Showing posts with label Leticia Seviraneta. Show all posts
Showing posts with label Leticia Seviraneta. Show all posts

Monday, December 7, 2020

Yohanes Pembaptis - Pelari Garis Depan Raja




by Leticia Seviraneta

Peristiwa kelahiran Yohanes Pembaptis dalam Lukas 1:5-80 merupakan penggenapan dari nubuat yang telah ada sebelumnya. Peristiwa kelahiran itu sendiri adalah sebuah mujizat, karena dia lahir dari pasangan Zakaria dan Elisabet yang mandul dan keduanya telah lanjut umur. Mereka merupakan keturunan Harun, yang dikhususkan untuk menjadi imam besar dari seluruh suku Israel. Ketika Yohanes telah lahir, Zakaria menjadi penuh dengan Roh Kudus dan bernubuat, “Dan engkau, hai anakku, akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka, oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.” (Luk 1:76-79) Nubuat Zakaria merupakan pesan pertama Tuhan setelah ia berdiam diri dari bangsa Israel selama 400 tahun! Dan alangkah menakjubkannya nubuat ini berbicara mengenai seseorang yang mempersiapkan kedatangan Mesias. 

Sebelumnya, Yesaya telah menubuatkan tentang kedatangan Yohanes Pembaptis juga.

Ada suara yang berseru-seru: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran; maka kemuliaan TUHAN akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama; sungguh, TUHAN sendiri telah mengatakannya.”
(Yesaya 40:3-5)

Apa pentingnya peranan seorang Yohanes Pembaptis tepat sebelum Yesus memulai pelayanannya di bumi? Konteksnya adalah Yesus merupakan seorang Raja di atas segala raja yang datang ke bumi untuk mengerjakan karya keselamatan, pengampunan dosa manusia, serta menyatakan kemuliaan Allah. Seorang raja ketika berkunjung ke suatu tempat, selalu ada persiapan yang dibuat. Jalan-jalan di desa diratakan, kondisi lingkungan sekitarnya diperindah, semua demi kenyamanan raja tersebut. Demikian juga halnya dengan kedatangan Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis berperan sebagai seorang yang mendahuluinya untuk mempersiapkan hati bangsa Israel untuk menyambut-Nya. Ketika hati mereka sudah siap, maka mereka dapat melihat kemuliaan Allah yang tersingkap dalam pelayanan dan pribadi Yesus Kristus. Setiap pekerjaan Allah yang hebat dimulai dari persiapan yang hebat juga. Dan Yohanes Pembaptis ini lah yang menggenapi pelayanan penting ini!

Yuk, kita lihat bagaimana Yohanes Pembaptis melakukan persiapan hati bagi umat Israel sebelum Yesus memulai melayanannya. 

Pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun. Maka datanglah Yohanes ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan: "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu, seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan."
(Luk 3:2-6)

Baptisan Yohanes merupakan baptisan yang membuat bangsa Israel sadar bahwa mereka berdosa dan perlu kembali ke jalan Allah yang benar. Ketika pelayanannya menjadi semakin besar, dan orang-orang mulai bertanya-tanya apakah ia adalah Mesias, Yohanes selalu menyangkalnya dan merujuk kepada Seorang yang lain. Ia adalah seorang forerunner sejati dari Raja atas segala raja, ia tidak mencuri kemuliaan dari sang Raja sendiri.

Tetapi karena orang banyak sedang menanti dan berharap, dan semuanya bertanya dalam hatinya tentang Yohanes, kalau-kalau ia adalah Mesias, Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu: "Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.”
(Luk 3:15-16)

Kemudian ketika Yesus sudah memulai pelayanannya dan membaptis orang banyak juga, muncul perselisihan di antara murid Yohanes.

Lalu mereka datang kepada Yohanes dan berkata kepadanya: "Rabi, orang yang bersama dengan engkau di seberang sungai Yordan dan yang tentang Dia engkau telah memberi kesaksian, Dia membaptis juga dan semua orang pergi kepada-Nya.” Jawab Yohanes: "Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga. Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya. Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.
(Yoh 3:26-30)

Dengan pernyataan ini, Yohanes memakai gambaran kata bahwa ia hanya lah seorang “groomsman”, dan Yesus lah mempelai laki-lakinya. Ketika mempelai laki-laki datang hendak menikahi mempelai wanita, peranan sahabat mempelai laki-laki tidak akan iri terhadapnya melainkan bersukacita. Yohanes Pembaptis sejak semula sadar betul akan panggilannya, dan ketika ia harus mundur dari lampu sorot atau “spotlight” dalam pelayanannya, ia pun melakukannya dengan sukacita. Ia dengan tulus mendukung pelayanan Yesus agar semakin besar. Sebuah sikap kerendahan hati yang luar biasa!

Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari kehidupan Yohanes Pembaptis:

1. Setiap rencana Tuhan yang besar disertai dengan persiapan yang panjang

Tidak hanya kelahiran Yohanes Pembaptis dinubuatkan jauh sebelum terjadi, bahkan ketika ia telah lahir pun hidup Yohanes Pembaptis didedikasikan untuk pelayanannya jauh sebelum itu dimulai.

“Adapun anak itu bertambah besar dan makin kuat rohnya. Dan ia tinggal di padang gurun sampai kepada hari ia harus menampakkan diri kepada Israel.”
(Luk 1:80)

Padang gurun (secara literal) sering berulang kali dipakai oleh Tuhan menjadi tempat untuk melatih para nabi-Nya. Ingat nabi Elia (1 Raja-raja 19)? Padang gurun tentu bukanlah tempat yang nyaman. Persiapan Tuhan seringkali jauh dari kata kenyamanan. Di mata Tuhan, pertumbuhan kita lebih utama dari kenyamanan. Dan pertumbuhan iman justru terjadi di tempat yang paling tidak kita harapkan terjadi. Iman kita bertumbuh di tengah situasi sulit, tekanan, penderitaan, dan kesesakan. Ketika kita menemukan panggilan Tuhan atas hidup kita, seringkali ada jeda waktu yang cukup lama hingga panggilan tersebut terwujud. Jeda waktu tersebut sebenarnya adalah masa persiapan kita sehingga kita bertumbuh dewasa dan cukup kuat untuk menjalankan panggilan tersebut. Namun seringkali kita tidak sabar dalam masa tersebut dan keburu menyerah di tengah jalan sebelum rencana Allah menjadi nyata dalam hidup kita. Itulah mengapa penting untuk kita menyadari signifikansi dari masa persiapan dan menjalaninya dengan tekun. Yesus pun baru memulai pelayanannya di usia 30 tahun. Dengan demikian ia menjalani masa persiapan selama 30 tahun! Tidak ada pertumbuhan dan persiapan yang instan. Semakin besar rencana Allah atas hidup kita, maka semakin dalam persiapan yang perlu dijalankan juga. 


2. Mengenali panggilan Tuhan atas hidup kita mencegah kita untuk iri akan keberhasilan orang lain

Setiap kita memiliki panggilan spesifik yang Tuhan sudah sediakan bagi kita. Panggilan Tuhan tidak selalu bersifat glamour dan dilihat banyak orang. Panggilan Tuhan dapat terlihat kecil dan “biasa”, bahkan tersembunyi di rutinitas kita sehari-hari. Misalnya saja, ada yang dipanggil Tuhan untuk menjadi ibu yang mengajarkan nilai-nilai kerajaan Allah kepada anak-anaknya. Sementara yang lain, dipanggil Tuhan untuk menjadi karyawan teladan di perusahaannya. Dari segi jumlah orang yang dipengaruhi, pelayanan itu nampak begitu kecil dibandingkan seorang pendeta yang berkhotbah di mata banyak orang. Namun di mata Allah kuantitas bukanlah yang utama. Tuhan selalu melihat hati. Satu jiwa itu berharganya bagi-Nya. Ketika kita merangkul panggilan Tuhan atas hidup kita, kita tidak akan terjebak untuk mengasihani diri apalagi iri akan pelayanan orang lain yang kesannya lebih “wah”. Sama seperti Yohanes Pembaptis yang tahu betul siapa jati dirinya. Ia dengan rendah hati bersukacita atas pelayanan Yesus. Selama sama-sama memuliakan Tuhan, kita tidak seharusnya merasa kecil hati akan apa yang kita kerjakan dan membandingkannya dengan pelayanan orang lain. Di mana pun kita berada, apa pun panggilan kita, mari kita kerjakan dengan setia, untuk kemuliaan Tuhan saja.

Monday, November 23, 2020

God’s Love Language




by Leticia Seviraneta

Gary Chapman, penulis buku “The 5 Love Languages”, menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki bahasa kasih—cara yang menunjukkan bagaimana seseorang merasakan bahwa dia dikasihi. Bahasa kasih dari buku Gary Chapman ini digolongkan menjadi lima jenis: kata-kata yang membangun, menghabiskan waktu berkualitas bersama, memberikan hadiah, melayani, dan sentuhan fisik. Pada umumnya, setiap orang memiliki satu atau dua bahasa kasih yang menonjol dari antara lima jenis bahasa kasih ini, dimana orang tersebut akan merasa paling dikasihi. Misalnya, seorang yang memiliki bahasa kasih kata-kata yang membangun, orang tersebut akan sangat bahagia dan merasa bahwa dia disayang/dikasihi ketika dia mendengar kata-kata-kata yang membangun yang ditujukan pada dirinya atau jika bahasa kasih seseorang adalah sentuhan fisik, maka orang tersebut akan sangat bahagia dan merasa dikasihi saat orang-orang yang dikasihinya memberikan sentuhan fisik. Tetapi, apabila sentuhan fisik bukan merupakan bahasa kasih seseorang, maka sentuhan tidak akan membuatnya bahagia, mungkin akan membuat orang tersebut tidak nyaman dengan sebuah sentuhan. Manfaat memahami bahasa kasih seseorang adalah agar kita dapat mengasihi orang lain dengan lebih efektif dengan mempraktikkan bahasa kasih utama yang dimiliki orang tersebut.

Seperti dengan manusia, Tuhan kita juga memiliki bahasa kasih, loh!

Ah, masa’ sih?

Kira-kira apa yang membuat Tuhan merasa dikasihi oleh kita sebagai ciptaan-Nya?

Tapi dengan membahas bahasa kasih Tuhan, bukan berarti kita menganggap Tuhan “butuh” kasih atau seolah-olah kekurangan kasih. Tuhan tidak pernah kekurangan kasih karena Tuhan adalah kasih dan sumber kasih itu sendiri.

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.
(1 Yohanes 4:7-10)

Sebagai subyek penerima kasih Tuhan yang begitu besar, maka respon kita seharusnya adalah mengucap syukur dan mengasihi Tuhan dengan segenap hati karena sesungguhnya kita tidak layak untuk dikasihi tetapi dilayakkan untuk menerimanya. Bahasa kasih Tuhan bukanlah kata-kata yang membangun, menghabiskan waktu berkualitas bersama, memberikan hadiah, melayani, ataupun sentuhan fisik seperti yang dibahas oleh Gary Chapman. Lah? Terus apa ya yang membuat Tuhan merasa dikasihi?

Ada beberapa bagian Alkitab dimana Yesus memberitahukan bagaimana cara kita mengasihi Tuhan dan menyenangkan hati-Nya:

1. KETAATAN (OBEDIENCE)

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”
(Yohanes 14:15)

Yesus langsung memberitahukan bagaimana cara mengasihi Tuhan dan menyenangkan hati-Nya yaitu bila kita menaati segala perintah-Nya. Eh, tunggu dulu! Semua perintah-Nya? Bukan beberapa perintah-Nya saja? Dengan kata lain, jika kita tidak menaati semua perintah-Nya, kita tidak sedang mengasihi Tuhan! Oh no!! Tapi jangan takut! Tuhan tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, termasuk kita. Hah? Terus bagaimana, dong? Apakah kita tidak bisa mengasihi Tuhan? Tentu bisa, jika kita mengandalkan Tuhan karena kita tidak sempurna dan tidak layak tetapi disempurnakan dan dilayakkan. Ketaatan pada semua perintahNya dapat terwujud ketika kita terhubung dengan Tuhan sebagai sumber kasih. Ketika kita fokus pada kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, mengucap syukur atasnya, maka ketaatan bukanlah sebuah beban berat atau kewajiban yang dipaksakan melainkan kerinduan untuk menyenangkan hati Tuhan. Kuncinya di sini bukanlah perbuatan (doing) yang bisa kita lakukan, melainkan menjadi (being) subyek yang menerima kasih Tuhan. 


2. PERCAYA (TRUST)

“Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Tuhan. Sebab barangsiapa berpaling kepada Tuhan , ia harus percaya bahwa Tuhan ada, dan bahwa Tuhan memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”
(Ibrani 11:6)

Dalam terjemahan bahasa Inggris, ayat ini berbunyi, “And without faith it is impossible to please God…” Tidak mungkin menyenangkan Tuhan tanpa iman. Seperti seorang ayah akan disenangkan ketika anaknya memiliki kepercayaan penuh kepadanya, begitu juga dengan Bapa kita di Sorga. Ketika kita percaya sepenuhnya kepada Tuhan, kita tidak akan meragukan setiap rencana dan keputusan-Nya untuk kita.

Yesus melakukan banyak mujizat dan mengajarkan orang banyak dengan satu tujuan yaitu agar setiap orang yang melihat dan mendengar-Nya menjadi percaya kepada-Nya dan menerima keselamatan yang kekal. Di masa-masa akhir ini, banyak unbelieving believers. Hm, siapakah mereka? Mereka adalah orang yang telah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi, beribadah di gereja secara rutin, namun dalam kesehariannya tidak percaya bahwa Tuhan berkuasa dan berdaulat di hidupnya. Mereka lebih percaya kepada uang, kekuatan sendiri, koneksi, dukungan orang tertentu, dsb. Nah, apakah kita termasuk orang-orang yang disebut unbelieving believers ini? Apakah kita termasuk pribadi yang memiliki banyak kekhawatiran akan hidup dan masa depan kita? Mari kita koreksi diri kita dan mulai belajar untuk menyerahkan segala kekhawatiran tersebut dan mempercayakan kekhawatiran kita kepada Tuhan. Jangan ragu! Memang kadang-kadang tidak mudah dan terkesan klise, tapi percayalah dan lihatlah bagaimana Tuhan akan bekerja untuk mendatangkan kebaikan untukmu.

Ada hal menarik yang ditemukan di dalam Injil Yohanes: kata “percaya” tercatat sebanyak 90 kali dimana, semua dalam bentuk kata kerja, bukan kata benda (dalam bentuk kata iman (faith)). Kata percaya (believe) berada dalam tata bahasa (tense) Yunani yang memiliki arti literal “percaya secara berkelanjutan” atau believe and keep on believing. Karena itu, dapat dimengerti bahwa percaya kepada Tuhan bukanlah bersifat eventual atau satu waktu saja, melainkan proses percaya secara terus-menerus kepada-Nya sepanjang hidup kita.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”
(Amsal 3:5-6)


3. PEDULI TERHADAP GEREJA-NYA (TAKE CARE OF HIS SHEEP)

“Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
(Yohanes 21:15-17)

Yesus bertanya kepada Petrus tiga kali apakah ia mengasihi Yesus, dan Petrus menjawab tiga kali juga bahwa ia mengasihi-Nya. Lalu Yesus menjawab kembali: gembalakanlah domba-domba-Ku sebanyak tiga kali. Dalam terjemahan bahasa Inggris, Yesus menjawabnya, “Feed my lambs, take care of my sheep, feed my sheep.”

Dari perkataan ini, kita bisa mengerti bahwa hati Tuhan disenangkan ketika kita mengasihi gereja-Nya—yang merupakan tubuh Kristus. Sadarkah kita bahwa Tuhan mengasihi gereja-Nya? Gereja yang bukan dalam arti sebuah gedung melainkan sekumpulan orang-orang percaya yang telah ditebus oleh darah-Nya. Tuhan dan gereja-Nya merupakan satu tubuh yang tidak terpisahkan. Kita tidak dapat mengasihi Tuhan, tanpa mengasihi gereja-Nya (1 Kor 12:12-27). Yesus dengan tegas berkata, “Love Me, love My church.” Itulah mengapa ketika kita peduli terhadap kesusahan teman seiman kita, ketika kita melayani di gereja karena rindu untuk saling menguatkan dan membangun satu sama lain, kita telah mengasihi Tuhan dan menyenangkan hati-Nya. 

Terkadang kita salah dalam menyampaikan kasih kita kepada Tuhan. Kadang kita memperlakukan hubungan kita dengan Tuhan seperti daftar “do’s and don’ts.” Atau kita mencoba mengasihi Tuhan dengan kekuatan kita sendiri dengan menjadi orang yang sibuk melayani di gereja tanpa dilandasi sikap hati yang tepat. Mengasihi Tuhan sebenarnya tidak serumit yang kita bayangkan. Dengan senantiasa taat, percaya, dan peduli kepada gereja-Nya, kita sudah meresponi kasih Tuhan dengan bahasa kasih-Nya. Selamat mencoba!

Monday, October 5, 2020

Delayed Obedience


by Leticia Seviraneta

Pada pelayanannya di bumi, Yesus menunjuk 12 orang untuk menjadi murid-Nya dengan sebuah ajakan, “Mari, ikutlah Aku...” (Mat 4:19). Dalam versi terjemahan Bahasa Inggris, ayat yang sama berbunyi, “Come, follow me…” Sejak itu, mereka yang dipanggil oleh Yesus meninggalkan pekerjaan dan keluarganya lalu mengikuti-Nya (Mat 4:22). Pada zaman itu, belum ada istilah “Kristen”. Orang-orang yang mengikuti Yesus, dikenal dengan sebutan para pengikut Kristus (Christ’s followers) atau para murid (Christ’s disciples). Seorang murid akan mengikuti guru (rabbi) mereka ke mana pun ia pergi, menirukan cara hidupnya, cara bicaranya, bahkan sampai ke cara ia makan. Pada intinya, tujuan hidup seorang murid adalah menjadi sama atau serupa dengan gurunya. Mereka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk itu.

Seiring dengan bertambahnya popularitas Yesus melalui mujizat-mujizat yang Ia kerjakan, banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi pengikut-Nya, termasuk seorang ahli Taurat. Ahli Taurat merupakan orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari dan mengajarkan hukum Taurat kepada orang Ibrani. 

Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka."
Matius 8:19-22 [TB]

Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana." Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."
Luk 9:60-62

Mujizat-mujizat yang Yesus kerjakan dapat memberikan gambaran yang megah akan sebuah pelayanan. Orang banyak ingin mengikuti-Nya karena salah mengira bahwa pelayanan adalah kehidupan yang menyenangkan, selalu di atas tidak pernah di bawah, memberikan dampak, dan dikagumi banyak orang. Namun Yesus dengan mudah dapat menyaring orang-orang yang siap mengikuti-Nya tidak hanya di masa suka saja, melainkan di masa duka. Karena pelayanan yang Ia kerjakan sesungguhnya jauh dari gambaran kenyamanan tersebut. Ia membandingkan diri-Nya dengan serigala maupun burung yang memiliki rumah, namun Ia tidak memiliki-Nya. Pelayanan yang dikerjakan memiliki harga yang besar, yaitu nyawa-Nya. Para pengikut-Nya (seorang murid yang memiliki tujuan hidup untuk menjadi serupa dengan-Nya) juga tidak lepas dari gambaran hidup yang demikian: menunjukkan kasih dengan pengorbanan untuk kemuliaan Allah.

Lalu ada seorang murid yang lain yang berkata ingin mengikuti-Nya, namun meminta izin untuk pergi dahulu menguburkan ayahnya (Mat 8:21). Respon Yesus terhadapnya seolah-olah tidak mengindahkan keluarganya. Namun sebenarnya ketika murid tersebut sedang berkata demikian, ayahnya belum meninggal. Dengan alasan pergi dahulu menguburkan ayahnya, sesungguhnya ia menyatakan ingin berada di rumah ayahnya dan menemaninya terus sampai ia meninggal. Ini berarti merupakan sebuah periode waktu yang tidak jelas kapan ia akan mulai mengikuti Yesus. Bila ayahnya berumur panjang, maka ia jelas untuk waktu yang lama tidak pergi mengikuti Yesus. Dengan kata lain, ia menunda untuk mengikuti Yesus.

Mari kita bandingkan dengan respon murid Yesus yang lain kembali di Matius 4:19-22.

Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.

Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes ketika diajak oleh Yesus untuk mengikuti-Nya, mereka dengan segera meninggalkan jalanya, ayahnya, dan mengikuti-Nya. Bagi para nelayan, jala adalah alat yang digunakan sehari-hari dalam mata pencaharian mereka. Jadi, meninggalkan jala serta ayah mereka (untuk Yakobus dan Yohanes) berarti mereka bersedia meninggalkan seluruh kehidupan lama, zona nyaman (comfort zone), keadaan yang mereka kenal betul (familiar). Itulah mengapa Yesus berkata, “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk 9:62). Seseorang tidak dapat benar-benar menaati Tuhan dan tujuan-Nya bila ia tidak mau meninggalkan kehidupan lamanya. Ini merupakan sebuah ketaatan yang radikal karena benar-benar mengubah kehidupan mereka 180 derajat. Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes tidak tahu ke mana Yesus akan membawa mereka, namun mereka percaya kepada pribadi Yesus sebagai figur yang layak untuk mereka ikuti menjadi teladan.

Bila kita bandingkan sikap para murid di Mat 4:19-22 dengan Mat 8:19:22, Luk 9:57-62; jelas betapa kontras sikap antara murid sejati dengan murid yang hanya menginginkan kenyamanan saja. Sebuah ketaatan yang ditunda adalah bentuk ketidaktaatan. Bila kita tahu apa yang benar dan harus kita lakukan saat ini, namun dengan berbagai alasan tidak melakukannya, maka sama saja kita sedang tidak taat. Kita lebih memilih berbagai alasan dibandingkan dengan perintah Tuhan. Bila kita tahu kehendak Allah untuk mengampuni seseorang yang menyakiti kita, namun kita berargumentasi dengan mengatakan betapa orang tersebut telah menyakiti kita dan memutuskan untuk tetap memendam rasa pahit terhadap orang tersebut, maka itu berarti kita sedang tidak taat kepada-Nya. Kita lebih memilih untuk menyimpan rasa pahit daripada mengampuninya. 

Yesus menunjukkan harga yang harus dibayar oleh para pengikut-Nya secara gamblang di muka. Perjalanan menjadi serupa dengan-Nya akan membuat kita harus meninggalkan kebiasaan dosa kita, segala bentuk keterikatan, sumber keamanan kita, dan mengajar kita untuk percaya, taat, dan bergantung sepenuhnya hanya kepada Kristus. Hanya dengan proses ini seorang murid dapat berhasil mencapai tujuan akhir-Nya yaitu menjadi serupa dengan Sang Guru. Buah dari semua harga yang perlu dibayar untuk mengikuti Yesus tersebut manis, yaitu hubungan pribadi dengan Kristus yang sanggup memenuhi segala dahaga dalam jiwa kita, kehidupan kekal melalui pengenalan akan Kristus (Yoh 17:3), dan upah di sorga nantinya (Mat 5:11-12).

Tahun lalu, saya membatalkan pernikahan dan memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama 7 tahun dengan mantan kekasih. Bila ada yang bertanya mengapa, saya hanya menjawab sekilas dengan harapan semua orang dapat maklum tanpa bertanya lebih jauh lagi, yaitu berkaitan dengan restu orang tua. Namun kepada orang yang saya kenal dekat, saya dapat lebih terbuka bahwa sebenarnya ini adalah bentuk ketaatan karena Tuhan berkata dengan jelas bahwa partner saya waktu itu sudah tidak lagi sevisi dan hubungan pribadinya dengan Kristus sudah menurun jauh. Akan sulit ke depannya untuk mewujudkan panggilan Tuhan atas hidup saya, bila saya tetap memaksakan untuk menikah dengannya. 

Saya mendengar Tuhan berkata, “Put it down in the altar...” “Pesta pernikahan impian, gaun impian, pasangan yang selama ini kamu yakini akan kamu nikahi dan bahagia selamanya, letakkan itu semua di altar.” Partner saya saat itu merupakan orang yang sangat baik dari segala aspek, cinta pertama, pacar pertama, setia, dan sangat mengasihi saya. Benar-benar seseorang yang berharga bagi saya untuk “dikorbankan di atas altar.” Meskipun berat, saya memutuskan untuk percaya kepada-Nya serta kepentingan misi-Nya lebih dari perasaan saya. Itu merupakan masa yang sulit, namun saya tidak pernah menyesalinya. Itu merupakan keputusan yang benar, sebuah ketaatan, meskipun ada harga yang harus dibayar. Hal ini dikarenakan hubungan dengan Kristus bagi saya bukan hanya sekedar bumbu dalam Kekristenan, itu merupakan segalanya, pusat dari kehidupan kita. Tanpa-Nya, seorang yang baik dapat tergelincir menjadi tidak baik suatu saat nanti. Tanpa terhubung dengan Kristus secara terus menerus, kita tidak dapat mencapai tujuan hidup yang telah Ia rancangkan bagi kita. 

Ketaatan kepada kehendak-Nya menunjukkan kita menaruh nilai bahwa kehendak-Nya lebih utama dari hal lain yang berharga dalam hidup kita. Ketaatan itu ditunjukkan dengan segera melakukan yang kita sadar betul benar dan sejalan dengan kehendak-Nya. Menunda ketaatan sama saja dengan ketidaktaatan dan ke depannya harga yang kita bayar sangat mungkin jauh lebih mahal lagi. Bila saya memaksakan untuk tetap menikah dengan menerabas restu orang tua saat itu, saya sangat mungkin akan masuk dalam pernikahan yang sulit seumur hidup ke depannya. Harga yang kita bayar untuk mengikuti Yesus, seberapa pun mahalnya, tetap tidak lebih mahal dari harga untuk sebuah ketidaktaatan. Saya percaya Tuhan Yesus yang kita sembah itu adalah Tuhan yang baik, seorang Bapa yang rindu memberikan yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

“Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Matius 7:9-11 [TB]

Segala perintah-Nya itu untuk kebaikan dan melindungi kita dari konsekuensi yang lebih buruk. Percayalah kepada kebaikan-Nya dan mulailah untuk taat dari hal terkecil sekalipun yang kita ketahui Ia ingin kita lakukan saat ini. Bukalah telinga kita untuk mendengar, jangan lagi memberi alasan-alasan, atau menunda mentaati-Nya. Karena saya percaya buah dari ketaatan kita hari ini akan sangat manis ke depannya. Tuhan memberkati!

Monday, September 14, 2020

WHAT MATTERS MOST


by Leticia Seviraneta
Faith in action is love,and love in action is service.– Mother Teresa
Bila sudah lama menjadi orang Kristen (yang lahir baru, bukan hanya Kristen KTP), kita akan terbiasa dengan kutipan-kutipan ayat Alkitab, isi khotbah, ritual kebaktian, bahkan juga kesibukan pelayanan di gereja. Tanpa disadari, semua hal baik yang kita terima dan lakukan tersebut terkadang menjadi sekedar rutinitas (atau jadi beban tersendiri?) hingga kita melupakan alasan mengapa kita melakukannya. Ketika kita melupakan “the why” di balik apa yang kita lakukan, kita menjadi kehilangan arah serta tujuan. Akibatnya, “the why”—yang merupakan hal penting—ini sering tergusur urutan prioritasnya oleh hal yang terlihat “urgent” atau mendesak. Jika sudah begini, mungkin kita perlu mengingat pepatah di bawah ini:

Hal yang penting tersebut bukanlah untuk ditemukan seolah-olah belum kita miliki,
melainkan untuk diingat kembali.
(The important things are not to be discovered, but to be remembered.)

Lalu, sebagai orang Kristen, apa yang paling penting untuk kita lakukan?

Pertanyaan seputar “apa-yang-paling-penting” ini juga muncul di pikiran seorang ahli Taurat saat bertemu dengan Yesus. By the way, ahli Taurat adalah orang yang secara khusus mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari hukum Taurat. Nah, ketika ada kesempatan, dia bertanya kepada Yesus mengenai hukum yang terpenting dari semua hukum Taurat yang ada:

... dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
(Mat 22:35-40 / TB)

Pertanyaan di atas bukan berarti menandakan bahwa ahli Taurat itu tidak sungguh-sungguh mempelajari kitab Taurat. Bukan! Sebaliknya, dia bertanya kepada Yesus dengan maksud untuk mencari celah kesalahan di mana Sang Rabi itu akan mengabaikan hukum yang lain. Namun di luar dugaan, jawaban Yesus menunjukkan esensi dari keseluruhan hukum yang ada, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama. Perintah ini merupakan kutipan dari kitab Ulangan:


“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.”
(Ulangan 6:5 / TB)

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dulu mengasihi kita.”
(1 Yoh 4:19 / TB)

Kita dapat taat tanpa mengasihi, tetapi kita tidak dapat mengasihi tanpa taat. Kita bisa saja melakukan seluruh perintah Allah tanpa dilandasi kasih, namun kita tidak dapat mengasihi Allah tanpa ketaatan. Oleh karenanya, motivasi di balik hal-hal baik yang kita lakukan menjadi penting. Semuanya itu harus berlandaskan kasih kepada Allah. Kasih tersebut yang akan menjadi energi, menjadi alasan yang kuat di saat situasi kita melemahkan semangat, tidak ideal, dan sulit.

Apa artinya mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita? Nah, tahukah Pearlians bahwa kata “hati”—dalam bahasa Ibrani—disebut “lev”? “Lev” diartikan sebagai “organ yang memberikan kehidupan, tempat berpikir, merasakan emosi, dan membuat keputusan-keputusan”. Menariknya, “lev” tidak sekadar berarti “hati”, melainkan juga diterjemahkan sebagai “pikiran”. Ini menunjukkan bahwa hati dan pikiran menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, apalagi karena keduanya merupakan pusat dari kehidupan. Dari situlah pusat emosi, keinginan, pengambilan keputusan yang kemudian akan menentukan arah kehidupan kita. Itulah mengapa raja Salomo menuliskan dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” 

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan akal budi dimulai dengan mengarahkan fokus perhatian dan pikiran kita kepada kebaikan Tuhan, Firman-Nya, dan menyembah-Nya di setiap saat. Bila kita mau jujur, banyak hal yang berusaha merebut fokus kita sehari-hari; entah itu pekerjaan, pasangan, keluarga, pelayanan, dan sebagainya. Iya, semuanya itu hal yang baik. Tapi kalau Tuhan tidak ditempatkan menjadi Sang Raja atas kehidupan kita (baca: yang hadir dalam setiap aspek kehidupan yang kita miliki), maka seringkali motivasi dan tujuan sebenarnya dari hal-hal baik tersebut akan hilang. Oleh karenanya, mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan pikiran dapat dilakukan dengan memulai hari kita untuk meluangkan waktu bersama-Nya, berdoa, memuji dan menyembah-Nya, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, serta menerapkannya setiap saat. Disiplin rohani ini seringkali dilihat sepele, namun itu akan menuntun kita sepanjang hari ke arah sesuai yang Tuhan inginkan.

Lalu apa yang dimaksud “mengasihi Tuhan dengan segenap jiwamu”? Dalam bahasa Ibrani, jiwa menggunakan kata “nephesh” yang memiliki arti keseluruhan dari keberadaan fisik seseorang (the whole physical being of a person). Artinya, “mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa” berarti mendedikasikan keseluruhan keberadaan dan hidup kita kepada Tuhan. Hal ini bukan berarti pekerjaan atau kegiatan kita sehari-hari harus yang bersifat “rohani”—karena sebenarnya tidak ada kegiatan yang “rohani” maupun “non-rohani” (atau “sekuler”) di mata Tuhan. Apapun yang kita kerjakan sehari-hari, kalau selalu dilakukan dengan tujuan untuk memuliakan Tuhan, maka itu adalah penyembahan kita yang sejati.

So here's what I want you to do, God helping you: Take your everyday, ordinary life—your sleeping, eating, going-to-work, and walking-around life—and place it before God as an offering. Embracing what God does for you is the best thing you can do for him.
(Rom 12:1 / MSG)

Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
(Rom 12:1 / TB)

“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
(1 Korintus 10:31)

Kemudian apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatanmu? Menarik sekali, kekuatan disini tidak merujuk kepada kekuatan fisik seseorang, melainkan berasal dari kata Ibrani “me’od” yang sebenarnya merupakan kata keterangan yang berarti “sangat” atau “very”. Misalnya pada hari ketujuh penciptaan Tuhan mengatakan semuanya “me’od” baik atau sangat baik. Dalam bahasa Yunani kata ini diterjemahkan menjadi “dunamis” atau “power”. Intinya adalah “mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan” tidak membatasi kita mengasihi Tuhan dengan cara tertentu saja. Sebaliknya, kita justru dibukakan pada anugerah bahwa dalam segala aspek kehidupan kita—dalam situasi apapun, kesempatan yang diberikan, maupun setiap kemampuan yang kita miliki—dapat digunakan untuk mengasihi-Nya. 

Keseluruhan dari perintah untuk mengasihi mendorong kita kepada suatu perbuatan (action). Stephen Covey berkata, “Kasih adalah sebuah kata kerja. Kasih adalah sesuatu yang kamu lakukan: pengorbanan yang kamu lakukan, pemberian diri kita sendiri. Bila kamu ingin belajar mengasihi, pelajari mereka yang berkorban untuk orang lain. Kasih—sebuah perasaan—adalah buah dari kasih yang merupakan kata kerja.” Mengasihi Tuhan tidak dapat terlepas dari mengasihi orang lain. Keduanya seperti dua sisi mata koin yang sama. Kita tidak dapat menanyakan, “Mana yang lebih penting: mengasihi Tuhan atau mengasihi sesama?” Karena bagi Tuhan, mengasihi-Nya ditunjukkan dengan mengasihi sesama, dan mengasihi sesama menunjukkan bahwa kita mengasihi-Nya. Oleh karena itu perintah yang terutama yang Yesus sebutkan dilanjutkan dengan “…mengasihi sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri.” (Luk 10:27 / TB)

Dalam Lukas 10:29-37, dikisahkan bahwa ahli Taurat yang menanyakan hal yang sama—yang bertujuan untuk membenarkan dirinya—bertanya kembali, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Bukankah pertanyaan itu seolah-olah menyiratkan bahwa kita dapat memilih orang-orang tertentu saja untuk dikasihi dan itu sudah cukup untuk memenuhi perintah Tuhan tersebut? Tapi Yesus menjawabnya dengan menceritakan ilustrasi seorang Samaria yang menolong orang yang telah dirampok, dipukul habis-habisan, dan meninggalkannya di pinggir jalan dalam keadaan hampir meninggal. Sebelum orang Samaria tersebut datang, seorang imam dan Lewi melewati jalan tersebut, melihat kondisi orang itu, dan mengabaikannya dengan berjalan di sisi jalan lain. Sementara ketika orang Samaria melihatnya, ia menaruh belas kasihan kepadanya. Ia membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, membawanya ke tempat penginapan, merawatnya, dan menitipkan uang di tempat penginapan untuk tempat pengobatannya. Yesus mendeskripsikan orang Samaria tersebut sebagai sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun tersebut. Lalu kenapa Dia menjadikan orang Samaria di kisah itu sebagai “orang yang menunjukkan belas kasihan pada sang korban perampokan”, bukannya imam atau orang Lewi? Well, ini karena Yesus tahu bahwa pada zaman itu, orang Samaria adalah kelompok yang dibenci oleh orang Yahudi; sedangkan imam dan orang Lewi cenderung dihormati karena mereka memiliki hak untuk melayani Allah. As simple as that.

By the way, perintah agar kita mengasihi Allah dan sesama menggunakan kata Yunani “agape”, jenis kasih tidak bersyarat yang ditunjukkan Allah kepada manusia. Ini merupakan kasih yang tanpa pamrih, yang tidak memandang buluh siapa penerima kasihnya.

“Tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya [agape] kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”
(Rom 5:8)

Ketika masih berdosa, manusia (termasuk) berada di posisi yang menempatkan Tuhan sebagai musuhnya. Tuhan mengasihi kita selagi kita menjadi “musuh”-Nya? Wah, ironis sekali, kan? Demikian juga dengan ilustrasi Yesus, orang Samaria pada masa itu merupakan “musuh” orang Yahudi. Orang Yahudi tidak akan mau berurusan sama sekali dengan orang Samaria, demikian juga sebaliknya. Yesus menjabarkan deskripsi sesama manusia dengan menggunakan contoh yang paling ekstrim: musuh kita pun termasuk sesama kita. Melalui ilustrasi-Nya, deskripsi sesama manusia dapat meliputi orang yang (menurut kita) tidak layak mendapatkan kasih kita, orang yang tidak berdaya, maupun orang yang tidak dapat membalas kebaikan kita. Tapi karena Tuhan sudah memberi agape kepada kita yang sebenarnya tidak layak untuk dikasihi, Dia juga menginginkan kita untuk memberikan agape tersebut kepada orang yang tidak layak mendapatkannya.

Secara manusiawi, tentu ini perintah yang sungguh sulit untuk dilakukan. Bila kasih hanya bersumber dari diri kita sendiri, maka hal ini tentu mustahil untuk dilakukan. Bagaimana bisa kita mengasihi dan berbuat baik kepada orang yang menyakiti kita atau yang tidak akan membalas kebaikan kita? Secara logika, hal ini tidak masuk akal. Oleh karena itu, kita perlu menerima terlebih dahulu agape Allah, kasih tidak bersyarat-Nya yang begitu besar. Allah perlu menjadi sumber kasih dalam keseharian kita sehingga kita dimampukan oleh-Nya untuk mengasihi sesama kita juga. Bagaimana melakukan hal ini secara nyata? Hal ini dapat dimulai dari langkah kecil seperti berdoa bagi yang pernah menyakiti kita. Mendoakannya mungkin tidak secara instan mengubah orang tersebut, namun akan secara progresif mengubahkan hati kita. Fokus kita dapat bergeser dari tindakannya yang salah terhadap kita menjadi melihatnya sebagai seorang yang membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Dari langkah kecil ini, kita dapat pelan-pelan berbuat sesuatu yang baik kepadanya. Demikian juga halnya dengan orang yang jelas membutuhkan pertolongan, seorang yang tidak berdaya, dan tidak dapat membalas kebaikan kita. Kita perlu membuka mata dan berbesar hati untuk lebih peka melihat kebutuhan di sekitar kita dan melakukan sesuatu untuk memenuhinya.

Bunda Teresa berkata, “Iman dalam perbuatan adalah kasih, kasih dalam perbuatan adalah pelayanan.” Pelayanan yang sesungguhnya tidak terbatas dalam lingkup gereja, melainkan dalam keseharian kita, dan kepada siapa pun yang kita temui. Dengan cara inilah, kasih Allah dapat hadir dan nyata bagi kehidupan orang lain dan pelayanan kita menjadi respon natural dari kasih yang sudah kita terima dari-Nya. Selamat mengasihi!
“Bentuk penyembahan tertinggi adalah penyembahan dari pelayanan orang Kristen yang tidak egois. Bentuk pujian tertinggi adalah suara kaki-kaki yang mencari orang yang terhilang dan tidak berdaya.” – Billy Graham

Monday, May 11, 2020

Being A Disciple Maker


by Leticia Seviraneta

Ketika ada seorang yang kita kasihi bangkit dari kematian dan memberikan pesan terakhir kepada kita, kita akan menganggapnya penting bukan? Bangkit dari kematian sendiri sudah merupakan hal yang supernatural, sebuah mujizat. Terlebih lagi ketika yang bangkit dari kematian tersebut memberikan mandat atau perintah terakhir untuk kita lakukan. Sebelum perpisahan, kita pada umumnya hanya menitipkan pesan yang sangat penting. Demikianlah halnya yang terjadi ketika Yesus bangkit dari kematian dan sebelum naik ke Sorga, ia memberikan mandat bagi para murid. Sebuah perintah yang terpenting bagi Tuhan Yesus untuk kita lakukan.

Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
(Matius 28:18-20)

Bila kita baca kelanjutan dari pekerjaan-pekerjaan para murid setelah kenaikan Yesus ke Sorga dalam Kitab Para Rasul, kita dapat melihat betapa mereka bersungguh-sungguh menjalankan perintah-Nya ini. Mereka berkeliling untuk memberitakan kabar baik keselamatan yang datang melalui Yesus, banyak orang yang menjadi percaya berkumpul secara rutin untuk bertekun dalam pengajaran para rasul, dan jumlah yang percaya setiap hari bertambah. 

“Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dalam persekutuan dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”
(Kisah Para Rasul 2:41-42)

“Sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
(Kisah Para Rasul 2:47)

Sejak semula, kekristenan bukanlah sebuah agama, melainkan sebuah pergerakan (movement) untuk:
  1. Memberitakan kabar keselamatan melalui Kristus (Injil).
  2. Membaptis mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.
  3. Mengajar mereka untuk melakukan perintah-perintah Kristus.
dengan disertai oleh kekuatan Allah melalui Roh Kudus.

Namun yang terjadi dalam kekristenan saat ini, seringkali kita menganggap bahwa peran tersebut milik eksklusif dari pendeta, evangelis, guru Alkitab, dsb. Kita cukup puas menjadi “penonton” dengan hadir di dalam kebaktian gereja, “makan” Firman Tuhan yang dikhotbahkan, dan pulang dengan merasa telah melakukan apa yang Yesus ingin kita lakukan. Sayangnya, mandat terakhir Yesus bukanlah sekedar supaya kita rutin datang ke gereja dan pasif mendengarkan pengajaran Firman, melainkan untuk menjadi pemurid (disciple maker). Ini bukanlah panggilan khusus untuk orang Kristen tertentu saja yang “lebih rohani” melainkan panggilan yang berlaku bagi semua orang percaya kepada Kristus. 

Tentu sebelum menjadi seorang pemurid (disciple maker), kita perlu menjadi seorang murid (disciple) terlebih dahulu. Ketika Yesus memanggil para murid-Nya, ia berkata, “Ikutlah Aku” atau “Follow Me. Seorang murid pada dasarnya adalah pengikut Kristus (Jesus’ followers). Seorang murid pada zaman itu akan mengikuti (follow) gurunya (rabi) kemana pun ia pergi. Ia akan mempelajari pengajaran gurunya serta meniru perbuatannya. Seorang murid benar-benar adalah pengikut gurunya secara literal. Dengan demikian, adalah mustahil menjadi seorang murid tanpa pada akhirnya menjadi serupa dengan gurunya. 

“Tidak ada murid yang lebih besar daripada gurunya. Tetapi murid yang sudah selesai belajar, akan menjadi sama seperti gurunya.”
(Lukas 6:40 / BIS)

Jadi, pada intinya menjadi murid Yesus adalah meniru perbuatan-Nya, melanjutkan pelayanan-Nya, dan menjadi serupa dengan-Nya dalam proses. Seorang Kristen tidak dapat tidak menjadi serupa dengan Kristus.

Kabar baiknya, Tuhan tidak memanggil kita dalam isolasi. Untuk menjadi seorang murid, kita perlu dimuridkan terlebih dahulu. Di sinilah peranan komunitas gereja menjadi vital. Kita perlu tertanam di sebuah gereja lokal, dimuridkan oleh seorang yang lebih dewasa dalam karakter dan perjalanan-Nya bersama Kristus. Kita perlu mengenal Firman-Nya sehingga dapat memberitakan dan mengajarkan-Nya kepada orang lain. Kemudian kita perlu bertumbuh dari seorang murid menjadi seorang pemurid. Karena kembali lagi, mandat Kristus bukan berhenti menjadi seorang murid saja melainkan menjadi pemurid.

Saya tidak bermaksud membuat ini menjadi seperti beban atau kewajiban sebagai pengikut Kristus. Setiap pemurid harus memiliki motivasi dan sikap hati yang benar. Kita tidak menjadi pemurid karena kewajiban, melainkan karena kasih. Saya percaya bahwa cara terbaik untuk mengasihi Allah adalah dengan menggembalakan domba-domba-Nya.

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini? Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
(Yohanes 21:15)

Tiga kali Yesus bertanya kepada Petrus apakah ia mengasihi-Nya. Tiga kali Petrus memberi respon bahwa ia mengasihi-Nya. Kemudian Yesus mengulangi tiga kali untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Ketika kita mengasihi seseorang, kita akan belajar mengasihi juga apa yang ia kasihi. Yesus sangat mengasihi domba-domba-Nya hingga mati bagi kita semua. Apa yang berharga di mata-Nya menjadi berharga bagi setiap kita yang mengasihi-Nya juga. Inilah mengapa seorang Kristen tidak dapat terlepas dari komunitas gereja. Seorang Kristen tidak dapat benar-benar mengasihi Kristus bila ia tidak mengasihi sesama orang percaya dan terlibat dalam pemuridan.

Seringkali yang membuat kita menganggap pemuridan menjadi panggilan yang terlalu tinggi untuk kita adalah karena kita menganggap kita harus sempurna terlebih dahulu untuk menjadi pemurid. Kita menganggap kita perlu tahu banyak sekali Firman Tuhan untuk dibagikan terlebih dahulu, sudah tidak jatuh ke dalam dosa lagi, dsb. Hal ini membuat kita menunda niat untuk melakukannya dan pada akhirnya kita tidak maju sama sekali. Kabar baiknya, memuridkan bukanlah tentang mengumpulkan orang untuk mendengarkan pengajaran kita, melainkan berfokus untuk mengasihi mereka. Seorang gembala mengasihi dombanya dengan memperhatikan, mengetahui keseharian, menolong dalam pergumulan atau kesulitan, memberi makan, dan mengobatinya bila terluka. Sesungguhnya menjadi pemurid dimulai dari langkah sederhana untuk hadir - “be present” - dalam kehidupan para murid. Seorang pemurid mengasihi sedemikian rupa sehingga menolong mereka untuk mengasihi dan taat kepada Kristus. Seorang pemurid menunjukkan sekilas seperti apa Tuhan Yesus itu. Untuk melakukan langkah sederhana ini, modal dasar seorang pemurid adalah kasih. Bila teman-teman mengasihi Tuhan dan mengasihi domba-domba-Nya, maka teman-teman dapat menjadi seorang pemurid saat ini juga. Dalam perjalanannya, seorang pemurid pun juga terus bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus melalui Firman Tuhan dan pengalaman pribadinya. Sehingga pemurid akan terus diperlengkapi juga oleh Roh Kudus dalam proses memuridkan.

Pemuridan bukanlah sekedar program gereja. Pemuridan adalah sebuah hubungan. Sama seperti kedua belas murid Yesus yang tinggal bersama-Nya, menghabiskan waktu dan membina hubungan dengan-Nya, demikian juga halnya pemuridan yang Yesus kehendaki untuk kita lakukan. Tanpa jabatan pemimpin dalam gereja sekalipun, setiap anggota gereja dapat menjadi pemurid. Teman-teman dapat memulai dengan mencari seseorang yang membutuhkan pertolongan. Teman-teman dapat membina hubungan dengannya, menyediakan telinga untuk mendengar, hadir di masa-masa sukar hidupnya, dan pada akhirnya teman-teman dapat memperkenalkan pribadi Tuhan Yesus kepadanya. 

Pemuridan justru terjadi dalam situasi non-formal, terlihat alami, namun tetap harus disengaja (intentional). Kita perlu secara aktif membina hubungan baik kita sebagai murid dan juga kita sebagai pemurid. Kita membutuhkan keduanya. Kita butuh seorang untuk memuridkan kita dan kita butuh untuk memuridkan orang lain. Dengan demikian hidup kita terjaga dan terus bertumbuh seiring dengan kita pun menolong pertumbuhan orang lain. Inilah gereja sesungguhnya. Gereja pada intinya terletak pada pemuridan. Dan semua ini hanya dapat terjadi bila kita sadar dan taat untuk menjadi seorang pemurid (disciple maker) untuk menyalurkan kasih Kristus kepada dunia.

“Discipleship is not an option. Jesus says that if anyone would come after me, he must follow me.” – Tim Keller
“The Christian life is the disciple life and the discipling life.” – Mark Dever

Monday, September 17, 2018

As Sweet As Honeycomb


by Leticia Seviraneta

Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati
dan obat bagi tulang-tulang.
(Amsal 16:24 / TB)

Perkataan ibarat sebuah lift. Ia dapat membawa orang-orang di dalamnya ke atas maupun ke bawah. Perkataan dapat dipakai untuk membangun, namun juga dapat dipakai untuk menjatuhkan. Perkataan dapat dipakai untuk mendatangkan penghiburan, namun juga dapat dipakai untuk menyakiti. Yakobus menuliskan bahwa lidah, anggota kecil dalam tubuh, seperti kemudi yang mengendalikan seluruh badan kapal yang besar. Lidah pun dapat diibaratkan seperti api kecil yang dapat membakar hutan yang besar.

Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi. Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. 
(Yakobus 3:4-5 / TB)

Perkataan kita menciptakan dunia kita. Perkataan kita mengarahkan kehidupan kita ke arah yang lebih baik maupun buruk. 

Seorang yang dapat mengendalikan perkataannya adalah orang yang dapat juga mengendalikan hidupnya (Yak 3:2). Ia seperti memegang tombol lift dan dengan sengaja dapat mengambil keputusan ke mana lift itu akan pergi, ke atas maupun ke bawah. Selama masih di bumi ini, kita memang memiliki kelemahan di area mengendalikan perkataan, namun kita dapat bertumbuh semakin dewasa di area ini. 

Sebagai seorang wanita Allah, sadar atau tidak, perkataan kita memiliki kuasa yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan di sekitar kita. Perkataan kita sebagai seorang istri dapat menentukan mood suami kita sepanjang hari. Perkataan kita sebagai seorang ibu dapat memberikan kepercayaan diri kepada anak-anak. Perkataan kita sebagai seorang teman dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam hidupnya. Ketika kita memutuskan untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan Yesus, Roh Kudus tinggal di dalam kita menjadi mata air kehidupan yang memancar dari dalam ke luar kehidupan kita. Satu mata air Roh Kudus tidaklah layak bila mengeluarkan air tawar sekaligus air pahit. Kita tidak dapat menggunakan mulut kita untuk memuji Tuhan setiap hari Minggu, namun menggunakan mulut kita untuk berbohong dan bergosip dari hari Senin sampai Sabtu. 

Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.
(Yak 3:9-12 / TB)

Dengan kuasa Roh Kudus, kita dimampukan untuk dapat berkata-kata dengan baik di setiap kesempatan. Ini adalah sebuah kebiasaan yang perlu kita bangun dan latih setiap hari. Di sepanjang perjalanan mungkin akan ada kalanya kita terbawa emosi dan mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak baik, namun kita pun dapat meminta maaf terhadap orang yang kita sakiti. Bertutur kata yang membangun senantiasa adalah sebuah pilihan yang harus kita buat terus-menerus. Untuk membangun kebiasaan mengambil keputusan yang tepat dalam bertutur kata, ada satu prinsip yang dapat kita terapkan, yaitu prinsip output akan sangat ditentukan oleh input.

Di dalam Matius 15, orang Farisi yang mencemooh murid-murid-Nya karena mereka tidak membasuh tangan sebelum makan. Yesus kemudian menegur mereka karena melanggar perintah Allah demi melakukan adat istiadat nenek moyangnya. Orang Farisi pandai dalam memenuhi semua ritual keagamaan dan peraturan-peraturan yang dibuat manusia, namun hati mereka jauh dari Allah. 

Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang."
(Mat 15:10-11 / TB)

Yesus menekankan bahwa bukan makanan fisik yang masuk ke dalam mulut kita yang membuat kita menjadi tidak kudus, melainkan perkataan yang keluar dari mulut kita, itulah yang dapat membuat kita menjadi tidak kudus.

Perkataan itu merupakan output atau produk dari apa yang kita pikirkan. Dan pikiran kita sendiri adalah output dari setiap stimuli yang kita terima di sekitar kita. Stimuli ini dapat berupa perkataan yang kita dengar, film yang kita tonton, buku yang kita baca, games yang kita mainkan, dst. Stimuli ini memasukkan nilai-nilai ke dalam pikiran kita. Secara otomatis, otak kita dapat terbawa meresponi stimuli tersebut dan dapat membuat kita memikirkan hal-hal tersebut. Itulah mengapa prinsip paling utama untuk membangun kebiasaan berkata-kata yang benar adalah juga membangun kebiasaan berpikir yang benar. Setiap pikiran yang tidak kudus dan tidak berkenan kepada Allah harus kita singkirkan. Lalu setiap stimuli yang kita terima setiap harinya pun harus kita filter agar tidak membuat kita berpikir yang buruk.

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
(Filipi 4:8 / TB)

Akan menjadi sangat sulit untuk membangun kebiasaan berkata-kata yang baik apabila kita senantiasa bergaul dengan orang yang suka berkata kasar atau yang suka marah-marah. Akan menjadi sulit untuk berkata-kata membangun bila kita senantiasa mendengarkan perkataan yang menjatuhkan, menghina, dan bergosip setiap harinya. Akan menjadi sulit untuk memiliki pikiran yang jernih bila kita menonton film berjam-jam yang banyak adegan kasar dan perkataan yang buruk. Jadi kita harus bijaksana dalam mengatur intensitas dikelilingi oleh hal-hal yang tidak akan mendukung perkembangan kita dalam membangun kebiasaan berkata-kata baik. Kita perlu lebih banyak menghabiskan waktu kita membaca artikel atau buku yang membangun, menonton film yang mengajarkan nilai-nilai yang baik, serta terutama merenungkan Firman Tuhan. 
“Kamu cantik sekali hari ini.”
“Kamu pasti bisa melakukannya.”
“Saya menyukai seleramu berpakaian.”
Kita semua senang bila mendengar seorang berkata yang menyenangkan tentang kita. Perkataan yang manis selayaknya sarang madu yang dapat membuat hari-hari yang pahit pun menjadi lebih manis. Ia dapat menyejukkan jiwa dan membawa kesembuhan dari penyakit sekalipun. Namun perkataan yang manis bukanlah hanya berbicara tentang pilihan kata yang dipakai, namun juga intonasi dalam mengucapkannya. Nada Do = C dengan Do = A akan sangat berbeda dampaknya bagi orang yang mendengar meskipun kata-katanya sebenarnya netral. Intonasi sangat krusial terlebih lagi di situasi perdebatan yang memanas. 

Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.
(Amsal 15:1 / TB)

Ingatlah bahwa semakin keras intonasi lawan bicara kita, intonasi kita harus semakin lembut. Kelembutan itu akan meredakan kemarahan, ibarat air dingin memadamkan api yang sedang membara. Penghalang kita untuk melembutkan suara biasanya adalah pemikiran yang keliru. Kita seringkali menganggap bahwa semakin besar dan semakin tinggi intonasi kita, maka kita akan semakin didengar. Hal ini salah besar. Semakin bising suara, kita justru semakin ingin menutup telinga dan meninggalkan lawan bicara sejauh mungkin. Kita tidak tertarik mendengar isi perkataannya lagi karena kita sudah terganggu dengan caranya menyampaikan pesan. Bandingkan dengan seorang yang sedang berbisik kepada kita. Kita akan secara refleks mencondongkan telinga atau badan kita kepadanya dan menaruh perhatian lebih besar untuk mendengarkan isi perkataannya. Penghalang lain biasanya juga adalah rasa gengsi dan tidak mau kalah. Kita tidak mau dianggap lemah dan kalah dalam perdebatan. Kita seperti terbawa untuk membalas setiap perkataan agar ‘memenangkan’ argumen tersebut. Namun kasih sejati sesungguhnya tidak mengenal gengsi. Apalah artinya memenangkan sebuah argumen namun kehilangan hubungan dengan orang tersebut? Bila kita renungkan dengan sesama, yang diperdebatkan sama sekali tidak sepadan bobotnya dengan hubungan antar manusia.

Banyak yang berdalih bahwa kehidupan yang keras menjadikan dirinya berkata-kata kasar. Namun, daripada kita disetir oleh kehidupan, marilah kita ambil alih kemudi kehidupan kita. Bila kita menginginkan kehidupan yang manis, maka kita perlu mengubah haluan kemudi perkataan kita menjadi bertutur kata yang manis. Perkataanmu menciptakan duniamu. Bila ingin mengubah duniamu, ubahlah perkataanmu. 

Wednesday, September 12, 2018

How to be Kind


by Leticia Seviraneta

Kita telah belajar bahwa kebaikan merupakan tindakan nyata yang baik dan dapat dirasakan oleh orang lain. Kebaikan secara mutlak membutuhkan subjek penerima. Kebaikan dirasakan melalui bagaimana cara kita memperlakukan sesama manusia: Apakah kita menghargai mereka? Apakah kita memandang mereka dengan hormat? Apakah kita mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama? Mungkin sebagian kita merasa ‘jleb’ karena banyak yang tersentil ternyata kita selama ini belum sebaik standar yang Tuhan inginkan. Hey, it’s okay! Dengan menyadarinya sekarang, kita memiliki ruang untuk bertumbuh dan berkembang lebih baik lagi. Yuk kita gali lebih dalam lagi tentang bagaimana caranya untuk menjadi baik.

1. Andalkan Tuhan sebagai sumber dan role model kebaikan

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak akan berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”
(Yoh. 15:7)

Pernahkah teman-teman melihat sebuah ranting yang berkeringat susah payah untuk menghasilkan buah? Hal ini terdengar konyol bukan? Sebuah ranting berbuah dengan sendirinya secara alami selama ia terhubung dengan baik dengan batang pohon, akar-akar, serta tanah yang subur. Selama ia terhubung dengan sumbernya tersebut, ranting tersebut secara pasti dan berkelanjutan akan menerima nutrisi yang dibutuhkan untuk berbuah. Demikian juga halnya dengan kita. Kita perlu untuk selalu terhubung dengan Yesus melalui hubungan yang intim, solid, dan teratur. Kita perlu berdiam dalam kekaguman akan kebaikan dan karya-karya-Nya di bumi ini untuk mendapat asupan nutrisi bagi roh dan jiwa kita. Selama kita terhubung, kita akan peka mendengar suara-Nya. Ia akan menunjukkan bagaimana kita harus bersikap kepada sesama. Lalu yang perlu kita lakukan adalah menaati arahan Roh Kudus tersebut. Apakah ia meminta kita untuk menolong orang yang tidak kita kenal yang sedang kesulitan di depan mata? Lakukanlah. Apakah ia meminta kita untuk tidak tersinggung dan melepas pengampunan pada orang yang berkata kasar kepada kita? Lakukanlah. Bila kita dapati diri kita sedang berlaku tidak baik kepada sesama, cobalah cek dan tanya diri kita kembali, “Bagaimana hubunganku dengan Yesus belakangan ini?” Bila kita sadari bahwa hubungan kita sudah mulai kendor, kita malas berdoa dan membaca Fiman-Nya, segeralah bangkit dan bangun kembali hubungan dengan-Nya.

2. Latihlah kebiasaan untuk berkata-kata yang baik dan membangun saja 

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”
(Efesus 4:29)

Sadar atau tidak, kata-kata seseorang menunjukkan keadaan hati orang tersebut yang sesungguhnya. Tidak ada istilah, “Ah dia kata-katanya memang pedes, tetapi dia orangnya mah baik.” Karena Matius 5:18 menyatakan, “Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati, dan itulah yang menajiskan orang.” Menurut Amsal 31, wanita bijak akan bertutur kata dengan lemah lembut dan penuh hikmat. 

“She opens her mouth with wisdom, and the teaching of kindness is on her tongue.”
(Proverbs 31:26 / ESV)

“When she speaks she has something worthwhile to say, and she always says it kindly.”
(Proverbs 31:26 / MSG)

Melalui ayat ini, kita diajar untuk menyaring kata-kata yang akan kita keluarkan sebelum membuka mulut kita. Apakah perkataanku ini baik? Apakah perkataanku ini membangun? Apakah perkataanku ini dapat menyakiti lawan bicaraku? Menarik bahwa di versi terjemahan The Message, dikatakan bila ia memiliki sesuatu yang layak untuk dibicarakan, ia selalu memperkatakannya dengan lembut. Jadi saringan tambahan sebelum kita mengucapkan sesuatu adalah apakah hal ini berharga untuk diucapkan? Bagaimana sebaiknya kita menyampaikannya? Bila perkataan yang akan kita ucapkan tidak lolos semua screening sebelumnya, lebih baik kita tidak membuka mulut kita. Terutama di saat kita sedang emosi dan marah, tidak akan ada hal baik yang dapat keluar dari mulut kita. Di saat-saat seperti itulah kita harus dapat menahan diri untuk tidak berbicara. 

3. Bersikaplah ramah kepada orang yang dipandang lebih rendah 

“Dan Raja itu akan menjawab kepada mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
(Mat. 25:40)

Ada sebuah ungkapan populer di dunia psikologi untuk menilai kepribadian seseorang: “Bila engkau ingin mengenal karakter sesungguhnya seseorang, lihatlah dari cara mereka memperlakukan pelayan restoran.” Ya, pelayan restoran merupakan orang yang mudah dijumpai di sekitar kita, yang sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari konsumennya. Banyak yang ketika memesan tidak memandang mata si pelayan, tidak mendengarkan ketika pelayan tersebut mengulang pesanan makanan kita, dan mengomeli pelayan ketika makanan lama disuguhkan, terlebih lagi bila pesanan yang diantarkan salah. Hal-hal kecil dalam memperlakukan orang-orang yang secara jabatan maupun status sosial dipandang rendah merefleksikan betul apakah seseorang baik atau tidak. Yesus senantiasa mengajarkan bahwa setiap tindakan yang kita lakukan bagi orang-orang yang dipandang hina atau rendah bagi kebanyakan orang, kita lakukan bagi-Nya. Kita mungkin selama ini tidak sadar bahwa hal-hal yang terlihat kecil seperti ini berarti bagi-Nya. Oleh karenanya, mulailah belajar bersikap ramah dan menghargai keberadaan siapa pun tanpa merendahkan pekerjaan dan status sosialnya. Mulailah buat eye contact dan menyimak perkataan orang lain seperti itu penting bagi kita. Mulailah memperhatikan kebutuhan orang sekitar dan sedapat mungkin bantulah yang mengalami kesulitan.

4. Mudahlah mengampuni dan tidak menyimpan kesalahan orang lain 

“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
(Efesus 4:31-32)

Sebuah hubungan persahabatan, terlepas dari berapa lama pun terjalin, akan berakhir ketika ada salah satu atau pun kedua pihak yang mengingat-ingat kesalahan temannya dan memutuskan untuk tidak mengampuni. Ketika kita tidak mengampuni, kita sedang berlaku tidak baik kepada sesama kita (baik secara langsung maupun tidak). Keengganan untuk mengampuni akan menjadi tembok dalam hubungan tersebut, yang menyulitkan kita untuk bersikap ramah dan berbuat baik kepada orang tersebut. Banyak dari orang Kristen bersikap tidak ramah karena berakar dari tidak mengampuni ini. Sikap tidak ramah tersebut akan terlampiaskan ke siapa saja, termasuk kepada orang yang tidak bersalah kepadanya. Jadi, cara untuk mempraktikkan kebaikan secara konstan adalah juga dengan memperbesar kapasitas hati kita untuk tidak mudah sakit hati, tidak mudah tersinggung, dan murah untuk melepaskan pengampunan.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.”
(Efesus 4:26)

5. Kembangkanlah kebiasaan suka memberi 

“A generous person will prosper; whoever refreshes others will be refreshed.”
(Proverbs 11:25 / NIV)

Kebaikan selalu berjalan berdampingan dengan tindakan memberi. Memberi waktu, perhatian, kesabaran untuk mendengarkan, uang, memberi pengetahuan, dsb merupakan manifestasi dari kebaikan. Kita secara natural tidak terbiasa untuk memberi, karena manusia secara daging merasa lebih nyaman menerima daripada memberi. Memberi terkadang membutuhkan harga yang harus dibayar dan pengorbanan dari pihak si pemberi. Untuk dapat melatih kebiasaan memberi kita harus percaya bahwa berkat Tuhan cukup bagi kita, dan mengerti bahwa tujuan kita diberkati adalah untuk memberkati orang lain. Mulailah dari memberikan sesuatu yang kecil, baru perlahan-lahan memberikan sesuatu yang semakin berharga bagi kita. Memberi bukan hanya sekedar tindakan kebaikan yang nyata, namun juga merupakan tindakan yang mengungkapan rasa syukur kita atas pemberian Tuhan, dan tanda rasa percaya bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita kekurangan. 

“Tidak ada satu pun tindakan kebaikan yang sia-sia”
- Unknown