kasih, semangat, dukungan dan doa bagi keluargaku, Bapa. 
Tolong aku menjadi seperti Debora, yang berperang penuh keberanian bagi Israel. Akan selalu ada peperangan yang harus diperjuangkan saat membesarkan anak-anak. Mungkin peperangan itu adalah memenangkan anak-anak yang ingin menjauh dari Engkau atau melepaskan mereka dari ikatan dosa tertentu. Ingatkan aku terus, Tuhan, bahwa tidak seorangpun sempurna, termasuk anak-anakku. Jangan biarkan aku menuntut mereka menjadi sempurna, tapi ajar aku untuk berperang bagi mereka dalam doaku. Biarlah gambaran ibu yang berlutut dan berdoa adalah gambaran yang mereka ingat tentang aku. 
Tolong aku menjadi seperti Maria yang duduk dengan setia di kaki-Mu untuk mendengarkan Firman-Mu. Biarlah aku menjadi teladan bagi anak-anakku tentang apa artinya tertanam dalam perkataan-Mu. Biarlah aku menaruh Firman-Mu dalam hati dan pikiranku, mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahiku. Biarlah aku mengajarkannya pada anak-anakku, membicarakannya saat mereka duduk dan berdiri, saat mereka tidur dan bangun. 
Ajar aku, Tuhan, bahwa anak-anakku bukanlah semestaku. Ingatkan aku bahwa Engkaulah yang terutama. 
Tolong aku agar tidak mngedampingkan suamiku, tapi Makin mencintainya setiap Hari, sehingga anak-anakku melihat dan mengalami seperti apa pernikahan di dalam-Mu.
Biarkan aku belajar bahwa aku tak punya kekuatan tanpa-Mu, Tuhan. Biarlah aku memuliakan-Mu untuk setiap hal baik yang terjadi dalam hidup anak-anakku. Biarlah aku tidak menyombongkan diri tentang kesuksesan mereka. Biarlah aku bermegah hanya di dalam-Mu. 
Tolong aku, Tuhan, menjadi Ibu yang berkenan di mata-Mu, bukan agar anak-anakku menjadi orang sukses, tapi supaya mereka tumbuh menjadi anak-anakku laki-laki dan perempuan yang menyenangkan Engkau karena itulah kesuksesan sejati. Biarlah nama-Mu dimuliakan di dalam dan melalui hidup mereka karena itulah tujuan mereka diciptakan.

"Anak-anaknya bangun dan menyebutnya berbahagia”
(Amsal 31:28)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dear Abba Father, 
When the calling of motherhood is bestowed upon me... help me to be the kind of mother You want me to be for those precious gifts you are giving us.  
Help me to be like Sarah the submissive wife who without complaints and grudge went wherever You called her husband Abraham to go. May my submission be an example to my sons and daughters, Lord, that they too learn to be submissive to You. This is my highest dream for them that they come to know, respect, fear, and love You, Father.  
Help me to be like Hannah who so willingly gave up her son Samuel to Your service. Whether You want to put them in the deep jungle of Africa or the crazy jungle of corporate ladders, Lord, help me to support and encourage them. Teach me to understand that wherever they are called to go, it is because You know that's exactly where they can bring others closer to you.Teach me NOT to focus on WHAT my children can be, Lord, but WHO they can be in Christ. Don't let me push them to be leaders if what You want for them is to be followers. Joseph was no great leader, and yet he was given the highest honor to be the man who brought up the Prince of Heaven. Joseph was a humble carpenter whose life simply was to honor You, and because of that You honor him. Oh teach me, Lord, not to push my children to be CEOs, lawyers, doctors or rocket scientists if what You want from them is a humble life that glorify YOUR name. Not mine, Lord, not my name, but YOURS ALONE! Help me... help me give up my dreams for them to make room for YOUR dreams for my children, Lord... WHATEVER Your dreams for them are.  
Help me to be like the mother of King Lemuel who imparted godly wisdom to her child. Lord, please teach me to ONLY open my lips when what I want to say will bless and encourage others, especially my family. Strike me mute, Lord, if I constantly bring my husband and children down with my words. May You use my lips as the source of words of love, encouragement, support, and prayers for my family, Father.  
Help me be like Deborah, Father, who so courageously fought Israel's battles There will be battles to be fought, I know, when raising children. Some of them might want to stray away from Your Word, Father. Some might struggle with certain sins, and yet some others might struggle with insecurity or a certain obsession. Constantly remind me, Father that nobody is perfect, including my children! Don't let me expect them to be perfect, Lord, but teach me to fight those battles for them in my prayers.May the image of a mother who kneels and prays for my husband and children be what they remember me for, Father. 
Help me to be like Mary who sat down ever so faithfully at Your feet to listen to Your Word, Lord. May I be an example to my children of what it means to be planted in Your word, Father. May I fix Your words in my heart and mind; tie them as symbols on my hands and bind them on my forehead. May I teach them to my children, talking about them when we sit at home and when we walk along the road, when we lie down and when we get up.  
Teach me, Father, that my children are NOT my universe. Constantly remind me that YOU are my number 1. 
Help me NOT to kick my husband to the sideline, but to love him more and more each and every single day that my children will experience and know what a godly marriage is all about.  
May I learn that I am powerless without You, Abba Father. May I give glory for every good things that come into the lives of my future sons and daughters. May I not boast about their successes. May I boast in YOU only, Lord =)  
Help me, Father, to be a godly mother NOT so that my children be successful but so that they grow up to be men and women after Your own heart because that is the true success. May YOUR name be glorified in and through their lives because that is the purpose of their creation.

Friday, June 22, 2018

Spiritual Refreshment


by Lia Stoltzfus

Much prayer, much power.
Little prayer, little power.
No prayer, no power.

Itu yang saya rasain, babak belur jatuh bangun kalo saya gak mulai hari saya sama Tuhan. 

Saya bisa gampang ‘irritated’ dan juga emosional banget, gak sabaran khususnya kalo kudu deal sama ketidaktaatan anak-anak dan kalo udah gak sabaran, emosi, marah, fyiiiuh... biasanya end up dengan perasaan guilty yang melekat erat di hati kayak ditempel lem aica aibon. Ngerasa jadi emak yang gagal dan bukan mama yang baik.

Orang pikir saya punya disiplin rohani yang baik tapi mereka gak tau betapa saya juga bergumul untuk punya kehidupan doa dan juga lively personal devotions. Saya gak bergumul soal bangun pagi, I am a morning person and early riser. Bangun di antara jam 4-5 pagi itu sudah jadi kebiasaan buat saya sejak saya masih single. Tapi saya bergumul untuk: gak buka facebook or blog or email sebelum saya buka Firman Tuhan, bergumul untuk ‘kendaliin’ pikiran saya (baca: FOKUS) selama saya baca Firman, bergumul buat gak ‘nyasar’ kemana-mana kalo lagi ambil waktu buat ngerenungin Firman dan pikir gimana caranya saya bisa apply Firman dalam hidup saya sehari-hari. Bergumul... bergumul... bergumul, kadang menang, kadang juga gagal, tapi saya gak mau nyerah. Yah, saya juga ngalamin waktu-waktu dimana saya gak merasa haus dan lapar akan Tuhan. I don’t desire God anymore dan saya tau kalo saya kaya gitu, artinya ‘alarm’ uda kelap-kelip, spirit saya tentu saja super duper weak dan saya kudu buru-buru BERTOBAT! 

Tahun 2013 saya banyak pengalaman pribadi yang indah sama Tuhan tapi ada juga hal-hal yang saya GAK PUAS dalam hubungan saya sama Dia. Saya tau banget hubungan saya sama Tuhan itu SANGAT MEMPENGARUHI hubungan-hubungan lainnya, kalo saya gak deket sama Tuhan yang paling bisa rasain efek negatifnya tuh suami dan anak-anak saya. Begitu sebaliknya, kalo saya INTIM sama Tuhan, mereka juga yang paling rasain ‘manis’-nya mama mereka *hahaha, madu kaleee* 

Semakin lama jadi mama, semakin saya sadar kalo saya bener-bener butuh kekuatan dan hikmat dari Tuhan buat jalanin fungsi saya. KEKUATAN dan HIKMAT Tuhan itu kita dapatkan lewat Firman Tuhan. Baca Alkitab doang gak cukup, kudu ngerenungin, bahkan juga kalo bisa hafalin, perkatakan dan juga tentunya praktekkan Firman Tuhan tersebut. Bagian kita adalah baca... baca... baca..., renungin dan praktekkin. YES, sebisa mungkin kita kudu ‘store’ Firman Tuhan di dalam hati kita, nanti Roh Kudus yang memberikan rhema. Rhema adalah FIRMAN yang ‘dihidupkan’ Roh Kudus sesuai dengan SITUASI yang kita hadapi untuk menjawab ‘KEBUTUHAN’ kita. 

So inilah yang saya lagi berusaha untuk terus bangun secara konsisten: 
  • Saat teduh pagi secara pribadi (doa dan baca Firman) jadi hal yang diprioritaskan sebelom lakuin yang laen. 
  • Hafal minimal 1 ayat selama seminggu dan coba renungin secara khusus ayat tersebut sepanjang minggu. 
Here are some practical tips or ideas to establish consistent devotions and prayer life and develop your relationship with God: 
1. Wake up earlier before the kids wake up
Pagi hari adalah waktu yang paling baik buat saya sebelum pikiran saya penuh dengan banyak hal dan terlalu lelah untuk ‘berpikir’. When I start my day with God, it makes me more ready to face the day! Saya itu cukup ‘kejar-kejaran’ sama anak-anak karena anak-anak saya early risers juga, mereka bangun di antara jam 5.15 - 5.45 pagi! Sebelum mereka bangun saya berusaha udah selesai saat teduh, tapi yah gak selalu kayak gitu juga, kadang saya capeeek sekali, rough nights karena baby ngalamin growth spurts dan more frequent night feeding bikin saya bangun telat. Makanya kalau ada anak yang udah bangun, saya ajar mereka untuk main sendiri (quiet time). Yang pasti, don’t be too hard on yourself if you feel like you aren’t spending a lot of time in personal devotions. Fasenya emang udah beda, gak bisa kayak single dulu yang bebas tengkurepan baca Firman dan ngejurnal saat teduh sampe lama. Just make sure, start your day with GOD lewat doa ucapan syukur dan baca Firman-Nya. However, ada orang-orang yang lebih alert di waktu malam, artinya lebih demen ambil waktu saat teduh pas malem habis anak-anak tidur, silahkan saja tapi tetep start your day with God lewat doa, menyadari keterbatasan dan kebergantungan kita akan Tuhan. 

2. Singing throughout the day
Usahain kerjaan rumah kayak nyuci piring, masak, ngepel or even waktu nursing the baby dikerjain sambil nyanyi nyembah Tuhan. Singing is a form of worship. Orang yang nyanyi memuji Tuhan gak bakalan jadi org yang ‘grumpy’. Coba deh, setiap rasanya pengen marah-marah, ada hal yang bikin jengkel or ngerasain burden yang begitu kuat, start to sing out loud! It is hard to sing and continue to be grumpy.

3. Put a Bible in the bathroom
Manfaatin waktu terutama pas lagi ‘nongkrong’ di WC, hehe, buat feeding your spirit. Steal time to catch up your bible reading. Saya juga taruh selembar kertas setiap minggu yang saya tulis ayat hafalan untuk saya baca dan renungkan mendalam pas saya di kamar mandi. 

4. Taruh buku rohani deket ranjang, jadi pas ‘ngelonin’ anak bobo bisa sambilan baca buku
Baca buku rohani berguna banget buat nambahin pemahaman kita sama Firman Tuhan. Banyak orang ngga suka baca dengan alasan mereka ngga punya waktu. Nah, daripada bengong waktu ngelonin anak, mending curi-curi waktu yang ada buat baca. 

5. Download mp3 kotbah dan dengerin pas lagi nyetrika baju
Seri khotbah favorit yang saya dengerin berulang2 tiap taon adalah the Godly Home Series by Denny Kenaston. Khotbahnya bisa di-download di sini

6. Pray anytime. 
Anytime means anytime. When folding the laundry or washing the dishes, we can pray for people who come into our mind or kadang bisa juga pelan-pelan berbahasa roh membangun iman kita. Kita juga bias berdoa pas malem-malem susah tidur, kebangun tanpa alasan ato juga waktu menyusui anak. Selain itu, ambil waktu buat mendoakan orang lain waktu doa ngucap syukur buat makanan. Babe mertua saya kalo mimpin doa buat ngucap syukur pas meal time selalu ambil waktu buat doain orang lain juga (buat mereka yang sakit/ngalamin kesusahan/ada pergumulan khusus) gak heran anaknya (baca: suami saya) juga kayak gitu ;p Yah, hal ini jadi momen yang bagus buat bikin sekeluarga juga jadi doain orang lain.

7. Tulis ayat Firman Tuhan pake dry erase marker di pojok kaca
Intinya sih, tulis Firman Tuhan di tempat-tempat yang sering kita lihat. Biarkan otak kita di-expose dengan Firman. Kalau di kaca kan tiap kali ngaca (hehe...) bisa sambil baca tuh Firman. Gak hanya Firman Tuhan aja sih, bisa aja tulis: "I need You everyday, Lord." Asiknya, tulisannya bisa diganti-ganti, kan tinggal diapus doang. 

8. Subscribe email buat langganan ‘makanan rohani’
Contohnya ini: httapi://www.cfcindia.com/web/mainpages/word_for_the_week.php. Kalo subscribe, stiap minggu bakalan dikirimin ‘word of the week’. Selama 3 tahunan ini saya dibangun lewat baca ginian tiap minggu. 

9. Gunakan alarm HP untuk pengingat buat berdoa
Dulu pas masih single saya suka set alarm di HP setiap jam 12 dan jam 3 sore buat pengingat doain anak-anak komsel, anak binaan dan juga keluarga yang belum kenal Tuhan. Sekarang udah jadi mama tentunya saya kudu sering nabur doa buat anak-anak saya dong ya... Tiga unyil yang Tuhan udah percayain kepada kami. Pagi pas family devotions sih selalu doain anak-anak tapi abis itu udah enggak lagi, hehehe... Cuma sekarang saya pake ‘azan’ (panggilan sholat buat orang muslim) sebagai pengingat buat saya doain anak-anak saya, hehe... Jadi tiap kali denger azan, I whisper a prayer to heaven for my kids salvation.

Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan bukan hal yang susah kalo kita punya hati yang mau. Be creative aja cari cara-cara yang bikin kita enjoy tiap hari jalan sama Tuhan. Yuks, kita bertumbuh bareng-bareng tahun ini, saling mengingatkan dan mendukung untuk makin deket sama Tuhan. Amin! 

Monday, April 30, 2018

A Real Woman is..



by Sarah Eliana


"A real woman always keeps her house clean and organized, the laundry basket is always empty. She is always well dressed, hair done. She never swears, behaves gracefully in all situation and under all circumstances. She has more than enough patience to take care of her family, always has a smile on her lips, and a kind word for everyone. Post this status if you, too, have just realized that you might be a man".

Temenku pasang status itu di FB kemaren. It is funny, isn't it? Tapi, menurutku, di belakang kelucuannya ada kebenaran dan rada2 tragis juga gak sih? =P Di jaman modern gini, kita cewek2 selalu meminta persamaan derajat, emansipasi wanita, girl power, diperlakukan sebagai princesses and queens, bla bla bla. Tapi, lucu... kalo we look inside ourselves as women, we have all failed to be real women. Lahhhh... jadi tragis gak sih kita meneriakkan persamaan derajat, emansipasi, dll, padahal kita sendiri belon 100% memahami  apa itu arti menjadi  "a real woman", atau jangan2 kita meneriakkan hal2 yg feminist karena jauh di dalam hati kita takut that we will never have what it takes to be a true woman (makanya mau persamaan derajat? atau sebenernya mau minta supaya kita jadi cowok aje supaya gak perlu susah2 jadi cewek? hihihi).

Btw, status FB di atas itu baru sebagian lho dari apa yg disebutkan di Amsal 31. Udah baca? Coba deh baca lagi. Asli lho kalo baca Amsal 31 itu, rasanya aku pengen nguburin kepala dalem2 ke tanah! Dan tiap kali baca Amsal 31 itu, seperti ada yg berdengung2 di kepala 'You will NEVER be this woman! You will NEVER have what it takes to be a woman God wants you to be!'. HUH! *dengungan setan*


Setelah baca status FB itu, aku melihat keadaan rumahku. Aje gile .... house clean and organized, laundry basket is always empty?? BORO - BORO!! Ada 1 keranjang cucian yang masih teronggok dipojokan. Mainan si DS ada bertebaran di lantai ruang tamu. Always well dressed, hair done?? HA! Jangan bikin aku ketawa! Abis mandiin anak aja udah basah kuyup! Abis nyapu, ngepel, dll udah keringetan lagi. *rasanya lebih terlihat seperti pembantu daripada istri* She never swears, behaves gracefully ... *tertawa dalam hati* Booohooonnng kalo aku gak pernah have a bad day and dalam hati marah2 ... walaupun gak ada yg denger, toh Tuhan denger. Bahkan, kalau mau jujur, pernah koq kata2 tak senonoh keluar dari mulutku *tertunduk malu*. She has more than enough patience for her family, always has a smile, and a kind word?? *jedukin kepala ke tembok* Kalo DS rewel semaleman aja, kesabaranku udah ilang terbang ke kutub selatan sono! Mama ngantuk, Pooohhh ... kamu tidur juga yachhhhh. 

Girls, siapa diantara kalian yg selalu selalu and selalu have more than enough patience for family and more. Siapa yg selalu tersenyum? Siapa yg selalu dan selalu have a kind word for everyone? Ayukk... acung tangan... Mana??

*koq sepi?* 

Yup! The truth is we haven't always been 'a real woman', right? Apalagi kalo baca Amsal 31, rasanya 'Duh, Tuhan, I have failed as a woman, a wife, a mother, AND a Christian'. Just 2 days ago, aku ngomong begitu ke DH. Seharusnya aku dilahirkan jadi seorang pria... or kata2 tepatnya adalah "I think I would make a better man than a woman!". DH ketawa ngakak (yeeeeeee malah ketawa. I was serious lho, Pak), trus dia bilang "Don't beat yourself up. We are all works in progress. You can't be perfect because you are not God, but He is building you up more and more everyday". *air sejuk di hati yg panas hehe* Nah, abis itu... aku diingetin bahwa kalo aku baca Amsal 31, dan memiliki attitude yang salah, itu akan membuat si iblis dengan mudah menggoda atau memasukkan pikiran2 yg gak beres. Tapi, kalo aku baca Amsal itu (and any other verse in the Bible) with the right heart attitude, I will be blessed.

I can look at my messy house and think "Dang! I'm a BAAAAADD wife!". I can look at my laundry basket that is full with dirty clothes and diapers and think "ARGGHH!! Kill me now!!!". or I can say a prayer...

Dear Lord,

Thank you for this sink of dirty dishes; we have plenty of food to eat.
Thank you for this pile of dirty, stinky laundry; we have plenty of nice clothes to wear.

And I would like to thank you, Lord, for those unmade beds; they were so warm & comfortable last night. I know that many have no bed.

Many thanks to you, Lord, for this bathroom, complete with all splattered mess, soggy, grimy towels, and the dirty lavatory; they are all so convenient.

Thank you for this finger-smudged refrigerator that needs defrosting so badly; it has served us faithfully for many years. It is full of cold drinks and enough leftovers for two or three meals.

Thank you, Lord, for this oven that absolutely must be cleaned today; it has baked so many things over the years.

The whole family is grateful for that tall grass that needs mowing and lawn that needs raking; we all enjoy the yard.

Thank you, Lord, even for that slamming screen door. My kids are healthy and able to run and play. Many children cannot.

Lord, the presence of all these chores awaiting me says You have richly blessed my family. I shall do them cheerfully and I shall do them gratefully.

Even though I clutch my blanket and growl when the alarm rings ... Thank you, Lord, that I can hear. There are many who are deaf.

Even though I keep my eyes closed against the morning light as long as possible ... Thank you, Lord, that I can see. Many are blind.

Even though I huddle in my bed and put off rising ... Thank you, Lord, that I have the strength to rise. There are many who are bedridden.

Even though the first hour of my day is hectic with socks that are lost, toast that is burned, tempers that are short, and my children are so loud ... Thank you, Lord, for my family. There are many who are lonely.

Even though are breakfast table never looks like the pictures in magazines and the menu is at times not balanced ... Thank you, Lord, for the food we have. There are many who are hungry.

Even though the routine of my job is often monotonous ... Thank you, Lord, for the opportunity to work. There are many who are jobless.

Even though I grumble and bemoan my fate from day to day and wish my circumstances were not so modest ... Thank you, Lord, for life.
(Author Unknown).

Untukku, I must add to that prayer. Even though Baby Pooh cries needing attention at ungodly hours at night... Lord, thank you for this beautiful precious gift. I still remember when my empty arms ached, and my heart cried out for a bundle of joy to hold.

Dan satu lagi: Eventhough my neighbours fight and scream and yell for the last 9 months, thank you for them, who remind me how gentle and caring my husband is, and how well he treats me. Thank you for my neighbours because somehow their situation gives me a chance to pray and even fast for them, somehow to witness to them (although I still don't know how, but You will show me I'm sure when the time is right). 


"Give thanks in all circumstances, for this is God's will for you in Christ Jesus."

(1 Thessalonians 5:18)

Dear women of God... have you listened to the devil's whisper saying that you are a failure as a woman, a wife, a mother, a Christian? Don't!!! Capture his lies, and replace it with the TRUTH of the WORD of GOD. You are precious in God's eyes, and He loves you. And remember, you are a work in progress... He is still shaping you, molding you to be the woman He wants you to be. Focus on Him, and let Him do His work. Sometimes it's tough. Sometimes you might feel like you hate your life... But keep your eyes on His Cross, and let Him give you the right heart attitude. :) You are not a failure, you are simply a work in progress. He is not done yet, be patient. The Lord sees the end from the beginning.



"He has made everything beautiful in its time. He has also set eternity in the human heart; yet no one can fathom what God has done from beginning to end".

(Ecclesiastes 3:11)

Thursday, March 8, 2018

Surat untuk Puteriku, Sara



by Alphaomega Pulcherima Rambang

Sara sayang, 

Mama menulis surat ini sewaktu kamu masih kecil sekali, hampir berumur 1,5 tahun. Mungkin surat ini baru mama perlihatkan saat kamu SMP atau SD. ^^V Kamu sedang lucu-lucunya sekarang, asyik belajar ngomong dengan ocehanmu, “Nakna, dakda, jela,” dan masih banyak lagi yang mama gak mengerti maksudnya apa. Terkadang kamu berlari kesana kemari mendorong troli mainanmu dan menghamburkan isinya sampai papamu kerepotan nantinya mencari isinya. Menyenangkan melihatmu bermain, nak. Kamu gadis kecil tercantik buat mama dan papa. Gelak tawamu gak pernah gagal membuat kami tersenyum bahagia. Papa dan mama sayang banget sama kamu, nak. 

Sara, kamu tahu kalau namamu berarti ‘Puteri Raja’? Papamu berasal dari suku Batak, yang selalu berkata kalau anak perempuannya adalah boru ni raja, yang artinya anak perempuan raja. Pria Batak memang dianggap raja dalam sukunya. Tapi yang terpenting, nak, mama memberikan nama ‘Sara’ karena mama mau kamu ingat kalau kamu adalah puteri Raja Semesta Alam. Tuhan adalah Bapamu. Bapamu di sorga adalah raja semesta alam dan pencipta langit dan bumi. Dan Dia sangat mengasihimu. Jangan pernah lupakan itu, nak! Kenapa mama gak ingin kamu melupakan ini? Karena akan ada masanya kamu merasa tidak cantik, merasa gak berharga atau pun merasa gak ada yang menginginkanmu. Ketika saat itu datang, ingatlah kalau Puteri Raja Semesta Alam tidak seharusnya merasa demikian, sayang... 

Sara, sekarang mama sedang membayangkan kamu beranjak remaja gara-gara melihat anak teman mama yang masih usia SD sudah berdandan dengan bedak, blush on, dan lipstik. Wowwww....! Mama shock lho, entah kenapa mama gak rela membayangkan kamu masih SD dan sudah mulai berdandan seperti itu. Memang sih, sekarang saja terkadang kamu suka menirukan mama waktu memakai bedak padat sebelum ke kantor. Kamu menepukkan tangan kecilmu ke pipi meniru gerakan mama. Tapi memakai lipstik, blush on, dan sebagainya? Duh, mama kok gak rela kalau kamu melakukannya saat masih SD. Untuk apa nak? Kamu cantik dengan senyum di wajah polosmu, nak. Jangan percaya saat ada yang berkata kalau kamu tidak cantik atau tidak berharga sehingga membuatmu memoleskan make up sebelum waktunya. Kamu cantik, sayang. Tidak ada yang dapat membuatmu merasa gak berharga atau gak cantik, kecuali kamu mengizinkannya. Mama mau kamu tetap percaya pada apa yang dikatakan Bapamu yang di surga tentang kamu. Kejadianmu begitu dahsyat dan ajaib, nak. Ajaib apa yang sudah Tuhan buat dalam hidupmu, nak. 

Nak, akan ada masanya kamu merasa orang lain tampil cantik dan kamu ingin seperti mereka, lalu kamu ingin melakukan banyak hal untuk meniru mereka. Ada pula masanya kamu ingin seseorang mengatakan kamu cantik. Well, mama beri tahu dari sekarang, kamu gak perlu melakukan itu, nak. Setiap wanita itu cantik asal mereka percaya kalau mereka cantik. Kamu gak perlu belajar dandan di usia SD, kecuali kamu mau menjadi model atau peragawati cilik, yang berdandan karena tuntutan profesi. LOL. Rawatlah dirimu dengan sebaik-baiknya, mandi dua kali sehari, cuci rambutmu maksimal dua hari sekali, gosok gigimu setiap hari dan banyak-banyaklah tersenyum. Kamu cantik kalau tersenyum—beneran, mama gak bohong. Kamu pun menyadari itu kan? Kamu ingat kan waktu kecil tiap kamu menangis, maka mama dan papa akan membawamu ke depan cermin lalu kamu otomatis berhenti menangis karena kamu gak suka wajahmu saat menangis. Lalu tiba-tiba kamu tertawa karena kamu suka melihat tawamu. Sesekali boleh lah kamu menangis untuk alasan yang tepat, tapi jangan buang air matamu untuk hal yang sia-sia, nak. 

Sara, kecantikanmu bukan berasal dari apa yang kamu pakai, perhiasan, merek barang yang kamu gunakan atau dari perkataan orang lain. Kecantikanmu seharusnya berasal dari manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah (1 Petrus 3:4). Jadilah Sara yang tunduk pada Bapa Sorgawimu, nak. Tetaplah tenang di dalam Dia, supaya apapun yang dikatakan dunia gak menggoncangkan kamu, karena kamu tahu jati dirimu yang sebenarnya. Kamu ingat ‘kan, sayang, kamu itu puteri Raja. Puteri Raja tidak membutuhkan pengakuan orang lain tentang kecantikannya; seorang puteri hanya perlu bertindak sebagai puteri. Ke mana pun kamu melangkah, bertindaklah dengan benar sebagai puteri Bapa Sorgawi. Kamu tahu kan bagaimana Bapamu? Kuduslah kamu, seperti Bapamu kudus. Kasihilah orang lain, seperti Bapamu mengasihi. Kamu gak perlu memikirkan yang lain, nak. Fokuslah untuk hidup seturut kehendak Bapamu. Itu akan membuatmu selalu cantik. Mama tahu akan ada kalanya kamu merasa gak cantik dan gak layak, terutama saat kamu jatuh dalam dosa. Tapi nak, bangkitlah! Kegagalan dan kejatuhan harus disertai kebangkitan. Bangkitlah dan kembalilah kepada Bapa, akuilah dosamu, dan Dia akan mengampuni dan memulihkanmu. 

Apakah saat membaca surat mama ini kamu pernah memikirkan pasangan hidup? Eh, pasangan hidup atau pacar? Ayo ngaku! Hahaha. Mama cukup berpengalaman untuk berkata kamu tidak perlu memikirkannya terlalu sering, nak. Belum waktunya. Kamu masih muda, sayang. Mungkin kamu ingin punya pacar seperti temanmu yang lain. Untuk apa, sayang? Supaya kamu merasa ada yang menginginkanmu? Kalau untuk itu, kamu mungkin tidak akan memerlukannya. Kasih Bapa lebih dari cukup untukmu, nak. Kamu tidak perlu orang lain untuk merasa berharga. Kamu berharga, nak, sangat berharga. Kamu ingat cerita Sekolah Minggu tentang Yesus yang telah mati buatmu? Sebesar itu lah kasih Bapa buatmu. Masa kamu masih memerlukan orang lain untuk menyadari kalau kamu berharga? Selama kamu hidup dalam kasih-Nya dan kasih-Nya hidup di dalam kamu, kamu akan selalu merasa dikasihi dan ingin membagi kasih-Nya. Saat kerinduan memiliki pasangan hidup memuncak (pasangan hidup lho, nak, bukan pacar), berdoalah, mintalah yang terbaik dari Bapamu, bukan hanya yang sesuai keinginanmu. Bapamu ahli dalam hal ini, gak ada yang lebih baik dari-Nya. 

Banyak hal yang ingin mama sampaikan, tapi sekarang ini dulu deh. Lain kali mama akan menulis lagi untukmu. Hohohoho. O iya, jangan lupa perhatikan hatimu, nak. Bapa Sorgawimu pernah berkata, jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari sana lah terpancar kehidupanmu. Dari sanalah terpancar kecantikanmu, nak. I love you, Sara. 


-Mamamu-

Thursday, January 25, 2018

Building or Tearing?


by Yunie Sutanto

Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri.
(Amsal 14:1)

Tindakan membangun butuh ketekunan dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Menbangun kebiasaan baik sejak anak-anak masih kecil untuk rutin sikat gigi, bangun pagi langsung minum segelas air hangat, lalu membereskan tempat tidur mereka... berdoa sebelum makan... dan masih banyak lagi..Namun tindakan meruntuhkan hanya butuh sekejap mata saja!
Satu atau dua kali toleransi anak untuk tidak sikat gigi sebelum tidur, lalu besokannya dia akan merajuk untuk langsung tidur saja... malas sikat gigi dulu...

Saya merasa sebagai ibu rumah tangga, tindakan saya itu imbasnya panjang...
Saya musti memikirkan apakah ini membangun atau meruntuhkan rumah tangga saya?
Mau bisnis online untuk nambah income... Boleh saja! Why not? Tapi bagaimana saya mengatur waktu merespon order yang masuk seringkali membuat saya sedikit banyak (hmm banyak nih terus terang) melalaikan tugas rumah tangga lainnya, seringkali anak pun terabaikan.

Hari ini dingatkan kembali dari renungan amsal ini: 
Am I building or tearing my house? 
Wise women build her house.Foolish women tear her house.
The choice is mine!Make sure that I choose well starting from today onwards.Tadi saya set HP saya internetnya off selama di gereja dan sepanjang jalan bareng keluarga.It's God's time and family time!
Bersyukur lewat Firman Tuhan hari ini diingatkan kembali untuk back on track, fokus pada prioritas. First things first!

Thursday, January 11, 2018

Anak Adalah Anugerah



by Natalia Setiadi 

Anak adalah anugerah.
Anugerah yang gak layak saya dapatkan. Saya manusia yang penuh kelemahan, kekurangan, dan masalah hidup. Saya sering heran, bagaimana mungkin Tuhan percayakan anak-Nya yang begitu berharga untuk saya asuh, didik dan besarkan? Gimana kalo saya salah mendidik atau lalai?

Tapi lima tahun yang lalu, Tuhan menganugerahkan seorang anak untuk kami. Anak itu kami beri nama D. D adalah anak yang menakjubkan. Cakepnya di atas rata-rata (huekekeke...), meskipun kelakuannya sering di bawah rata-rata. Pergumulan dan kasih karunia yang saya dapat melalui anak ini juga luar biasa.

Bulan-bulan pertama mengasuh D, kami kebingungan karena D susah banget tidur. Kalo mau tidur malem harus digendong diayun-ayun (tidur siang sih lebih mendingan dikitlah), dibuai sambil dibawa jalan ke sana ke mari, kadang-kadang sampe dua jam baru berhasil tidur. Kalo udah tidur, dalam satu jam pertama gampang banget kebangun. Trus seluruh usaha nidurin kudu diulang lagi. Stres. Kami baca buku, praktekin tips ini itu, kasih empeng (pacifier), pokoke berbagai teknik dan training dicoba, hasilnya nihil.


Waktu D berumur dua tahun lebih, kami pindah kota, ngikut papanya D yang back to school. Keadaan di rantau sangat sulit buat kami, terutama buat saya. Selain 24 jam di rumah aja bareng my strong-willed son, suami superduper sibuk banget, di tempat baru juga gak ada temen, sanak saudara, bahkan kenalan pun gak ada. Saya urus anak dan rumah tanpa bala bantuan. Saat anak udah tidur, saya melek terkadang sampe subuh untuk mengerjakan kerjaan freelance. Saya kecapean lahir batin. Rencana saya mau kerja full-time di luar rumah lagi gagal, buka praktik pribadi juga gak memungkinkan. Akhirnya saya tetep kerja freelance, sambil jadi ibu RT full-time. Sehari-hari, orang dewasa yang bisa saya ajak ngomong selain suami cuma tukang sayur dan tukang putu yang saban pagi dan sore lewat di depan rumah kontrakan kami. Saya sampe tau bahwa bapak tukang putu ternyata adalah transmigran dari kampung papa saya, dan dia juga takjub nun jauh di sini bisa ketemu mantan tetangga, hahaha...

D cukup sulit beradaptasi dengan tempat baru, ga ada kontak sosial lain selain saya dan papanya. Keadaan finansial yang terbatas dan lingkungan yang masih asing membuat kami gak punya banyak alternatif kegiatan di luar rumah. Tambahan lagi, makanan dan cemilan yang ada di sini beda banget sama yang ada di kampung halaman. Dengan pantangan D yang segambreng karena alerginya, sampe puyeng saya berusaha “memunculkan” makanan-makanan yang bisa dan biasa D makan. Kalo saya perlu info tentang toko, bengkel, atau bahan makanan yang saya perlukan, saya harus sabar nunggu suami nanya ke teman-teman kuliahnya. Hal-hal kecil aja ribet deh urusannya.

Setelah survei ke sana sini, akhirnya kami dapat gereja yang cocok. Sayang gereja itu jauuuhhh banget dari rumah kami. Alhasil saya gak bisa ikut beraktif-ria di komunitas gereja. Dengan ibu-ibu yang sama-sama nganterin anaknya ke sekolah minggu, saya berusaha ngajak kenalan dan berteman, tapi sampe hari ini gak berhasil dapet teman yang cukup dekat yang bisa diajak ngomong lebih dari sekedar basa-basi.
Sementara itu, makin tambah umur, perilaku D makin menantang. D sangat ogah tunduk pada otoritas, membangkang, sengaja mengabaikan omongan kami, atau testing, bahasa Jawanya “njarak”. Contohnya, kalo diminta supaya berhenti mainin sesuatu, dia justru bakal sengaja terus mainin barang itu, karena pengen ngetes reaksi kami. Disiplin dan konsisten udah kami terapkan, tapi gak kunjung membuahkan hasil ketaatan. Sifat impulsif dan ngototnya makin menyulitkan buat D untuk nurut dan berperilaku seperti yang diharapkan. Setiap kali gak sengaja makan alergen (misalnya coklat, MSG, makanan yang mengandung pewarna atau pemanis buatan), D jadi “error”: berlari-lari kian kemari, gampang marah, lebih ngotot, lebih impulsif, gak bisa fokus, gampang distracted, ngomong terus kayak radio rusak, teriak-teriak dan lain-lain, gak bisa tenang. Kalo udah berhasil ditenangkan, baru sebentar udah ngaco lagi. Peristiwa jatuh, nabrak, kebentur, dan sejenisnya frekuensi dan intensitasnya paling tinggi di saat-saat seperti ini. Membantah dan membangkangnya juga lebih parah, bikin saya frustrasi, ikut marah-marah, dan gak jarang ikut nangis putus asa. Saya heran sekali, ada apa dengan D? Kok sulit sekali dijinakkan... Kami sampe frustrasi dan kewalahan.

Sekitar setahun yang lalu, di usia menjelang empat tahun, setelah mengevaluasi D, seorang psikolog menyimpulkan bahwa D mempunyai kesulitan konsentrasi yang disebut Gangguan Atensi, mungkin disertai Hiperaktivitas [Attention Deficit (Hyperactivity) Disorder/AD(H)D] dan gangguan koordinasi. Dia juga gampang banget ter-overstimulasi karena rangsangan dari lingkungan (overload stimulus audiovisual atau terlalu banyak orang), maupun dari diri sendiri (misalnya karena melakukan aktivitas yang kelewat heboh).

Di satu sisi, kesimpulan ini cukup melegakan, karena ternyata saya gak gila atau mengada-ada, ada sebab valid yang bikin kami begitu kewalahan dan frustrasi. Kesimpulan ini juga sedikit mengobati luka di hati karena selama ini kami sering dapat komentar-komentar seperti: “perilaku D begitu karena kurang perhatian” atau “D jadi keras karena ortunya terlalu keras” atau “ortunya kurang mendisiplin sih”, dan seterusnya. Di sisi lain, denger kesimpulan ini kayak kejatuhan duren di siang bolong, awalnya bingung gak ngerti apa yang terjadi, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai terasa.

Kami segera dirujuk ke seorang dokter spesialis anak yang ahli masalah autis, ADD/ADHD, dan sejenisnya. Baru tiga menit masuk di ruang konsultasi, saya udah sukses jadi bulan-bulanan cercaan, karena sebagai dokter saya dianggap lalai menangani masalah alergi dan terlambat membawa D konsultasi. Saya coba menjelaskan kondisi kami dan ketidakmengertian kami, tapi apa yang saya sampaikan seperti angin lalu. Dokter itu geleng-geleng kepala mendengar istilah-istilah awam yang saya gunakan. Minimnya pengetahuan saya tentang gangguan ini sepertinya semakin membuktikan kelalaian saya. Keterangan saya diputarbalikkan dicocokin dengan pengertian pribadinya sang dokter. Saya dianggap denial dengan “kelainan” yang diderita D. Padahal sebenernya saya justru berusaha kasih keterangan seakurat mungkin, supaya kesimpulannya bener-bener sesuai dengan kenyataan yang ada, gak lebih gak kurang. Saya dicap mama yang kaku dan gak bisa berinteraksi dengan baik dengan anak saya sendiri. Duh rasanya nano-nano: sedih, kesal, putus asa, bingung, gemas pingin meluruskan, campur aduk. Setelah sia-sia berusaha menjelaskan, akhirnya saya telan bulat-bulat judgement demi judgement itu, sambil berusaha keras menahan airmata yang hampir jatuh, semua yang saya dengar begitu menyakitkan. Saya jadi mempertanyakan diri saya sendiri, ibu macam apa saya ini? Jangan-jangan bener anak saya itu korban “salah asuhan”? Kalo memang begitu, betapa kasihannya anak saya...

Waktu diagnosis itu adalah salah satu masa tergelap dalam kehidupan saya sebagai ibu. Saya kuatir memikirkan masa depan D, apa dia bisa tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lain? Apa aja yang harus saya lakukan buat bantu D mengatasi kesulitannya? Bagaimana dengan sekolah dan hidupnya, apa nanti-nanti D bakal banyak problem? Di mana kami bisa follow up dan terapi karena kami harus kembali ke rantau? Berapa biaya yang dibutuhkan? Apakah ada ahli/terapis yang lebih bisa kerjasama, karena saya pun perlu menjaga kondisi mental saya, jangan sampe setelah D membaik malah saya yang jadi konslet dan perlu diterapi...

Kemudian kami coba mencari pendapat lain, kami konsultasi dengan seorang psikolog yang juga anak Tuhan. Kali ini D dinyatakan tidak mempunyai gangguan atensi, cuma gangguan koordinasi aja. Umur 4 tahun masih terlalu dini untuk memastikan diagnosis ADD/ADHD. Total ada tiga orang ahli yang udah kami datangi, tiga-tiganya beda kesimpulan. Kami jadi tambah bingung.

Akhirnya saya dan suami bikin kesimpulan sendiri aja dah (gak tau diri banget ya, haha...): ahli-ahli di luar sana boleh bilang anak kami A, B, atau C, tapi kami memutuskan untuk tidak memberi label tertentu buat D. Kami pake istilah ADHD dan gangguan koordinasi buat sekedar memudahkan aja, supaya ngasih gambaran tentang kesulitan-kesulitannya D. Diagnosis pastinya kami serahkan ke tangan Bapa Surgawi.

Sejak saat itu kami masih konsultasi ke psikolog untuk mengevaluasi perkembangan D, di rumah kami berikan berbagai aktivitas buat melatih koordinasi dan beberapa kesulitan D yang lain, mengatur diet D seoptimal mungkin, menerapkan disiplin ketat untuk hal-hal tertentu dan memberi kelonggaran buat hal-hal lain.

Masalah disiplin jadi dilema tersendiri. Menurut psikolog, disiplin yang kami terapkan itu gak fair buat D, karena dia punya pola pikir yang beda, cara kerja otak yang beda, malah ada istilahnya yaitu “disfungsi otak”. Juga karena D belum begitu paham sebab akibat: perilaku yang buruk bakal kena penalti (misalnya timeout atau disetrap), perilaku yang baik bakal dapet pujian atau imbalan (misalnya boleh beli buku yang dia suka). Tapi saya dan suami dengan segenap hati percaya bahwa Tuhan mau kami tetap mendisiplin D. “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun dia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). James Dobson menulis di buku The Strong-Willed Child, bahwa anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) pun perlu didisiplin. Justru mereka LEBIH perlu disiplin, batasan memberikan rasa aman buat mereka, begitu katanya. Tapi orangtua perlu tau standar yang tepat untuk mendisiplin, sekaligus perlu lebih toleran dan nrimo bahwa standar itu mungkin bisa jarang kesampean.

ABK jelas lebih susah di-training atau didisiplin. Maka dari itu orangtua harus lebih toleransering kali anak gak bisa nurut sesuai standar, misalnya kalo lagi error. Saat seorang ABK lagi “error”, dia gak bisa mempertanggungjawabkan perilakunya. Saat D lagi “off”, seharusnya saya gak boleh hukum kesalahannya. Tapi, saya dan suami sepakat bahwa meskipun lagi “error” waktu bikin salah, D tetap perlu minta maaf dan kalo kesalahannya besar, dia tetap dapat penalti. Karena kita hidup di dunia yang jahat, yang gak punya toleransi dan belas kasihan, bahkan buat anak-anak berkebutuhan khusus. Maka dari itu kami pengen agar D, pelan-pelan sesuai umurnya, belajar life skills yang dia perlukan supaya kelak bisa survive menghadapi dunia yang jahat ini, punya kemampuan buat menghadapi kecaman, judgement, ketidakadilan, dan lain lain.

Menurut suami saya, yang juga punya beberapa kesulitan seperti D di masa kecilnya dulu, D tetap perlu belajar mengendalikan diri dan menenangkan diri di saat gangguannya muncul. Ini proses yang paaaanjaang, tapi kami percaya bahwa dengan keistimewaan yang Tuhan kasih buat D, Dia juga tentu melengkapi D dengan kemampuanbuat me-manage-nya. Gak putus-putusnya kami berdoa, memohon supaya diberi semua perlengkapan yang dia perlukan untuk bisa survive.

Sebagai mama, saya punya kekurangan yang saya udah berusaha keras untuk perbaiki, dan doa dengan sama kerasnya, tapi kok belum kunjung berhasil. Saya orang yang emosian, gampang jengkel dan ngomong dengan nada tinggi. Kadang saya merasa bersalah, andaikan D punya mama yang lebih sabar, mungkin lebih baik buat dia. Tapi yah, memang saya udah begini modelnya, mau gimana lagi? Saya memutuskan untuk berdamai aja dengan kekurangan ini, dan berusaha terus memperbaiki. Kalo menurut Tuhan D perlu mama yang lebih sabar, mungkin dia udah kasih mama yang lebih sabar atau ciptakan saya sebagai orang yang sabar dan lemah lembut ya. Sementara itu belom terjadi, mungkin D lebih butuh mama yang sama strong willed-nya :) Saya yakin Tuhan gak pernah salah, D anak yang terbaik buat kami dan kami orangtua terbaik buat D. Rencana-Nya indah.

Bagaimana caranya saya mengalami peace atau damai sejahtera di tengah segala pergumulan dan sukacita membesarkan D? Ada beberapa hal yang saya lakukan:

  1. Saya pegang teguh janji yang Tuhan berikan buat saya di Mazmur 125:5-6, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”Biarpun dengan berurai airmata, kami harus terus berjalan maju sambil terus menabur, meskipun hasilnya gak kelihatan.

  1. Kasih karunia Tuhan selalu cukup. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” 2 Korintus 12:9a. Memang benar, dalam segala tantangan dan keterbatasan, justru kami belajar untuk semakin mengandalkan kuasa Tuhan dan bukan kemampuan kami sendiri. Kami makin sadar betapa segala yang baik dan segala kemudahan semata adalah kemurahan Tuhan, bukan karena kekuatan dan kehebatan kami.

Saya yakin di depan sana masih akan ada bad days dan good days. Masih bakal ketemu peristiwa dan orang-orang yang menyusahkan maupun menyukakan. Tapi kami gak mau galau. Kasih karunia-Nya cukup. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Filipi 4:7.

Begitulah. Kadang rasanya kami jalani hari-hari dengan lumayan OK, kadang kami gak begitu OK, kadang sangat-sangat ngga OK. Ada good days dan bad days. Demikian juga kemajuannya D. Kadang-kadang rasanya kami bisa liat hasil dari sekian lama berdoa dan berjerih lelah mengusahakan yang terbaik buat D. Ada hari-hari di mana saya berbesar hati dan liat D kayanya gak jauh beda dengan anak-anak seumurannya. Di hari-hari yang kurang bagus dan yang sangat tidak bagus, gak banyak yang bisa kami lakukan selain bertekun dan berdoa, sambil menanti-nantikan pertolongan Tuhan.

Together, we shall overcome.