Oleh Mekar Andaryani Pradipta
Baru-baru ini, lebih dari 300 aktris, penulis skenario dan sutradara di Hollywood ikut serta dalam gerakan Time’s Up. Kampanye ini adalah usaha untuk memerangi pelecehan seksual yang kerap terjadi di dunia kerja, terutama di dunia hiburan. Kemunculan Time’s Up dipicu oleh dari beberapa aktris mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser film Harvey Weinstein.
Pelecehan seksual memang bukan topik yang kerap dibahas secara terbuka. Para korban Harvey Weinstein pun butuh waktu bertahun-tahun sampai mereka punya keberanian untuk bicara. Pada akhir 2017 yang lalu, hashtag #MeToo muncul di Twitter untuk mendorong korban pelecehan seksual membagikan apa yang mereka alami. Tidak hanya itu, majalah Time edisi Desember 2017 memuat profil tokoh-tokoh yang berbicara melawan pelecehan seksual, menjuluki mereka sebagai “the Silence Breakers” dan mengangkatnya sebagai Person of the Year 2017.
Kondisi dan gerakan sosial seperti ini seharusnya juga masuk dalam radar gereja, jika memang gereja ingin menjadi jawaban yang dibutuhkan dunia. Di Indonesia sendiri misalnya, survey yang dilakukan oleh Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus, di tahun 2015 tercatat 6.499 kasus dan tahun 2016 telah terjadi 5.785 kasus. Tentu saja jumlah ini hanyalah puncak dari gunung es, karena tidak semua kasus pelecehan seksual dilaporkan ataupun diketahui.
Kondisi ini mungkin membuat kita bertanya, dimana peran gereja? seberapa sering topik ini dibahas di dalam gereja? Seberapa kuat gereja memperlengkapi diri untuk menjadi pelayan para korban pelecehan seksual? Tentu hal ini menjadi bahan renungan yang relevan saat ini.
***
Jika kita amati, Alkitab setidaknya pernah menceritakan tiga peristiwa pelecehan seksual, semuanya adalah pemerkosaan. Kita mungkin pernah membaca tiga peristiwa ini: pemerkosaan Dina anak perempuan Yakub (Kejadian 34:1-31); pemerkosaan Tamar oleh Abnon (II Sam 13:1-39); dan pemerkosaan gundik seorang Lewi oleh penduduk kota (Hakim-Hakim 40:1-30). Kejadian yang disebut terakhir bahkan membuat korbannya meninggal. Seram? Banget.
Tapi sebelum kita membahas tiga peristiwa itu, ada baiknya kita bahas dulu mengenai seks dan pelecehan seksual dalam perspektif Alkitab.
Allah menciptakan seks sebagai suatu hal yang baik, untuk tujuan yang baik. Untuk itu, Allah memberikan rambu-rambu yang jelas, yaitu pernikahan. Tidak berhenti sampai disitu, Allah juga mengatur kehidupan seks di dalam pernikahan. Dalam Efesus 5:25 dan 28, Ia menginginkan agar para suami mengasihi istrinya dan tidak berlaku kasar, tentu saja termasuk dalam hal melakukan hubungan seks. Sementara, bagi para istri, Allah menginginkan hubungan seks dilakukan dalam penundukan diri dan penghormatan kepada suami (Efesus 5:22). Selain itu, prinsip lain yang Tuhan perintahkan adalah agar seks di dalam pernikahan dilakukan atas dasar kerelaan, karena tubuh para istri bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik suaminya, dan demikian pula sebaliknya.
Unsur kerelaan inilah yang menjadi faktor penting untuk mengidentifikasi pelecehan seksual. Kegiatan bersifat seksual, yang dilakukan tanpa persetujuan adalah sebuah bentuk pelecehan.
Nah, kembali kepada tiga cerita pelecehan seksual di Alkitab, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari:
1. Setiap kasus pelecehan seksual berbeda.
Pelecehan seksual tidak bisa disamaratakan. Masing-masing memiliki sebab dan kondisi yang berbeda. Akibat yang ditimbulkan kepada korban maupun reaksi pelaku juga berbeda. Dalam kasus Dina, misalnya, Sikhem sebagai pemerkosa justru menenangkan Dina dan bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara, Amnon benci kepada Tamar setelah melakukan pemerkosaan kepada Tamar.
Prinsip ini menolong kita memiliki pendekatan personal saat dihadapkan dengan orang-orang yang terlibat dalam pelecehan seksual, baik itu korban, pelaku, atau orang-orang yang dekat dengan mereka. Jalan keluar yang nampak lumrah, seperti menikahkan pelaku dan korban pemerkosaan, tidak bisa semudah itu diterapkan. Tidak semua korban seperti Tamar yang bersedia, bahkan meminta, untuk dinikahi oleh pemerkosanya. Tidak semua pemerkosa seperti Sikhem yang mau bertanggung jawab menikahi korbannya.
2. Hindari menyalahkan korban.
Korban pelecehan seksual sering kali tidak mengungkapkan apa yang dia alami, karena takut menjadi pihak yang disalahkan. Misalnya saja, pelecehan dianggap terjadi karena korban dianggap memakai baju yang terlalu minim. Atau, dalam kasus Dina, Dina bisa disalahkan karena keluyuran atau bergaul terlalu bebas. Dalam beberapa kasus, korban memang membuka celah, namun bagaimanapun, tindakan menyalahkan tidak akan membantu korban.
Selain itu, tindakan menyalahkan ini akan semakin menyakiti korban, jika ia menjadi korban pelecehan seksual karena perbuatan orang lain. Misalnya seperti kasus gundik orang Lewi. Ia mengalami pelecehan seksual karena diserahkan oleh suaminya kepada orang-orang kota. Kita pasti pernah membaca tentang perempuan yang dijebak menjadi pekerja seks, atau dengan kata lain diperdagangkan untuk keuntungan orang lain.
3. Korban perlu didorong berani berbicara.
Salah satu prinsip pemulihan yang penting adalah keterbukaan. Jika kebetulan kita seorang awam, namun menemui korban pelecehan seksual, maka hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mendorong dia untuk terbuka pada orang lain yang bisa membantunya. Pelecehan seksual tentu saja merupakan hal yang serius karena memiliki daya rusak luar biasa, khususnya secara emosional. Beberapa kasus membutuhkan terapi atau konseling khusus, baik secara gerejawi maupun medis. Beberapa kasus juga perlu tindak lanjut secara hukum, seperti membuat laporan ke kepolisian atau mengajukan tuntutan ke pengadilan.
4. Fokus pada pemulihan, bukan balas dendam.
Pemerkosaan Dina dan Tamar berujung sama, yaitu balas dendam. Kakak-kakak Dina membunuh Sikhem dan semua laki-laki di tempat dia tinggal. Balas dendam membuat anak-anak Yakub jatuh dalam dosa pembunuhan. Yakub sendiri mengatakan bahwa perbuatan balas dendam itu telah mencelakakannya dan membusukkan namanya. Padahal sebenarnya, ayah Sikhem telah melamar Dina sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Pemulihan memang tidak mudah, dan balas dendam tidak punya kontribusi apapun pada pemulihan di dalam Tuhan. Firman Tuhan mengatakan bahwa balas dendam adalah hak-Nya (Roma 12:19). Hukuman kepada pelaku seharusnya dilakukan dalam koridor hukum, oleh otoritas yang berwenang.
Keempat prinsip tadi setidaknya bisa menjadi pegangan dasar kita memahami perspektif Firman Tuhan tentang pelecehan seksual. Pearl mendorong teman-teman untuk membaca sendiri tiga kisah pelecehan seksual di Alkitab tadi. Kalau ada prinsip lain yang teman-teman dapatkan, please share ya di kolom komen, supaya teman-teman yang lain juga semakin diperlengkapi ☺
Nah, kembali ke pertanyaan di awal artikel ini: dimana peran gereja? seberapa sering topik ini dibahas di dalam gereja? Seberapa kuat gereja memperlengkapi diri untuk menjadi pelayan para korban pelecehan seksual? Butuh pendalaman untuk menjawabnya, karena jika gereja ingin menjadi jawaban bagi pemulihan korban-korban pelecehan seksual, maka gereja tidak bisa lagi mengambil jarak. Semua bermula dari masing-masing orang percaya, untuk mulai belajar dan memperlengkapi diri.
Lalu, pesan apa yang akan gereja bawa saat bicara tentang pelecehan seksual? Jawabannya jelas: pemulihan tersedia di dalam Kristus Yesus, baik bagi korban dan pelaku.
“Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang pindahan, belalang pelompat, belalang pelahap dan belalang pengerip, tentara-Ku yang besar yang Kukirim ke antara kamu.” (Yoel 2:25)
Ayat ini biasanya dipakai dalam konteks keuangan, tapi Firman Tuhan jelas: Yesus sanggup mengubah kondisi yang buruk menjadi baik. Dia sanggup menyembuhkan luka hati arena pelecehan. Dia sanggup membuang perasaan bersalah dan tidak berharga, menggantikannya dengan perasaan dicintai yang melimpah. Dia sanggup memampukan korban pelecehan mengampuni pelaku dengan kasih dari Allah. Dari perspektif pelaku, pelaku memiliki jaminan pengampunan dosa di dalam Yesus, karena bagaimanapun dosanya telah ditanggung di kayu salib. Yesus juga sanggup mencabut akar dosa yang membuat dia melakukan kejahatan, termasuk tidak memiliki pandangan yang benar terhadap lawan jenis
Beberapa orang memang butuh waktu untuk memberikan respon benar dan mengalami kesembuhan, tapi pesannya jelas: di dalam Yesus, selalu ada harapan*.
Sudah saatnya gereja membuka mata.
God bless.
* Pembahasan mengenai pemulihan ini akan dibahas dalam wawancara dengan Psikolog Kristen di artikel selanjutnya.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^