by Glory Ekasari
Kalau pembaca rajin baca Alkitab, pasti tahu
cerita percakapan Yesus dengan seorang perempuan Samaria (Yohanes 4:1-38). Saya
sangat suka cerita ini, dan setiap kali membacanya lagi saya selalu belajar hal
baru. Kali ini yang akan disorot adalah hubungan Yesus dengan Bapa-Nya.
Bayangkan latar belakang cerita ini. Yohanes
memberitahu kita bahwa: “Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia
duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas.”
Bagaimana keadaan Yesus? Dia kelelahan, mungkin
sekali karena berjalan jauh. Murid-murid-Nya membeli makanan, tapi saking
lelahnya, Yesus tidak ikut. Dan waktu itu jam 12 siang—matahari lagi
semangat-semangatnya bekerja. Panas-panas, badan capek luar biasa, keringat
membanjiri tubuh, enaknya ngadem di bawah pohon rindang sambil mendengarkan
radio jadul, musik keroncong, dan tidur. Saya yakin itu juga yang dipikirkan
Yesus (minus radio dan keroncong), karena Dia duduk di pinggir sumur,
beristirahat, dan begitu ada seorang ibu-ibu datang membawa timba, Yesus
langsung berkata, “Minta minum, bu.”
Tapi jawaban wanita itu mengubah arah cerita
sama sekali.
Wanita itu memandangi Yesus dari atas ke
bawah: jenggotnya, pakaiannya yang khas Yahudi, topinya, wajahnya, pokoknya
semua serba Yahudi, dan dia berkata, “Masa’ orang Yahudi minta minum kepada
orang Samaria?” (Karena dua bangsa ini bermusuhan.)
Yesus yang tadinya duduk lemas karena lelah
mendadak mengernyitkan matanya, menegakkan duduknya, semangatnya seolah kembali
ke tubuhnya, dan Dia berbicara dengan nada yang kita kenal—bukan nada orang
capek, tetapi nada Sang Juruselamat yang penuh wibawa: “Kalau kamu tahu tentang
karunia Allah dan siapa yang meminta air kepadamu, pasti kamu telah meminta,
dan Dia telah memberikan kepadamu air
hidup.”
Whoa,
that escalated quickly. Pembicaraan tentang air
tiba-tiba jadi teologis.
Saya tidak akan meneruskan membahas percakapan
mereka (nanti gagal bikin blog post dan malah jadi skripsi), tapi yang jelas
pembicaraan terus memuncak sampai akhirnya, untuk pertama kalinya sepanjang
Injil Yohanes, Yesus secara eksplisit menyatakan keilahian-Nya. Bukan kepada
orang Israel, tetapi kepada seorang perempuan Samaria yang moralitasnya
bermasalah. Wanita itu langsung sadar bahwa yang berbicara dengan dia bukan
manusia biasa, dan dalam ketakutan dan ketakjuban yang luar biasa, langsung
berlari ke kota untuk memberitahu semua orang!
Apa yang terjadi? Apa yang membuat Yesus yang
kelelahan dan kehausan menjadi begitu bersemangat, bahkan bicara panjang lebar
dan menyatakan bahwa diri-Nya adalah Mesias? Ketika murid-murid-Nya datang
membawa makanan, Yesus berkata, “Aku sudah makan.” Lho, makan apa? “Makanan
yang tidak kamu mengerti.” Menjelaskan maksud-Nya, Yesus berkata,
“Makanan-Ku ialah
melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”
Mari kita perhatikan kata-kata Yesus ini. Dia
memilih metafora makanan untuk menjelaskan sesuatu yang penting. Makanan adalah kebutuhan. Saya bukan
pecinta wisata kuliner, tapi saya harus
makan, karena saya membutuhkan
makanan itu. Baik orang seperti saya, maupun yang hobi kuliner, tidak bisa
hidup tanpa makanan. Jadi dengan metafora ini kita mengerti bahwa melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya adalah kebutuhan Yesus.
Pada umumnya orang memandang pelayanan sebagai
kegiatan. Ketika dalam kondisi prima
dan sedang mood, ayo pelayanan! Tapi waktu “keadaan tidak mengijinkan”, cuti
dulu lah. Tapi konsep yang diperkenalkan Yesus sama sekali berbeda. Dia
menyamakan “makan” dengan melakukan kehendak Bapa, dan, sebagai konsekuensinya,
“lapar” dengan dorongan untuk melakukan kehendak Bapa. Kita tidak perlu
mengorganisir acara tertentu untuk makan, atau sengaja membuat organisasi, atau
menyusun visi-misi... Kalau lapar, ya makan: di warteg, di food court, di
rumah. Demikian pula “makan”—yaitu melakukan kehendak Bapa, adalah sesuatu yang natural bagi Yesus. It’s not an unnatural activity that you have
to set up on purpose once in few years; it’s something that you normally do
several times daily.
Lalu apa itu kehendak Bapa?
Untungnya, Yesus tidak berhenti sampai di
situ. Dia melanjutkan kalimat-Nya, yang kali ini ditujukan kepada
murid-murid-Nya. Yesus tidak berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia
yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” hanya untuk pamer. Dia mengatakannya
untuk kita, supaya kita tahu bagaimana caranya mengasihi Tuhan.
“Aku berkata
kepadamu: Lihatlah sekelilingmu, dan pandanglah ladang-ladang yang sudah
menguning dan siap untuk dituai. . . Aku
mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan.”
Konteks Yohanes 4 dan kalimat Yesus kepada
murid-murid-Nya di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kehendak Bapa adalah
keselamatan bagi semua orang. Yesus tahu persis hal itu, karena itu Dia
langsung segar bugar ketika ada kesempatan untuk memberitakan Injil kepada
wanita Samaria tadi. Dan hal yang sama disampaikan Yesus kepada kita: Kitalah yang menggantikan Dia memberitakan
Injil sekarang.
Bagi banyak orang Kristen, menyampaikan berita
keselamatan kepada orang lain adalah sesuatu yang tidak natural; mereka harus
memberanikan diri dan merancang kegiatan sedemikian rupa sebelum bicara tentang
Yesus, atau malah sama sekali menghindari menyebut nama Yesus dan berpikir,
“Yang penting berbuat baik bagi sesama.” Tapi
perbuatan baik kita tidak menyelamatkan mereka; Yesuslah yang menyelamatkan mereka. Saya pun pernah mengalami
hal ini, dan setiap kali mendengar, “Pandanglah sekelilingmu,” saya dipenuhi
rasa bersalah karena tidak berani memberitakan Injil.
Lalu apa obatnya? Pembaca mungkin kenal orang
yang sangat hobi dengan sesuatu; setiap kali dia ngobrol dengan orang lain, dia
akan membicarakan apa yang menjadi hobinya itu. Hal yang sama bisa terjadi pada
kita bila kita bertemu Yesus dan mendengarkan firman-Nya setiap hari. Tuhan
berkata bahwa air kehidupan itu akan meluap
dari dalam hati kita; sehingga secara natural dan santai kita berbicara tentang
Dia dengan orang-orang yang kita jumpai. Memberitakan Injil bukan lagi beban,
karena kita berbicara tentang Dia yang
kita kasihi. Tanyalah seorang ibu muda bagaimana keadaan anak balitanya,
dia akan bercerita panjang lebar dengan mata berbinar-binar. Tanyalah seorang
pria tentang apa yang dia suka dari kekasihnya, dia akan bercerita dengan wajah
bahagia banyak hal tentang gadis itu. Tanyalah tentang Yesus kepada seorang
Kristen yang setiap hari bertemu Dia; orang itu akan berbicara panjang lebar, menceritakan
pengalamannya, membicarakan firman Tuhan dalam hidupnya. It just comes naturally, like our need to eat.
And
that’s how you love God, by telling everyone about Him. Sekali lagi, ga perlu ngoyo.
Temui Yesus setiap hari, dengarkan Dia berbicara lewat firman-Nya; semakin kita
mengasihi Dia, semakin kita terbiasa membicarakan Dia di manapun dan dengan
siapapun. Biarlah kata-kata Yesus pada akhirnya juga jadi kata-kata kita:
“Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus aku, dan menyelesaikan
pekerjaan-Nya.”