by Glory Ekasari
Pada suatu hari yang bersejarah di tanah Mesir, bangsa Mesir mengamati orang Israel yang sibuk sekali menyiapkan makan malam bagi keluarga mereka. Menjelang sore, orang Israel menyembelih anak domba—seekor bagi tiap keluarga—dan menyiapkan dagingnya untuk diolah. Lebih anehnya lagi, darah anak domba itu mereka sapukan di ambang pintu rumah. Orang Mesir tahu bahwa orang Israel melakukan hal tersebut karena Tuhan mereka berkata bahwa malam itu akan datang bencana yang menakutkan, dan hanya rumah yang memiliki darah anak domba di ambang pintu rumah merekalah yang tidak akan kena bencana itu. Tetapi, mana mungkin itu terjadi, ya kan? Apa yang bisa dilakukan darah anak domba untuk menyelamatkan nyawa orang?
Tetapi apa yang “tidak mungkin” itu benar-benar terjadi: malam itu keluarga-keluarga Mesir menjerit karena kematian anak-anak sulung mereka! And let us guess: tidak ada satupun anak sulung Israel yang meninggal—karena ada darah di ambang pintu mereka.
Darah bukan sekadar substansi yang ada dalam tubuh manusia dan binatang. Darah itu mengandung makna sesuatu yang lebih tinggi:
Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa.
(Imamat 17:11)
Darah berarti nyawa (karena itu orang Israel dilarang makan darah). Dalam ayat di atas dikatakan bahwa darah (binatang) dipakai sebagai pendamaian bagi nyawa manusia. Maksudnya, ada seekor binatang yang dibunuh dan darahnya dicurahkan, supaya seorang manusia tidak mati karena dosanya. Tanpa penumpahan darah itu, tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22) dan semua orang yang berdosa harus mati (Roma 6:23). Jadi, melalui tulah kesepuluh yang telah dijelaskan di atas, nyawa anak sulung Israel dibeli dengan nyawa anak domba.
Tetapi, sekalipun kisah tulah kesepuluh di Mesir adalah contoh yang jelas tentang penebusan nyawa manusia, kita tahu bahwa manusia dan binatang tidak setara. Ini jelas terlihat dalam hukum Taurat. Setiap kali seseorang akan menghadap Tuhan di Bait Suci, dia harus mempersembahkan korban. Setiap hari imam-imam harus membakar korban bakaran bagi Tuhan. Darah binatang tidak cukup untuk menghapus seluruh dosa seseorang, apalagi dosa semua orang! Sekalipun semua binatang di dunia dikorbankan untuk satu orang, itu tetap tidak cukup untuk menghapus semua dosanya. Jika demikian, apa yang harus kita lakukan?
Kita tentu pernah mendengar tentang Yohanes Pembaptis yang berseru mengenai Yesus: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia!” (Yohanes 1:29). Gelar “Anak Domba Allah” yang dikenakan kepada Yesus menggambarkan apa yang terjadi dalam peristiwa tulah kesepuluh di Mesir. Anak domba itu menggambarkan Yesus. Darah anak domba yang dicurahkan untuk keselamatan anak-anak sulung Israel adalah gambaran dari darah Yesus dicurahkan untuk keselamatan kita; nyawa Yesus sebagai ganti nyawa kita. Karena Yesus adalah Anak Allah yang sempurna, maka kematian-Nya—satu kali di atas kayu salib—cukup untuk menebus semua dosa semua manusia yang percaya kepada-Nya.
Mengapa Allah memberikan Anak Domba Allah, yaitu Yesus, sebagai penebusan nyawa kita? Jawabannya tidak lain karena Allah mengasihi kita. Dalam kisah tulah kesepuluh, Allah menyelamatkan bangsa Israel karena mereka adalah umat-Nya. Namun, kasih Allah ternyata tidak hanya terbatas bagi bangsa Israel, karena Allah membuka pintu keselamatan itu bagi semua manusia dari semua bangsa melalui Yesus Kristus. Mungkin kita pernah mendengar ada orang yang berkata bahwa Kekristenan itu eksklusif karena jalan keselamatan hanya melalui Yesus. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa Kekristenan itu sebenarnya inklusif? Ya, karena semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus—tidak peduli latar belakangnya, segala dosanya, status sosialnya, dan sebagainya—bisa menerima keselamatan melalui-Nya? Itu semua hanya bisa terjadi “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,” demikian kata firman Tuhan (Yohanes 3:16). Kalau kembali pada tulah kesepuluh, kita akan menemukan bahwa perintah Allah untuk menyapukan darah anak domba di ambang pintu tentu tidak hanya didengar oleh bangsa Israel, tetapi diketahui pula oleh orang Mesir. Kalaupun mereka percaya pada perintah itu, mereka juga akan diselamatkan (terbukti dari bukan hanya bangsa Israel yang keluar dari Mesir, namun ada beberapa orang non-Israel yang ikut bersama mereka)! Siapapun yang mau menerima keselamatan itu disambut dengan tangan terbuka oleh Allah.
Prosesi kematian Yesus di atas kayu salib memang sangat menyentuh. Orang yang tidak percaya pun bisa menangis saat menonton filmnya, karena begitu berat penderitaan dan penghinaan yang Yesus alami. Namun, rencana Allah yang ada di balik penyaliban itu lebih luar biasa lagi! Apabila kita percaya kepada Yesus yang telah mati bagi kita, kita seakan sedang menyapukan darah anak domba di ambang pintu rumah kita. Dalam kitab Wahyu dikatakan bahwa orang-orang yang diselamatkan adalah:
... orang-orang yang ... telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba. (Wahyu 7:14)
Bagaimana mungkin jubah dicuci dalam darah tetapi menjadi putih? Bukankah justru jubah itu akan menjadi kotor karena darah? Ternyata tidak! Ini karena darah Yesus menyucikan kita dari segala dosa! Orang-orang yang percaya kepada Yesus tidak akan dihukum untuk dosa mereka, karena semua dosa itu telah diampuni. Ketika kita menerima darah Yesus, kita menerima pula hidup-Nya bagi kita.
Tetapi ada orang yang tidak percaya kepada Yesus, sebagaimana bangsa Mesir tidak percaya bahwa darah anak domba akan menyelamatkan nyawa anak sulung mereka. Harga dari ketidakpercayaan itu adalah kematian. Harga dari ketidakpercayaan manusia kepada Yesus jauh lebih mahal, yaitu kebinasaan kekal. Ini karena semua orang yang tidak percaya kepada Yesus harus mempertanggungjawabkan dosa mereka sendiri di hadapan Tuhan, dan menerima hukuman atas dosa-dosa mereka. Bagaimana dengan kita? Apa yang akan menjadi respons atas anugerah keselamatan melalui Sang Anak Domba Allah ini?