by Glory Ekasari
Selama puluhan tahun jadi orang Kristen, saya sudah mendengarkan entah berapa banyak khotbah, dari banyak pengkhotbah, dengan gaya khotbah yang berbeda-beda. Ada yang lucu, ada yang garing (maaf ya pak/bu...), ada yang serius seperti baca naskah, ada yang santai sambil jalan-jalan keliling mimbar. Tuhan Yesus seperti apa ya khotbah-Nya? Ternyata, kalau kita tanya pada orang-orang yang mendengarkan Dia secara langsung, jawabannya adalah: Dia mengajar dengan penuh kuasa. Wow.
Sebagai pengkhotbah, saya juga belajar bagaimana teknik public speaking yang baik, untuk mendukung isi khotbah yang disampaikan. Tapi saat ini kita tidak bisa mendengar intonasi Yesus saat mengajar dan tidak bisa melihat ekspresi wajah-Nya. Yang kita punya adalah kata-kata-Nya, yang dicatat dan sudah kita pelajari beberapa lama ini. Tapi dari situ saja kita bisa melihat apakah benar Yesus mengajar sebagai orang yang berkuasa.
Matius mengelompokkan Injilnya secara teratur (bisa dimengerti, berhubung sebelum mengikut Yesus dia bekerja sebagai tukang pajak). Pasal 5-7 berisi ajaran Yesus, pasal 13 berisi perumpamaan, pasal 24-25 adalah tentang akhir zaman, dsb. Dia menutup bagian pertama, yaitu pasal 5-7, dengan kesimpulan dan peringatan. Kita akan memperhatikan apa saja yang Yesus katakan.
// THE GOLDEN RULE
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
(Matius 7:12)
Saya sempat bingung saat Yesus berkata bahwa ini adalah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Bukankah hukum Taurat mencakup banyak hal lain selain memperlakukan sesama sebagaimana kita ingin diperlakukan? Kemudian saya menyadari satu hal penting.
Dalam Kejadian 1:26 dikatakan bahwa manusia diciptakan istimewa, berbeda dengan ciptaan lain. Ayat 27 menegaskan lebih jauh:
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
(Kejadian 1:27 / TB)
Tiga kali ditekankan bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar Allah. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah. Inilah kodrat manusia yang sebenarnya: nilai dirinya tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi dari Allah, yang ia wakili di dunia ini. Tetapi dosa membuat manusia tidak lagi menghargai sesamanya sebagaimana mestinya. Kain menganggap rendah Habel, adik kandungnya sendiri, dan membunuhnya hanya karena marah. Dan seterusnya, manusia memandang sesamanya rendah dan tidak lagi mengasihi mereka. Yang dikasihi manusia adalah, you guess it, dirinya sendiri.
Dalam hukum Taurat, bangsa Israel diwajibkan menghargai sesama mereka sebagaimana seharusnya: sebagai pewaris otoritas Allah di dunia, sebagai orang pilihan Allah. Tetapi bangsa Israel juga akhirnya memberontak dari firman Allah dan mereka saling menyakiti dan merendahkan satu sama lain. Sampai datang Yesus, yang menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya mengasihi sesama kita.
Allah menjadi manusia di dalam Yesus Kristus. Dia menjadi salah satu dari kita dan sepenanggungan dalam segala kesusahan kita. Dia menerima orang-orang yang dianggap outcast atau buangan oleh orang Yahudi seperti perempuan yang sakit pendarahan, orang yang buta sejak lahir, orang kusta, orang yang kerasukan roh jahat, orang non-Yahudi—intinya, semua orang yang datang kepada-Nya diterima-Nya dan dilepaskan dari apapun yang mengikat mereka, karena Dia tahu bahwa mereka semua adalah gambar Allah. Akhirnya, Yesus mati disalib bagi semua orang agar mereka diselamatkan: tentara Romawi, orang Farisi, ahli Taurat, para imam, orang Arab, orang Eropa, orang Indonesia - karena kita semua adalah imago Dei, gambar Allah. Dia melihat kita sebagaimana mestinya.
Perintah Yesus dalam The Golden Rule yang kita lihat dalam Matius 7:12 ini tidak lain adalah perintah untuk memperlakukan orang lain dan mengasihi mereka sebagaimana mestinya. Semua mereka berharga di mata Allah sebagai gambar-Nya, dan harus juga berharga di mata kita, apabila kita mau melihat sebagaimana Allah melihat. Merendahkan orang lain berarti merendahkan Pencipta mereka. Mengasihi orang lain berarti menghargai Pencipta mereka.
// PARA PEMALSU
“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.”
(Matius 7:15-16)
Yesus memperingatkan kita akan sebuah bahaya laten, yaitu akan datangnya nabi-nabi palsu. Orang-orang ini kelihatannya meyakinkan, tapi sebenarnya sangat berbahaya karena mereka berniat jahat. Segera sesudah Kekristenan mulai meluas pada zaman para rasul, mulai muncul nabi-nabi palsu ini - sesuai nubuat Yesus. Para penulis Perjanjian Baru seperti Paulus, Yohanes, Petrus, dan Yudas, memperingatkan jemaat akan bahaya ini dalam surat-surat mereka. Ketika kitab Wahyu ditulis, beberapa gereja bahkan sudah mulai dicemari nabi-nabi palsu, sehingga mereka ditegur keras oleh Tuhan Yesus sendiri.
Untungnya ada satu indikator yang fail-proof untuk mengetahui apakah seorang yang mengaku sebagai nabi/mesias/rasul berkata jujur atau berbohong: “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” Ya, kesaksian hidup tidak bisa bohong. Pohon yang baik pasti menghasilkan buah yang baik; demikian pula sebaliknya. Orang yang hatinya jahat tidak mungkin terus menutupi kejahatannya.
Ketika seseorang mengaku sebagai nabi atau sosok apapun yang istimewa yang diutus Allah (atau bahkan mengaku sebagai Allah sendiri), tiliklah kesaksian hidupnya. Allah itu kudus; apakah orang ini hidup dalam kekudusan? Allah itu panjang sabar dan berlimpah kasih setia; bagaimana kalau orang ini pemarah dan kasar? Allah itu adil dan benar; bagaimana kalau orang ini memanipulasi orang lain untuk kepentingannya? Allah adalah Terang; bagaimana kalau orang ini menutupi banyak hal dalam kehidupannya? Itu semua dapat kita jadikan indikator untuk tahu apakah seseorang benar-benar datang dari Allah atau tidak. Dan jangan lupa, Yesus juga mengenakan ukuran ini kepada diri-Nya. Waktu Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan para imam, mereka mencari-cari kesalahan-Nya, cacat-Nya dalam hal apapun agar Ia dapat dihukum mati—tapi mereka tidak mendapatkannya (Markus 14:55).
Ada yang berkata, “Tapi orang ini bisa menyembuhkan orang lho! Dia bisa mengusir setan, bahkan mengadakan mujizat!” Yesus berkata bahwa memang banyak orang-orang seperti itu yang akan berseru-seru kepada Dia pada hari terakhir, yaitu hari penghakiman. Dan pada saat itu Dia akan menyangkal mereka, karena mereka tidak hidup dalam kebenaran. Mereka tidak berasal dari Dia. Mari kita berhati-hati dan tidak gampang percaya, sekalipun kepada orang-orang yang mampu melakukan hal-hal yang mencengangkan. Ingat, dari buahnyalah kita akan tahu apakah dia asli atau palsu.
// MEMBANGUN RUMAH
“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”
(Matius 7:24-25)
Tidak ada orang yang membangun rumahnya di atas pasir, kecuali orang yang tidak tahu bahwa rumah membutuhkan fondasi. “Membangun rumah” adalah metafora yang dikenal oleh orang Yahudi, yang berarti membangun seluruh kehidupan mereka. Pertanyaannya, apa yang menjadi dasar dari seluruh kehidupan kita?
Ada yang membangun hidupnya di atas pengakuan orang lain. Ketika dia tidak diakui orang, seolah-olah hidupnya runtuh dan dia kehilangan arti hidup. Ada yang membangun hidupnya di atas kesuksesan. Sekali gagal, ia merasa sangat kalah dan terpukul. Ada yang membangun hidupnya di atas kesenangan. Tidak diragukan, penderitaan ringan pun bisa membuat dia stres berat. Bahkan ada yang membangun hidupnya di atas kata-kata bijak dari orang lain. Mengapa pula kita percaya pada sembarang orang, padahal mereka manusia biasa seperti kita? Semua itu seperti pasir yang gampang bergeser sehingga tidak bisa dipijak. Hanya menunggu waktu saja sebelum semuanya runtuh.
Yesus berkata bahwa orang bijak membangun hidupnya di atas firman-Nya. Mendengar dan melakukan perkataan Yesus, itulah yang membuat hidup kita kuat dan kokoh, sekalipun diterpa hujan, banjir, dan angin. Penderitaan dan kesusahan datang, tetapi kita tidak roboh. Orang lain tidak menerima kita, usaha kita gagal, keluarga menghadapi masalah, tapi kita bisa berkata, “It is well with my soul.” Mengapa? Karena firman Allah adalah kekuatan kita.
Kok bisa firman Allah menolong kita untuk berdiri tegak dan menang dalam hidup ini? Kita perlu ingat bahwa Allah menjadikan segala sesuatu dengan berfirman (Kejadian 1:3), dan dengan firman itu pula Ia menopang segalanya (Ibrani 1:3). Firman Allah begitu berkuasa! Apalah artinya masalah yang kita hadapi dalam hidup ini, kalau dibandingkan dengan kuasa firman Allah? Karena itu Yesus berkata, yang bijaksana adalah orang yang membangun hidupnya dengan firman Allah sebagai pegangannya. Sebagaimana tidak ada yang bisa membatalkan firman Allah, demikian pula tidak ada yang bisa menggoncangkan orang yang berpegang pada firman Allah.
“Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.”
(Matius 7:28-29)
Kita bisa yakin bahwa pada masa itu di Israel ada guru-guru agama yang handal. Pada zaman yang sama dengan Yesus, hidup salah satu rabi paling terkenal dalam sejarah agama Yahudi, yaitu Gamaliel. Lalu apa yang membedakan Yesus dari mereka? Apa yang membuat Yesus istimewa?
Yesus memang bukan murid rabi manapun atau dari sekolah teologi manapun. Dia juga tidak mulai mengajar di Yerusalem, pusat peribadatan, tapi di daerah Galilea. Penafsiran-Nya tentang Perjanjian Lama juga tidak seperti para rabi pada umumnya. Tapi yang lebih penting dari itu semua, Yesus menyetarakan pengajarannya dengan Perjanjian Lama, yaitu firman Allah sendiri. Dia berbicara seolah-olah Dialah yang memberi firman dalam Perjanjian Lama itu. Yesus berkata bahwa Dia menggenapi Perjanjian Lama (Matius 5:17). Dia tidak mengajar dengan berkata, “Demikianlah firman TUHAN,” seperti para nabi, namun Dia berkata, “Aku berkata kepadamu,” seolah-olah Dia sendirilah Allah yang sedang berfirman!
Menjelang akhir dari penutupan kompilasi pengajaran-Nya dalam Matius 7, Yesus makin menegaskan identitas-Nya. Ia berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,” lalu, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku... Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!” Bagaimana mungkin orang-orang berseru kepada Yesus pada hari terakhir, yaitu hari penghakiman? Orang Yahudi percaya bahwa Allahlah Hakim atas seluruh bumi. Satu-satunya makna yang bisa ditarik dari kata-kata Yesus ini adalah bahwa Dia sedang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Bukan hanya Yesus menyetarakan perkataan-Nya dengan firman Allah, Dia juga menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang akan menghakimi manusia.
Terakhir, Yesus berkata, “Setiap orang yang mendengarkan perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana.” Dia tidak berkata “setiap orang yang mendengarkan hukum Taurat dan kitab para nabi,” tetapi orang yang mendengarkan perkataan Yesus. Mengapa? Kesimpulannya jelas: perkataan yang keluar dari mulut Yesus adalah perkataan Allah sendiri, karena Yesus, yang berkata-kata itu, adalah Allah.
Jangan percaya kalau ada yang berkata bahwa, “Yesus adalah guru moral yang luar biasa, tapi Dia tidak pernah menyatakan bahwa Dia adalah Allah.” Kita sudah melihat bahwa Yesus jelas-jelas menyamakan diri-Nya dengan Allah. Lagipula kalau Dia hanya manusia biasa, perkataan-Nya pun hanya nasehat atau kata-kata bijak, tidak lebih. Bagaimana orang bisa membangun hidup yang terjamin dan tidak tergoyahkan di atas dasar omongan sembarang orang? Kata-kata Yesus, semua yang kita baca dalam Matius 5-7, hanya memiliki arti dan kuasa, bila Dia sungguh adalah Allah sendiri. Dan itulah yang akan Ia buktikan dalam seluruh kehidupan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke surga.