Showing posts with label Family. Show all posts
Showing posts with label Family. Show all posts

Tuesday, November 27, 2018

Be Still



by Sarah Eliana

Setiap manusia mempunyai perjalanan kehidupan yang berbeda. Beberapa sedang berada di tanah perjanjian, namun ada pula yang sedang berada di padang gurun. Tapi, sebagai tubuh Kristus, kita semua punya panggilan yang sama, yaitu untuk bertumbuh dalam iman dan untuk memuliakan Nama-Nya. Di tanah perjanjian atau di padang gurun, kita dipanggil untuk terus berjalan dalam iman. Tapi, ahhh… kalau sedang berada di padang gurun, susah ya untuk terus berjalan dalam iman. Nah, itu sebabnya kita memerlukan Roh Kudus.

Seberapa kenal kita dengan Roh Kudus? Tau ngga, Roh Kudus itu seperti seorang gentleman lho. Dia ngga pernah memaksa kita untuk melakukan apa yang kita tidak mau. He doesn’t force Himself on us. However, He will teach and counsel us to make the right decision. Di saat kita mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman, saat itulah Roh Kudus bergegas menghampiri kita, berdiri bersama kita, dan memberikan kekuatan bagi kita untuk menjalani keputusan kita itu. Isn’t He so good?

Setiap kali membaca tentang bangsa Israel yang berputar-putar di padang gurun, aku selalu bingung. Kenapa ya Tuhan bawa bangsa ini berputar-putar? Memang ada yang bilang Tuhan sedang menyiapkan mereka untuk sesuatu yang luar biasa. Tapi, yang aku lihat, mereka berputar-putar karena mereka ngga pernah belajar. Mereka selalu jatuh dalam dosa yang sama, bergumul dengan hal yang sama selama bertahun-tahun. Aku disadarkan tentang satu hal, yaitu bahwa bangsa ini ngga pernah mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman. Mereka bertobat hanya saat dihukum Tuhan, tapi mereka ngga pernah betul-betul mengambil keputusan untuk berjalan terus dalam iman, untuk terus percaya akan kedaulatan Tuhan. Bukankah ketidakpercayaan mereka yang pada mulanya membuat Tuhan membawa mereka berputar-putar di padang gurun, padahal Tanah Perjanjian sudah di depan mata? Mereka tidak percaya bahwa Tuhan bisa dan mau membawa mereka kepada kemenangan melawan orang-orang kuat di tanah Kanaan, dan karenanya mereka pun terpaksa harus menghabiskan 40 tahun di padang gurun.

Kalau melihat ke belakang, tahun 2014 dan 2015 merupakan tahun yang cukup berat bagiku. Aku pernah sakit berat dan efeknya masih ada. Lalu, sebelum aku menikah, Tuhan pernah berjanji padaku lewat Mazmur 113:9,

“Ia mendudukkan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh sukacita. Haleluya!”
(Mazmur 113:9)

Dulu, aku berpikir bahwa ini janji yang luar biasa indah. Aku berpikir bahwa satu hari nanti aku akan bertemu pangeranku, kami akan menikah dan memiliki anak-anak mujizat dari Tuhan kapan saja kami minta. Ternyata, di balik janji itu ada pergumulan dan keputusan yang harus kami ambil bersama. Setelah menikah, kami tidak langsung punya anak. Kami menunggu dua tahun untuk hadirnya buah hati kami. Tahun anak kami lahir adalah tahun di mana teman-teman baikku juga banyak yang sedang hamil atau baru melahirkan anak pertama mereka. 

Sekarang, anak kami sudah berumur empat tahun. Dia sudah punya banyak teman dan teman-temannya kebanyakan punya kakak atau adik. Jadi sekarang dia sudah mulai mengerti bahwa dia berbeda. Dia mulai bertanya kenapa dia sendirian dan ngga punya saudara di rumah? Kami sudah berdoa setidaknya dua tahun untuk memiliki anak kedua, tapi sampai sekarang anak itu belum tiba juga. Nah, tahun 2014-2015 itu adalah tahun ‘baby boom’. Teman-temanku, yang anak-anak pertamanya seumur dengan anak kami, banyak sekali yang sedang hamil atau baru melahirkan anak kedua. Aku senang untuk mereka tentunya, tapi juga sedih untuk diriku sendiri. 

Beberapa bulan belakangan ini, aku banyak bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, Tuhan kan udah janji bahwa aku akan punya anak-anak. Lebih dari satu lho, Tuhan. Where are they? Kok belum nongol juga?” Tuhan diam. Tuhan ngga menjawab apa-apa. Aku merasa sedang berdiri sendirian dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Aku merasa, aku sedang berada di padang gurun, dan hal pertama yang ingin kulakukan adalah keluar dari padang gurun ini. “Tuhan, berikan anak kedua itu kepadaku supaya aku tidak perlu lama-lama berada di padang gurun ini!”. Di saat itulah, Roh Kudus berbisik, “Seberapa lama kamu berada di padang gurun ini, itu adalah keputusanmu sendiri”. Aku tertegun. “Maksudnya apa ya, Tuhan?”. Lalu aku mendengar Roh Kudus berbicara lembut, “Keep walking in faith, sweetheart.”

Ah, Roh Kudus ini bikin bingung. Apa pula maksudnya teruslah berjalan dalam iman. Aku ini sudah berjalan dalam iman kok, Tuhan! Aku sudah percaya dan beriman kalau Tuhan akan beri anak-anak untukku, tapi kan aku ngga bisa menciptakan anak itu dari debu tanah, jadi Tuhan yang harus lakukan itu. Aku sudah beriman, sekarang giliran Tuhan untuk menggenapi janji-Nya!

Aku tegar tengkuk banget ngga sih? Puji Tuhan, Dia ngga diam saja. Melalui seorang wanita yang mengasihi-Nya, Aku diajar oleh-Nya bahwa ada keputusan-keputusan yang harus aku ambil jika aku mau terus berjalan dalam iman.

Dalam hidup kita, saat kita berada di padang gurun, biasanya ada dua skenario, yaitu: 
1. Kita tahu apa yang akan terjadi 
2. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi 

Nah, aku belajar bahwa ada satu keputusan yang harus aku ambil setiap kali aku berada di padang gurun, yaitu: BE STILL! Tapi, be still disini bukan berarti gak melakukan apa–apa lho. Untuk tiap skenario di atas, aku belajar bahwa being still can mean different things.

Saat kita tahu apa yang akan terjadi, keputusan yang harus kita ambil adalah:

1. Meditate on HIS ways, not on the facts
Beberapa tahun lalu, saat aku baru selesai dioperasi, aku tau apa yang akan terjadi. Aku tau bahwa aku tidak akan bisa punya anak. Aku tahu bahwa mungkin tidak akan ada pria yang mau menikahiku. Aku ingat, saat aku berada dalam situasi itu, aku banyak merenungi Firman Tuhan, bersandar hanya kepada-Nya. Ini ngga berarti aku mengabaikan kenyataan yang ada. Sama sekali bukan! Ini berarti bahwa kita dengan aktif memilih hal mana yang akan berada dalam posisi lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Apakah kita memilih untuk meletakkan kenyataan bahwa kita belum punya pekerjaan, ditinggal pacar, belum punya anak, atau hal-hal lain, lebih tinggi dibanding karakter dan kepribadian Kristus? Yesaya 55:9 mengatakan, 

Seperti langit lebih tinggi dari bumi,
demikianlah jalan-jalan-Ku lebih tinggi daripada jalan-jalanmu,
dan pemikiran-pemikiran-Ku daripada pemikiran-pemikiranmu.
(Yesaya 55:9)

Biarlah kita terus menempatkan Kristus sebagai yang terutama. Biarlah kita selalu merenungi Firman-Nya dan bersandar kepada kesetiaan-Nya. 

2. Magnify your GOD, not your fear
Waktu aku selesai operasi, aku tahu aku mungkin tidak akan pernah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Apakah aku takut? FOR SURE! Teman, di saat-saat seperti itu… dimana kita tau apa yang akan terjadi, dimana kita dihadapi ketakutan karena kenyataan-kenyataan yang ada di depan mata, marilah kita memilih untuk magnify our God. Magnify ini artinya kita memakai kaca pembesar dan menempatkan kaca pembesar itu di atas sesuatu yg kita mau menjadi fokusnya. Apakah kita memilih untuk menempatkan kaca pembesar itu pada Tuhan atau pada ketakutan kita? Mazmur 34:2-4 menulis demikian,

Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.
(Mazmur 34:2-4)

Ah, lihatlah janji Tuhan! Ketika kita mencari Tuhan, Ia MENJAWAB DAN MELEPASKAN KITA DARI SEGALA KEGENTARAN KITA! Let’s magnify and extol Him! 

Lalu bagaimana saat kita berjalan di padang gurun, namun kita tidak tahu apa yang akan terjadi? Saat ini aku berada dalam situasi ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana Tuhan akan mengirimkan anak untuk kami. Terus terang, kami bahkan tidak tahu apakah Tuhan akan mengirimkan anak lagi kepada kami. You see, saat Tuhan menjanjikan bahwa aku akan menjadi ibu dari anak-anak, Tuhan ngga memberikan detail bahwa anak-anak itu adalah anak-anak kami. Mungkin saja apa yang Tuhan maksud adalah kami akan punya satu anak dan selebihnya adalah anak-anak spiritual. We don’t know! Berminggu-minggu aku bertanya kepada Tuhan. Tuhan, apa yang Tuhan maksud saat Tuhan katakan akan membuat aku menjadi ibu dari anak-anak? Anak-anak spiritualkah? Beri tahu aku sekarang, Tuhan, please, supaya aku bisa menyiapkan hatiku seandainya memang itu yang Tuhan maksud. Tuhan memang belum menjawab pertanyaanku, tapi Roh Kudus telah ajarkan bahwa saat aku berada dalam padang gurun dimana aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku bisa membuat dua keputusan ini: 

// Percaya kepada Tuhan, bukan kepada diriku sendiri 
Selalu tempatkan Tuhan sebagai yang terutama! Saat kita berada dalam padang gurun, mudah sekali bagi kita untuk melepaskan diri dari kebiasan yang baik dan dari pergaulan yang baik. Mudah sekali bagi kita untuk berkata, “Ah lagi ngga mood baca Firman. Cuman hari ini aja kok. Besok aku baru baca deh”, atau “Ah, lagi ngga mood ke gereja. Biasanya juga aku rajin kok. Sekali aja ngga apa-apa.” Satu kali yang dengan mudahnya bisa berubah menjadi berkali-kali. 

Saat kita ditegur saudara seiman, mudah sekali bagi kita berkata, “Ah apa sih urusan situ? Ini urusan gw ama Tuhan! Kok situ yang repot?”. Lalu, kita menjadi malas bersekutu dengan saudara seiman. Kita menjauhi diri dari pergaulan yang baik.

Teman-teman, saat kita berada dalam situasi sulit, jangan sampai kita melepaskan diri dari hal-hal yang Tuhan berikan untuk menjaga kita supaya tetap berada dalam jalur dan jalan-Nya. Teruslah jalani kebiasaan yang baik: bersekutu bersama keluarga Allah, saat teduh setiap hari, renungi Firman-Nya. Teruslah percaya kepada Tuhan. Amsal 3:6 mengatakan “Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Amen! Let’s do that! Mari kita terus mengakui Dia dalam segala laku kita! 

// Think about others, not about yourself
Waduh, teman-teman tau gak? Setiap kali mendengar ada teman yang hamil lagi, rasanya tuh gimana gitu. Bikin bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan, aku kapaaann? Jangan lupa anak-Mu yang satu ini lho!” Di saat aku bereaksi seperti itu, Tuhan ingatkan lewat ayat ini: 

Bersukacitalah bersama yang bersukacita, menangislah bersama mereka yang menangis.
(Roma 12:15)

Ayat ini memberi satu pengertian baru kepadaku. Saat ada orang yang berada dalam situasi yang sama dengan kita, apa yang kita lakukan? Apakah kita sedih untuk mereka, tapi juga senang karena, wah, akhirnya, kita tidak sendirian! Ada orang yang juga berada dalam situasi yang sama dan bisa jadi teman curhat! 

Kebalikannya, saat kita mendengar ada teman yang mendapat jawaban atas pokok doa yang sama dengan yang kita doakan, apa yang kita lakukan? Apakah kita menggedor-gedor pintu Surga dan bertanya kapan Tuhan akan memberikan jawaban yang sama kepada kita? Teman-teman, itu bukan bersukacita dengan yg bersukacita dan menangis bersama yang menangis! Justru kebalikannya! Itu artinya kita bersukacita dengan yang menangis dan menangis bersama yang bersukacita! 

Ah, aku ngga mau jadi seperti itu, karena itu aku mengambil keputusan untuk think about others and not about my own problems. Daripada tiap hari galau mikirin kapan Tuhan akan menjawab doa, alangkah baiknya aku menghabiskan waktuku untuk mendoakan orang lain. Daripada tiap hari kerjaannya curhat dan curhat melulu ngomongin tentang masalahku, lebih baik aku menghabiskan waktu mendengarkan mereka dan memberkati mereka dengan doa dan kebenaran Firman Tuhan! :) 

Waktu aku mengambil dua keputusan ini, yaitu trust in God and not in myself dan think about others, not about myself, Roh Kudus bergegas menghampiriku dan melengkapi, mendorong, memberikan kekuatan, sehingga hari demi hari aku bisa bangun dan memilih untuk percaya kepada Tuhan, untuk memikirkan orang lain, untuk meditate on God’s ways, and to magnify HIM. 

Saat kita mengambil keputusan untuk be still, menjadi tenang di dalam Tuhan, Roh Kudus langsung memperlengkapi kita untuk menjalankan keputusan kita, supaya hari demi hari kita dapat terus melangkah, melangkah, dan melangkah dalam iman. Hingga satu hari tiba, engkau melihat ke bawah, dan tersadar bahwa tidak ada lagi pasir di bawah kakimu! Kamu tidak lagi berada di padang gurun! Kamu berdiri di tanah yang subur, rerumputan hijau dan bunga-bunga indah terhampar sepanjang mata memandang. Kamu sudah berada di tanah perjanjian! Di situ kamu sadar, kamu berada di tanah perjanjian bukan karena situasimu sudah berubah, tapi karena kamu telah mengambil keputusan untuk berjalan dalam iman dan Roh Kudus telah memampukanmu untuk terus melangkah dalam iman! 

Di saat kamu melangkah dalam iman bersama Roh Kudus, ada sesuatu yang berubah dalam hatimu. Kamu bukan lagi seorang egois yang hanya mengasihani diri sendiri dan memikirkan masalah diri sendiri terus menerus. Kamu bukan orang yang jatuh dalam kubangan yang sama berkali-kali. Di saat engkau berjalan bersama Roh Kudus, hatimu yang ketakutan mungkin akan bertanya kepadamu, “Bagaimana jika… terjadi? What then?”, “Bagaimana jika aku tidak akan pernah punya anak lagi?”, “Bagaimana jika aku tidak akan pernah memiliki pekerjaan yang aku suka?”, “Bagaimana jika aku tidak akan menikah?”. What if? What then?

Roh Kudus akan mengajarimu: “If this happens, then GOD!”. Jika aku tidak akan pernah punya anak lagi, I still have GOD. Aku masih tidak tahu apakah aku akan punya anak lagi, tapi aku tahu aku akan selalu punya Kristus! Hanya ingatlah satu hal: saat kamu berada di padang gurun, ambillah keputusan untuk terus berjalan dalam iman! Ambillah keputusan untuk percaya kepada-Nya, to think about others, to magnify HIM, and to meditate on HIS ways. Tuhan tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan karena IA adalah Tuhan yang menghargai kehendak bebas kita. So, YOU need to make the decision, and when you make the decision, the Holy Spirit rushes to empower you! 

When you find yourself in the desert, the answer is GOD! GOD is my everything, and with my everything I have more than enough! Tanah perjanjianku bukanlah saat aku punya anak lebih dari satu. Tanah perjanjianku adalah tanah dimana aku bisa terus berjalan bersama Roh Kudus dalam iman, bisa terus percaya kepada Tuhan apapun yang terjadi, bisa terus menjadikan Dia yang terutama dalam hidupku. It's not WHAT I have, but WHO I have, and who I have is more than enough! Kristus, Dialah tanah perjanjianku! HE IS MY PROMISE LAND! HE IS MY STRENGTH!

Though he slay me, yet will I hope in him!
(Job 13:15)

Monday, March 20, 2017

Sukacita dalam Ketaatan


by Glory Ekasari


Manusia pada umumnya berpikir bahwa mereka akan senang bila dibebaskan melakukan apa saja yang mereka mau. Hukum atau aturan adalah beban yang membuat kita merasa terkungkung. Bila tidak ada larangan, tidak ada aturan, bebas sebebasnya, baru kita akan bahagia! Tapi benarkah demikian? Bila kita bebas melakukan apapun yang kita mau, dan tidak ada seorangpun yang membatasi kita, bukankah itu berarti tidak ada yang peduli dengan kita?

Saya akan memberi contoh sederhana dalam hal ini. Baru kemarin saya ngobrol dengan pacar tentang bentuk kepedulian saya kepada dia. Saya bilang, kalau saya peduli pada seseorang, saya justru jadi banyak ngomel (maklum, wanita). Kalau dia makan makanan yang tidak baik untuk kesehatan, melakukan aktivitas yang membahayakan, atau sekedar naik motor tidak pakai jaket, saya akan ngomel-ngomel. Itu bukan karena saya tidak sayang diasebaliknya, justru karena saya peduli pada keadaannya, makanya saya cerewet.

Di sisi lain, pacar saya jadi sering minta izin kalau mau makan makanan yang kira-kira akan bikin saya ngomel (sudah tentu izin tidak keluar :p), atau melakukan aktivitas yang akan membuat dia dimarahi oleh saya. Saya tahu itu bukan karena dia takut, tapi karena dia tidak mau membuat saya kuatir atau marah atau sedih. Dia memperhatikan perasaan saya, dan karena itu dia merespon dengan menjaga dirinya baik-baik, sebagaimana yang saya inginkan.

Itu contoh dari manusia yang tidak sempurna. Tuhan mah lebih baik dari kita, Dia tidak ngomel seperti saya. Tapi prinsipnya sama: Tuhan memberi kita aturan karena Dia memperhatikan dan mengasihi kita; kita taat kepada Tuhan bukan karena takut, tapi kita merespon kasih-Nya itu, dan menunjukkan kepada Tuhan bahwa Dia penting bagi kita.

Dan ketika kita mengasihi Tuhan, menyenangkan Dia menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kita. Tuhanlah yang menciptakan kita, dan Dia tahu apa yang paling memuaskan hati kita: diri-Nya sendiri. Karena itu ketika orang Israel datang dan bertanya, apa sebenarnya yang paling Tuhan inginkan dari manusia, apa yang menjadi tujuan keberadaan kita, Dia menjawab:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.” Matius 22:37

Ketika kita mengasihi Dia, sukacita meluap dalam hati kita. Ketika kita menaati firman-Nya, kita mendapat kebahagiaan. Kitab Mazmur dibuka dengan kata “berbahagialah”, dan orang yang berbahagia adalah orang yang mencintai firman Tuhan dan melakukannya dalam hidupnya. Dunia bisa berkata lain; mereka menjanjikan sukacita dari harta benda, berbagai kesenangan, dan sebagainya, tetapi sukacita yang sejati hanya ada ketika kita hidup dalam ketaatan kepada Tuhan.

Banyak anak berkata bahwa cita-cita mereka adalah membahagiakan orang tua. Bisa jadi yang dimaksud adalah mewujudkan keinginan orang tua yang belum dapat mereka penuhi sendiri. Saya ingat ketika saya kecil, saya tanya mama, apa yang dia inginkan untuk hadiah ulang tahun. Mama menjawab, “Mama cuma mau kamu nurut.” (Saya waktu itu memang bandel.)

Tuhan pun berkata, “Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti perintah-perintah-Ku.” Ini yang paling Tuhan inginkan; dan bila kita mengasihi Dia, kita tentu ingin mewujudkan keinginan-Nya. Bila kita berhasil mewujudkan keinginan-Nya,
Bila kita berkata “tidak” pada pencobaan dan bertahan dalam ketaatan,
Bila kita lebih mementingkan melayani Tuhan daripada bersenang-senang,
Bila kita memilih menderita karena iman daripada berbuat dosa,

Kita akan bersukacita, karena kita telah menyenangkan Dia yang kita kasihi.

Monday, February 15, 2016

Loving the Family We Didn't Choose

by Yunie Sutanto

Our circle of Friends
Kita bisa memilih dengan siapa kita berteman. Burung sejenis biasanya berkumpul bersama. Kurang cocok dengan si Bolang, yah jaga jarak saja dengannya. Jika cocok dengan si Kemal, yah kita lebih sering merapat dengannya. Tentunya kita lebih nyaman berlama-lama gaul dengan teman yang cocok dengan kita, yang ngobrolnya nyambung, yang bisa saling mengerti satu sama lain. So, we make our friends and we make our enemies too.

Jodoh
Bicara pasangan hidup...hmm inipun pilihan pribadi kita kok...
Kita  memilih dengan siapa kita menikah. “I do” itu suatu keputusan yang kita pikirkan masak-masak. Dari sekian banyaknya lawan jenis yang kita kenal, ada satu yang menjadi teman spesial. Saat menjalin hubungan pranikah pun “sebelum janur kuning melambai” , kita masih bisa memutuskan hubungan jika merasa kurang cocok setelah saling menjajaki satu sama lain.
So, we choose our lifemate as well! Jodoh itu pilihan kita sendiri!

But...how about our family?
God makes our family. Tuhan yang memilih keluarga dimana kita dilahirkan.
Family is our first and God given circle of relations. We never choose or decide where we'll be born, nor in what kind of family we are going to be raised.
Kita tidak bisa memilih orang tua kita, yang secara biologis menurunkan kita. Struktur anatomi yang kita miliki: bentuk tubuh, warna kulit, tinggi badan, semuanya kita warisi dari orangtua kita. Kenapa kok saya dilahirkan di keluarga yang berkulit sawo matang, padahal saya pinginnya tuh kuning langsat? Kenapa kok saya diahirkan di keluarga yang bermata sipit, padahal inginnya bermata 'belok'...?
Kenapa kok saya terlahir di Indonesia, bukan di Kutub? Kenapa saya punya turunan penyakit alergi berat? Kenapa saya terlahir di keluarga yang broken home? Mengapa begini...Mengapa begitu? Aku ingin begini ..aku ingin begitu...demikian lirik lagu doraemon ya... Pantas saja banyak orang yang doyan nonton tuh doraemon...ngarep kantong ajaib nya...bisa mewujudkan keinginan kita ya? Kembali ke topik...jadi apakah kita sadari bahwa ada rencana Tuhan dalam keluarga kita ini? Bukan kebetulan Tuhan ciptakan kita terlahir di keluarga ini. Ada maksudNya yang penuh misteri.
Tapi..ayahku pecandu narkoba, ia suka menyiksaku...
Tapi..ibuku bukan wanita baik-baik, ia istri simpanan...
Tapi...aku ini anak pungut...
Begitu banyak pengalaman traumatis yang dialami sampai membekas hingga kita seringkali sulit mengasihi keluarga kita.
Tapi apa yang Firman Tuhan katakan?

Imamat 19:18
Jangan membalas dendam dan jangan menyimpan dendam terhadap sesamamu. Akan tetapi, kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Akulah TUHAN.

Ulangan 6:5
Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.

Teringat kisah Yusuf yang dijual oleh saudara-saudaranya sendiri. Saat di Mesir pun ia menjadi budak, lalu difitnah dan dipenjarakan, berbagai ketidaknyamanan dialami Yusuf. Namun saat ia diijinkan berjumpa kembali dengan mereka, Yusuf bisa mengampuni mereka. Bahkan ia bisa meyakini bahwa semua hal tidak baik yang terjadi direka-rekakan Allah untuk kebaikan. Wow! Sungguh Yusuf fokusnya Tuhan banget, tidak fokus kepada keadaan, tidak fokus pada masalahnya, atau pada dirinya sendiri. Ia tetap melekat pada Tuhan dalam keadaan di proses sekalipun. Justru proses mendewasakan imannya dan pengenalannya akan Allahnya! Ucapan yang keluar dari bibir Yusuf saat membuka jati dirinya ke saudar-saudaranya di Kejadian 45: 5 “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karen akamu menjual aku kesini , sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.”

Yusuf memaafkan dan lebih memilih mengasihi mereka, karena kasih akan Allah menutupi segala kesalahan manusia. Tidak ada kasih yang lebih besar yang bisa mengisi hati kita selain kasih dari sang Sumber kasih itu sendiri! Teori bahasa kasih berkata jika kita terlahir dan dibesarkan di keluarga yang ayah dan ibunya berfungsi dengan baik, maka niscaya tangki kasih kita akan penuh, saat kita dewasa akan menjadi pribadi yang bisa mengasihi dengan sehat. Namun kasih Allah tak terbatas teori... saat kasih  Allah mengisi hati kita yang kosong, yang penuh luka, kasih Allah tersebut sanggup memenuhi tangki kasih kita, memulihkan total hati kita! Yusuf yang sudah kehilangan Rahel ibunya sejak kecil, lalu dibuang ke Mesir jadi budak...siapa yang mengisi tangki kasihnya? Bisa dibilang tidak ada di masa-masa itu. Mungkin hanya kenangan akan figur ibu dan ayah yang samar-samar, namun kasih akan Allah mampu membuatnya bertahan dan bahkan memiliki hati yang memaafkan saudara-saudaranya!

Mari belajar dari Yusuf dan mengaplikasikannya dalam hidup kita! Jika kita masih sulit mengasihi keluarga kita sendiri, ada ganjalan atau peristiwa traumatis yang kita alami, mari ijinkan kasih Allah yang memulihkan total kita! Jika peristiwa yang kita alami berat, mungkin bisa juga kita memulihkan diri melalui konseling dengan konselor yang terpercaya!
Tidak ada hati yang terlalu keras untuk Yesus pulihkan! Kasih Allah yang begitu besar hingga merelakan AnakNya sendiri dikorbankan di kayu salib cukup , bahkan lebih dari cukup untuk saudara dan saya!