Monday, February 25, 2019

Lea: Perempuan yang Tidak Dicintai Suaminya


by Alphaomega Pulcherima Rambang 

Tetapi pada waktu malam diambilnyalah Lea, anaknya, lalu dibawanya kepada Yakub. Maka Yakub pun menghampiri dia. Tetapi pada waktu pagi tampaklah bahwa itu Lea! Lalu berkatalah Yakub kepada Laban: “Apakah yang kauperbuat terhadap aku ini? Bukankah untuk mendapat Rahel aku bekerja padamu? Mengapa engkau menipu aku?” Jawab Laban: “Tidak biasa orang berbuat demikian di tempat kami ini, mengawinkan adiknya lebih dahulu dari pada kakaknya.”
(Kejadian 29:23, 25-26)


Alkitab dengan gamblang menjelaskan bahwa ide menjadikan Lea sebagai istri Yakub tanpa sepengetahuan Yakub adalah ide Laban. Gak terbayangkanlah ya bagi kita di zaman sekarang pernikahan seperti ini. Amit-amit dah, ini Laban orang tua macam apa sih, kok teganya melakukan ini pada anak-anaknya. Mosok sih dia tidak memikirkan perasaan anak-anaknya? Walaupun dikatakan tidak biasa dalam adat mereka untuk mengawinkan adik lebih dahulu, kenapa fakta itu tidak disampaikan ke Yakub sebelumnya? Ini sih memang niat menipu. Entah kenapa Lea juga menerima saja hal ini. Apakah dia dipaksa Laban, atau dia diam-diam juga mencintai Yakub sehingga mau saja melakukan ini, kita tidak tahu. 

Yang terjadi kemudian sungguh tragis. Bayangkan scene ini. Yakub bangun tidur, melihat Lea, menatap Lea dengan tidak percaya, lalu Yakub langsung lari mendatangi Laban dan protes! Well, Lea mungkin sudah membayangkan kekecewaan Yakub dan pasti tahu Yakub merasa tertipu. Dia telah dibodohi Laban, dipaksa menikahi perempuan yang tidak dicintainya. Respon Yakub saat mengetahui bahwa yang dinikahinya (dan ditidurinya) bukan Rahel tentu sangat bisa dimengerti. Lea menyadari bahwa tidak ada tempat baginya di hati Yakub. Duh, itu hati apa gak hancur berkeping-keping ya. 

Demikianlah hari pertama pernikahan Lea yang sangat menyedihkan. Yang terjadi di hari-hari berikutnya lebih menyedihkan lagi. 

Maka Yakub berbuat demikian; ia menggenapi ketujuh hari perkawinannya dengan Lea, kemudian Laban memberikan kepadanya Rahel, anaknya itu, menjadi isterinya. Yakub menghampiri Rahel juga, malah ia lebih cinta kepada Rahel dari pada kepada Lea. Demikianlah ia bekerja pula pada Laban tujuh tahun lagi.
(Kejadian 29:28, 30)

Lea tidak dicintai oleh suaminya sendiri, sejak hari pertama pernikahannya. Betapa menyakitkannya itu. Kalau ini belum cukup menyakitkan, tujuh hari kemudian suaminya menikahi adiknya sendiri, dan rela bekerja tujuh tahun lagi untuk wanita lain. 

Tetapi Tuhan melihat Lea. Dia memperhatikan Lea yang menaruh pengharapan kepada-Nya, dan memberikan seorang putera kepadanya. Tuhan menunjukkan perhatian-Nya pada Lea. 

Ketika TUHAN melihat, bahwa Lea tidak dicintai, dibuka-Nyalah kandungannya,
tetapi Rahel mandul.
(Kejadian 29:31)

Kita bisa membayangkan sakit hati Lea. Lea bisa saja menjadi pahit dan menarik diri dari orang lain, menyalahkan orang lain dan Tuhan, atau menyakiti dirinya sendiri. Tapi Lea tidak melakukan itu. Satu hal luar biasa yang kita pelajari dari Lea, di tengah kepedihan hatinya, Lea tetap menaruh pengharapannya kepada Tuhan. Lea semakin mendekat kepada Tuhan. Kita dapat melihat dari nama yang diberikannya kepada anak-anaknya: 

Lea mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ruben, sebab katanya: “Sesungguhnya TUHAN telah memperhatikan kesengsaraanku; sekarang tentulah aku akan dicintai oleh suamiku.”
(Kejadian 29:32)

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sesungguhnya, TUHAN telah mendengar, bahwa aku tidak dicintai, lalu diberikan-Nya pula anak ini kepadaku.” Maka ia menamai anak itu Simeon.
(Kejadian 29:33)

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Lewi.
(Kejadian 29:34)

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Yehuda. Sesudah itu ia tidak melahirkan lagi.
(Kejadian 29:35)

Nama yang diberikan Lea kepada anak-anaknya menunjukkan iman percaya-nya kepada Tuhan. Saat menamai Ruben, Simeon dan Lewi, Lea meyakini Tuhan telah memperhatikan dan mendengar sengsaranya: Tuhan adalah ALLAH yang mengetahui isi hatinya yang terdalam. Setiap kali Lea menyebut nama anak-anaknya, dia teringat akan kasih Tuhan padanya. Memang Lea masih mengharapkan cinta suaminya; nama ketiga anaknya yang pertama jelas-jelas menunjukkannya. Tapi melalui ketiga nama anaknya pula, Lea mengingatkan dirinya bahwa sekalipun dia tidak dikasihi suaminya, tetapi Tuhan mengasihinya. Saat Yehuda lahir, Lea tidak lagi menyebut-nyebut tentang kasih suaminya; ia hanya bersyukur kepada Tuhan. Luar biasa imannya: walaupun pernikahannya tidak bahagia, dia tetap bersyukur. 

Tidak ada yang tahu apakah akhirnya Lea dikasihi Yakub atau tidak, tetapi di akhir hidupnya, Yakub meminta agar Lea dikuburkan di gua Makhpela, kuburan keluarga mereka. Lea dikuburkan bersama-sama dengan Abraham, Sara, Ishak, Ribka dan Yakub. Sebuah tempat terhormat tentunya, disejajarkan dengan Abraham, Sara, Ishak, dan Ribka. 

Melalui perjalanan imannya yang menyakitkan, Lea menjadi semakin dekat dengan Tuhan dan menyadari kalau hanya Tuhanlah kasih sejatinya, yang selalu mengasihinya setiap saat. Tuhan adalah Allah yang mendengar dan memperhatikan segala pergumulannya. Pada akhirnya, Lea mampu mensyukuri segala apa yang terjadi dalam hidupnya. Sumber sukacitanya bukanlah kasih suaminya, tetapi Tuhan yang telah terbukti kasih dan kesetiaan-Nya sepanjang hidupnya. 

Apa yang dialami Lea rasanya terlalu menyedihkan untuk dialami di zaman sekarang. Dinikahi tanpa cinta dan tidak dicintai selama pernikahannya. Wow! Membayangkannya saja sungguh mengerikan. Tapi, dari Lea kita dapat belajar untuk terus menaruh pengharapan kepada Tuhan dan semakin mendekat kepada Tuhan saat kepedihan hati melanda. Sebagai seorang istri, ada kalanya love tank saya tidak penuh karena merasa suami kurang perhatian. Saya merasa tidak dikasihi karena suami begitu sibuk sampai-sampai sesi pillow talk ditiadakan berhari-hari. Saat itu terjadi, saya punya pilihan: fokus melakukan sesuatu untuk mendapatkan kasih suami (ngambek, marah, mengkomunikasikan ke suami) atau mendekat kepada Tuhan dan merasa puas dalam kasih-Nya. Akan ada saat di dalam pernikahan kita merasakan ketidakbahagiaan, frustasi, dan tidak puas. Banyak faktor bisa menyebabkannya. Tetapi mari kita terus mendekat kepada Tuhan dan merasa puas di dalam Dia.

Monday, February 18, 2019

Priskila: Wanita Tangguh itu Indah



by Femmy Kowel

Semua diawali lewat sebuah perjumpaan.

Kalau dipikir-pikir, benar juga. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin ada persahabatan. Tanpa perjumpaan, tidak mungkin seseorang dapat menikah—apalagi pada zaman dulu yang belum secanggih sekarang! Itu pula yang dialami oleh sepasang suami-istri di Perjanjian Baru, Akwila dan Priskila.

Akwila adalah pria kebangsaan Yahudi, tapi tidak tinggal di wilayah Yahudi. Dia dibesarkan di Pontus, salah satu propinsi kekuasaan Roma. Setelah menikah, Akwila mengajak istrinya pindah ke kota Roma, Italia, untuk menjalani hidup baru mereka. Kemungkinan besar, Priskila juga berkebangsaan Yahudi. Melalui keahlian dalam membuat kemah, akhirnya mereka menjadikan hal itu sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Italia (Kis 18:2).

Sebagai istri yang juga tidak tinggal di tanah kelahirannya sendiri, saya bisa membayangkan bahwa mereka adalah pasangan yang, mau tidak mau, harus berbaur dan beradaptasi dengan adat budaya yang berbeda dari mereka. Mereka harus hidup hati-hati dalam lingkungan itu, serta membangun hubungan yang baik dengan tetangga, pemerintah setempat dan rekan-rekan kerja. Pokoknya harus cari cara biar bisa diterima dan survive.

Namun apa mau dikata?

Tiba-tiba, situasi menyakitkan harus mereka hadapi. Kaisar Klaudius—yang saat itu berkuasa di Roma—memberikan perintah untuk mengusir seluruh orang Yahudi dari Roma.

Saya mencoba membayangkan perasaan Akwila & Priskila saat itu. Pasti hati mereka diliputi perasaan khawatir, down, takut, dan bingung. Situasi pengusiran adalah situasi dadakan alias tak terencana. Coba bayangin deh, gimana perasaan kita kalau diusir dari rumah sendiri. Stress iya, merasa terhina ya iya, dan yang pasti ada rasa takut yang menusuk hati. Jadi, saya bisa merasakan bahwa pasangan ini pasti kaget setengah mati!

Sebagai perempuan, pasti banyak hal yang berkecamuk di hati Priskila; seperti ini:
“Kok gini, sih?”
“Terus, kita harus ke mana?”
“Kita harus ngapain buat dapat penghasilan untuk makan?”
“Besok makan apa?”
“Kenapa setelah nikah jadi begini, ya?”
“Mungkin harusnya aku nggak nikah dengan orang Yahudi… nggak aman “
“Apakah aku salah pilih pasangan?”
… dan seterusnya.

Setelah menerima perintah pengusiran itu, tentunya juga ada banyak pertanyaan dan perdebatan yang harus mereka lalui dengan air mata. Bayangin, deh. Akwila dan Priskila harus meninggalkan kampung halaman mereka yang penuh kenangan, dengan harapan dapat melanjutkan hidup seperti sedia kala di tempat lain. Tanpa diduga, hidup tenang yang didambakan malah lenyap begitu saja karena pengusiran itu.

Long story short, mereka memutuskan untuk menuju ke Korintus dan memulai hidup yang baru di sana. Kitab Kisah Para Rasul 18:2 mencatat, perjumpaan antara Paulus dengan pasangan suami istri ini di Korintus menjadi titik awal kehidupan baru yang penuh arti dalam perjalanan rumah tangga mereka. Secara pribadi, sosok Priskila yang tangguh memberikan peneguhan dan kekuatan baru untuk terus setia dalam panggilan Tuhan atas hidup saya. Dari Priskila, saya belajar bahwa dia dimampukan mendemonstrasikan ketangguhannya itu oleh kasih karunia Allah. Karena-Nya, Priskila sanggup menghadapi kehidupan rumah tangganya dan setia dalam panggilan hidupnya. Dari situlah saya menyadari bahwa menjadi wanita tangguh itu sangat indah.

Eh, tunggu dulu. Ketangguhan seperti apakah yang diperlihatkan Priskila?
1) Ketangguhan hidup berumah tangga
Setelah diusir dari Italia, Priskila tidak berontak ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia dan suaminya harus memulai kembali kehidupan mereka dari awal di Korintus. Kata “memulai” berarti mengerjakan sesuatu dari awal lagi. Ini tidak mudah, dan memerlukan ketangguhan mental dan fisik untuk membangun kehidupan dari awal lagi. Harus mencari tempat tinggal baru lagi, membangun usaha baru, serta membangun pertemanan agar bisa berbaur dan mendapat kesempatan untuk berbisnis. Sebuah keadaan yang menekan, bukan?

Namun di dalam situasi seperti itu, Priskila tetap setia dan tidak meninggalkan suaminya. Sebenarnya bisa saja kan, dia menyerah dan pergi dari suaminya? Tapi dia tidak melakukannya. Priskila taat pada proses dan terus setia mendampingi suaminya (Kisah Para Rasul 18:2-4).

2) Ketangguhan mental untuk mau di-ajar dan taat pada otoritas 
Selama beberapa tahun, Priskila dan suaminya belajar dari Paulus untuk semakin mengenal Tuhan lewat Kitab Suci, serta praktik pelayanan langsung bersama penginjil besar itu. Priskila dan Akwila pergi bersama ke Siria dan berbagai kota lain untuk menemani dan melayani Paulus memberitakan injil. Bahkan Paulus mengatakan Priskila dan suaminya itu telah mempertaruhkan nyawa untuknya (Roma 16:3)! Wow!

3) Ketangguhan pikiran untuk belajar Kitab Suci dengan tekun sehingga tahu kebenaran dan akhirnya berani mengkoreksi dan mengajar 
Priskila dan suaminya berani mengoreksi orang seperti Apolos, lho. Apolos adalah seorang Yahudi yang sangat teliti mempelajari Kitab Suci. Orang-orang seperti ini, biasanya, sangat susah untuk disanggah, di-challenge, apalagi diajari. Kemungkinan besar Apolos pun memiliki sifat demikian. Tetapi yang membuat saya salut, Priskila sanggup mendampingi suaminya untuk mengajar Apolos untuk bertumbuh dalam pengetahuan yang benar akan Allah (Kisah Para Rasul 18:26). Dua ayat terakhir yang membahas Apolos dalam Kisah Para Rasul menceritakan bahwa melalui kasih karunia Allah, Apolos menolong jemaat di Efesus—karena dengan penuh semangat dia membuktikan melalui Kitab Suci bahwa Kristus adalah Yesus, sekaligus membantah orang-orang Yahudi yang meyakini sebaliknya.

4) Ketangguhan dalam tugas pelayanan 
Priskila dibentuk menjadi wanita yang tangguh ketika harus pergi ke tempat-tempat lain untuk menyertai Paulus dalam pemberitaan Injil. Saya bisa membayangkan betapa lelahnya dia. Harus melayani keluarga, membantu pekerjaan suaminya, dan taat pada tugas pelayanan yang diberikan Paulus ke tempat-tempat yang mungkin jaraknya tidak dekat. (Kisah Para Rasul 18:18). Saya percaya bahwa Priskila bisa melakukan semuanya itu karena Tuhan yang menguatkannya.

5) Ketangguhan hati dalam berkorban untuk orang lain 
Alkitab mencatat bahwa rumah Priskila menjadi basecamp bagi jemaat untuk bersekutu, serta memuji dan menyembah Tuhan (baca: komsel). Hm, memangnya nggak capek ya, kalau secara rutin ada banyak orang yang berkumpul di rumah kita? Kita harus selalu menyediakan minum, makan, kursi, meja dan hal-hal lainnya kalau ada yang berkunjung. Sebelum mereka datang, pasti Priskila sudah sibuk membersihkan rumah, menyapu, mengepel dan mengatur rumah agar rapi dan bersih. Belum lagi kalau mereka sudah pulang. Beres-beresnya jadi dua kali, otomatis capeknya bakal terasa dua kali juga, kan?

Tapi Priskila setia. Hatinya tangguh, tidak lemah, menolak, apalagi berontak. Dia tetap mengizinkan persekutuan jemaat terjadi di rumahnya, membuka pintu, melayani dan mengajari mereka. Wow! Full service! (1 Korintus 16:19).

Kita memerlukan ketangguhan untuk memenuhi panggilan hidup kita yang diberikan Tuhan, ladies. Namun ada poin yang harus kita ingat: Ketangguhan bisa diperoleh hanya melalui sebuah proses. Seperti Tuhan memampukan Priskila untuk menjadi wanita tangguh, saya berdoa agar Tuhan juga melakukan hal yang sama pada kita dalam menjawab panggilan-Nya dalam hidup kita masing-masing. 

Yes, a tough-woman-in-God is beautiful.

Monday, February 11, 2019

The Touch of Faith



by Poppy Noviana

Adakah di antara kita yang memiliki harapan tak tercapai? Adakah di antara kita yang sering menemui kegagalan, bahkan setelah melakukan banyak usaha? Adakah di antara kita yang karena semua kegagalan itu lalu mulai berhenti berusaha, bahkan berhenti berharap?
“Saya sudah pernah mencoba setia, namun tetap saja saya selalu dikhianati dalam membangun hubungan”.
“Saya sudah berusaha semaksimal yang saya bisa, namun tetap saja pekerjaan saya tidak dihargai”.
“Saya sudah berusaha, namun hasilnya masih belum memuaskan.”
“Saya sudah mencoba berbicara kepadanya, namun tetap saja tidak berhasil.”
“Saya sudah coba untuk belajar lebih giat, namun tetap saja saya tidak lulus.”
“Saya sudah beberapa kali mengampuninya, namun tetap saja dia menyakiti hati saya.”
“Saya sudah berusaha untuk berbuat baik, namun tetap saja saya tidak pernah dipuji.”
“Saya sudah berolah raga dan menjaga pola makan saya, namun berat badan saya belum turun juga.”
Kondisi seperti ini kah yang sedang kita hadapi hari-hari ini? Menjadi sinis untuk mencoba suatu hal yang sudah pernah kita coba sebelumnya? Terasa berat untuk berharap kembali apalagi melangkah lebih dulu untuk berjuang bangkit lagi dari keterpurukan hidup? Pertanyaannya, kata siapa kita akan gagal lagi? Kata siapa kita akan kalah lagi? Kata siapa kita akan jatuh lagi? Kata siapa kita akan disakiti lagi? Apakah mungkin pikiran kita sendiri yang menjadi hambatan untuk terus melangkah?

Hei, kamu yang saat ini sedang mengalami kondisi seperti itu, kamu tidak sendirian.

***

“Saya sudah berobat kemana-mana, menghabiskan semua yang saya punya, namun saya belum sembuh juga.”

Mungkin inilah keluhan seorang wanita yang kisah hidupnya tertulis dalam Matius 9:20-22, Markus 5:25-34 dan Lukas 8:43-48. Ia mengalami pendarahan selama kurang lebih dua belas tahun lamanya, tanpa sedikitpun titik terang untuk sembuh.

Inilah sepenggal pelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan wanita pengidap sakit pendarahan itu. Kisah hidupnya ditulis di tiga kitab, dengan beberapa bagian kata yang diulang sebagai pesan penting yang ditekankan Allah. Mari kita ulas secara sederhana penggalan kisahnya.

“She had heard [reports] about Jesus.”

Pertama, wanita ini mendengar tentang Yesus. Bisa dibayangkan kalau hal-hal yang ia dengar adalah tentang perkara-perkara ajaib yang dilakukan Yesus. Pastinya ia mendengar bagaimana Yesus berkeliling dan menyembuhkan orang sakit atau mengusir setan-setan. Kabar tentang Yesus inilah yang membangkitkan harapannya: ia masih bisa sembuh. Semangatnya yang mungkin patah, mulai menyala kembali. Kisah-kisah tentang Yesus membangkitkan imannya. 

Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.
(Roma 10:17 / TB)

Dari sini kita bisa belajar bahwa dalam kondisi yang paling buruk sekalipun, justru menuntut kita untuk tetap tinggal dalam Firman Tuhan dan komunitas orang percaya. Ada orang-orang yang mengalami kejatuhan, lalu justru menjadi kecewa dan berhenti membaca Firman, berhenti ke gereja, berhenti mengejar hal-hal rohani. Padahal di dalam semua itu, Tuhan menyediakan pengharapan.

“she came up behind Him in the crowd and touched His outer robe.”

Setelah mendengar tentang Yesus, wanita itu meresponi dengan melangkah menemui Yesus untuk menyentuh jubah-Nya. Wanita itu tidak berhenti dengan beriman, tapi melakukan tindakan iman. Ia bertindak dan melangkah untuk mendapatkan kembali harapannya yang pernah hilang. Ia berjuang untuk mengubah keadaan. Melangkah adalah bagian kita sedangkan untuk menyertai setiap langkah-langkah kita dan membuatnya menjadi berhasil adalah bagian Tuhan.

Maukah kita menindaklanjuti kebenaran yang kita peroleh dari Firman Tuhan? Maukah kita keluar dari zona nyaman, sehingga Firman Tuhan tidak hanya didengarkan tapi juga dilakukan? 

“For she thought, “If I just touch His clothing, I will get well.”

Inilah alasan kenapa wanita itu mendekati Yesus dan menyentuh jubahnya. Inilah pernyataan iman wanita itu. Inilah iman yang menggerakkan kuasa Yesus dan mengalirkan kuasa kesembuhan. Wanita itu adalah bukti bahwa Allah merespon langkah iman yang kita lakukan. Wanita itu seakan menghapuskan kemustahilan dua belas tahun dengan kabar-kabar yang baru dia dengar. Ia memberanikan diri untuk beriman, meskipun tidak punya dasar, dan melangkah dalam iman itu.

“Immediately her flow of blood was dried up; and she felt in her body [and knew without any doubt] that she was healed of her suffering.”

Pada saat ia menyentuh jubah Yesus, wanita itu masih belum punya bukti bahwa imannya akan menghasilkan sesuatu. Bisa saja ketika ia mengambil langkah ia masih punya banyak pertanyaan. Tapi saat pada akhirnya kuasa Tuhan bekerja, ia tahu mukjizatnya sudah ia terima. Ketika kita menyadari bahwa kita sudah menerima jawaban iman kita, kita akan semakin teguh di dalam Dia. Pengalaman bersama Allah akan mengubah iman kita dan melepaskan keraguan. Di kemudian hari, kita dilatih untuk punya cara pandang yang berkemenangan dan berpengharapan, sebab kita tahu Allah kita adalah Allah pembuat mukjizat.

Immediately Jesus, recognizing in Himself that power had gone out from Him, turned around in the crowd and asked, Who touched My clothes?

Pada saat itu tentu saja banyak orang yang bersentuhan dengan jubah Yesus. Namun kuasa Allah tidak dilepaskan ke semua orang itu. Allah meresponi sentuhan yang dilakukan karena iman, bukan desakan-desakan tanpa iman percaya kepada-Nya. Imanlah yang menarik keluar kuasa Allah. Jika Tuhan bertanya, apakah Tuhan menemui iman di bumi, adakah di antara kita yang percaya diri untuk menjawab, “Ya, Tuhan, Engkau akan menemui iman di dalamku.”

“Daughter, your faith [your personal trust and confidence in Me] has restored you to health; go in peace and be [permanently] healed from your suffering.”

Bagian inilah yang menjadi treasure of the story. Perkataan Yesus ini adalah peneguhan mengenai status kehidupan wanita itu dan kondisi selanjutnya di masa depan. 

Pertama, Yesus menegaskan bahwa yang menyembuhkan sakit wanita itu adalah imannya. Yesus tidak mengatakan ia sembuh karena sentuhan pada jubahnya. Kadang ketika ada yang menerima mukjizat, kita fokus pada metode yang dilakukan. Misalnya, ketika ada orang yang berdoa tengah malam lalu doanya dijawab, kita melakukan hal yang sama. Atau ketika ada orang yang puasa 40 hari sampai mukjizat terjadi, kita juga melakukan hal yang sama. Padahal bukan metode, namun iman lah yang membuat perubahan. 

Kedua, wanita itu sudah sembuh, Yesus ingin dia pergi dalam damai sejahtera. Yesus tidak ingin masa lalu menghantui perjalanan hidup wanita itu selanjutnya. Kadang kita sudah menerima mukjizat, namun tetap saja kenangan buruk, trauma, pola pikir dari masa lalu menghalangi kita untuk melanjutkan hidup dengan bebas. 

Bisa saja dulu wanita itu selalu khawatir karena penyakitnya. Setelah sembuh, Yesus mau wanita itu hidup dalam damai sejahtera, karena bisa saja Iblis menaruh kekhawatiran baru seperti “Bagaimana jika penyakitmu kambuh lagi?” Dengan setiap mukjizat fisik (hal-hal jasmani seperti kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan lain-lain) yang Ia anugerahkan, Allah juga mau mengerjakan jiwa dan roh kita semakin sempurna di dalam Kristus. 
So, who will touch Jesus? The ordinary one who have faith within her/his heart and take the step for their faith in action to meet Jesus with confident (no doubt). God promised that He’ll arm you with strength for every battle. We may not know what the future holds, but we know Who holds the future. (Joel Osteen)

Monday, February 4, 2019

Delila: Dua Wanita




by Glory Ekasari

Seorang wanita mendapat tawaran untuk memberikan informasi yang diinginkan pemerintah, dengan imbalan 600 juta Rupiah. Dan memberi informasinya pun tidak perlu susah payah, cukup merayu orang yang punya informasi itu saja. Gimana? Gampang sekali kan? 

Tapi yang tidak disadari wanita itu, yang dia jual bukanlah informasi; dia menjual masa depannya. Sejak hari itu dan sampai ribuan tahun kemudian, namanya menjadi identik dengan tindakan asusila dan pengkhianatan. Dia adalah Delila. 


- WANITA BERNAMA HIKMAT -

Ketika kita membaca kitab Amsal, kita bertemu dengan tokoh-tokoh yang membimbing kita sepanjang perjalanan membaca kitab tersebut. Ada tokoh bapak yang memberi nasehat kepada anak yang dikasihinya, ada tokoh raja, ada tokoh ibu suri, dan ada pula seorang tokoh wanita yang berkarakter kuat. Dia adalah Hikmat. 

Kata “hikmat” dalam bahasa Ibrani adalah hokmah, dan dalam bahasa Yunani adalah sophia, keduanya merupakan kata benda feminin. Dengan kata lain, Hikmat dipersonifikasikan dalam sosok wanita. Ini sama sekali bukan seksis; ini adalah kebenaran. Pergaulan dengan Hikmat mendatangkan sejahtera; penolakan terhadapnya mendatangkan malapetaka. Sosoknya dominan dalam Amsal 8 dan 9, dimana dia memperdengarkan suaranya dan mengundang orang-orang untuk datang kepadanya. Amsal 10 dan seterusnya adalah tentang “tingkah laku” Hikmat: bagaimana dia berbicara, berpikir, dan bertindak. Dasar dari kehidupannya adalah takut akan Tuhan, sebagaimana yang disebutkan dalam Amsal 1:7. Konsep tentang Hikmat ini terus mengalir sampai pasal terakhir dari kitab Amsal, dimana Hikmat mendapatkan wujud fisiknya dalam seorang isteri yang cakap. 


- WANITA BERNAMA KEBODOHAN -

Tetapi mari bandingkan Hikmat ini dengan seorang wanita lain, yang juga disebutkan dalam Amsal. Sejak awal, perseteruan antara Hikmat dengan wanita ini sudah sangat jelas, dan mencapai puncaknya dalam pasal 9, dimana keduanya berebut mengundang orang untuk menjadi sahabat mereka. Wanita yang satu lagi ini bernama Kebodohan. Ia adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan Hikmat, namun khususnya, ia tidak takut akan Tuhan. Ia bertindak sekehendak hatinya, tidak berpikir panjang, dan semua yang dilakukannya bersifat merusak. Dalam Amsal 10-29 kita melihat betapa berbedanya cara Hikmat dan Kebodohan menghadapi kehidupan sehari-hari. 

Mengapa membicarakan hal ini? Karena ketika kita memikirkan Delila dan tindakannya, pembaca yang familiar dengan kitab Amsal akan mengenali dia sebagai wanita yang kedua: Kebodohan. 

Cerita tentang Delila dalam Alkitab sangat sederhana. Simson jatuh cinta pada Delila, dan para raja Filistin datang kepada Delila dengan tawaran yang menggiurkan: dua talenta (sekitar 70 Kg) uang perak—jumlah uang yang sangat besar bagi seorang wanita di masa itu, untuk satu tugas yang sederhana, yaitu mencari tahu bagaimana Simson dapat dikalahkan. Delila membujuk Simson tujuh kali demi mendapatkan uang itu (satu-satunya yang lebih bodoh dari Delila di sini jelas adalah Simson), sampai akhirnya Simson tidak tahan dan memberitahu Delila bahwa rahasia kekuatannya adalah rambutnya. Delila dengan gembira memberitahukan hal itu pada raja-raja Filistin (seperti yang sudah enam kali dia lakukan sebelumnya), dan akhirnya dia mendapatkan uangnya. Kita tidak tahu akhir cerita Delila, kita juga tidak tahu apa yang dia rasakan dalam hatinya. Yang kita tahu, nama Delila menjadi sinonim bagi perempuan yang tidak baik, licik, penggoda, dan berbahaya. 

Sebagaimana zaman Delila, demikian pula zaman sekarang. Highlight di zaman kita ini adalah orang-orang yang hidup semau mereka sendiri, yang dianggap seperti pahlawan emansipasi. Mereka tidak peduli pada Tuhan, apalagi apa yang Ia suka atau tidak suka. Tokoh seperti Delila, yang mengumbar sex appeal untuk keuntungannya sendiri, justru dipuja. Sebagaimana yang dikatakan Amsal: 

Inilah jalan perempuan yang berzinah: ia makan, lalu menyeka mulutnya dan berkata, “Aku tidak berbuat salah.”
(Amsal 30:20)

Ketika bertemu orang seperti itu, kita ingat apa yang dikatakan Pengkhotbah: 

Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit daripada maut: perempuan yang adalah jala, yang hatinya adalah jerat, dan tangannya adalah belenggu. Orang yang dikenan Allah terhindar dari padanya, tetapi orang yang berdosa ditangkapnya.
(Pengkhotbah 7:26)

Mungkin Delila tidak berpikir panjang waktu mendapat tawaran dari raja-raja Filistin. Dia pikir, kapan lagi dapat uang gampang seperti ini? Dia tentunya tidak berpikir bahwa namanya akan dicatat dalam buku sejarah orang Israel, yang tetap dibaca di seluruh dunia sampai ribuan tahun kemudian. Delila menjual integritas dan reputasinya untuk uang senilai sekitar Rp 600 juta (kita ingat Esau yang begitu bodoh menukar kesulungannya dengan semangkuk makanan), jumlah yang terlalu sedikit untuk nama yang rusak selama-lamanya. 

Tapi bukan hanya Delila yang sebodoh itu. Banyak wanita, sayangnya, juga bertindak bodoh dalam hidup mereka, karena satu akar yang sama dengan Delila: mereka tidak takut akan Tuhan. 


- TAKUT AKAN TUHAN -

Saya ingat ketika masih kecil ada yang menjelaskan kepada saya bahwa “takut akan Tuhan” berbeda dengan “takut kepada Tuhan”. Takut kepada Tuhan berarti memandang Tuhan sebagai wasit yang galak, yang siap dengan tongkat hukuman kapanpun kita melanggar aturan-Nya. Takut akan Tuhan, di sisi lain, melibatkan penghormatan dan kasih kepada Dia. 

Orang yang takut akan Tuhan lebih memikirkan apa yang disukai Tuhan, daripada apa yang ia sendiri suka. Dia menjadikan Tuhan sebagai prioritas. Ini bukan hanya berlaku dalam hal-hal “besar” seperti memilih pekerjaan, atau tidak berbuat dosa yang skalanya besar. Ini berlaku dalam segala hal sehari-hari. Ketika seorang wanita yang takut akan Tuhan nyaris terlibat dalam pertengkaran dengan suaminya, ia ingat, Tuhan meminta para isteri tunduk kepada suami mereka, dan ia menurutinya dengan cara tidak menjawab lagi (atau menurunkan nada suaranya). Bukan karena takut dihukum Tuhan, tetapi karena mengasihi Tuhan. 

Takut akan Tuhan diwujudkan dengan melakukan firman Tuhan. Ketika kita hidup dalam firman Tuhan, kita hidup above reproach—tanpa cela. Orang lain menilai kita dan diam-diam menghakimi kita. Biarlah mereka menilai kita dan menemukan hidup yang tidak bercela, yang taat kepada Tuhan. Dan bila kita melakukan firman Tuhan, itu berarti kita mengambil keputusan yang bijaksana. Firman Tuhan mengendalikan pikiran kita dan menolong kita. Orang bilang, wanita dikendalikan oleh emosinya, sedangkan pria oleh pikirannya. Saya percaya baik pria maupun wanita harus dikendalikan oleh firman Tuhan. 

Pada akhirnya ada dua wanita: Hikmat dan Kebodohan. Kita, para wanita, harus memilih mau menjadi wanita yang mana. Wanita yang berbahaya bagi semua orang, sampai suaminya pun dia jual demi uang; atau wanita yang begitu saleh, sampai suaminya—yang melihat cara hidupnya sehari-hari—pun memuji karakternya? 

Suaminya memuji dia: 
“Banyak wanita telah berbuat baik, 
tetapi engkau melebihi mereka semua.” 
(Amsal 31:29)