Showing posts with label Sarah Eliana. Show all posts
Showing posts with label Sarah Eliana. Show all posts

Monday, March 4, 2019

Janji Nikah Istri Ayub


by Sarah Eliana

Kalau kita baca kisah Ayub, sosok istri Ayub termasuk mungkin paling bikin kita kepikiran. Kenapa istri Ayub? Well, aku mikirin, si iblis kan dikasih ijin sama Tuhan untuk mencobai Ayub, semua boleh dihancurkan, kecuali nyawa si Ayub. Nah, si iblis betul-betul hancurin semua kepunyaan Ayub; dia bangkrut, anak-anak pun meninggal semua. Tapi, di pasal kedua ada sedikit perbincangan antara Ayub dan istrinya. Lho? Jadi, istri si Ayub gak dibunuh juga sama si iblis? Aku jadi mikir, kenapa gak? Nanggung toh? Pembantu-pembantu udah dibunuh, anak-anak dibunuh semua. Ngapain istrinya dibiarin hidup? Padahal, di pasal 2:6, Tuhan bilang begini,

Maka berkatalah TUHAN kepada Si Penggoda,
"Baiklah, lakukanlah apa saja dengan dia, asal jangan kaubunuh dia."
(Ayub 2:6)

Asal jangan kau bunuh dia… berarti sepanjang nyawa Ayub gak diotak-atik, si iblis punya ijin untuk melakukan apa saja yang dia mau, ya kan? Termasuk membunuh istri Ayub, ya kan? 

Banyak juga sih yang beranggapan kalo istri Ayub ini dibiarkan hidup karena iblis tau imannya gak sekenceng iman Ayub. Ibilis tahu kalau pada akhirnya dia akan mempengaruhi Ayub agar menjauhi Tuhan. Memang benar, seperti bisa kita lihat di pasal 2:9,

Istrinya berkata kepadanya,
"Mana bisa engkau masih tetap setia kepada Tuhan? Ayo, kutukilah Dia, lalu matilah!"
(Ayub 2:9)

Deng... deng... deng... udah nyuruh suaminya kutuk Tuhan, disuruh mati pula. *parah*

Tapi... Kalo dipikir-pikir lagi, si istrinya ini hanya sekali lho ngomong begitu. Yang ujung-ujungnya membuat hidup Ayub menderita itu teman-temannya. Istrinya gak disebut-sebut lagi. Bahkan, Alkitab mencatat saat Tuhan marah sama tiga teman Ayub, tapi tidak ada cerita Tuhan marah pada istri Ayub. Padahal, waktu Sarah menyuruh Abraham tidur dengan Hagar, budaknya, agar mendapatkan anak, Tuhan menegur Sarah. 

Nah, balik lagi ke istri Ayub, mungkin ada sebabnya dia gak dibunuh juga oleh si iblis. Inget gak waktu penciptaan Hawa, Adam ngomong gini:

"Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.
Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."

Tulang dari tulangku, daging dari dagingku. One flesh! Suami istri itu one flesh! Apa hubungannya ama istri Ayub? Tentu saja dia jelas-jelas one flesh dengan Ayub, dan iblis mengerti itu! Iblis tau gimana Tuhan sangat menghargai, menghormati, bahkan menjunjung tinggi hal ini, sehingga dia gak berani mengutak-atik hidup istri Ayub, karena membunuh istri Ayub sama aja dengan membunuh Ayub. Simply because they are one flesh!

Waktu menemukan hal ini, duh, aku merasa ditampar. Iblis aja ngerti gimana Tuhan sangat menghargai dan menghormati pernikahan. What about me? Aku kadang justru lupa! Betapa seringnya aku berpikir bahwa keluarga iparku adalah keluarga suamiku saja. Buktinya, aku masih sering bilang "your mom" atau "your niece". Akhirnya lewat Firman Tuhan tentang Ayub & istrinya, Abraham & Sarah, Adam & Hawa, aku diingatkan lagi oleh Tuhan tentang menghormati dan menghargai kesatuan dengan suami. 

Lalu, selama ini kita sering denger khotbah kalo istri Ayub tuh gak beriman. Kasarnya, dia istri tak berguna! Tapi, setelah aku baca-baca lagi, aku jadi mikir. Aku coba menempatkan diri di posisi istrinya Ayub. 

Bayangkan, Ayub kehilangan hal-hal berharga yang dia miliki. Iya, memang Ayub menderita, tapi pernah gak sih kita sadar kalo gak cuman Ayub yg kehilangan semua itu? Istrinya juga kehilangan harta karena apa yang menjadi kepunyaan suami adalah juga kepunyaan sang istri, dan sebaliknya. Intinya, Ayub dan istrinya sama-sama kehilangan harta. Mereka sama-sama bangkrut! 

Bayangkan juga waktu anak-anak Ayub meninggal. Apakah anak-anak itu hanya punya satu orang tua, yaitu Ayub? Gak kan? Anak-anak itu ya anak-anak istri Ayub juga. Can you imagine being a mother having to bury ALL of your children? Semua anak meninggal pada waktu yang bersamaan! Pikirkan lagi, di jaman itu, masalah mengurus dan membesarkan anak adalah urusan istri. Jadi, bisa dibayangkan kalau anak-anak itu lebih dekat pada ibunya dibanding dengan Ayub. Lagipula, cewek cenderung lebih emosional. Aku rasa dalam hal ini, istri Ayub lebih heart-broken dibanding suaminya. 

Tidak hanya itu, bayangkan bagaimana rasanya punya suami yang kena penyakit gak jelas, sampai-sampai dia harus menggaruk tubuhnya pakai potongan kaca dan duduk di onggokan abu. Duhhhhh.... Istri-istri, can you imagine seeing your husband like that??? Aku ngebayanginnya aja langsung berasa ngilu di hati. Tau gak sih... waktu orang terdekat kita yg sakit, kadang kita merasa lebih putus asa. Istri Ayub ini harus ngelihat Ayub yang menderita, bahkan wajahnya hancur banget sampai gak dikenali oleh teman-teman deketnya sendiri. Ya ampunnnnn... Kebayang gak gimana perasaan istri Ayub? 

Tapi istri Ayub adalah perempuan hebat. Apa itu? SHE STAYED! Suami bangkrut? Anak-anak meninggal? Suami sakit gak jelas sampe wajahnya gak karuan? Siapa yang punya cukup kekuatan untuk tetap setia dan tetap ‘be there for her husband’? She did! She respected her wedding vows - for better or worse, for rich or poor, in health or sickness! 

Memang istri Ayub ini bilang ke Ayub "CURSE God and die!!!", tapi lucunya, di pasal 42, waktu Tuhan ngomelin teman-teman Ayub, si istrinya ini gak disebut-sebut lho. Lebih hebat lagi, si Ayub kan akhirnya kaya lagi, punya anak lagi dan kata Firman Tuhan, tiga anak cewek Ayub itu luar biasa cantiknya. Di pasal 42 ini gak dibilang tuh kalo si Ayub nikah lagi, yang berarti bisa diartikan kalau Ayub dapat anak-anak ini dari istrinya! 

Aku jadi inget omongan beberapa teman. Mereka bilang, Tuhan tuh sangat amat mengerti kalo kita marah atau kecewa. Dia Tuhan yang gak bisa dibohongin. Biarpun muka kita penuh senyum, tapi toh Tuhan tahu apa isi hati kita. Jadi percuma juga kalo kita berdoa ngomong "God, I'm fine!" padahal sebenernya tidak. Justru, Tuhan pengen kita mau jujur sama Dia, mau curhat sama Dia, tanpa takut Tuhan akan menghakimi kita. He is very understanding. Tuhan kita sangat "manusiawi" dan mengerti kemanusiaan kita. Aren't we lucky to have such a wonderfully loving and understanding God?? 

Kalo dalam kasus istri Ayub ini, aku rasa pada akhirnya dia diberkati Tuhan bukan hanya karena Ayub yg beriman sama Tuhan, tapi juga karena istrinya yang walaupun marah-marah waktu ada masalah, tapi tetap memilih untuk menghormati pernikahan mereka, dan bertahan di sisi Ayub meskipun di tengah penderitaan. Walaupun kata-katanya salah, pada akhirnya istri Ayub gak ninggalin Ayub. Siapa yang akan bilang dia bodoh kalo dia ninggalin Ayub? Bisa jadi orang-orang malah bilang dia bodoh karena bertahan sama Ayub kan? Pada masa sulit itu, dia juga masih melayani Ayub. Kalau budak-budaknya aja gak mau dekat-dekat Ayub lagi, siapa yang masak buat Ayub kalo bukan istrinya? Waktu teman-teman Ayub menghakimi Ayub, istri Ayub masih tetap bersama suaminya. Inilah yang Tuhan perhitungkan - a heart that chooses to serve, to suffer together, and to sacrifice. Tuhan sangat menjunjung tinggi janji & komitmen pernikahan, karena itu Ia juga menghargai dan menghormati orang2 yg berani berkorban dan menderita untuk menghormati janji nikah mereka.

Seandainya kita bisa lebih seperti istri Ayub, yang betul-betul menghargai dan menghormati janji nikah kita, yang menerima suami saat dia kaya atau miskin, saat dia ganteng ataupun tidak, waktu dia lagi romantis atau lagi super cuek, waktu dia sering bilang "honey, you are so pretty" atau waktu dia langsung nyari makanan di atas meja saat pulang kantor tanpa nengok ke arah kita sama sekali.

Give us strength, Lord, to be like Job's wife who chose to respect her wedding vows, and stayed by her husband's side even when he was sick, ugly, and bankrupt - all at the same time!

Friday, December 28, 2018

Jika Ada Lemari di Kerajaan Surga


by Sarah Eliana

Gw tulis ini beberapa hari lalu. Pertama-tama tulis in English, trus akhirnya gw terjemahin. Kalo kamu mau baca versi Indonesia-nya scroll terus ke bawah.


// English Version

If there was a cabinet in the throne room in Heaven, what do you think would be in it? Golden crowns worn by King David? Queen Esther's velveteen purple robe? or the kingly staff of King Solomon? I think not. 

I think we would be surprised if we peek inside that cabinet, for in it we would find no grandeur nor splendor. In that cabinet, we would find instead courageous humility, faithful generosity, risky love, and reckless abandonment of life for the Lord. In that cabinet, we would find a young shepherd's slingshot. In the cabinet, we would find a harlot's robe. In the cabinet, we would find a boy's lunchbox... A widow's mite... The jawbone of a donkey. 

Put your hands inside the cabinet. Touch the things inside. Feel the roughness of the rod that split the Red sea. Smell the lingering scent of the perfume that soothed Jesus' calloused feet. Put against your cheek and feel the softness of the clothes made by Tabitha. Trace your fingers along the rough edges of the blood-stained tree. Can you feel the agony He felt? Can you hear His scream "Eloi Eloi lama sabachtani?"?

A young shepherd's slingshot... Killed a giant. A harlot's robe... Saved the life of Joshua's spies. A boy's lunchbox... Fed 5000 people. A widow's mite... Used for God's work. The Jawbone of a donkey... Killed a thousand Philistine enemies. The blood stained tree... On it hung the Prince of Heaven so that you & I may live. Courageous humility. Faithful generosity. Risky love. Reckless abandonment of life for the Lord. 

We hear God asks of us. Sometimes we obey. Sometimes we don't. I wish I could say that I've always obeyed, but that would be a lie. I don't always obey. Sometimes out of sheer selfishness. Sometimes out of the feeling of incompetence... Of a lack of faith that God could use me or my gift for His great work. 

But then God reminds me of the anonymous man who gave his donkey to Jesus. A donkey. Not a majestic horse nor a kingly chariot. Just a dumb donkey... And yet, on that donkey Jesus entered Jerusalem as the King who brought peace and salvation to a nation torn by distrust, unbelief, desperation and oppression. On that donkey, He was hailed as King "Blessed is He who comes in the name of the Lord. We bless you from the house of the Lord..." On that donkey He rode, fixing His eyes on His mission... To die on a Roman cross for you and for me. On a donkey the King rode... Not a horse nor a chariot. Just a donkey. 

No gift is too small for our Big God. No present is worthless. No generosity goes wasted when given to the Owner of the universe. Give it... Give it all to the One who will use your 'small' gift for Big purposes... For the glory of the King of kings... And don't be surprised when you get to Heaven and see your gift in that cabinet in the throne room. 

Will your tear stained handkerchief be there... The handkerchief that has wiped away the tears and sweats of God's warriors. Will your pen be there... The pen that has written so many kind and encouraging words to the members of the body of Christ. Will your knee torn jeans be there... The jeans that have witnessed your battles against the powers of this dark world and against the spiritual forces of evil in the heavenly realms... The battles that you fought, down on your knees. Have you, like the unknown man, so generously and willingly given your donkey to the Lord of lords that He might ride on it and enter a city... A heart... A life? It is time. 


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


// Versi Bahasa Indonesia

Jika ada lemari di ruang tahta di Surga, apa menurut kamu yang akan tersimpan di dalamnya? Mahkota emas yang dikenakan oleh Raja Daud? Jubah beludru ungu milik Ratu Ester? atau tongkat raja kepunyaan Raja Salomo? Saya pikir tidak.

Saya pikir kita akan terkejut jika kita mengintip ke dalam lemari itu, karena di dalamnya kita tidak akan menemukan kemegahan atau keindahan. Dalam kabinet itu, kita akan menemukan kerendahan hati yang penuh keberanian, kemurahan hati yang setia, cinta yang berisiko, dan hidup penuh pengabdian terhadap Tuhan. Dalam lemari itu, kita akan menemukan ketapel milik seorang gembala muda. Dalam lemari, kita akan menemukan tali kepunyaan seorang pelacur. Dalam lemari, kita akan menemukan kotak bekal makan siang milik seorang anak laki-laki... Dua peser koin persembahan seorang janda... Tulang rahang seekor keledai.

Masukkan tanganmu ke dalam lemari. Sentuh benda-benda di dalamnya. Rasakan kekasaran dari tongkat yang membelah Laut Merah. Hela wangi sisa-sisa parfum yang menyeka kaki Yesus yang lelah. Rasakan di pipimu kelembutan pakaian yang dibuat oleh Tabitha. Sentuh dengan jarimu sepanjang tepian sebatang kayu yang bernoda darah. Dapatkah kau rasakan penderitaan Dia rasakan? Dapatkah kau dengar teriakan-Nya "Eloi Eloi Lama sabachtani?"?

Ketapel seorang gembala muda... Membunuh raksasa Filistin. Tali seorang pelacur... Menyelamatkan mata-mata Yosua. Bekal makan siang seorang anak kecil... Memberi makan 5000 orang yang kelaparan. Dua peser sang janda... Digunakan untuk pekerjaan Tuhan. Tulan rahang keledai... membunuh seribu musuh. Batang kayu berlumuran darah... Di atasnya sang Pangeran Surga menyerahkan hidupNya supaya engkau dan saya memperoleh hidup. Kerendahan hati yang penuh keberanian. Kemurahan hati yang setia. Cinta yang berisiko. Hidup penuh pengabdian terhadap Tuhan. 

Kita seringkali mendengar Tuhan memanggil kita. Kadang-kadang kita taat. Kadang-kadang kita tidak. Saya berharap saya bisa mengatakan bahwa saya selalu taat, tapi itu adalah sebuah kebohongan. Saya tidak selalu taat. Kadang-kadang ketidak-taatan itu keluar dari keegoisan belaka. Kadang-kadang keluar dari perasaan ketidakmampuan... Kurangnya iman bahwa Tuhan bisa menggunakan saya atau hadiah saya untuk pekerjaan besar-Nya.

Tapi kemudian Tuhan mengingatkan saya pada orang tak dikenal yang memberikan keledainya kepada Yesus. Keledai. Bukan kuda megah ataupun kereta raja yang berkemilauan. Hanya keledai bodoh... Namun, dari atas keledai itulah Yesus memasuki Yerusalem sebagai Raja yang membawa damai dan keselamatan untuk bangsa yang koyak oleh ketidakpercayaan, keputusasaan, dan penindasan. Dari atas keledai itu, Dia diagung - agungkan, "Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN!"

Ditungganginya keledai itu, dengan mata terfokus pada misiNya... Untuk mati di atas kayu salib untuk engkau dan saya. Dari keledai itu sang Raja melaju... Bukan dari kuda atau kereta raja. Hanya seekor keledai. 

Tidak ada hadiah terlalu kecil untuk Tuhan kita yang besar. Tidak ada hadiah yang tidak berharga. Kemurah-hatianmu tidak akan terbuang sia-sia bila diberikan kepada San Pemilik alam semesta. Berikan... Berikan semuanya kepada Dia yang menggunakan hadiah 'kecil'mu untuk pekerjaanNya yang agung dan dahsyat... Untuk kemuliaan Raja segala raja... Dan jangan kaget ketika engkau tiba di surga dan melihat hadiahmu tersimpan di lemari di ruang takhta.

Apakah saputangan bernoda air matamu akan berada di sana?... Sapu tangan yang menyeka air mata dan keringat para prajurit Allah yang kelelahan. Apakah pena-mu akan tersimpan di lemari itu?... Pena yang telah menulis begitu banyak kata-kata yang mendorong dan menyemangati anggota tubuh Kristus? Apakah jeans-mu yang terkoyak di lutut akan tergantung di lemari itu?... Jeans yang telah menyaksikan pertempuranmu melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini dan roh - roh jahat... Pertempuran yang engkau perjuangkan di atas lututmu. Apakah engkau, seperti orang yang tidak dikenal itu, begitu murah hati dan rela memberikan 'keledai' Anda kepada Tuhan segala tuhan untuk Ia tunggangi saat memasuki sebuah kota... Sebuah hati... A life? Inilah saatnya.

Monday, December 17, 2018

A Glance from Jesus


by Sarah Eliana

Lagi baca buku Max Lucado "God's Story, Your Story". Ada satu paragraph yg menarik sekali tentang Rasul Paulus. Here it is: 
"An interesting side note. Paul & Jesus may have passed each other on the streets of Jerusalem. If Paul was a member of the Sanhedrin court when he persecuted the church, he would have been at least 30 years old, the minimum-age requirement for being a member of the court. That would make him roughly the same age as Jesus, who was crucified in his early thirties. Which raises this fanciful question: Did young Paul and young Jesus find themselves in Jerusalem at the same time? A 12 year old Messiah and His father. A young Saul and his studies. If so, did the Christ at some point cast a glance at His future apostle-to-be?"
Kalimat yg terakhir begitu sederhana, tapi membuatku terharu. "Did Christ at some point cast a glance at His future apostle-to-be?". Of course, kita gak tau apakah Yesus waktu kecil pernah bertemu Saulus atau tidak. Tapi kita tau bahwa Saulus tumbuh besar menjadi murid Yahudi yang sangat tekun dan fanatik sampai tiba dititik dimana ia tidak segan-segan menganiaya Gereja Tuhan. Tentu dikemudian hari, kita semua tau, Saulus bertemu Kristus dan bertobat. Tapi, apa yang membuatku terharu dari pertanyaan dibuku Max Lucado tersebut adalah... Kristus tau bahwa Saulus akan menjadi rasul-Nya suatu hari nanti. Saulus tidak tau hal itu, tapi Kristus tau. Dan bayangkan kalo SEANDAINYA Yesus dan Saulus yg masih kecil pernah bertemu di Yerusalem waktu mereka sedang berbakti di Bait Allah, mungkin Yesus mengalihkan pandang-Nya kepada Saulus, dan tersenyum karena Ia tau Saulus akan tumbuh menjadi apa: seorang pria godly yang dipenuhi Roh Kudus dan kasih akan Kristus!

Ah... Membayangkan hal itu membuatku terharu. Saat ini, aku melihat diriku sendiri, dan aku melihat seorang anak Tuhan yang setiap hari harus berjuang untuk fokus kepada Kristus... Seorang murid Yesus yang jatuh bangun dalam dosa. Ada banyak saat dimana aku bertanya - tanya apakah aku akan pernah menjadi seperti Rasul Paulus, Petrus, Yohanes, dan apakah aku akan pernah bisa menjadi serupa Kristus! Ada banyak saatnya dimana aku bertanya-tanya apakah aku akan pernah bisa menjadi seperti wanita di Amsal 31.

Tapi... Membaca kalimat itu, aku bisa membayangkan Kristus yang melihat kearahku dan tersenyum karena Ia tau aku akan bertumbuh menjadi apa nantinya. 

Apakah kamu kadang-kadang menemukan dirimu bertanya-tanya apakah kamu cukup baik untuk disebut murid-Nya? Apakah kamu menemukan dirimu berjuang dalam imanmu? Apakah engkau bertanya-tanya bagaimana Tuhan yang baik dapat mencintai orang berdosa dan kotor sepertimu? Be comforted! Allah sudah ada di masa depan... Dia tahu apa yang ada dimasa depan, dan Dia sudah tau dan melihat seperti apa engkau yg dimasa depan. Melalui kasih karunia pekerjaan-Nya, aku erharap kita bisa melihat-Nya memandangi kita dan tersenyum. Tersenyum karena Dia tahu dalam kasih karunia-Nya kita dicuci bersih dari dosa-dosa kita... Dan suatu hari, di Surga, kita Akan berdiri di depan Tahta Tuhan... Sempurna dan tidak berdosa dan tidak bersalah, karena Kristus telah mati untuk kita.

Sekarang jadilah saksi dimanapun Ia menempatkan engkau! Jalani kehidupanmu sebagai seorang duta besar iman! Buatlah gaya hidup untuk memuliakan nama-Nya di dalam dan melalui hidupmu! =)

Let us fix our eyes on Jesus, the Author and Perfecter of our faith, who for the joy set before Him endured the cross, scorning its shame, & sat down at the right hand of God. Consider Him who endured such opposition from sinful men, so that you will not grow weary and lose heart.
(Hebrews 12:2-3)

Friday, December 14, 2018

Radikal untuk Kristus


by Sarah Eliana 

Ada satu kata yang seringkali menggelitik anak2 Tuhan. Kata ini sering bikin kita uncomfortable. Ada yang bilang, kata ini harusnya gak masuk dalam 'kamus' anak Tuhan. Kata apa? Itu tuh... "RADICAL". Kenapa yach kalo ada yg bilang "radical" yg nongol di kepala cuman yg buruk2... Orang2 fanatik yg gak bisa show grace & love ke orang lain, orang2 yg bisanya cuman menghakimi orang lain, orang2 mengkudu (alias orang2 yg menguduskan diri sendiri... Hehe...) yach kayak orang2 farisi deh. 

Tapi apa betul sih begitu? Apa sih kata Firman Tuhan ttg menjadi radikal itu? Well, dari Firman Tuhan, menurut gw panggilan untuk menjadi radikal itu paling jelas tertulis di Matius 10:1-42. So... Gw mo bahas lewat bagian ini. =) 

Sebenernya panggilan utk radikal itu apa sih? Well, kalo gw baca dari bagian ini, menjadi radikal = menjadi murid. Tapi menjadi murid itu suuuusaaaah sekali. Kalo kita lihat di ayat 1, disitu disebutkan 12 murid. Bayangin deh... Dari begitu banyak orang yg suka ngikutin Tuhan ke mana2, yg suka dengerin kotbah Tuhan Yesus, dari 5000 orang yg dikasih makan 5 roti & 2 ikan (& sisa 12 keranjang!!), cuman 12 orang yg disebut sebagai murid Tuhan Yesus. Dan kalo kita baca bagian2 sebelon pasal 10 ini yach, kita lihat gimana Tuhan Yesus panggil ke-12 orang ini. Ada yg lagi menjala ikan, dipanggil, dan mereka tinggalkan bisnis ikannya begitu aja. Ada yg pemungut pajak, dipanggil Tuhan... Dan dia juga langsung tanpa ba bi bu tinggalkan pekerjaannya yg menghasilkan begitu banyak uang. Can you see the pattern here? There is something radical about these guys, karena itu mereka disebut murid-murid Tuhan Yesus. Mereka beda dengan orang2 yg berkerumunan dekat2 Tuhan Yesus, tapi "kurang radikal". Belon lagi yg kerumun2 karena ada maunya sama Tuhan... Minta disembuhinlah... Minta dikasih rejeki lebihlah... Atau karena suka dengerin kotbah Tuhan Yesus yg biarpun kadang2 susah dimengerti tapi menyejukkan hati. Hayo coba... Berapa banyak dari kita yg baca Firman Tuhan atau dengerin kotbah hanya karena sekedar kedengerannya enak, kata2nya menyejukkan hati? Tapi udah masuk telinga kanan yach keluar telinga kiri. Kayak bibit yg tertanam di tanah yg gak subur... Mati dalam sekejap. =( 

Jadi, siapa sebenernya yg dipanggil untuk menjadi murid? Toh di pasal 10 ini kayaknya Tuhan Yesus cuman ngomong ke 12 murid yg mula-mula. Apakah pasal ini berlaku utk kita juga? Answer: definitely! Di ayat 38 dikatakan:

"Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku."
(Matius 10:38)

Barangsiapa. Kalo ada kata barangsiapa... itu artinya siapa aja. Everyone.

Trus di ayat 32:

"Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga."
(Matius 10:23)

Setiap orang. Siapa aja. Everyone who does so. Intinya panggilan utk menjadi murid Tuhan, untuk menjadi radikal bagi Tuhan itu untuk semua orang (walaupun pada kenyataannya hanya sedikit yg betul2 menuruti panggilan itu). Jadi, kalo udah baca ayat2 ini, we know deh... Kita tuh semua dipanggil gak hanya sekedar menjadi bagian dari kerumunan orang2 yg mengaku cinta Tuhan... Tapi we are called for a higher calling: to be His disciple. 

Tapi... Apa sih maksudnya menjadi murid Tuhan itu? Gw toh udah ke gereja setiap minggu, udah saat teduh setiap hari, udah melakukan deh 10 perintah Tuhan =D Apakah itu gak cukup? Nah... Ini nih kenapa menjadi murid Tuhan itu = radikal. Ingat gak satu bagian di kitab Lukas 9:57-62 ttg seorang pemuda yg bilang mau ikut Tuhan, tapi dia minta ijin dulu supaya dia pulang and kuburin bokapnya dulu. Trus Tuhan Yesus jawab gini:

"Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana."
(Lukas 9:60)

Deeeenggg... Waktu baca ayat ini yach gw agak bingung juga... Karena gw tau Tuhan itu sangat mengajarkan anak2 utk sopan ama orang tua. Tapi, kenapa di sini Tuhan malah bilang begitu? Satu hal yg gw liat di sini, mungkin si bokapnya tuh belon meninggal. Mana ada sih orang yg ngekorin orang lain ke mana-mana kalo bokap meninggal? Udah pasti dia sibuk toh dengan funeral, dll? Jadi, MUNGKIN di sini tuh bokapnya belon meninggal, tapi si anak pengen pulang dulu, take care of his parents first, kalo udah gak ada tanggung jawab dengan ortu, baru deh ikut Tuhan. Tapi di sini, Tuhan Yesus bilang... No waiting! Why? Karena every day people are dying spiritually, they need to know about the Lord Jesus who came to save them. Kerajaan Tuhan perlu diberitakan! Dan inilah panggilan seorang murid = memberitakan kerajaan Tuhan! Memberitakan kabar baik keselamatan! Dan Tuhan Yesus mau kita seperti Abraham! Heh? Abraham! Iya... Gw baru2 ini baca2 ttg Abraham, dan satu hal ttg Abraham yg sangat gw kagumi adalah his prompt obedience. Begitu disuruh Tuhan melakukan sesuatu, pasti langsung dilakonin ama dia... Gak pake nunggu2 satu dua hari! Disuruh pindah ke negara antah berantah? Yuksss... (mungkin sambil nyanyi *jangankan ke Canaan, ke Gunung Moriah aku ikut Kamu* Get it? Canaan itu tanah perjanjian utk Abraham & anak cucunya, sementara Gn. Moriah itu tempat Abraham hampir mempersembahkan Ishak). Disuruh mempersembahkan anaknya di atas altar? Ok, Tuhan, laksanakan! Nah... Tuhan tuh maunya kita seperti itu. Prompt obedience. Dan inilah salah satu sebabnya mengapa menjadi murid Tuhan Yesus itu adalah sesuatu yg sangat radikal. Memberitakan kerajaan Tuhan adalah panggilan seorang murid, dan saat dipanggil, He wants our prompt obedience! 

Being a disciple always costs us. Baca deh:

Tetapi berkatalah raja (Daud) kepada Arauna:
"Bukan begitu, melainkan aku mau membelinya dari padamu dengan membayar harganya, sebab aku tidak mau mempersembahkan kepada TUHAN, Allahku, korban bakaran dengan tidak membayar apa-apa."
 (2 Samuel 24:24)

Raja Daud mengerti bahwa memberikan persembahan kepada Tuhan itu gak gratis. And this is what we need to apply to us. Menjadi murid Tuhan itu ada harga yg harus dibayar. We have to be ready to sacrifice our comfort, our jobs, our "success", dll. Coba liat di ayat 39, orang yg mempertahankan hidupnya akan kehilangan hidupnya. Berapa banyak dari kita yg begitu dipanggil Tuhan, langsung bingung "tapi, Tuhan, kerjaan gw gimana? Lagi naik2nya nih...", "tapi, Tuhan, kalo gw turun ke ladang misi, gimana gw mau ketemu pasangan hidup?", dll dll. Dan inilah salib yg dimaksud Tuhan Yesus, pikul salibmu, lepaskan everything else that is attached to you. Pikul salib aja udah berat, coy... Gimana mau memikul kekhawatiran2 yg lain2 lagi? Lepaskan kekhawatiran akan pekerjaan, uang, pasangan hidup, dll... And promptly obey Him to spread the Gospel of Christ. Tapi... Ini lagi omongin panggilan utk melayani Tuhan di ladang misi yach? Gimana kalo Tuhan gak panggil gw ke ladang misi? Hehehehehe... No, I'm not talking about serving the Lord di ladang misi. Karena gak semua orang terpanggil melayani di negara/daerah lain toh. I'm talking about the call of being His disciple, which is memberitakan kerajaan Tuhan. 

Memberitakan Kerajaan Tuhan itu gak hanya di ladang misi, sodara2. Pernah gak waktu lagi di tempat kerja, we pray for our colleagues? Pernah gak Tuhan bilang "Hey... Talk to this guy. He needs me," tapi dengan 1001 alasan kita bilang "ih Tuhan gimana sih, kan gak profesional banget ngomong2 ttg Tuhan di tempat kerja. Ntar gw dipecat gimana?". Atau pernah gak kita share our faith with our neighbor? our close friends? Yup... Betul, gak semua orang terpanggil untuk melayani di negara lain, tapi kita semua terpanggil untuk share God's love, grace and Gospel! Maybe your "mission field" bukan di negara lain, mungkin your mission field itu adalah rumah di sebrang rumahmu! Mungkin ladang misimu adalah cubicle di samping cubicle kantormu. Maybe it's even just down the hall from your room. Maybe it's your colleagues, your friends, or your own parents and siblings, or your roomates! Difficult, you say? Of course! Memberitakan kerajaan Tuhan itu gak gampang. Butuh waktu, butuh kebijaksanaan dari Tuhan dan butuh kekuatan dari Tuhan. Makanya itu ada sesuatu yg harus "dikorbankan" waktu kita serius mau menjadi murid Tuhan. Our comfort, our pride, sometimes even our professional life; our job! Dan panggilan untuk menjadi murid Tuhan ini betul2 serius dan radikal, makanya Tuhan sampe ngomong:

"Setiap orang yg mengakui Aku di depan manusia, 
Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa di Sorga."
(Matius 10:32)

Dan... Kalo kita gak berani cross that street, or cross that hall to share God's Word and love. Kalo kita menyangkal Tuhan Yesus supaya kita terlihat profesional... Supaya orang2 gak marah sama kita... Hati-hati...

"... Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa di Sorga."
(Matius 10:33)

Aih... Serem. Tapi, itulah radikalnya panggilan seorang murid Tuhan! God requires a lot from His disciples. Dan inilah hal2 yg Tuhan mau dari seorang murid:  Total commitment! That's what He wants from His disciples. Komitmen yg gak setengah2, tapi yg 100%, even commitment unto death. Seperti di ayat 39 katakan, 

"Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya."
(Matius 10:39)

Total trust! Di ayat 9-11 tuh dikatakan kalo the 12 disciples gak boleh bawa kasut, tongkat, baju, dll. Pokoknya betul2 depend on God's providence! Pokoknya gak cukup hanya believe tapi TRUST God totally. 

Total LOVE! Kasih yg tidak menjadi dingin. Mengasihi orang itu sulit lho... Apalagi kalo orang yg dikasihi ini berbeda cara pikir, cara pandang, and life style. Yang paling susah dilakukan oleh kita2 para manusia2 ini apa? Mengasihi orang yg beda ras dengan kita! Coba kalo misalnya ada kejadian gak enak di suatu tempat, biasanya yach... Orang yg lebih dulu dituduh adalah orang yg beda ras. Dan susahnya, kita semua dibesarkan dengan stereotype2 di sekeliling kita "orang dari ras ini pelit & gak mau rugi, orang dari ras itu pemalas, orang dari negara ini kasar2, dll dll dll. Tapi, justru Tuhan mau kita menjadi radikal, termasuk radikal dalam mengasihi sesama. Mengasihi tanpa ba bi bu, tanpa memandang perbedaaan (termasuk perbedaan ras!), tanpa pamrih. 

"Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin."
(Matius 24:12)

Total Courage! Tuhan mau kita berani. Berani untuk memberitakan kabar keselamatan "dari atas atap rumah (Matius 10:27). Tuhan mau kita supaya gak takut terhadap manusia yg hanya bisa membunuh tubuh, tapi gak bisa membunuh jiwa. Tuhan mau supaya kita berani untuk mengakui Tuhan Yesus di depan orang2 lain yg mungkin akan mencemooh kita, membodoh-bodohi kita atau bahkan membenci kita. 

Nahhh... Tapi gimana yach kita bisa memberitakan Kerajaan Tuhan ke orang lain? Apakah hanya dengan "berkotbah" aja? Kalo gitu terus, orang2 begitu liat gw udah langsung antipati donk. Udah langsung kabur duluan. hehehe... Well, memberitakan Kerajaan Tuhan itu gak cukup hanya dengan koar-koar. Remember: action speaks louder than words. Yuks liat apa kata Firman Tuhan.

"Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya."
(Matius 10:24-25a)

Seorang murid itu sama dengan gurunya. Siapa guru kita? Yach... Of course, no other than Tuhan Yesus Kristus. Tapi... What did Jesus do? Kalo orang2 sekarang suka pake gelang yg ada tulisan "WWJD" - "What Would Jesus Do". Tapi, I want to talk about what Jesus did when He was living on earth, which I will discuss tomorrow. Stay tune!

Saturday, December 8, 2018

A New Day of Spring


by Sarah Eliana

Batsyeba. Siapa yang gak pernah dengar tentang Batsyeba? Batsyeba yg katanya begitu cantik sampai-sampai raja Daud pun tergoda. Batsyeba yg udah bersuami tapi tidak berani (atau tidak mau?) berkata tidak ketika raja Daud mengundangnya ke istana. Adulteress! Begitu kata banyak orang. Aku sendiri gak berani menghakimi, karena sebagai seorang istri sedikit banyak aku bisa mengerti juga kenapa dia tidak berani berkata tidak kepada Raja Daud. Mungkin dia diancam “Kalo gak datang, awas!!!” Mungkin juga dia berpikir, ”Raja Daud kan atasan suamiku, dan suamiku lagi di medan perang. Mungkin raja Daud mau kasih tau sesuatu yang penting tentang suamiku? Apakah suamiku terluka?” Mungkin! Mungkin aja dia menerima undangan raja Daud dengan pikiran suaminya terluka atau bahkan terbunuh di medan perang sehingga raja Daud merasa berita itu harus disampaikan secara pribadi oleh sang raja. Mungkin juga sama seperti kebanyakan kita, orang Asia, dia merasa, “Ah, gak enak kalo gak dateng… Udah diundang.” Perhaps pride got the better of her: “GILE!!! Diundang ama raja!! Siapa yg berani bilang tidak? Siapa orang yang begitu bodoh sampai menolak undangan sang raja?” Mungkin juga dia berpikir seperti itu. Maybe she was lonely, and an invitation from the handsome king sounds innocent enough. Only God and Bathseba herself know why she went to the palace, and later slept with the king.

Tapi yg pasti, kita semua tau lanjutan ceritanya. Batsyeba hamil, dan Daud membunuh Uria agar bisa menikahi Batsyeba. Setelah mereka menikah, datanglah Nabi Natan menegur Daud. JEDER!!! Daud, oh Daud, dirimu sudah melakukan apa yg salah! Dan saat itu juga Daud menyadari kalo kesalahan dan dosanya itu bukan hanya terhadap Uria, tapi juga terhadap Allah. Jadi, ia pun bertobat. Semuanya beres, kan? Ya kan? Ternyata tidak, karena anak Batsyeba dan raja Daud yang baru lahir akhirnya meninggal. 

Most of us stop right here. Kita sering dengar kotbah tentang Daud dan Batsyeba, dan biasanya kotbahnya diakhiri dengan “ada hukuman atas dosa,” Betul gak? Dan biasanya pula, kalo kotbahnya tentang pernikahan, kita akan diwanti-wanti untuk menghormati janji nikah kita, dan ayat yg biasa dikutip adalah Matius 1:6 yang berkata:

“Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria.”
(Matius 1:6)

Ayat ini menunjukkan bahwa biarpun Batsyeba sudah menikah dengan Daud, Tuhan tetap menganggapnya sebagai istri Uria. Betulkah? I must disagree. Why? Well, let’s read 2 Samuel 12:24,

Kemudian Daud menghibur hati Batsyeba istrinya, lalu tidur bersamanya. Batsyeba melahirkan seorang putra yang dinamakan Salomo oleh Daud. TUHAN mengasihi anak itu.
(2 Samuel 12:24)

Daud menghibur Batsyeba, istrinya. Nah, di sini jelas ditulis kalo Batsyeba sudah dianggap sebagai istri Daud oleh Tuhan. Bahkan Tuhan memberikan mereka seorang anak yang kemudian menjadi raja yang luar biasa. Ya, gw setuju bahwa kita selalu harus menerima konsekuensi dari dosa kita. But it is equally important that we don’t just stop there karena di dalam Tuhan ada kasih karunia. Kalau kita mau dan siap mengakui dosa kita, meminta ampun, dan TIDAK mengulangi dosa itu, Tuhan pun siap mengampuni and He is more than ready to give us a fresh new start.

Banyak dari kita yang bergumul dengan masa lalu kita, yang punya hal-hal yang kita sembunyikan dari orang lain dan hanya Tuhan dan kita yang tau. Kalau memang kita orangnya, ketahuilah hal ini: Tuhan sangat bersedia mengampuni kita kalau kita mau datang kepada salib-Nya, mengaku dosa kita, dan berjalan menurut pimpinan Tuhan mulai saat ini. Lihat Daud dan Batsyeba! Raja Daud, saking takutnya kalo dosanya akan ketauan, bahkan sampe tega membunuh salah satu prajurit terbaiknya sendiri! Dan ya, dia menerima hukuman atas dosanya:

Setelah itu pulanglah Natan ke rumahnya. Putera Daud yang dilahirkan oleh Batsyeba janda Uria, jatuh sakit dengan kehendak TUHAN.
(2 Samuel 12:15)

Sakit atas kehendak Tuhan! Kalo bahasa Inggrisnya lebih serem lagi: The Lord struck the child, and he was very sick.” Kedengarannya ngeri banget ya. Tapi ternyata bukan hanya anak Daud yang “dihajar” oleh Tuhan; ada orang lain yang mengalami hal yang sama:

Yet it was the will of the Lord to bruise Him; He has put Him to grief and made Him sick.
(Isaiah 53:10)

Yup! Tuhan Yesus! He pressed Himself on that cross to die for us because He loves us so! Sekarang, lihatlah! Lihat ke salib Tuhan Yesus, lihat Dia yang mati disalib karena dosa kita. Anugerah Tuhan tersedia buat kita, dan karena itu kita bisa memulai lembaran yang baru dalam hidup. Gak peduli besar kecilnya dosamu, Tuhan bisa mengampuni kamu. Sebenernya, gak ada “dosa besar” atau “dosa kecil”! Dosa adalah dosa—pemberontakan terhadap Allah. Kalaupun dosamu remeh seperti berbohong pada orang tua, tetap saja itu dosa dan Yesus harus membayarnya dengan nyawa-Nya di salib. Kalau kamu membunuh orang lain, Yesus mati untuk dosa itu juga! Nothing is too small or too big for our God, and He is so ready to forgive you, and so soo soooo ready to lead you in a new path where there are abundance blessings for you! 

Back to Batsyeba. Dia seorang wanita yang berhubungan seks dengan orang yang bukan suaminya. Dia bahkan menikah dengan pembunuh suaminya. Sekarang lihat ke dalam diri kita sendiri: Kita sama seperti Batsyeba! Kita “berhubungan seks” dengan pria lain ketika kita memandang mereka dengan hawa nafsu. Kita membiarkan pria lain “membunuh” suami kita ketika kita membanding-bandingkan dia dengan mereka. Oh dear Lord, forgive us our sins! Tapi jangan berhenti di situ. Lihat Batsyeba: kehidupannya dengan raja Daud diberkati Tuhan; bahkan dia melahirkan seorang raja yang besar. Kok bisa? Semua itu karena mereka bertobat dan ikut pimpinan Tuhan setelah mereka bertobat. Dan bukan hanya itu! Dari keturunan Daud dan Batsyeba, lahir seorang Raja Sejati, Raja segala raja: Yesus Kristus! Lihatlah betapa besarnya pengharapan dan pengampunan yang Tuhan berikan, sehingga semua orang berdosa bisa membuka lembaran baru dalam hidup mereka bersama Dia!

Siapa yang sudah baca Amsal 31? Kalo belom, baca deh. Kalo baca ini, gileeee… Gw langsung ngerasa gimana gitu. I want to be a woman like that. Gw selalu pikir ini tulisan yg ditulis oleh raja Salomo. Haha... *gak membaca ayat 1 dengan benar* Baru-baru ini gw baca ayat 1 dengan benar, and gw betul-betul shock: 

"Inilah perkataan Lemuel, raja Masa, yang diajarkan ibunya kepadanya."
(Amsal 31:1)

Ajaran ibu Raja Lemuel! Doennggg… So this passage is truly “dari wanita untuk wanita”!!! HUEBAT! Gw sempet nyari-nyari, siapa sih Raja Lemuel. Nobody knows for sure, tapi ada beberapa ahli Alkitab yg bilang kalo Lemuel adalah nama lain Raja Salomo. Well, we don’t know if it’s true. Tapi bayangkan kalo ini betul, berarti Amsal 31 itu adalah ajaran dari Batsyeba untuk Salomo!!! HAH?!?!?! Hebat kan? Dari wanita yg tidur dengan pria yg bukan suaminya (selingkuhan yang bahkan akhirnya membunuh suaminya) menjadi wanita yg begitu hebatnya! Bangun pagi-pagi buta, sibuk sampe tengah malam, tapi masih bisa mempercantik diri untuk suaminya. WOW! Gw aja kalo cuman sibuk dikit udah lupa dah, buat dandan cakep-cakep untuk suami… -.-' Dan kalo emang bagian ini adalah bagian yg diajarkan oleh Batsyeba untuk Salomo, do you know what I see? I see a life changed by God! I see a heart shaped by the Lord. Batsyeba gak mungkin bisa berubah seperti itu kalo gak ada campur tangan Tuhan.

So, ladies, you know who you are. Kalau kamu single dan berpikir, “Mungkinkah Tuhan mengampuni semua yang pernah saya lakukan? Mungkinkah saya punya keluarga yang memuliakan Tuhan?” Jawabannya: Tentu saja! Kalau kamu sudah menikah dan pernah berdosa terhadap Tuhan dan suamimu, dan kamu berpikir, mungkinkah semuanya bisa pulih kembali, jawabannya: Ya! Tapi kamu harus bersedia berjalan bersama Tuhan, menuruti pimpinan Tuhan dan memberikan kendali penuh atas hidupmu, pikiranmu, perbuatanmu, dan perkataanmu kepada Dia.

Baca lagi Matius 1:6, “Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria.” Dalam 2 Samuel 12 sudah jelas sekali bahwa Batsyeba sudah menjadi isteri sah Daud, tetapi kenapa di ayat ini masih disebut “isteri Uria”? Well, bahasa Inggrisnya mungkin lebih jelas: 

"King David the father of Solomon, whose mother had been the wife of Uriah."
(Matthew 1:6)

“Who had been the wife of Uriah.” Batsyeba dulunya istri Uria sebelum jadi istri Daud. Tapi, then, kita jadi bertanya-tanya, kenapa nama Uria harus disebut? Menurut gw, Tuhan mau tunjukin bahwa Yesus, Raja kita yang sempurna itu punya nenek moyang yang adalah manusia biasa, berbuat dosa, banyak kesalahan; dan Dia lahir untuk orang-orang seperti mereka, seperti kita, so that we all can have a new start, a new life in Him! And that, my friend, is grace! 

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
(Yohanes 3:16)

Tuesday, November 27, 2018

Be Still



by Sarah Eliana

Setiap manusia mempunyai perjalanan kehidupan yang berbeda. Beberapa sedang berada di tanah perjanjian, namun ada pula yang sedang berada di padang gurun. Tapi, sebagai tubuh Kristus, kita semua punya panggilan yang sama, yaitu untuk bertumbuh dalam iman dan untuk memuliakan Nama-Nya. Di tanah perjanjian atau di padang gurun, kita dipanggil untuk terus berjalan dalam iman. Tapi, ahhh… kalau sedang berada di padang gurun, susah ya untuk terus berjalan dalam iman. Nah, itu sebabnya kita memerlukan Roh Kudus.

Seberapa kenal kita dengan Roh Kudus? Tau ngga, Roh Kudus itu seperti seorang gentleman lho. Dia ngga pernah memaksa kita untuk melakukan apa yang kita tidak mau. He doesn’t force Himself on us. However, He will teach and counsel us to make the right decision. Di saat kita mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman, saat itulah Roh Kudus bergegas menghampiri kita, berdiri bersama kita, dan memberikan kekuatan bagi kita untuk menjalani keputusan kita itu. Isn’t He so good?

Setiap kali membaca tentang bangsa Israel yang berputar-putar di padang gurun, aku selalu bingung. Kenapa ya Tuhan bawa bangsa ini berputar-putar? Memang ada yang bilang Tuhan sedang menyiapkan mereka untuk sesuatu yang luar biasa. Tapi, yang aku lihat, mereka berputar-putar karena mereka ngga pernah belajar. Mereka selalu jatuh dalam dosa yang sama, bergumul dengan hal yang sama selama bertahun-tahun. Aku disadarkan tentang satu hal, yaitu bahwa bangsa ini ngga pernah mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman. Mereka bertobat hanya saat dihukum Tuhan, tapi mereka ngga pernah betul-betul mengambil keputusan untuk berjalan terus dalam iman, untuk terus percaya akan kedaulatan Tuhan. Bukankah ketidakpercayaan mereka yang pada mulanya membuat Tuhan membawa mereka berputar-putar di padang gurun, padahal Tanah Perjanjian sudah di depan mata? Mereka tidak percaya bahwa Tuhan bisa dan mau membawa mereka kepada kemenangan melawan orang-orang kuat di tanah Kanaan, dan karenanya mereka pun terpaksa harus menghabiskan 40 tahun di padang gurun.

Kalau melihat ke belakang, tahun 2014 dan 2015 merupakan tahun yang cukup berat bagiku. Aku pernah sakit berat dan efeknya masih ada. Lalu, sebelum aku menikah, Tuhan pernah berjanji padaku lewat Mazmur 113:9,

“Ia mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita. Haleluya!”
(Mazmur 113:9)

Dulu, aku berpikir bahwa ini janji yang luar biasa indah. Aku berpikir bahwa satu hari nanti aku akan bertemu pangeranku, kami akan menikah dan memiliki anak-anak mujizat dari Tuhan kapan saja kami minta. Ternyata, di balik janji itu ada pergumulan dan keputusan yang harus kami ambil bersama. Setelah menikah, kami tidak langsung punya anak. Kami menunggu dua tahun untuk hadirnya buah hati kami. Tahun anak kami lahir adalah tahun di mana teman-teman baikku juga banyak yang sedang hamil atau baru melahirkan anak pertama mereka. 

Sekarang, anak kami sudah berumur empat tahun. Dia sudah punya banyak teman dan teman-temannya kebanyakan punya kakak atau adik. Jadi sekarang dia sudah mulai mengerti bahwa dia berbeda. Dia mulai bertanya kenapa dia sendirian dan ngga punya saudara di rumah? Kami sudah berdoa setidaknya dua tahun untuk memiliki anak kedua, tapi sampai sekarang anak itu belum tiba juga. Nah, tahun 2014-2015 itu adalah tahun ‘baby boom’. Teman-temanku, yang anak-anak pertamanya seumur dengan anak kami, banyak sekali yang sedang hamil atau baru melahirkan anak kedua. Aku senang untuk mereka tentunya, tapi juga sedih untuk diriku sendiri. 

Beberapa bulan belakangan ini, aku banyak bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, Tuhan kan udah janji bahwa aku akan punya anak-anak. Lebih dari satu lho, Tuhan. Where are they? Kok belum nongol juga?” Tuhan diam. Tuhan ngga menjawab apa-apa. Aku merasa sedang berdiri sendirian dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Aku merasa, aku sedang berada di padang gurun, dan hal pertama yang ingin kulakukan adalah keluar dari padang gurun ini. “Tuhan, berikan anak kedua itu kepadaku supaya aku tidak perlu lama-lama berada di padang gurun ini!”. Di saat itulah, Roh Kudus berbisik, “Seberapa lama kamu berada di padang gurun ini, itu adalah keputusanmu sendiri”. Aku tertegun. “Maksudnya apa ya, Tuhan?”. Lalu aku mendengar Roh Kudus berbicara lembut, “Keep walking in faith, sweetheart.”

Ah, Roh Kudus ini bikin bingung. Apa pula maksudnya teruslah berjalan dalam iman. Aku ini sudah berjalan dalam iman kok, Tuhan! Aku sudah percaya dan beriman kalau Tuhan akan beri anak-anak untukku, tapi kan aku ngga bisa menciptakan anak itu dari debu tanah, jadi Tuhan yang harus lakukan itu. Aku sudah beriman, sekarang giliran Tuhan untuk menggenapi janji-Nya!

Aku tegar tengkuk banget ngga sih? Puji Tuhan, Dia ngga diam saja. Melalui seorang wanita yang mengasihi-Nya, Aku diajar oleh-Nya bahwa ada keputusan-keputusan yang harus aku ambil jika aku mau terus berjalan dalam iman.

Dalam hidup kita, saat kita berada di padang gurun, biasanya ada dua skenario, yaitu: 
1. Kita tahu apa yang akan terjadi 
2. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 

Nah, aku belajar bahwa ada satu keputusan yang harus aku ambil setiap kali aku berada di padang gurun, yaitu: BE STILL! Tapi, be still disini bukan berarti gak melakukan apa–apa lho. Untuk tiap skenario di atas, aku belajar bahwa being still can mean different things.

Saat kita tahu apa yang akan terjadi, keputusan yang harus kita ambil adalah:

1. Meditate on HIS ways, not on the facts
Beberapa tahun lalu, saat aku baru selesai dioperasi, aku tau apa yang akan terjadi. Aku tau bahwa aku tidak akan bisa punya anak. Aku tahu bahwa mungkin tidak akan ada pria yang mau menikahiku. Aku ingat, saat aku berada dalam situasi itu, aku banyak merenungi Firman Tuhan, bersandar hanya kepada-Nya. Ini ngga berarti aku mengabaikan kenyataan yang ada. Sama sekali bukan! Ini berarti bahwa kita dengan aktif memilih hal mana yang akan berada dalam posisi lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Apakah kita memilih untuk meletakkan kenyataan bahwa kita belum punya pekerjaan, ditinggal pacar, belum punya anak, atau hal-hal lain, lebih tinggi dibanding karakter dan kepribadian Kristus? Yesaya 55:9 mengatakan, 

Seperti langit lebih tinggi dari bumi,
demikianlah jalan-jalan-Ku lebih tinggi daripada jalan-jalanmu,
dan pemikiran-pemikiran-Ku daripada pemikiran-pemikiranmu.
(Yesaya 55:9)

Biarlah kita terus menempatkan Kristus sebagai yang terutama. Biarlah kita selalu merenungi Firman-Nya dan bersandar kepada kesetiaan-Nya. 

2. Magnify your GOD, not your fear
Waktu aku selesai operasi, aku tahu aku mungkin tidak akan pernah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Apakah aku takut? FOR SURE! Teman, di saat-saat seperti itu… dimana kita tau apa yang akan terjadi, dimana kita dihadapi ketakutan karena kenyataan-kenyataan yang ada di depan mata, marilah kita memilih untuk magnify our God. Magnify ini artinya kita memakai kaca pembesar dan menempatkan kaca pembesar itu di atas sesuatu yg kita mau menjadi fokusnya. Apakah kita memilih untuk menempatkan kaca pembesar itu pada Tuhan atau pada ketakutan kita? Mazmur 34:2-4 menulis demikian,

Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.
(Mazmur 34:2-4)

Ah, lihatlah janji Tuhan! Ketika kita mencari Tuhan, Ia MENJAWAB DAN MELEPASKAN KITA DARI SEGALA KEGENTARAN KITA! Let’s magnify and extol Him! 

Lalu bagaimana saat kita berjalan di padang gurun, namun kita tidak tahu apa yang akan terjadi? Saat ini aku berada dalam situasi ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana Tuhan akan mengirimkan anak untuk kami. Terus terang, kami bahkan tidak tahu apakah Tuhan akan mengirimkan anak lagi kepada kami. You see, saat Tuhan menjanjikan bahwa aku akan menjadi ibu dari anak-anak, Tuhan ngga memberikan detail bahwa anak-anak itu adalah anak-anak kami. Mungkin saja apa yang Tuhan maksud adalah kami akan punya satu anak dan selebihnya adalah anak-anak spiritual. We don’t know! Berminggu-minggu aku bertanya kepada Tuhan. Tuhan, apa yang Tuhan maksud saat Tuhan katakan akan membuat aku menjadi ibu dari anak-anak? Anak-anak spiritualkah? Beri tahu aku sekarang, Tuhan, please, supaya aku bisa menyiapkan hatiku seandainya memang itu yang Tuhan maksud. Tuhan memang belum menjawab pertanyaanku, tapi Roh Kudus telah ajarkan bahwa saat aku berada dalam padang gurun dimana aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku bisa membuat dua keputusan ini: 

// Percaya kepada Tuhan, bukan kepada diriku sendiri 
Selalu tempatkan Tuhan sebagai yang terutama! Saat kita berada dalam padang gurun, mudah sekali bagi kita untuk melepaskan diri dari kebiasan yang baik dan dari pergaulan yang baik. Mudah sekali bagi kita untuk berkata, “Ah lagi ngga mood baca Firman. Cuman hari ini aja kok. Besok aku baru baca deh”, atau “Ah, lagi ngga mood ke gereja. Biasanya juga aku rajin kok. Sekali aja ngga apa-apa.” Satu kali yang dengan mudahnya bisa berubah menjadi berkali-kali. 

Saat kita ditegur saudara seiman, mudah sekali bagi kita berkata, “Ah apa sih urusan situ? Ini urusan gw ama Tuhan! Kok situ yang repot?”. Lalu, kita menjadi malas bersekutu dengan saudara seiman. Kita menjauhi diri dari pergaulan yang baik.

Teman-teman, saat kita berada dalam situasi sulit, jangan sampai kita melepaskan diri dari hal-hal yang Tuhan berikan untuk menjaga kita supaya tetap berada dalam jalur dan jalan-Nya. Teruslah jalani kebiasaan yang baik: bersekutu bersama keluarga Allah, saat teduh setiap hari, renungi Firman-Nya. Teruslah percaya kepada Tuhan. Amsal 3:6 mengatakan “Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Amen! Let’s do that! Mari kita terus mengakui Dia dalam segala laku kita! 

// Think about others, not about yourself
Waduh, teman-teman tau gak? Setiap kali mendengar ada teman yang hamil lagi, rasanya tuh gimana gitu. Bikin bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan, aku kapaaann? Jangan lupa anak-Mu yang satu ini lho!” Di saat aku bereaksi seperti itu, Tuhan ingatkan lewat ayat ini: 

Bersukacitalah bersama yang bersukacita, menangislah bersama mereka yang menangis.
(Roma 12:15)

Ayat ini memberi satu pengertian baru kepadaku. Saat ada orang yang berada dalam situasi yang sama dengan kita, apa yang kita lakukan? Apakah kita sedih untuk mereka, tapi juga senang karena, wah, akhirnya, kita tidak sendirian! Ada orang yang juga berada dalam situasi yang sama dan bisa jadi teman curhat! 

Kebalikannya, saat kita mendengar ada teman yang mendapat jawaban atas pokok doa yang sama dengan yang kita doakan, apa yang kita lakukan? Apakah kita menggedor-gedor pintu Surga dan bertanya kapan Tuhan akan memberikan jawaban yang sama kepada kita? Teman-teman, itu bukan bersukacita dengan yg bersukacita dan menangis bersama yang menangis! Justru kebalikannya! Itu artinya kita bersukacita dengan yang menangis dan menangis bersama yang bersukacita! 

Ah, aku ngga mau jadi seperti itu, karena itu aku mengambil keputusan untuk think about others and not about my own problems. Daripada tiap hari galau mikirin kapan Tuhan akan menjawab doa, alangkah baiknya aku menghabiskan waktuku untuk mendoakan orang lain. Daripada tiap hari kerjaannya curhat dan curhat melulu ngomongin tentang masalahku, lebih baik aku menghabiskan waktu mendengarkan mereka dan memberkati mereka dengan doa dan kebenaran Firman Tuhan! :) 

Waktu aku mengambil dua keputusan ini, yaitu trust in God and not in myself dan think about others, not about myself, Roh Kudus bergegas menghampiriku dan melengkapi, mendorong, memberikan kekuatan, sehingga hari demi hari aku bisa bangun dan memilih untuk percaya kepada Tuhan, untuk memikirkan orang lain, untuk meditate on God’s ways, and to magnify HIM. 

Saat kita mengambil keputusan untuk be still, menjadi tenang di dalam Tuhan, Roh Kudus langsung memperlengkapi kita untuk menjalankan keputusan kita, supaya hari demi hari kita dapat terus melangkah, melangkah, dan melangkah dalam iman. Hingga satu hari tiba, engkau melihat ke bawah, dan tersadar bahwa tidak ada lagi pasir di bawah kakimu! Kamu tidak lagi berada di padang gurun! Kamu berdiri di tanah yang subur, rerumputan hijau dan bunga-bunga indah terhampar sepanjang mata memandang. Kamu sudah berada di tanah perjanjian! Di situ kamu sadar, kamu berada di tanah perjanjian bukan karena situasimu sudah berubah, tapi karena kamu telah mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman dan Roh Kudus telah memampukanmu untuk terus melangkah dalam iman! 

Di saat kamu melangkah dalam iman bersama Roh Kudus, ada sesuatu yang berubah dalam hatimu. Kamu bukan lagi seorang egois yang hanya mengasihani diri sendiri dan memikirkan masalah diri sendiri terus menerus. Kamu bukan orang yang jatuh dalam kubangan yang sama berkali-kali. Di saat engkau berjalan bersama Roh Kudus, hatimu yang ketakutan mungkin akan bertanya kepadamu, “Bagaimana jika… terjadi? What then?”, “Bagaimana jika aku tidak akan pernah punya anak lagi?”, “Bagaimana jika aku tidak akan pernah memiliki pekerjaan yang aku suka?”, “Bagaimana jika aku tidak akan menikah?”. What if? What then?

Roh Kudus akan mengajarimu: “If this happens, then GOD!”. Jika aku tidak akan pernah punya anak lagi, I still have GOD. Aku masih tidak tahu apakah aku akan punya anak lagi, tapi aku tahu aku akan selalu punya Kristus! Hanya ingatlah satu hal: saat kamu berada di padang gurun, ambillah keputusan untuk terus berjalan dalam iman! Ambillah keputusan untuk percaya kepada-Nya, to think about others, to magnify HIM, and to meditate on HIS ways. Tuhan tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan karena IA adalah Tuhan yang menghargai kehendak bebas kita. So, YOU need to make the decision, and when you make the decision, the Holy Spirit rushes to empower you! 

When you find yourself in the desert, the answer is GOD! GOD is my everything, and with my everything I have more than enough! Tanah perjanjianku bukanlah saat aku punya anak lebih dari satu. Tanah perjanjianku adalah tanah dimana aku bisa terus berjalan bersama Roh Kudus dalam iman, bisa terus percaya kepada Tuhan apapun yang terjadi, bisa terus menjadikan Dia yang terutama dalam hidupku. It's not WHAT I have, but WHO I have, and who I have is more than enough! Kristus, Dialah tanah perjanjianku! HE IS MY PROMISE LAND! HE IS MY STRENGTH!

Though he slay me, yet will I hope in him!
(Job 13:15)

Monday, November 5, 2018

In the Carpenter's Shed


by Sarah Eliana

Satu lagi tulisan yg gw tulis pake bahasa Inggris and translate ke Indonesian dengan bantuan Mr. Google Translate. Hehehe...


// English Version

Have you ever wondered... Have you ever asked what tools Jesus uses when He work on His beloved? I had imagined that His workplace would be like a nursery... The far-off tinkling sound of wind chimes... The soft soothing colors of the wallpaper... The cuddly toys... The puffy bedcover... The relaxing music... Everything that a tired soul needs to recharge and relax. 

I asked Him once. I asked Him to show me His workplace. He looked at me with compassion and asked "Are you sure, child? What you will see might not be what you have expected". "Yes, Lord, I am sure."

He took me by the hand and led me to a shed. "This is where I work", He said. I pushed the door open and gasped at what I saw.

There were no wind chimes. No cuddly toys nor puffy bedcover. No relaxing music either. There were tools... sharp intimidating tools. I looked at Him and before I could voice my concern, He led me to the nearest bench.

Picking up a chisel, He said "This is known to you as Pain. A lot of times, I have to chip off ungodly character from you and your fellow men. It is a painful process, but in the end..."

Picking up an intricate, beautifully carved wooden chest He continued "it is needed to make you more like Me."

"And this one here is 'Suffering'", He said and pointed to a sandpaper machine. "Your arrogant rugged heart require that I use Suffering from time to time. When I am done with Suffering, you will be slower to judge, quicker to accept and comfort your fellow men. You will be more humble and loving."

Feeling a hammer in His hands, He said "This is called Sorrow. I use it drive the truth of My Word into your hardened heart. I do not like using Sorrow to discipline you, but it is needed so that you will turn from self and sins to Me and eternal life."

"This here is Grace", He said as He showed me pliers. "I have to use this all the time to ply off hurts and pains in your heart caused by the words and actions of your fellow men."

"These hurtful words and actions often leave holes in your heart, dearest, and when that happens, I have to use this..." He picked up a bucket of white glue and continued, "I call this Mercy. It is the truth of My comforting Word being poured into your heart so that you know that I love you and you are precious to Me."

Holding a brush He said "This is one of my favorites. I call it Hope. It is used to apply My love and mercy on your heart so that you remember to apply My love and mercy in your life and bless your brothers and sisters."

Finally, holding a bottle of varnish He said "This is my favorite called Love. When Love is applied on your heart, it leaves a glorious glow and My Name is glorified as you love Me and your fellow men."

He turned to me and said "I wish I do not have to work with those horrendous looking tools, my darling, but it is necessary so that you and your fellow men will turn from your sinful life to a life of eternal joy in Me. It is only because you are precious and honored in My sight that I choose to work this way. I want you to live a life that is headed toward Christ."

He put His hands on my cheek and kissed my forehead. I looked at His hands and saw the wounds on His palms. I saw the burn marks cause by using sandpaper, and the cuts caused by using chisels. I looked up to find His eyes full of tears of love and compassion... And I finally understand. It hurts Him more than it hurts us when He has to work with pain, suffering, and sorrow. It breaks His heart so... But He must because our hearts are hardened and without His interference, we are all walking towards death.

He then reached out His arms and drew me to His embrace. I heard His heartbeats and knew that His heart beats for us.

This is how God showed his love among us:
He sent his one and only Son into the world 
that we might live through him. 
This is love: not that we loved God, 
but that he loved us 
and sent his Son
as an atoning sacrifice for our sins. 
Dear friends, since God so loved us, 
we also ought to love one another. 
(1 John 4:9-11)


// Versi Bahasa Indonesia

Pernahkah engkau berpikir... Pernahkah engkau bertanya alat apa yang Tuhan gunakan ketika Dia bekerja dalam hidup orang-orang yang dikasihiNya? Aku membayangkan bahwa tempat kerja-Nya akan seperti ruang kamar bayi... suara dentingan lonceng angin terdengar di kejauhan... Wallpaper dengan warna yang menenangkan tertempel di dinding... Boneka-boneka yang empuk tersebar di mana-mana... Bedcover yang lembut di atas ranjang... Musik yang menenangkan terdengar di seisi kamar... Segala sesuatu yang diperlukan oleh jiwa yang lelah dapat ditemui di kamar itu.

Suatu hari, aku bertanya pada-Nya. Aku meminta-Nya untuk menunjukkan tempat kerja-Nya. Dia menatapku dengan belas kasih dan bertanya "Apakah engkau yakin, anak-Ku? Apa yang akan engkau lihat mungkin tidak sama dengan apa yang kau bayangkan." "Ya, Tuhan, aku yakin."

Dia memegang tanganku dan menuntunku ke sebuah gudang. "Ini adalah tempat kerjaKu", katanya. Kudorong pintu gudang itu hingga terbuka, dan tersentak dengan apa yang kulihat. Tidak ada lonceng angin. Tidak ada boneka empuk maupun bedcover lembut. Tidak ada musik. Yang ada hanyalah alat-alat... Yang tajam dan mengintimidasi. Aku memandang-Nya dan sebelum aku bisa menyuarakan keprihatinan saya, Dia menuntunku ke meja kerjaNya.

Mengambil pahat, Dia berkata "Engkau mengenal alat ini dengan nama Kesengsaraan. Banyak kali, Aku harus membuang karakter fasik dari dalam dirimu dan diri sesamamu. Suatu proses yang menyakitkan, tapi di akhir proses ini..." 

Ia mengambil sebuah kotak kayu dengan ukiran yang sangat rumit dan indah, Ia melanjutkan "diperlukan untuk membuatmu menjadi seperti Aku."

"Dan yang satu ini di sini adalah Kepedihan", Dia berkata dan menunjuk ke mesin amplas. "Hatimu yang sombong dan kasar mengharuskan Aku untuk menggunakan Kepedihan dari waktu ke waktu. Ketika Aku selesai dengan Kepedihan, engkau akan lebih lambat untuk menghakimi, lebih cepat untuk menerima dan menghibur sesamamu manusia. Engkau akan lebih rendah hati dan penuh kasih."

Dengan palu di tangan-Nya, Dia berkata "ini disebut Penderitaan. Aku menggunakan alat ini untuk memaku kebenaran Firman-Ku ke dalam hatimu yang keras. Aku tidak suka menggunakan Penderitaan untuk mendisiplin engkau, tetapi hal ini diperlukan sehingga engkau akan berbalik dari diri sendiri dan dosa kepada-Ku dan hidup yang kekal."

"Ini di sini adalah Kasih Karunia", Ia mengatakan sambil menunjukkan kepada saya sebuah tang. "Aku seringkali harus menggunakan alat ini untuk mencabut kesakitan dan kepedihan yang disebabkan oleh kata-kata dan tindakan sesamamu." "Kata-kata dan tindakan mereka yang menyakiti engkau seringkali meninggalkan lubang dalam hatimu, dan ketika itu terjadi, Aku harus menggunakan ini...", Dia mengambil sebuah ember berisi lem putih dan melanjutkan, "Saya menyebutnya Kemurahan Hati. Ini adalah kebenaran Firman-Ku yang dicurahkan ke dalam hatimu sehingga engkau tahu bahwa Aku mencintaimu dan engkau berharga dimata-Ku."

Ia kemudian menggengam kuas dan berkata "Ini adalah salah satu alat favoritKu. Aku menyebutnya Pengharapan. Alat ini digunakan untuk membubuhi kasih dan belas kasihan-Ku dalam hatimu sehingga engkau selalu ingat untuk menerapkan kasih dan belas kasihan dalam hidupmu, dan memberkati sesamamu manusia."

Akhirnya, memegang sebotol varnish Dia berkata "Ini adalah favoritKu, dan Aku menyebutnya Kasih. Ketika Kasih dibubuhi pada hatimu, ia meninggalkan cahaya mulia dan NamaKu dimuliakan saat engkau mengasihi Aku dan sesamamu."

Dia kemudian menoleh ke arahku dan berkata "Aku berharap Aku tidak harus bekerja dengan alat-alat yang demikian mengerikan, sayangku, namun perlu kulakukan supaya engkau dan sesamamu akan berubah dari kehidupan dosa ke kehidupan sukacita abadi di dalam Aku. Hanya karena engkau berharga di mata-Ku maka Aku memilih untuk bekerja dengan cara ini. Aku ingin engkau menjalani kehidupan yang menuju ke kekekalan di dalam Kristus."

Ia meletakkan tangan-Nya di pipiku dan mencium keningku. Aku menatap tangan-Nya dan melihat lubang di telapak tangan-Nya. Aku melihat luka bakar di jari-jarinya yang terjadi saat ia menggunakan amplas. Kulihat luka yang disebabkan saat ia memakai pahat. Aku mengangkat wajahku dan kulihat mata-Nya penuh air mata cinta dan kasih sayang... Dan aku akhirnya mengerti. Ia jauh lebih merasakan sakit dan penderitaan saat ia harus bekerja dalam diri kita melalu kesengsaraan, penderitaan dan kepedihan. Hatinya hancur... Tetapi Ia harus terus bekerja melalui hal-hal itu karena hati kita telah mengeras dan tanpa campur tangan-Nya, kita semua berjalan menuju maut. 

Ia kemudian mengulurkan tangan-Nya dan menarikku dalam rangkulan-Nya. Aku mendengar detak jantung-Nya dan tahu bahwa jantungNya berdetak bagi kita. 

"Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi."
(1 Yohanes 4:9-11)

Friday, October 19, 2018

On Submitting & Trusting


by Sarah Eliana 

Submission... Submission... Submission. Hal yg menyebalkan, bener gak? Jujur, untukku yang emang pada dasarnya punya sifat super bossy, submit ama suami itu hal yg super duper susah. Setiap hari, setiap waktu, aku harus selalu berdoa, minta Tuhan sendiri yg tegur kalo udah mau mulai bossy ama suami, dan ini seringgg banget lho. It’s an area that I continuously struggle with. Apalagi dulu kuliahnya di bisnis dan marketing, dimana emang kami diajarin utk memimpin. *gubraks* Jadi apa yg dulu aku pelajari, sekarang harus aku redam kalo lagi ama suami. 

Aku sering berpikir kalo submission itu ya termasuk menuruti apa kata suami, membiarkan dia membuat keputusan buat keluarga kami, dll.  Kalo kita denger kata submission, kita pasti udah langsung berpikir, “Ya, ya, aku udah tau kok. Pasti poin-poinnya sama dengan apa yg selama ini sering aku dengar.” Aku juga sering berpikir begitu. 

Beberapa hari lalu, aku baca message dari hamba Tuhan yg kukenal. Ia dan istrinya telah menikah selama lebih dari 50 tahun dan beberapa tahun lalu istrinya meninggal karena kanker. Jadi diceritakan bahwa ketika istrinya didiagnosa terkena kanker yg sangat ganas sekali, dokternya memberi pilihan: 
  1. Kemoterapi. Tapi memang ini gak akan menyembuhkan, cuma menambah waktu hidupnya beberapa minggu atau bulan aja. Dan biarpun ”memanjangkan” hidupnya untuk sementara, kemo ini akan menyebabkan sang istri sangat sangat menderita (beliau udah umur 70 tahun lebih, bayangkan kalau harus mengalami daya tahan tubuh drop, rambut rontok, muntah-muntah, pusing-pusing). 
  2. No treatment at all. Emang kalo pilih yang ini berarti kankernya akan menyebar dengan cepat sekali, tapi itu juga berarti bahwa sang istri gak akan menderita seperti kalo beliau pilih kemoterapi. 
Nah... Sang hamba Tuhan ini bercerita bahwa ketika diberi pilihan itu, sang istri berkata, “I want to do whatever my husband wants me to do (regarding the options).” 

Jleb. *suara pisau menancap di hati* Untuk kita wanita “modern”, mungkin kalo dihadapin pilihan kayak gini langsung mikir, “It’s my life. Jadi aku yg akan ambil keputusan apakah aku mau kemo atau gak.” Ya kan? Jujur sejujur-jujurnya, aku juga mungkin akan berpikir kayak gitu. Kan badanku, hidupku, pilihanku donk—iya kan? Tapi lewat kalimat sesederhana itu, aku diingetin Tuhan bahwa tunduk kepada suami itu lebih daripada hanya sekedar membiarkan dia mengambil keputusan atau menuruti dia. Firman Tuhan berkata: 

“Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”
(Efesus 5:22)

Aku selalu berpikir bahwa tunduk kepada Tuhan artinya: biarpun aku gak suka dengan rencana Tuhan, aku harus tetep jalanin dengan hati senang. Aku diajar Tuhan, kalo tunduk ama suami seperti kepada Tuhan itu yach seperti aku believe AND trust Tuhan, aku juga harus believe AND trust my husband. Seperti isteri hamba Tuhan tadi. Walaupun aku yakin gak akan ada yg salahin beliau kalo beliau mau ambil keputusan sendiri tentang pengobatannya, she chose  to put herself under the authority of her husband and believed that he would make the best decision for her. She trusted  him, even with her life!! 

See, selama ini aku pikir aku harus tunduk kepada suami karena Tuhan perintahkan aku untuk berbuat demikian. Tapi lewat kalimat simple itu, Tuhan ajar aku bahwa tunduk kepada suami itu harus datang dari keinginanku sendiri. Aku belajar kalo tunduk pada suami bukan hanya sekedar membiarkan dia mengambil keputusan dalam keluarga, but also trusting him regarding MY life, MY body, MY choices; AND trusting that GOD will work the best for me THROUGH my husband. Oh how difficult this is! I know! Kita pasti berpikir, ”Kenapa Tuhan gak langsung ngomong ke aku aja. Kenapa harus lewat suami aku?” Well, girls, that’s because our husband is the authority that God has put above us. Sama seperti bangsa Israel punya imam, keluarga kita juga punya “imam”, dan imam keluarga kita ya suami kita. Sama seperti bangsa Israel harus menuruti perkataan imam mereka, kita juga harus menuruti suami, dan percaya bahwa keputusannya berasal dari Tuhan. Susah kan? Kita melihat suami tiap hari, kita tau dia manusia biasa, kita tau semua kelemahannya. But that’s when submission goes to a whole other level and that’s when our trust is tested. Do we love him enough to trust him? Do we respect him enough to let him be the “priest” in our family? 

Do we trust our husband enough with our life? Keputusan tentang keluarga mungkin masih gampang untuk diserahkan kepada suami. Tapi kalo keputusannya udah berhubungan langsung dengan hidup kita? Badan kita? Do we trust him enough? We should. It comes with a price, sure. Sama seperti mempercayakan diri kepada Tuhan berarti membayar harga, percaya dan tunduk pada suami juga datang dengan segala macam pengorbanan dan harga. But guess what? It’s worth it. You know why? Because marriage is based on trust (and Jesus, of course). Kalo kita gak bisa percaya pada suami, waduhhh, kacau kan. Without trust there is no relationship. 

But what is trust? Apakah sekedar percaya bahwa suami kita gak akan macam-macam di belakang kita, gak akan godain cewek-cewek lain? Tidak. Of course, we trust him not to do those things behind our back, but trust goes beyond that. Trusting our husband means we allow ourselves to be vulnerable. Artinya kita memberitahu dia pikiran dan perasaan kita yang terdalam. Dan ini juga artinya “dua menjadi satu”—gak hanya sekedar menjadi satu tubuh melalui seks, tapi juga menjadi satu pikiran, satu hati. Gimana mau jadi satu kalo kita gak cukup percaya dia untuk membagi pikiran dan perasaan kita yang terdalam? Kata Firman Tuhan: 

”Apa yg disatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.”
(Matius 19:6)

Tau gak, setelah menikah, aku baru betul-betul sadar betapa dalamnya arti ayat ini. Gak hanya sekedar, “Eh udah nikah, jangan selingkuh ya,” tapi juga, “Kalau udah menikah, DON'T LET your pride divorce you.” Coba lihat berapa banyak pasangan yg cerai karena mereka tidak saling percaya, karena mereka gak betul-betul berusaha untuk menjadi satu kesatuan. 

Tapi selain itu, kita juga bisa lho, bercerai tanpa betul-betul bercerai. Pernah gak denger omongan, “Ih, hebat ya, udah tua masih mesra… Masih gandengan tangan.” Pasti pernah, atau bahkan kita sendiri pernah ngomong begitu. Kenapa hebat? Karena yg kita lihat di sekeliling kita adalah: pernikahan yang sudah berpuluh-puluh tahun biasanya udah gak mesra lagi, karena udah sibuk sama anak-anak, cucu-cucu, karir, dll. Udah tua, suami istri gak lagi keliatan kayak suami istri, lebih keliatan kayak roommates doank. Sedih gak sih? Kalo udah gitu, apa bedanya dengan cerai beneran? Gak ada kan? Memang masih tinggal di bawah satu atap yg sama, tapi gak ada lagi unity antara suami istri. Disinilah aku lihat betapa dalamnya arti ayat Matius 19:6 itu. Bercerai itu gak hanya sekedar karena orang ketiga, tapi juga karena diri kita sendiri: karena kita gak mau merendahkan diri dan percaya pada suami, karena kita gak berani ambil resiko to be vulnerable with our husband, karena kita gak mau membagi pikiran dan perasaan kita yang terdalam dengan dia (biarpun dengan alasan yg kedengerannya baik, seperti, ”Ah, dia sendiri lagi pusing, banyak pikiran. Kasian.”). 

Submission means trusting your husband, even with your life. Karena suami kita juga dapat perintah dari Tuhan untuk mencintai istrinya seperti Kristus mencintai jemaat. Kristus mati di atas kayu salib untuk jemaat-Nya. Our husband, too, will sacrifice his life for us, and we HAVE TO trust that he will do that for us. Submission means trusting that God will work the best for us through our husband. Submission means humbling yourself and be vulnerable. Submission means we share our deepest thoughts, desires and feelings with our husband, and TRUST him not to use it against us. It means trusting that we will be loved and accepted despite our weaknesses and shortcomings. Submission means we constantly humble ourselves, and put ourselves under the authority of our husband, who is the “priest” of the family. 

Wednesday, October 3, 2018

Wedding Vow and Keeping It Real


by Sarah Eliana

You are God's special gift for me. You are now my best friend & family. Today I want to promise you, by God's grace & power working within me I desire to be trustworthy as your wife by following your leading submissively, even as unto Christ. Through the pressures of the present, & uncertainties of the future I promise my faithfulness, to follow you through all of life's experiences as you follow God, that together we may grow in the likeness of Christ & our home be a praise to Him. Even as Ruth promised her mother-in-law, today I promise you "Where you go, I will go, & where you stay I will stay. Your people will be my people, and your God my God. Where you die, I will die and there I will be buried. May the Lord deal with me ever so severely if anything but death separates you and me. 

Ini adalah wedding vow yang aku ucapin waktu aku dan DH menikah. Waktu itu masih a "doe-eyed" bride yang berpikir bahwa hanya maut yang akan memisahkan aku dan DH. How wrong was I! Kami memang baru 6,5 tahun menikah, tapi dalam kurun waktu itu aku belajar banyak hal; baik tentang suamiku, tentang hidup, tentang anak kami, tentang Tuhan (tentunya), dan bahkan tentang diriku sendiri. Waktu mengucapkan janji nikah itu, aku berpikir bahwa apapun bisa kulakukan asal Tuhan dan suamiku ada disisiku. Ha! Wrong again!

You see, setelah menjadi istri, Tuhan menunjukkan banyak sekali bagian dari karakterku yang perlu diperbaiki. Satu hal yang jelas kupelajari adalah bahwa I like being in control! Makanya, kalau mau kemana-mana aku pasti bikin rencana-rencana yang detail: aku tau kemana harus cari makan, aku tau dimana harus cari bantuan kalo lagi ada masalah di negara orang, aku tau semua tempat-tempat yang harus dikunjungi, dan aku tau harus dimana cari kendaraan untuk mengunjungi tempat-tempat itu! Waktu kami ke Turki beberapa minggu lalu, kami tinggal di sebuah resort yang cukup besar. Tiba di sana, aku langsung tau dimana restoran, dimana kolam renang anak-anak, orang dewasa, lazy pool, activity pool, aku tau dimana mini golf field, aku tau dimana harus ambil handuk untuk berjemur, dll. Aku bahkan tau kalau ada satu snack bar di tepi pantai dimana kami bisa makan pancake yang enak! DH sampe bingung, “Kamu udah pernah ke sini yach?? Sampe tau dimana ada pancake enak segala”.  Yup, aku suka planning dan itu karena I like to be in control. I freak out when things don't go my way. 

Nah, setelah menikah, Tuhan tunjukkan karakterku yang satu ini, yang tentunya membuat kehidupanku dan DH cukup sulit dari waktu ke waktu. Aku cukup berjuang dalam belajar untuk menurut kepada suami, terutama ketika apa yang suami mau berbeda jauh dengan apa yang aku mau. Contoh: beberapa waktu lalu, kami ditipu oleh penjual mesin cuci. Mesin cuci yang kami beli ternyata rusak dan si penjual gak terima ketika kami mau kembalikan mesin cuci itu -.-' Sifat controlling-ku keluar deh kalo lagi begini. Guess what I did? Aku pergi ke tempat si penjual itu, dan kumaki-maki dia. (I am VERY ashamed to admit this here, but hey... Let's keep it real here!) -.-" 

Berhari - hari aku masih gak puas karena sudah ditipu. DH berulang-ulang bilang, "Let it go. Forgive and move one". Diriku yang controlling ini susah untuk "forgive and move on" karena ini situasi yang "out of my control" dan aku tidak suka itu! Pengakuan dosa lagi: pikiranku saat itu sangat jauuuhhh dari godly! Berkali-kali aku berpikir, "Ah, gue ke sana aja deh. Ada sepedanya di situ. Gw ambil sepedanya, trus gw buang ke tempat lain biar dia setengah mati cari itu sepeda". -.- See! UNGODLY thoughts! Tapi DH terus ingetin untuk maafin. Saat itu, aku merasa susaaaahhh sekali untuk tunduk dan menurut kepada DH. Asli, susah buanget! Parahnya, waktu DH minta aku untuk maafin si penjual itu, bukannya dengan senang hati nurut, aku malah marah balik, "Kamu gimana sih! Malah suruh maafin. Orang itu pembohong dan penipu! Jelas-jelas dia tau koq itu barang rusak! Enak aja maafin dia! Wong dia aja gak merasa bersalah koq!". Pokoknya, aku marah-marahlah. Gak terima karena udah ditipu. Bukan, bukan masalah uangnya karena mesin itu gak mahal-mahal amat sih. Yang aku gak suka karena orang itu menipu, karena aku merasa situasi itu berada di luar control-ku. Aku susah untuk memaafkan orang itu, bukan karena gak bisa, tapi karena GAK MAU karena kalo aku maafin dia, maka itu artinya aku melepaskan situasi itu dan penjual itu dari "pegangan tanganku", dari control-ku.

Di saat itu, teman-teman, waktu aku bergumul untuk nurut dan tunduk kepada DH (untuk memaafkan si penjual itu), aku disadarkan (lagi dan lagi) bahwa karakterku yang controlling ini punya potensi yang besaaarrr sekali untuk memisahkan aku dan DH. Firman Tuhan katakan, Lebih baik tinggal di sudut atap rumah seorang diri daripada tinggal di rumah bagus dengan perempuan yang suka bertengkar (Amsal 21 : 9). -.-' Ketika aku gak mau nurut dan tunduk kepada DH, aku dengan sengaja membangun tembok yang memisahkan kami. Kami masih tinggal di bawah atap yang sama, tapi ikatan emosi kami merenggang, dan kalau dibiarkan terus menerus, lama-lama kami akan jadi seperti dua orang asing yang tinggal didalam rumah yang sama. Atas perintah dari Roh Kudus, DH memaafkan si penjual itu dan saat aku memilih untuk gak mau menuruti DH, aku pun membangun jarak antara diriku dan Tuhan.

Apakah aku memaafkan penjual itu saat sadar apa yang sedang terjadi? Well, yes and no. Tidak mudah memaafkan begitu saja. Butuh waktu dan butuh proses. Berkali-kali aku harus memilih untuk "forgive and move on" dan meminta bantuan Roh Kudus. Ketika aku merasa marah lagi, aku harus berdoa lagi, aku harus dengan jujur juga mengaku kepada suami dan memintanya untuk mendoakanku. It took awhile for me to be able to "forgive and move on".

So, you see... 6 tahun lalu, saat mengucapkan janji nikah, aku berpikir bahwa hanya mautlah yang akan memisahkan aku dan DH. Tapi, pada kenyataannya... dalam hidup sehari-hari, ada banyak sekali hal yang dapat memisahkan aku dan DH. Saat aku tidak tunduk dan turut kepada suami, saat aku memilih untuk berkubang dalam dosa, saat aku menjauh dari Tuhan... Semua itu dapat menghancurkan hubunganku dan suami. 6 tahun lalu, aku juga berpikir bahwa asal ada Tuhan dan suami di sisiku, everything will be alright, aku akan bisa menjalani janji nikahku dengan baik. Sekarang, aku tau bahwa itu tidak benar! Ya, aku butuh Tuhan dan suami di sisiku, tapi aku pun butuh untuk memilih: memilih untuk menjalankan janji nikahku, memilih untuk tunduk dan turut kepada Tuhan dan suami, memilih untuk mengasihi suamiku bahkan ketika aku sedang marah, memilih untuk bertumbuh dalam Kristus bahkan ketika proses bertumbuh itu sangat tidak menyenangkan. 

Minggu ini, aku diingatkan lagi oleh Tuhan tentang dua hal ini, yaitu bahwa:

1. Bukan hanya maut yang dapat memisahkan aku dan DH.
Ada banyak hal yang dapat memisahkan kami, dan kami berdua harus terus datang kepada Kristus dalam doa, terus mengasihi satu sama lain, terus bertumbuh dalam Kristus, dan meminta Kristus untuk mengirimkan bantuan bala tentara surga saat si iblis mau datang menyerang pernikahan kami! Pernikahan kita sebagai anak-anak Tuhan sangatlah menakutkan bagi si iblis karena ada kuasa yang luar biasa dalam pernikahan anak-anak Tuhan yang takut dan cinta akan Tuhan: Nama Tuhan dimuliakan, orang-orang diberkati, generasi-generasi baru yang cinta Tuhan tumbuh! Iblis gemetar ketakutan dan mencari banyak cara untuk memisahkan pernikahan anak-anak Tuhan!

2. Aku perlu Kristus dan suamiku untuk membangun pernikahan yang memuliakan Tuhan.
Tapi, aku juga perlu memilih untuk membangun pernikahan yang memuliakan Kristus. Aku tidak bisa duduk diam saja mengharapkan Tuhan dan suamiku yang bekerja. Aku pun harus memilih untuk secara aktif membangun hubungan yang godly dengan suamiku supaya Nama Kristus dimuliakan. 

Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.
(Efesus 4 : 2-3)

Untuk dua hal yang Tuhan ajarkan (lagi) kepadaku minggu ini, I am grateful :) What about you? What are you thankful for this week?

(Silakan tulis di comment atau share link blog-mu kalau kamu tulis post tentang apa yang kamu syukuri minggu ini)

:)