Monday, August 31, 2020

Karena hanya Satu yang baik


by Poppy Noviana

Seorang muda yang berstatus pengusaha sukses dan kaya tidak juga merasa cukup dengan semua pencapaiannya. Suatu hari dia bertemu dengan Sang Maha Guru dan bertanya, “Guru, perbuatan baik apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Sang Maha Guru: “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Karena hanya Satu yang baik.”

Dari tanya jawab ini, apakah Sang Maha Guru bertanya karena Ia tidak tahu? Atau bertanya dengan pengetahuan-Nya? Ya… segala sesuatu yang Sang Maha Guru, yaitu Yesus, tanyakan kepada manusia adalah pertanyaan yang sudah Ia ketahui jawaban-Nya. Ia bertanya justru untuk memberitahu sang penanya hikmat yang tersembunyi di balik pertanyaan. 

Menarik sekali ketika Yesus menjawab, “Hanya Satu yang baik.” Apa yang dimaksud “Satu yang baik” dalam konteks ini? Apakah itu sejenis pola pikir, suatu hal, atau suatu perbuatan? Mengapa menggunakan huruf kapital ya? Penasaran? Jawabannya ada dari ayat Alkitab itu sendiri.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.
(Yohanes 3:16)

Di ayat ini kita menemukan sesuatu yang dicari oleh si pemuda di awal pembukaan percakapan: hidup yang kekal.

Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan (yang dijelaskan pada ayat Yoh 3:16 yaitu mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal) Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2 Korintus 8:9)

Dari ayat ini, kita mengerti, karunia Allah adalah Yesus yang memiskinkan diri-Nya supaya manusia menjadi kaya oleh karena Kasih Allah itulah yang memberi hidup yang kekal kepada manusia.

Jadi apakah arti “Hanya Satu yang baik?” pada jawaban Yesus di awal artikel ini? Ya, yang Baik itu adalah Satu pribadi yaitu Yesus sendiri, yang telah datang ke dunia sebagai orang miskin dan mati untuk membuat kita menjadi kaya dan bahkan memberikan hidup yang kekal.

Perhatikan pada diskusi selanjutnya dikatakan, “Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Memang pemuda ini sudah cukup patuh dan melakukan sebagian besar perintah Allah, namun ada kata “segala” dalam konteks ini, yang maksudnya tidak terkecuali, alias tidak ada perintah yang boleh dikesampingkan. Wah… memang mungkin ada manusia yang mampu memenuhinya? Tentu tidak. Jika begitu, lalu bagaimana semestinya? Yesus mengatakan apa yang tidak mungkin menurut manusia, mungkin bagi Allah. Manusia tidak mungkin dapat memenuhi segala perintah Allah itu dengan sempurna, sehingga Allah sendirilah yang membenarkan manusia dengan pengorbanan Kristus.

Melanjutkan diskusi, anak muda itu pun bertanya kepada Yesus “Perintah yang mana?” Yesus menjawab dengan menjabarkan perintah-Nya yang menekankan pada hubungan manusia, seperti jangan mencuri, kasihilah sesamamu manusia, dan hormatilah ayahmu dan ibumu. Setelah itu, Ia menjawab: “Jikalah engkau hendak sempurna, pergilah, juallah, segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang yang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku”.

Jawaban Yesus ternyata membuat anak muda ini bersedih dan kecewa. Ternyata kesedihan itu muncul karena ia merasa berat hati untuk melakukannya, rasa aman dan status sosialnya dipertaruhkan. Benar apa kata Firman Tuhan, dimana hartamu berada disitu hatimu berada. Artinya jika hartamu lebih penting dan lebih prioritas dari pada keinginan hatimu akan Satu hal yang baik, maka seperti respon pemuda tersebut, hatinya akan terseret-seret dan kalah. Ia memilih memegang erat hartanya, karena keinginan hatinya untuk memperoleh hidup kekal tidak lebih kuat daripada mempertahankan hartanya.

Padahal, jika ia mengikuti instruksi Yesus yang sangat jelas dan praktikal itu, ia telah mendapatkan rahasia besar untuk memperluas kapasitas hatinya dan memperoleh Satu yang baik. Ia bisa mulai dari menjual, membagikan hartanya yang banyak (berganti dari mengumpulkan harta di bumi menjadi mengumpulkan harta di surga), lalu kembali (memutuskan secara sadar percaya kepada Yesus) dan mengikuti Yesus (hidup berelasi dengan Yesus).

Kisah Alkitab di atas merupakan sebuah gambaran tentang sikap hati yang Yesus kehendaki dari setiap pribadi yang mau mengikut Dia: menjadikan Yesus yang pertama dan terutama. Hal mengikut Yesus tidak selalu menyenangkan. Dia bahkan memberi peringatan bahwa siapapun yang mau mengikutinya harus mau menyangkal diri dan memikul salib. Hal ini berarti bahwa kekayaan, hal-hal apapun yang kita anggap berharga, harus mau kita lepaskan, untuk Yesus, karena memiliki Yesus adalah kekayaan yang sejati.

Mendefinisikan kekayaan sebagai jabatan di pekerjaan, status sosial, atau justru pada hal-hal yang bersifat kekal adalah sebuah pilihan hidup. Menjadi orang kaya bukanlah dosa, tapi kekayaan dapat menjadi penghalang bagi hati yang tidak waspada.

“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaanNya memberikan segala sesuatu untuk dinikmati”.
(1 Timotius 6:18)

Monday, August 24, 2020

THE LAST = THE FIRST? HOW COME!


by Benita Vida

Siapa sih, yang tidak mau jadi orang yang diutamakan, atau jadi orang nomor satu (dari depan, tentunya)? Apalagi kalau kita seorang wanita, wah… pengen banget jadi yang pertama dan diutamakan. Kan, ada istilah “ladies first”, tuh. Bahkan di beberapa tempat, ada tempat parkir dan diskon khusus bagi para wanita di hari-hari tertentu. Hayo, siapa yang pernah memanfaatkan situasi seperti itu? Hahahaa...

Semua orang ingin menjadi yang pertama dan diutamakan. Gimana nggak? Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama; sejak kita bersekolah saja sudah dikenalkan sistem ranking, begitu juga sistem di dalam dunia ini yang membuat manusia berlomba-lomba mau jadi nomor satu. Bahkan saat mengantre pun kita tidak sabar untuk segera berada di depan kasir (apalagi kalau antrean cukup mengular). Tapi pertanyaannya, salahkah jika kita ingin jadi yang terdepan? Hmmm... sebenarnya nggak, sih. Disadari atau tidak, insting kita—secara alamiah—memiliki kecendurungan untuk menginginkan hal itu. Namun keinginan ini justru menjadi sesuatu yang salah adalah ketika kita mengusahakan segala cara yang tidak benar, bahkan menyakiti orang lain.

Merasa diutamakan itu penting karena itu membuat kita menyadari bahwa orang lain menghargai kita, tetapi menjadi yang pertama dan diutamakan bukanlah segalanya.

Salah satu hal yang diajarkan oleh dunia adalah agar kita harus menjadi yang pertama. Kita dituntut harus bisa menguasai segala sesuatu. Karena itulah, kita memiliki mindset untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Kalau kita lengah dan mengalah, posisi itu bisa direbut oleh orang lain. Nah, disadari atau tidak, kita justru menjadi orang yang egois dan mudah iri hati. Kita marah jika ada orang lain yang lebih pintar dari kita, kita iri jika orang lain malah lebih berhasil dari kita. Akibatnya, keegoisan dan rasa iri hati ini membuat banyak orang menghalalkan segala cara hanya untuk bisa mendapatkan posisi yang utama. Misalnya, kita menyontek saat ujian agar mendapatkan nilai yang baik—bahkan juara pertama; kita “menginjak” dan memanfaatkan orang lain dalam perusahaan kita agar kita bisa dipromosikan. See? Dunia menyatakan bahwa menjadi yang pertama dan yang utama berarti kita menguasai segala hal, orang-orang hormat dan tunduk sama kita, juga menjadi orang yang dilayani dalam berbagai hal.

Tapi pernahkah Pearlians berpikir... Kenapa kita bisa memiliki keinginan untuk selalu menjadi yang diutamakan?

Alasannya bisa bermacam-macam. Mungkin saat masih anak-anak, kita dituntut oleh orang tua untuk memperoleh peringkat terbaik di kelas maupun perlombaan tertentu (bahkan sekolahan). Bisa saja ini dikarenakan mereka melihat potensi di dalam diri kita, sehingga “harapannya” kita mengerahkan seluruh usaha untuk mencapai hasil yang terbaik. Namun tidak jarang pola seperti ini terjadi karena orang tua kita sendiri tidak sanggup memenuhi tuntutan orang lain di masa lalu (misalkan kakek-nenek kita, atasan, dan sebagainya). Selain itu, kalau berada di posisi terdepan, kita akan merasa lebih diterima oleh orang lain; harga diri pun akan meningkat. Lebih asyik, kan, kalau kita dianggap lebih hebat daripada orang lain? Padahal kalau mau jujur, sebenarnya ada perasaan bahwa kita ingin diterima sebagaimana adanya kita (literally)—bukan hanya melulu karena pencapaian kita.

Lalu, apa kata Tuhan Yesus mengenai hal ini?

Kita bisa membacanya di Lukas 14:7-11. Di suatu hari Sabat, Yesus—yang datang ke rumah salah satu pemimpin orang Farisi untuk makan bersama—baru saja menyembuhkan seorang penderita busung air. Berhubung saat itu sedang dilangsungkan perjamuan makan, ada beberapa tamu yang berusaha menduduki tempat kehormatan di sana. Nah, berbeda dari pemikiran mereka untuk berusaha dipandang para tamu yang lain, Yesus mengajarkan hal sebaliknya.

Bagi-Nya, ketika kita merendahkan hati dan diri masing-masing, justru itulah yang akan membuat kita menjadi yang terutama. Hmm, aneh ya? Bagaimana caranya bisa jadi nomor satu tapi posisinya paling rendah? Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengajarkan kalau diundang dalam suatu acara, jangan sampai kita langsung mengambil posisi paling depan, melainkan mengambil posisi paling belakang supaya sewaktu pemilik acara melihat kita, pemilik acara tersebut yang akan memanggil kita dan membawa kita ke posisi paling depan. 

Yesus ingin agar sebagai anak-anak Allah, kita tidak menjadi sombong dan menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, Dia memberikan teladan supaya kita menjadi rendah hati dan mengutamakan orang lain—sebab yang akan meninggikan dan membawa kita ke posisi paling depan adalah si pemilik acara, yaitu Tuhan sendiri. Kalau menggunakan istilah dalam bisnis, “promosi” itu datangnya dari Tuhan dan bukan karena kehebatan atau usaha kita.

Kenapa sih, harus jadi yang terendah supaya bisa jadi yang terutama?

Kenapa yang terakhir bisa menjadi yang pertama? Ini hukum yang aneh, atuh. Bagaimana caranya?

Coba deh, kita perhatikan tokoh-tokoh dan pahlawan iman yang kisahnya diceritakan di dalam Alkitab. Sadarkah kita kalau Tuhan mengambil mereka dari posisi terendah, dan Dia sendiri yang membawa mereka ke tempat tertinggi. Contohnya adalah Daud. Dia adalah anak yang paling kecil dan hampir dilupakan sama papanya sendiri (baca 1 Samuel 16:1-13, khususnya pada bagian Samuel mengundang seluruh keluarga Isai, namun Daud malah masih menggembalakan kambing domba). Bukannya memilih kakak-kakaknya, Tuhan justru memilih Daud yang seperti itu untuk menjadi raja di Israel. Belum lagi Yusuf, salah satu anak Yakub yang termuda (sekaligus anak kesayangan).Walaupun di awal dia dibenci oleh para saudaranya, pernah menjadi budak dan mantan narapidana, tapi Yusuf malah menjadi orang kepercayaan Firaun—dimana semua orang harus tunduk dan taat dengan kata-katanya. Siapa yang sangka orang-orang dengan masa lalu yang buruk dan bisa dibilang orang “rendahan” tapi bisa sukses dan jadi orang nomor satu. Tentunya, semua ini hanya bisa terjadi karena Allah berkenan untuk memilih mereka. Well, bukankah perkenanan-Nya tidak bisa digoyahkan oleh perlawanan manusia?

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat...”
(1 Korintus 1:27)

Di sisi lain, Yesus juga ingin agar kita memahami bahwa potensi yang dimiliki tidak membuat posisi kita menjadi yang pertama di hadapan Allah. Alasannya karena Allah melihat jauh ke dalam hati kita, He sees our motivation! Itulah sebabnya kerendahan hati adalah kunci yang penting bagi kerajaan Allah. Ya, bertentangan dari apa yang dunia ajarkan, kehormatan di hadapan Allah hanya bisa didapat dengan memiliki kerendahan hati—bukan keegoisan dan iri hati. Bagi Allah, karakter dan sikap hati kitalah yang terpenting. Dia menghargai orang yang mau dibentuk dan memiliki hati yang teachable.

Mungkin ketika menerapkan prinsip kerajaan Allah ini, rasanya progress kita dalam mencapai sesuatu cenderung lebih lambat dari orang lain yang (mungkin) sampai harus saling menyikut. Bisa saja kita merasa minder karena posisi terbelakang yang kita alami. Namun bukankah berkat Tuhan tidak selalu tentang materi dan prestasi? Bukankah Dia juga menghargai proses pembentukan karakter kita? Lagipula, Tuhan tidak menjanjikan bahwa kesuksesan akan selalu bersama kita—karena bagi-Nya, penyertaan-Nya bagi kitalah yang lebih penting. Who knows, melalui kerendahan hati kita, orang lain menemukan Pribadi yang selama ini mereka cari? Who knows, mereka justru memberikan respect yang lebih kepada kita ketika melihat bagaimana kita tetap berada di track yang benar (menurut firman Tuhan) untuk memperoleh sesuatu?

Karena itu, baik saat kita sudah berada di posisi terdepan menurut manusia, “biasa saja”, bahkan di tempat yang paling dianggap remeh oleh orang lain, kiranya ayat ini menjadi pengingat kita:

Apapun juga yang kamu lakukan, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.
(Kolose 3:23-24)

Monday, August 17, 2020

Siapakah Yang Terbesar?


by Yunie Sutanto

Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?"
(Matius 18:1 / TB)

Hasrat untuk menjadi yang paling besar rasanya ada di hati setiap manusia. Ingin jadi yang terpandai, ingin jadi yang tercantik, ingin jadi yang paling hebat! Sangat manusiawi. Bahkan di Markus 9:33-37 pun tercatat jelas bahwa para murid sempat bertengkar saat membicarakan siapa yang terbesar di antara para murid.

Siapakah yang paling besar? Yuk kita main tebak-tebakan sejenak. 

Siapakah pesulap paling besar? Sepintas terlintas di benak beberapa nama: Harry Houdini, David Copperfield dan Shin Lim. Saat mencoba mencari di Google search ternyata nama-nama pesulap ini memang muncul dalam deretan pesulap terbesar sepanjang masa.

Tebakan berikutnya: Siapakah kira-kira yang layak dinobatkan sebagai wanita tercantik di dunia? Bingung deh kalo yang ini, sebab bukankah cantik itu relatif? Wah, ternyata ada juga sebuah situs penyelenggara polling yang meminta responden dari seluruh dunia untuk menobatkan siapa gerangan 100 wanita tercantik di bumi!

Hasrat untuk unggul memang sesuatu yang manusiawi. Keinginan itu disuburkan oleh perasaan ingin diakui, dikagumi, dan dipuja… yang ujung-ujungnya berkembang menjadi ingin dimuliakan.

Kembali ke nats bacaan kita tadi. Terbesar versi Alkitab memang berbeda dari versi dunia. Lantas, apa sih jawaban Yesus saat para murid-Nya – yang ternyata juga punya hasrat untuk jadi yang terbesar, bertanya pada-Nya: “Siapakah yang terbesar di Kerajaan Sorga? Siapakah dari antara para murid yang paling besar?”

Yuk simak baik-baik Matius 18:2-5 (TB):

Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."

Jawaban Yesus cukup to the point. Ia memanggil seorang anak kecil. Ia tidak memanggil orang bijak, sarjana terpelajar atau orang hebat untuk dipelajari pengalaman hidupnya. Tidak! Yesus malah memanggil seorang bocah ingusan. Jangankan menjadi terbesar di Kerajaan Sorga, masuk Sorga pun tidak bisa kalau kita tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil! Orang yang merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecillah yang terbesar di Kerajaan Sorga. 

Lantas mengapa anak kecil ya? Ada apa gerangan dengan anak kecil? Sikap hati seorang anak kecil rupanya yang menjadikan seseorang "besar" di Kerajaan Sorga.

Seperti apa sih sikap hati seorang anak kecil itu?

RENDAH HATI & TEACHABLE; Seorang anak mudah belajar apapun dari siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ia punya sikap hati yang penuh rasa ingin tahu sehingga ia mudah diajari. Ia tidak sok tahu dan merasa sudah mengerti. Anak kecil itu punya kualitas hati yang mudah diajar. Bukankah semangat pembelajar seorang murid Kristus itu seyogyanya demikian? 

MURNI HATI; Anak kecil mempunyai sikap hati yang murni hatinya. Seseorang yang punya sikap hati seperti anak kecil bisa melihat Tuhan dalam segala sesuatu. Senantiasa menyadari bahwa Tuhan hadir dalam segala fase kehidupan, bahkan dalam hal-hal kecil pun Tuhan hadir.

DEPENDANT; Orang yang mempunyai sikap hati seperti anak kecil sadar bahwa ia lemah dan ia membutuhkan otoritasnya. Ia mempunyai sikap hati yang bergantung pada Tuhan. Ia tidak mengandalkan kekuatan dirinya dan bermegah atas kemampuannya.

MUDAH MENGAMPUNI; Orang yang punya sikap hati seperti anak kecil tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia mudah melupakan kesalahan orang dan mudah mengampuni. Lihatlah anak-anak bermain gundu yang berantem, tak lama berselang mereka sudah main bareng lagi. 

Alih-alih berlomba meninggikan diri, mari belajar untuk merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini. Sebab, bagi Allah, justru orang yang demikianlah yang Ia anggap terbesar dalam Kerajaan Sorga.

Monday, August 10, 2020

Mengasihi Walau Pedih


by Poppy Noviana

Suatu pagi, adik saya berinisiatif untuk pergi mengunjungi saudara yang sudah lama sekali tidak kami kunjungi—karena ada perselisihan di antara kami. Memang kondisinya semakin diperburuk karena saya merasa berada di posisi yang lebih benar dalam perkara tersebut. Mereka menyakiti saya dan tidak peduli pada hidup saya, bahkan saat ada di titik terendahpun, mereka tidak hadir untuk menolong saya. Mereka sangat arogan dan cenderung egois. Tidak hanya itu, sampai detik ini, saya belum pernah mendengar kata maaf dari mereka. Itulah sebabnya saya lebih suka untuk tidak berhubungan lagi dengan mereka setelah perselisihan yang terjadi. Wajar dong, ya? Kalau kata netizen, itu manusiawi banget!

Pagi itu pun saya cukup kaget, karena saya tidak menyangka bahwa adik saya dan pacarnya akan berkunjung ke sana untuk silaturahmi. Saya sadar ini bukan gerakan pembalasan namun awal suatu pemulihan, sebab saudara kami ini memang baru saja kehilangan seorang anggota keluarganya. Saya tidak melarang adik saya dan justru mendukungnya, namun untuk ikut ke sana? Hm, rasanya saya masih perlu waktu untuk memulihkan diri. Yah… saya bukan memaksudkan cerita ini sebagai sesuatu yang bisa diteladani, sih. Bahkan melalui tulisan ini, saya juga sedang berjuang dalam menyelesaikan masa lalu saya—khususnya melepaskan pengampunan kepada orang-orang yang merasa lebih benar, sementara saya merasa layak untuk marah kepada mereka.

Saya tahu kalau tidak mengampuni akan merugikan diri sendiri; dan menyadari bahwa tanpa kasih, semua yang saya lakukan untuk Tuhan adalah sia-sia. Namun di sisi lain, saya tetap berdoa untuk para saudara saya dan untuk hati ini, agar saya bisa benar-benar mengampuni mereka dengan sepenuh hati dan itu terlihat dari perbuatan saya kepada mereka. Hal ini bukan perkara mudah, namun saya mau melakukannya karena ini perintah Tuhan. Toh Dia juga sudah mengampuni saya—yang sebenarnya tidak layak untuk diampuni atas dosa-dosa saya.

"Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan
apa yang Aku katakan?”
(Lukas 6:46)

Masih ingat dengan peristiwa Yudas yang mengkhianati Yesus? Saat itu, Yudas menjual Yesus sebesar 30 keping perak untuk kepentingan dirinya sendiri. Yesus tahu akan hal itu: Dia tahu bahwa Yudaslah yang akan mengkhianati-Nya, tapi Dia tetap memperlakukan Yudas dengan baik.

Lah? Kok, bisa?

Berbeda dari kita, fokus Yesus adalah pada kekekalan—bukan peristiwa yang terlihat saat itu. Bahkan pada momen klimaks pengkhianatan Yudas yang berupa ciuman (Lukas 22:47-48), emosi-Nya juga stabil. Mungkin saja hal itu terjadi karena di dalam natur kemanusiaan-Nya, Yesus juga sering berhadapan dengan Iblis dan orang fasik yang “suka” menguji kesabaranNya. Bayangkan saja, ketika orang fasik merasa dirinya lebih benar dari Yesus—padahal Dia adalah Tuhan, Sang Sumber Kebenaran!—menurut saya, Dia sangat berhak untuk marah. Duh… Walaupun demikian, Yesus tetap bisa mengendalikan diri dan—nantinya—berdoa agar Allah mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya (Lukas 23:34).

Kisah ini membuktikan bahwa dalam natur kemanusiaan-Nya, Yesus juga pernah disakiti dan dikhianati oleh orang terdekat-Nya. Yesus tidak hanya asal mengajar tentang pentingnya pengampunan melalui perkataan, namun juga memberikan teladan sempurna dalam penyaliban-Nya—sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh manusia berdosa! Mana ada orang yang bisa dengan mudahnya benar-benar mengampuni, apalagi jika dia dilukai oleh orang yang selama ini dipercayainya!?

Semakin dekat relasinya, maka semakin besar pula kesempatan kita untuk melukai orang lain. Kesadaran akan hal ini mendorong saya untuk melatih diri agar hanya mengandalkan Allah sebagai satu-satunya sumber kepuasan dan pertolongan—bukan dari manusia. Ya, sebagai Pencipta, hanya Allah yang paling memahami dan mengasihi saya. Bahkan Dia merelakan Yesus Kristus, Putra Tunggal-Nya, untuk menebus saya di kayu salib—sebuah pengorbanan yang sangat berarti bagi saya secara pribadi.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
(Matius 5: 39-45)

Ketujuh ayat di atas memang mudah untuk hanya dibaca, namun melakukannya? Duh… rasanya harga diri ini jadi tercabik-cabik, kan? Bukannya ingin kembali menjalin relasi yang telah berubah, kita justru memilih menghindar dengan alasan “masih memulihkan hati”. Hmm… healing takes time, sih. Tapi mungkin luka yang sedang “dipelihara” ini membuat kita menyadari “the unknown me” yang selama ini tidak kita kenali. Ternyata kita adalah manusia yang rapuh dan tidak berdaya untuk memulihkan luka ini sendirian, sehingga untuk mengampuni orang lain pun tidak sanggup. Meski demikian, Yesus menguatkan kita: ketika kita mengasihi dan mengampuni seseorang melebihi dari yang bisa dilakukan oleh yang bukan-orang-percaya, sebenarnya kita sedang menghadirkan citra Bapa bagi orang lain—khususnya yang telah melukai kita.

Lalu bagaimana agar kita bisa mengampuni musuh dan berdamai dengan mereka, seperti yang diperintahkan dan dilakukan Yesus?

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.
(Matius 5:46-48)

Menjadi serupa Kristus berarti memiliki prinsip hidup, cara hidup, dan pengambilan keputusan seperti Kristus. Yah, itulah panggilan hidup bagi setiap kita yang sudah mengakui Yesus sebagai Juruselamat secara pribadi. Artinya, saat kita berani memaafkan orang-orang yang selama ini membenci maupun melukai kita, sebenarnya kita juga sedang mengerjakan panggilan kita dan bertumbuh dewasa menjadi pribadi yang berkarakter seperti Kristus. Walaupun prosesnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar (bahkan bergalon-galon air mata), Roh Kudus juga menolong kita untuk memiliki kehidupan yang lebih sehat secara jiwa dan emosi.

Sebuah pengampunan hanya bisa diberikan ketika kita benar-benar mengenal identitas kita sebenarnya di hadapan Allah. Yaps, kita adalah anak-anak Allah yang diterima-Nya dengan penuh anugerah melalui penebusan Kristus, dan dibebaskan dari penghakiman yang seharusnya kita terima. Kita juga adalah umat pilihan yang sudah dipersiapkan juga untuk suatu pekerjaan baik oleh Allah, dan kita tidak bisa dipisahkan dari kasih Allah. Sebagai orang percaya, kita juga dijadikan-Nya warga kerajaan Allah! Karena itu, kita harus menerima kebenaran ini sebagai suatu yang membebaskan dan mengingatkan kita untuk tidak menempatkan diri pada posisi yang “lebih benar”, “lebih baik”, ataupun “lebih berhak marah kepada mereka yang menyakiti” kita. Ini artinya kita juga harus mengikis ego diri sendiri; toh Bapa telah mengampuni kita—bahkan ketika kita masih berdosa!

Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya. Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. Akan tetapi barangsiapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya.
(Lukas 6:47-49)

Salah satu buah dari pertobatan adalah pemberian pengampunan kepada orang lain. Jika demikian, pertanyaannya adalah… haruskah kita mengampuni semua orang—literally? Hmm… tentu kita memerlukan hikmat agar tidak salah dalam menyikapi hal ini. Walaupun rasanya pedih, kita harus mengimani dan mengamini bahwa kita tidak sendirian: ada Allah yang juga merasakan kepedihan itu! Dia juga memahami betapa sulitnya untuk tetap mengasihi orang-orang yang sudah melukai kita. Karena itu, kita perlu jujur kepada Allah tentang hal ini. Kerapuhan kita yang disebabkan oleh dosa membuat kita tidak berdaya untuk memberikan pengampunan dengan tulus kepada orang lain. Kiranya melalui keterbukaan dan penyerahan hati yang hancur ini, kita dimampukan-Nya untuk berkata, “Let my life reflect Your heart”[1], karena kita juga dipanggil untuk memancarkan hati Allah kepada orang-orang yang bahkan telah melukai kita sebagai sebuah bentuk ibadah yang sejati.


[1] Make My Life a Sacrifice, oleh Joseph Martin dan Jan McGuire

Monday, August 3, 2020

Mengapa Yesus Mau Melayani?


by Glory Ekasari

Mayoritas orang Kristen pasti pernah mendengar tentang kisah Tuhan Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Ini peristiwa yang tidak biasa, karena di mana-mana guru atau tuan itu dilayani dan dituruti—bukannya malah melakukan hal yang rendah bagi pengikutnya. Namun Yesus mendobrak norma dan menentukan standar yang baru bagi para pemimpin. Tapi mengapa Dia mau melakukannya?

Kita bisa membaca kisahnya dalam Yohanes 13:1-17, tapi secara khusus saya akan menyoroti ayat-ayat di awal kisah ini:

Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu bahwa saatnya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. Yesus tahu bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
(Yohanes 13:1, 3)

Melalui kedua ayat tersebut, kita “mengintip” isi hati Yesus tentang self-awareness yang Dia miliki. Setidaknya itulah yang akan kita pelajari dari Tuhan sekaligus Guru kita dalam artikel kali ini.

1. YESUS MENGASIHI MURID-MURID-NYA
Suatu kali ketika sedang mengobrol dengan Mama, saya menceritakan tentang seorang teman yang frustasi mengurus anaknya yang masih kecil. Saya bertanya kepada Mama, “Sampai umur berapa sih, anak menyusahkan orang tua?”, yang dijawabnya dengan sangat singkat, “Sampai tua.”

Jawaban yang tongue-in-cheek ini pasti me-rhema bagi para ibu. Hahaha… Tapi mengapa orang tua bersedia direpotkan oleh anak—bahkan kadang-kadang diperlakukan dengan tidak hormat, direndahkan, anak berontak, dan sebagainya? Mengapa orang tua juga tetap mengurus mereka, memperhatikan, membiayai, bahkan melayani anak-anak itu (sekalipun tindakannya tidak selalu diapresiasi oleh mereka)? Penyebabnya hanya ada satu: kasih.

Yesus menyadari bahwa pada perjamuan malam menjelang Paskah itu adalah momen terakhir bagi-Nya untuk mengajarkan sesuatu kepada para murid-Nya secara langsung. Mereka sudah melihat semua teladan hidup-Nya, dan pada saat itu Dia akan menunjukkan kepada mereka satu prinsip sangat penting: kasih membuat orang menjadi rendah hati dan mau melayani. Yesus mengajarkan ini dengan tindakan nyata: Dia mengambil posisi seorang hamba dan membasuh kaki mereka. Bukan karena Dia memiliki posisi yang lebih rendah, tapi justru karena Dia lebih berkuasa dari mereka. Yesus menggunakan kuasa-Nya itu bukan untuk menindas, melainkan untuk melayani.

Ketika kita mengasihi, kita bersedia merendahkan diri untuk melayani, bahkan apabila kita diperlakukan dengan tidak baik. Kita perlu introspeksi diri bila selama ini kita sering mengeluh tentang fasilitas yang tidak kita dapatkan, apresiasi yang tidak kita terima, dan kesulitan yang kita alami. Mengapa kita melayani? Apakah kita mengasihi orang-orang yang kita layani? Apakah kita mau memanfaatkan waktu yang terbatas dalam hidup kita untuk mengikuti teladan Tuhan Yesus, dan melayani orang lain?

2. YESUS TAHU BAHWA BAPA TELAH MENYERAHKAN SEGALA SESUATU KEPADA-NYA
Ketika Yesus dicobai oleh Iblis di padang gurun, Iblis berkata, “Segala kuasa (kerajaan dunia) serta kemuliaannya... telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki.” (Lukas 4:6) Ketika manusia jatuh dalam dosa, mereka memberontak terhadap Allah dan menaati Iblis, sehingga sejak saat itu Iblislah yang berkuasa di bumi dengan memakai manusia sebagai pion-pionnya untuk merusak ciptaan Allah. Tetapi Yohanes menulis bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada Yesus! Lalu kapankah perpindahan kekuasaan itu terjadi?

Di mana-mana, perebutan kekuasaan pasti dilakukan dengan cara konfrontasi. Bangsa kita merebut kekuasaan dari tangan para penjajah dengan cara berperang dan diplomasi. Kita melawan mereka yang menindas kita. Nah, banyak orang Kristen berpikir cara mengalahkan Iblis adalah dengan cara yang sama. Tetapi Yesus tidak berperang melawan Iblis dengan cara-cara seperti yang kita bayangkan. Lalu bagaimana caranya? Bagaimana Yesus mengalahkan Iblis dan mengambil alih kekuasaan dari tangannya?

Melalui penderitaan dan kematian-Nya. Melalui salib.

Logikanya demikian: Manusia pertama memberontak kepada Allah dengan ketidaktaatannya dan menyerahkan pemerintahan kepada Iblis (karena tadinya yang ditentukan untuk berkuasa di bumi adalah manusia); Yesus Kristus membalikkan keadaan dan mengambil kembali kekuasaan itu, dengan – tentu saja – ketaatan-Nya kepada Allah. Bukan ketaatan pada saat-saat tertentu saja, tapi ketaatan yang sempurna sepanjang hidup-Nya, sampai kematian-Nya. Dan sebagai upah dari ketaatan-Nya, kita melihat dalam Filipi 2:9-11:

Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya di dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Bertahun-tahun yang lalu saya melihat sebuah buku rohani yang berjudul Descending Into Greatness (tulisan Bill Hybels). Saya tidak pernah membaca bukunya, tapi judulnya melekat dalam ingatan saya. Bagi manusia, greatness (kebesaran, kemahsyuran) itu adanya di atas, dan jalan ke sana adalah ascending (naik), bukan descending (turun). Makanya kita berebut menjadi yang terbaik, paling kaya, paling sukses, paling dihormati, dst. Kita berusaha membangun “menara Babel” masing-masing agar sampai ke langit—pada kemuliaan Allah. Tapi tidak seorangpun berhasil sampai ke sana. Kita semua dihentikan oleh keterbatasan dan, pada akhirnya, kematian.

Berbeda dari yang diajarkan oleh dunia, Yesus tahu bahwa jalan untuk mencapai kemuliaan itu bukan ke atas—melainkan ke bawah. Caranya bukan dengan pemberontakan, tapi dengan ketaatan. Dari surga yang mulia, Dia turun ke bumi. Dia turun lebih rendah lagi saat Dia dibaptis oleh Yohanes dan bersolidaritas dengan semua manusia yang berdosa. Dia turun lebih rendah lagi saat Dia membasuh kaki murid-murid-Nya. Dan Dia sampai pada titik terendah ketika Dia dianiaya, ditelanjangi, dinista, dan dibunuh dengan keji di kayu salib. Yesus bersedia melakukannya karena bagi-Nya semua itu tidak sia-sia. Melalui ketaatan-Nya, Dia menyelamatkan kita, memuliakan Bapa, dan mengalahkan Iblis.

3. YESUS TAHU DARI MANA DIA BERASAL
Seandainya Yesus berasal dari dunia ini—seperti kita—maka Dia akan berjuang, melawan, dan berperang dengan raja-raja lain untuk berebut kekuasaan, seperti yang kita lihat setiap hari di berita. Sebagian besar manusia merasa bahwa mereka berasal dari dunia ini dan karenanya mereka hanya hidup satu kali, sehingga mereka harus mendapat kemuliaan sebesar mungkin selagi mereka ada di dunia.

Tapi Yesus tidak berasal dari dunia. Di dunia ini Dia hanya menjalankan tugas, dan setelah itu Dia akan kembali ke tempat-Nya di surga. Karena itu Dia tidak pusing tentang berebut kekuasaan dan sebagainya. Bukankah segala kuasa telah diberikan oleh Bapa kepada-Nya? Karena itulah Yesus bisa mengerjakan tugas-Nya dengan fokus, tanpa beban kepentingan pribadi-Nya.

Kalau kita merasa at home di dunia, kita akan melakukan apa saja untuk mempertahankan posisi kita. Kita akan bermusuhan, bertengkar, berperang dengan orang lain demi membela kepentingan kita. Tapi kalau kita menyadari bahwa kita, yang percaya kepada Tuhan Yesus, tidak lagi berasal dan berakhir di dunia ini, then we have nothing to lose. Di dunia ini kita hidup hanya menjalankan tugas untuk kemuliaan Allah, dan setelah itu kita pulang ke tempat kita yang sebenarnya, yang telah Yesus sediakan bagi kita (Yohanes 14:2-3). Melayani? Tidak masalah. Merendahkan diri? Bagi Tuhan, apa sih yang enggak. Bahkan mati? “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Yesus bersedia menerima salib, karena salib itulah yang akan menghantarkan-Nya kepada kebangkitan, dan kepada kemuliaan.

Sebagai pemusik, saya belajar bahwa pemusik yang benar-benar jago biasanya justru menyembunyikan skill dan bersedia main musik sebagai pengiring, bukan sebagai pusat perhatian. Pada waktunya, misalnya ketika mendapat bagian solo, dia akan menunjukkan kebolehannya; tapi di luar itu dia bermain wajar, bahkan minimalis. Mengapa? Bukan karena dia tidak percaya diri. Tapi karena orang yang benar-benar ahli tidak merasa perlu menunjukkan kebolehannya hanya karena ingin diakui; dia sudah tahu bahwa dia hebat. Sebaliknya, mereka yang banyak gaya biasanya tidak banyak skill dan hanya ingin menonjolkan diri.

Jika seorang pemain musik saja bisa berpikir seperti itu, apalagi Yesus Kristus, Tuhan kita! Sebagai yang berkuasa atas segalanya, Dia tidak merasa perlu menonjolkan diri atau minta diakui. Dia bersedia merendahkan diri dan melayani, karena satu motivasi yang paling mendasar: kasih. Sebagai salah satu bagian dari pengajaran-Nya, Yesus juga berkata,

“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu – Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu – maka kamupun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu jika kamu melakukannya.”
(Yohanes 13:13-17)

Kiranya teladan Tuhan Yesus ini menolong kita untuk tetap setia melayani di dalam seluruh konteks yang dipercayakan-Nya kepada kita. Soli Deo Gloria.