Showing posts with label Mekar Andaryani Pradipta. Show all posts
Showing posts with label Mekar Andaryani Pradipta. Show all posts

Monday, November 16, 2020

Akankah Memilih Pergi?




by Mekar A. Pradipta

Dalam pelayanan-Nya di dunia, Yesus menarik perhatian banyak orang. Beberapa menyebut diri murid Yesus, sedangkan yang lain hanya sekedar pengikut. Namun, berjalan bersama Yesus bukanlah perkara mudah. Tidak semua orang dapat bertahan hingga akhir.

Yohanes 6:60-66 mencatat murid-murid Yesus yang beralih kecewa dan meninggalkan Dia. Kalau kita dalami, kenapa mereka berhenti mengikut Yesus? 

Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?; Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
(Yohanes 6:60, 66)

Ternyata, murid-murid yang pergi ini kecewa dengan pengajaran Yesus yang menurut mereka terlalu keras. Jika membaca perikop sebelumnya, kita akan menemukan alasan mengapa sebagian murid-murid Yesus memilih meninggalkan-Nya: pengajaran tentang siapa Yesus sesungguhnya, tentang kehendak Allah, dan tentang keselamatan.

Bukankah itu pengajaran yang indah? Lalu kenapa murid-murid itu pergi? Jawabannya bisa kita temukan pada ayat-ayat sebelumnya,

Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka melihat mujizat-mujizat penyembuhan, yang diadakan-Nya terhadap orang-orang sakit.
(Yohanes 6:2)

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang.”
(Yohanes 6:26)

Orang banyak—termasuk para murid Yesus—tertarik pada-Nya karena mujizat dan berkat jasmani yang sanggup Dia sediakan. Namun ketika Allah mengalihkan fokus mereka, memerintahkan mereka agar “bekerja, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa”, untuk percaya kepada Yesus, Sang Roti Hidup dan Juru Selamat yang diutus Allah, mereka tidak sanggup mendengarnya.

Peristiwa ini mengajak kita memeriksa diri kita: mengapa kita mengikut Yesus?

Orang-orang yang mengikut Yesus hanya karena mencari berkat akan kecewa karena Yesus justru menyuruh untuk memikul salib dan menyangkal diri. Mereka yang mengikut Yesus karena kenyamanan hidup akan kecewa karena Yesus justru menyatakan bahwa murid-murid-Nya akan dibenci semua orang karena nama-Nya.

Jika semua alasan menyenangkan untuk mengikut Yesus sudah lenyap, akankah kita bertahan? Jika tak ada lagi mujizat, atau roti melimpah-limpah, akankah kita bertahan? Jika khotbah yang kita dengar di gereja tak lagi soal berkat, berkat dan berkat, tapi justru menekankan pikul salib, sangkal diri, dan ikut Yesus, akankah kita tetap bertahan?

Menurut Ibrani 15:12-14, mereka yang tidak bisa menerima makanan keras, pengajaran tentang asas-asas pokok dari penyataan Allah, adalah bayi-bayi rohani. Bayi-bayi rohani ini masih memerlukan susu, makanan yang cita rasanya sesuai kemauan mereka dan mudah dicerna. Tetapi makanan keras adalah untuk orang dewasa, kadang lauknya bisa saja tidak sesuai selera, tapi orang dewasa akan tetap memakannya karena tahu makanan itu baik untuknya.

Yesus tidak memanggil kita untuk memberi hidup yang selalu seperti yang kita mau, tapi Dia memanggil kita untuk mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya. Yesus memanggil murid-murid-Nya dengan perkataan, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Ya, Dia memanggil untuk sebuah tujuan yang mulia, meskipun dalam perjalanannya kita sering harus terseok-seok. Namun Yesus juga memerintahkan agar kita mengejar kesempurnaan seperti Bapa, bukan sekedar mengejar berkat-berkat-Nya. Semua itu hanya bisa tercapai ketika kita menyadari bahwa kita tidak akan bisa mengikuti-Nya dengan kekuatan sendiri; kita membutuhkan Yesus sebagai sumber kekuatan dalam menghidupi panggilan sebagai orang percaya. Dari Dialah, kita dimampukan untuk menuju kesempurnaan seperti ayat di bawah ini:


“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
(Matius 5:48)

Apakah saat ini ada di antara kita yang sedang kecewa kepada Tuhan hingga rasanya ingin meninggalkan Dia? Jika ada, mungkin ini saatnya kita belajar menjadi orang Kristen yang dewasa, yang dengan rela hati memakan makanan keras yaitu pengajaran yang, meskipun tidak nyaman di telinga, namun penting untuk pertumbuhan rohani kita.

Semoga kita semua, yang mengaku sebagai murid-murid Kristus, bisa menjadi seperti Petrus yang ketika Yesus bertanya,"Apakah kamu tidak mau pergi juga?" maka dia menjawab, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yohanes 6:67-68)

Monday, July 27, 2020

Berdoa dengan Keteguhan


by Mekar Andaryani Pradipta

Memasuki minggu terakhir di bulan Juli, kita masih akan belajar dari perumpamaan yang diajarkan Yesus. Kali ini adalah tentang hakim yang tidak benar, seperti yang tertulis di Lukas 18:1-8. Perumpamaan ini unik; kalau perumpamaan-perumpamaan lain punya makna yang tersirat, Lukas justru menegaskan maksud perumpamaan ini sejak awal. 

Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.
(Lukas 1:8)

Ayat tersebut senada dengan judul yang diberikan oleh Alkitab versi The Passion Translation untuk perumpamaan ini, yaitu “Jesus Gives a Parable about Prayer”.

Perumpamaan ini sebenarnya sederhana. Ada seorang hakim yang tidak mengenal Tuhan, dan ada pula seorang janda miskin yang memohon kepada hakim itu agar memberinya keadilan. Meskipun permintaannya tidak dipedulikan oleh sang hakim, si janda miskin tetap memohon siang dan malam—sampai akhirnya hakim itu berubah pikiran. Dia mengabulkan permohonan si janda miskin, agar janda itu tidak mengganggunya lagi.

Yesus menutup perumpamaan ini dengan perkataan, “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru-seru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?”

Hal pertama yang bisa kita pelajari dari perumpamaan ini adalah tentang pribadi Allah. Sama seperti pada pengajaran Yesus tentang pengabulan doa (Matius 7:7-10), Yesus membandingkan pribadi Allah dengan sosok yang bertolak belakang dari manusia yang berdosa. Allah digambarkan sebagai Hakim yang Adil dibandingkan dengan hakim yang tidak benar. Allah sebagai Bapa yang Baik, dibandingkan dengan bapa yang jahat. 

Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
(Matius 7:11)

Yesus ingin kita belajar bahwa Allah itu baik dan Dia hanya memberikan pemberian yang baik bagi kita. Tapi, jujur saja, berapa kali kita berprasangka kepada Allah ketika hidup kita tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Kita lupa bahwa “baik” di sini adalah menurut hikmat dan kedaulatan Tuhan, bukan “baik” menurut keinginan kita. Kita lupa bahwa kita hanyalah manusia yang tidak akan mampu menyelami pikiran Allah, jika Dia tidak menyatakannya kepada kita.

Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir.
(Mazmur 139:17-18a)

Ketika kita berdoa, mengenal pribadi Allah akan membuat kita punya sikap hati yang benar. Kita dimampukan untuk memiliki hati yang memahami bahwa jawaban Allah—apapun itu—adalah baik untuk kita, dan percaya bahwa Allah—sebagai Bapa yang Baik—tidak pernah merancang hal yang jahat untuk kita, anak-anak-Nya.

Hal kedua yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah kesabaran dan keteguhan hati janda miskin. Melihat kemiskinannya, janda miskin ini tidak punya sumber daya lain untuk mendapatkan haknya. Karena yang dihadapinya adalah hakim yang tidak benar, seandainya si janda punya uang pelicin, bisa saja kasusnya langsung selesai. Tapi, alih-alih berutang atau mencuri, dia memilih menjalani proses yang memang seharusnya dia jalani. Janda miskin itu tidak mengambil jalan pintas... hingga akhirnya kasusnya dapat teratasi.

Banyak orang ketika berdoa menginginkan hasil yang instan, namun lupa bahwa Tuhan bukan tukang sulap. Padahal Dia adalah Allah yang berkenan kepada proses. Meski demikian, di saat yang sama, Dia juga bukanlah Allah yang mengulur-ulur waktu sebelum memberikan pertolongan—bahkan di luar dari yang bisa kita bayangkan (Lukas 18:7b). Ya, Dia adalah Allah yang tepat waktu.

Jawaban doa yang seakan tertunda bisa menampakkan sikap hati kita sesungguhnya. Sebagai contoh, Alkitab mengisahkan tentang kegagalan Saul dalam menanti-nantikan waktu Tuhan (1 Samuel 13). Pada waktu terhimpit serangan orang Filistin, Saul berada di Gilgal. Seharusnya dia menunggu Samuel untuk bersama-sama mempersembahkan korban bakaran. Tapi kenyataannya, karena tuntutan orang banyak dan ketidaksabarannya sendiri, Saul justru melanggar hukum Allah. Bukannya menunggu Samuel, Saul sendirilah mempersembahkan korban bakaran. Karena itulah, saat Samuel datang, dia menegur Saul dan menyatakan hukuman Allah untuk Saul.

Memang tidak mudah untuk bersabar menunggu sampai pertolongan Allah datang. Rasanya membosankan ketika melakukan sesuatu yang seakan sama setiap hari dan berusaha tanpa henti, namun hasilnya tidak juga kelihatan. Lalu, apakah kita berhak untuk berhenti berharap? Kiranya perkataan Yesus ini menguatkan kita semua,

“He will not delay to answer you and give you what you ask for. He will give swift justice to those who don’t give up. So be ever praying, ever expecting, just like the widow was with the judge.”
(Luke 18:7b-8a)

Di masa yang sulit dan penuh ketidakpastian ini, mungkin ada di antara kita yang merasa seperti janda miskin. Berdoa menaikkan permohonan—bahkan berulang kali—setiap hari, tapi Tuhan seolah-olah tidak peduli. Namun setelah membaca tulisan ini, mari mengingat lagi pribadi Allah dan membangkitkan kembali iman kita. Dia adalah Allah yang baik, yang tahu waktu terbaik untuk setiap doa anak-anak-Nya. Dia tidak berlambat-lambat, melainkan selalu menjawab tepat pada waktu-Nya. Bagian kita adalah tetap berdoa dan berusaha dengan keteguhan iman dan ketekunan menunggu timing Tuhan. Be still, and know that He is God, The Emmanuel.

Monday, June 8, 2020

Perumpamaan Biji Sesawi


by Mekar Andaryani Pradipta

Setelah kita belajar tentang perumpamaan penabur di minggu lalu, kali ini kita akan membahas tentang perumpamaan biji sesawi.

“Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
(Matius 13:31-32)

Kalau perumpamaan tentang penabur menitikberatkan pada tanah tempat benih ditanam, maka fokus perumpamaan biji sesawi adalah tentang benih yang ditanam. Apa yang bisa kita pelajari dari perumpamaan biji sesawi?
1. Benih menggambarkan tentang Kerajaan Sorga
sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
(Roma 14:17)

Dalam ayat pendek ini, Paulus sebenarnya menegaskan bahwa hidup yang dikendalikan oleh daging (dilambangkan oleh makanan dan minuman) berbeda dari hidup yang dikendalikan oleh Roh (hidup yang berdasarkan pada kebenaran, ditandai oleh damai sejahtera dan sukacita). Namun bukan berarti kebenaran itu berasal dari banyak “jalan”. Hal ini diungkapkan oleh Charles H. Spurgeon, “Alkitab tidak menulis kebenaran sebagai “truths” (kata benda jamak), melainkan “truth” (kata benda tunggal), karena memang hanya ada satu kebenaran yaitu kebenaran Allah.”

Jika demikian, dari mana kita bisa mengetahui kebenaran ini?

Pada mulanya adalah Firman; 
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.
(Yohanes 1:1)

Tidak ada tempat lain dimana kita bisa belajar mengenai kebenaran Allah—selain Firman-Nya—karena Firman Tuhan itu adalah Allah sendiri.

Menurut Spurgeon, kebenaran Allah seperti mata rantai, jika kita tidak percaya pada satu hal, maka itu berarti kita tidak percaya juga pada hal yang lain. Oleh karena itu, kita tidak bisa tebang pilih dalam mengimani Firman Tuhan, karena kebenaran di dalamnya adalah satu. Namun kita harus mengingat bahwa logika kita terbatas untuk memahami Firman-Nya. Itulah sebabnya kita tidak boleh asal menafsirkan dan memasukkannya sesuai dengan pengetahuan dan konteks diri sendiri (istilah kerennya, eisegesis). Padahal sering kali, apa yang tertulis di Alkitab justru memilki makna yang lebih dalam daripada yang hanya tampak melalui tulisannya secara harfiah. Dengan demikian, kita perlu menyadari keterbatasan untuk menyelami Firman Allah dan memohon hikmat-Nya untuk benar-benar memahami dan melakukan apa yang disampaikan-Nya.

2. Kebenaran Firman Tuhan adalah benih yang berharga
Sama seperti perumpamaan tentang penabur, perumpamaan biji sesawi juga menggambarkan tentang benih—alias kebenaran Firman Tuhan—yang ditaburkan. Pada perumpamaan ini, Yesus mengajar kita bahwa kebenaran Firman Tuhan seperti biji sesawi: kecil tapi tidak seharusnya dipandang remeh atau disia-siakan. Disadari atau tidak, sesederhana apapun itu, Firman-Nya sangat berharga untuk dilupakan begitu saja.

Di sisi lain, kadang-kadang ada keraguan untuk memenuhi hati dengan Firman (misalnya dengan membaca Firman Tuhan, menghafal ayat, atau menonton penjelasan tentang Alkitab). Bukannya langsung paham, kita justru semakin bingung dan merasa tampaknya sia-sia untuk mempelajari Firman-Nya. Apalagi jika orang-orang di sekitar kita berkata, “Untuk apa? Kamu mau jadi pendeta? Jangan sok suci, lah!” Tapi Yesus menguatkan kita, karena—seperti benih—Firman Tuhan yang kita tanam saat ini punya nilai untuk masa yang akan datang. Dia menginginkan hati kita yang teachable, hati yang mau diajar dan diasah agar menjadi semakin serupa dengan Kristus—meskipun prosesnya berbeda antara satu orang dengan yang lain. Siapa tahu, pengalaman dalam melalui masa pandemi ini (misalnya) membuat iman kita berakar lebih kuat di dalam-Nya, bahkan menjadi berkat bagi orang lain.

3. Apabila sudah tumbuh…
Kuncinya adalah pertumbuhan, dan pertumbuhan membutuhkan ketekunan.

Biji sesawi yang dimaksud dalam perumpamaan ini adalah mustard seed. Walaupun sangat kecil, namun biji ini bisa tumbuh menjadi pohon—yang kemudian menghasilkan biji-biji lain dalam jumlah yang berlipat kali ganda.

Yesus juga memakai biji sesawi untuk menggambarkan tentang iman,

“Jika kamu memiliki iman sebesar biji sesawi, kamu dapat memindahkan gunung”
(Matius 17:20)

Menarik sekali, karena dalam Roma 10:17 dikatakan bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Seperti apa yang disampaikan oleh Paulus dalam ayat tersebut, Tuhan juga menghendaki benih firman yang ditabur di hati kita tumbuh menjadi iman. Namun menariknya, Dia adalah Allah yang menghargai setiap kemajuan pertumbuhan kita. Pertumbuhan iman sekecil apapun, Ia apresiasi—bahkan Ia katakan sanggup memindahkan gunung. Well, tentu ini merupakan hiperbola, tapi yang dimaksudkan Yesus adalah apa yang kelihatannya tidak mungkin, bisa saja terjadi jika Tuhan menghendakinya.

Ketika membaca tentang raksasa-raksasa iman dalam dunia Kekristenan, mungkin kita bertanya-tanya, “Apakah kita bisa seperti mereka?” Tidak jarang, kita justru merasa iman kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka sehingga kita berkata, “Ah, sepertinya tidak.” Setelah itu, kita merasa apa yang kita lakukan selama ini sia-sia. Padahal di mata Tuhan, tidak ada sekecil apapun upaya kita menumbuhkan benih sia-sia. Lagipula, serajin-rajinnya kita berinteraksi dengan Firman Tuhan, hanya Dialah yang memberikan pertumbuhan itu (1 Korintus 3:7-8). Bahkan, di perumpamaan tentang biji sesawi, Yesus belum membahas tentang multiplikasi; Dia baru berbicara tentang pohon yang membuat “burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.” Sesederhana apapun dampak yang kita hasilkan dari pertumbuhan iman kita, Tuhan memperhitungkan itu semua.

Pearlians, di dalam Tuhan, tidak ada yang sia-sia. Di sepanjang Alkitab, Tuhan sering sekali memilih apa yang dianggap kecil dan tidak berharga bagi manusia, namun dipakai untuk kemuliaannya. Sebut saja: kota Betlehem yang kecil Ia pilih sebagai tempat kelahiran Yesus, atau bekal anak kecil Ia pakai untuk membuat mujizat. Oleh karena itu, dalam hari-hari yang sedang dan akan kita jalani (dengan berbagai adaptasi yang harus dilakukan), mari kita juga belajar untuk setia dan tekun dalam kebenaran. Meskipun pertumbuhan iman yang dialami seakan tidak ada artinya, namun Tuhan menghargainya dan ingin agar kita terus memeliharanya… hingga akhirnya iman kita berdampak sesuai dengan yang Tuhan kehendaki.

Monday, March 16, 2020

Sebelum Tuhan Memanggil


by Mekar Andaryani Pradipta

Seandainya kamu tahu besok adalah hari kematianmu, apa yang akan kamu lakukan?

Coronavirus yang menyebabkan Covid-19 bermunculan di mana-mana membuat kita menyadari satu hal: Hidup kita di dunia ini tidaklah untuk selamanya. Menanggapi keterbatasan usia manusia, Petrus menulis:

“semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur.”
(1 Petrus 1:24)

Kembali pada pertanyaan di atas: Bagaimana jika besok adalah waktumu menjadi kering dan gugur (karena apapun)? Apa yang kamu lakukan malam ini?

Apa yang Yesus lakukan pada detik-detik terakhir kehidupan-Nya-dalam-rupa-manusia?

Yesus memilih bersama murid-muridnya dalam Perjamuan Terakhir, seperti yang tertulis dalam Matius 26:18, “Aku mau merayakan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku."

Dalam tiga tahun pelayanan-Nya, Yesus menggunakan sebagian besar waktu-Nya bersama banyak orang. Tapi ada waktu-waktu khusus yang benar-benar Ia investasikan bersama orang-orang terdekat-Nya: murid-murid-Nya. Mengapa investasi? Karena kepada para murid-Nyalah Yesus membuat legacy (atau warisan)—untuk kelangsungan pekerjaan Tuhan, nanti setelah kepergian-Nya.

Perjamuan terakhir adalah salah satu momen penting saat Yesus memberikan legacy-Nya. Yaps, kita juga tahu bahwa sebenarnya Yesus bisa mengajarkan kiat-kiat jitu-Nya dalam melayani (misalnya menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, melipatgandakan makanan, atau mengusir setan-setan). Namun, alih-alih mengajarkan hal-hal seperti itu (baca: tips-tips menyembuhkan penyakit dengan supranatural, atau 1001 cara mengusir setan), Yesus memilih legacy yang terutama. 


1) Ia memberikan pengertian tentang karya penebusan Allah melalui pengorbanan tubuh dan darah-Nya:

“Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku. Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu”
(Lukas 22:19-20)

Lihat bagaimana Yesus memerintahkan murid-murid-Nya meneruskan pesan yang ia wariskan. “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku," kata-Nya.


2) Yesus bicara soal melayani:

"Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan. Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.
(Lukas 22:25-27)

Sejak awal Yesus turun ke dunia, misi hidupnya jelas: melayani manusia dan menebus dosa mereka. Penebusan dosa hanya bisa dilakukan oleh Yesus, tapi melayani manusia adalah misi yang ia wariskan kepada murid-murid-Nya.

"Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."
(Matius 20:28)


3) Yesus memberikan apresiasi pada murid-muridnya:

“Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami. Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel,”
(Lukas 28-30)

Dengan segala kekurangan mereka, murid-murid setia mengikuti Yesus. Yesus tahu itu tidak mudah. Ada masa-masa mereka harus melewati badai. Di lain waktu, mereka ikut direpotkan dengan orang banyak yang mengikuti Yesus. Beberapa orang harus meninggalkan keluarga dan pekerjaannya, demi mengikuti Yesus. Yesus memahami seluruh pergumulan mereka; karena itulah Dia memastikan para murid-Nya tahu bahwa Dia melihat kesetiaan mereka. Yesus juga memastikan murid-murid-Nya menyadari bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya tidak sia-sia.

Yesus bahkan mengambil waktu untuk memberikan pesan-pesan personal kepada Petrus. Kenapa Ia memilih Petrus? Bukan karena Yesus pilih kasih; tapi karena pengakuan iman Petrus (petros (Petros – bahasa Yunani)) menjadi “batu karang” (petra (Petra)) bagi gereja-Nya (Matius 16:13). Petruslah yang Yesus pilih untuk bisa menguatkan saudara-saudaranya setelah Yesus tiada.

“Tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.”
(Lukas 22:32)

Yesus memilih malam terakhir-Nya untuk memastikan kabar keselamatan tidak berhenti, menegaskan panggilan murid-murid-Nya untuk melayani, dan mengapresiasi mereka. Lalu bagaimana denganmu? Jika kamu meninggal esok hari, legacy apa yang kamu tinggalkan malam ini? Kepada siapa kamu memercayakan legacy-mu? Beberapa dari kita mungkin sudah tahu jawabannya. Tapi masalahnya, hampir semua orang tidak punya pengetahuan sedikitpun tentang hari kematiannya. Lalu bagaimana dengan apa yang akan kita wariskan? Bagaimana dengan orang-orang yang akan kita tinggalkan?

Cara “paling sederhana” tentunya mengikuti teladan kehidupan Yesus. Ya, “paling sederhana”, karena kita tahu bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang sempurna untuk menjadi Teladan hidup kita. Oleh karena itu, mari kita memfokuskan kehidupan kita pada Tuhan dan pada orang-orang terdekat—khususnya mereka yang akan menjadi benih bunga dan rumput baru, saat kita sudah gugur dan kering. Mungkin itu pasangan, anak-anak, orang tua, atasan/karyawan, rekan-rekan di kantor/kampus/sekolah, anak-anak KTB/komsel, murid/mahasiswa… you name it. Siapa tahu, melalui perubahan hidup kita (dengan berbagai konteks yang ada), mereka dapat melihat Kristus yang berkuasa di dalam kita. Siapa tahu pula, kita adalah satu-satunya orang percaya yang mereka sebut sebagai “orang Kristen yang sesungguhnya”, karena di luar sana… mereka tidak menemukan Kristus di dalam kehidupan orang-orang yang mengaku sebagai “murid-Nya”.

Tidak ada yang tahu kapan Tuhan memanggil kita pulang, bukan? Lalu…

Jika seandainya hari ini adalah hari terakhir kita di dunia ini, kenangan seperti apa yang ingin kita wariskan kepada mereka?

Monday, December 2, 2019

Rizpa: Setia dan Teguh Mengejar Pemulihan


by Mekar Andaryani Pradipta

Dari sekian banyak wanita di Alkitab, Rizpa termasuk salah satu yang jarang sekali dibahas. Namanya hanya disebut 4 kali, yaitu di II Samuel 3 dan II Samuel 20. Siapakah sebenarnya Rizpa dan apa yang bisa kita pelajari dari dia?

Saul mempunyai gundik yang bernama Rizpa; dia anak perempuan Aya. Berkatalah Isyboset kepada Abner: "Mengapa kauhampiri gundik ayahku
(II Samuel 3:7)

II Samuel 3:7 memberi gambaran siapa itu Rizpa. Dia adalah salah satu gundik Saul, yang setidaknya memiliki dua orang anak. Karena ia gundik, statusnya dianggap lebih rendah dibandingkan istri. Namun, peran Rizpa menjadi krusial karena ia berada di tengah perebutan kekuasaan di Israel setelah Saul mati.

Karena Saul mati terbunuh di Gilboa dalam peperangan dengan orang Filistin, maka Isyiboset menjadi penerusnya. Ia didukung oleh Abner, sepupu Saul sekaligus panglima perangnya. Diduga karena takut kekuasaannya direbut oleh Abner, Isyiboset menuduh Abner menghampiri Rizpa. Pada masa itu, meniduri istri atau gundik raja sama artinya dengan merebut tahta raja tersebut.

Alkitab tidak menjelaskan apakah tuduhan Isyiboset benar, namun Abner menolak tuduhan tersebut. Perseteruan ini membuat Abner meninggalkan Isyiboset dan pergi ke pihak Daud, meskipun kemudian Abner mati di tangan Joab, tangan kanan Daud.

Isyiboset sendiri juga akhirnya mati terbunuh oleh pihak Daud.

Di tengah segala kekacauan tersebut, tidak ada catatan tentang respon Rizpa. Ada dua kemungkinan. Pertama, Rizpa merespon namun Alkitab tidak menjelaskannya. Kedua, Rizpa tidak melibatkan diri, sehingga Alkitab tidak menyebutkan apapun tentang reaksi Rizpa.

Yang kita ketahui, Rizpa bertahan hidup sampai kekuasaan Israel beralih ke tangan Daud.

Peristiwa kedua yang melibatkan Rizpa ada di II Samuel 21

Lalu raja mengambil kedua anak laki-laki Rizpa binti Aya, yang dilahirkannya bagi Saul, yakni Armoni dan Mefiboset, dan kelima anak laki-laki Merab binti Saul, yang dilahirkannya bagi Adriel bin Barzilai, orang Mehola itu, kemudian diserahkannyalah mereka ke dalam tangan orang-orang Gibeon itu. Orang-orang ini menggantung mereka di atas bukit, di hadapan TUHAN. Ketujuh orang itu tewas bersama-sama. Mereka telah dihukum mati pada awal musim menuai, pada permulaan musim menuai jelai (II Samuel 21:8-9).

Dua anak Rizpa termasuk dalam tujuh anak Saul yang dikorbankan agar Israel dapat membayar hutang darah dengan bangsa Gibeon, sehingga kelaparan di Israel yang telah berlangsung 3 tahun dapat diakhiri.

Kali ini Alkitab mencatat respon Rizpa.

Lalu Rizpa binti Aya mengambil kain karung, dan membentangkannya bagi dirinya di atas gunung batu, dari permulaan musim menuai sampai tercurah air dari langit ke atas mayat mereka; ia tidak membiarkan burung-burung di udara mendatangi mayat mereka pada siang hari, ataupun binatang-binatang di hutan pada malam hari.
(II Samuel 21:10)

Rupanya setelah menggantung tujuh anak Saul, Daud membiarkan mayat mereka begitu saja. Hal ini membuat Rizpa menunggui mayat tersebut, bukan sehari dua hari, tapi berbulan-bulan. Masa menuai jelai diperkirakan pada awal April, yang diikuti musim menuai gandum pada Juli hingga September. Setelah itu, barulah hujan turun pada bulan Oktober hingga November. Setidaknya, Rizpa menjaga mayat tujuh anak Saul selama kurang lebih 6 bulan. Siang dan malam. Bisa dibayangkan, Rizpa hamper-hampir tidak pernah tidur demi menjaga mayat-mayat itu.

Membayangkannya saja mengerikan. Bagaimana rasanya tinggal bersama mayat, tidak hanya satu, melainkan tujuh mayat?

Tapi Rizpa setia pada apa yang ia perjuangkan. Dan kesetiaannya membuahkan hasil.

Ketika diberitahukan kepada Daud apa yang diperbuat Rizpa binti Aya, gundik Saul itu, maka pergilah Daud mengambil tulang-tulang Saul dan tulang-tulang Yonatan, anaknya, dari warga-warga kota Yabesh-Gilead, yang telah mencuri tulang-tulang itu dari tanah lapang di Bet-San, tempat orang Filistin menggantung mereka, ketika orang Filistin memukul Saul kalah di Gilboa. Ia membawa dari sana tulang-tulang Saul dan tulang-tulang Yonatan, anaknya. Dikumpulkanlah juga tulang-tulang orang-orang yang digantung tadi,lalu dikuburkan bersama-sama tulang-tulang Saul dan Yonatan, anaknya, di tanah Benyamin, di Zela, di dalam kubur Kish, ayahnya. Orang melakukan segala sesuatu yang diperintahkan raja, maka sesudah itu Allah mengabulkan doa untuk negeri itu.
(II Samuel 21:11-14)

Alkitab tidak mencatat reaksi Rizpa saat anaknya digantung. Ia tidak melakukan protes kepada raja Daud. Di tengah kesedihannya, ia memahami kematian anaknya akan membawa pemulihan bagi seluruh negeri. Tapi, Alkitab mencatat perjuangan Rizpa supaya kedua anaknya mendapatkan penguburan yang layak. Respon Rizpa ini menjadi kunci pemulihan di Israel. 

Hal ini mengingatkan kita pada Serenity Prayer yang terkenal itu, 

God grant me the serenity to accept the things I cannot change;
Courage to change the things I can; And wisdom to know the difference.

Rizpa tahu ia tidak bisa mengubah keputusan Daud untuk mengorbankan anaknya. Anak-anaknya sudah mati digantung dan tidak akan pernah hidup lagi. Tapi, ia tahu, ia bisa mengubah hati Raja untuk memberi penghormatan terakhir bagi Saul dan keturunannya.

Dalam hukum Israel, mayat adalah sesuatu yang najis. Ketika mayat dibiarkan begitu saja, maka berarti kenajisan bisa menyebar, karena orang-orang yang menyentuh mayat dinyatakan najis (Bilangan 11:19). Orang-orang yang najis ini tidak diperkenankan datang kepada Allah. Selain karena mengasihi anak-anaknya, Rizpa sedang melakukan hal yang lebih besar: ia tidak ingin pengorbanan anak-anaknya sia-sia karena mayat mereka yang dibiarkan menghalangi pemulihan dari Tuhan. 

Rizpa punya cukup alasan untuk hidup dalam kepahitan. Dia dimanfaatkan dalam perebutan kekuasaan. Suami dan anak-anaknya mati terbunuh. Tapi Rizpa tidak menghabiskan hidupnya untuk membalas dendam. Rizpa justru melakukan apa yang benar: mengejar pemulihan Tuhan bagi negerinya, dengan kesetiaan dan keteguhan. Allah mengabulkan doa Israel, hanya setelah Daud menguburkan Saul dan keturunannya dengan layak – langkah yang diambil Daud setelah ia mendengar tentang tindakan Rizpa.

Monday, April 15, 2019

Hawa: Wanita yang Disalahkan


by Mekar Andaryani Pradipta

“Gara-gara Hawa, seluruh umat manusia jadi menderita.”

“Satu wanita membuat semua orang hidup dalam hukuman.”

“Andai Tuhan tidak menciptakan Hawa, bisa saja dunia ini berbeda”

Apakah kamu pernah mendengar kalimat-kalimat seperti itu tentang Hawa? Mungkin tidak persis, tapi bisa saja senada. Intinya, Hawa adalah pembuat masalah. Hawa membuka pintu terhadap dosa. Hawa adalah biang kerok dari kejatuhan umat manusia.

Bahkan sampai ribuan tahun setelahnya, kebanyakan orang masih mengingat dosa Hawa dan menyalahkan Hawa atas segala kemalangan di dunia.

Pertanyaannya, apakah Tuhan menyalahkan Hawa?


***


Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.
(Roma 5:12)

Ya, ayat ini memang menjelaskan bahwa dosa masuk ke dunia karena satu orang. Tapi kalau kita membaca perikop lengkapnya, orang yang dimaksud dalam Firman ini bukanlah Hawa—melainkan Adam. 

Seluruh dunia bisa saja menyalahkan Hawa, tapi Tuhan tidak. Hawa memang berdosa, tapi Tuhan tidak memberikan label “penyebab dosa” pada Hawa.

Wow.

Kalau kita melihat lagi kejadian sesaat setelah kejatuhan manusia di Taman Eden, orang pertama yang diminta Tuhan menjelaskan apa yang terjadi memang bukan Hawa:

Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau? Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."
(Kejadian 3:8-10)

Terjemahan Indonesia memang memakai kata “manusia” yang bisa merujuk pada Adam maupun Hawa. Tapi terjemahan Bahasa Inggris menggunakan kata “man” atau “laki-laki” yang jelas-jelas mengacu kepada Adam.

Kenapa Allah meminta penjelasan atau pertanggungjawaban dari Adam? Alasan terkuatnya adalah karena Allah telah menyatakan Adam dan Hawa sebagai satu daging (Kejadian 2:24), dengan Adam sebagai kepalanya.

Lalu, apa yang Adam katakan?

“Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."
(Kejadian 3:12)

Apakah itu benar? Hmm, benar sih… tapi kurang tepat. Mari kita kembali tepat ketika dosa pertama terjadi.

Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.
Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah tahu tentang yang baik dan yang jahat. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.
(Kejadian 3:1-6)

Alkitab menuliskan Adam ada bersama Hawa ketika Hawa digoda oleh si ular, tapi Adam tidak melakukan apa-apa—sepatah kata pun tidak diucapkannya. Adam justru membiarkan istrinya memberikan respon yang salah. Ya, Adam tahu bahwa istrinya dicobai oleh ular, namun jawabannya kepada Tuhan di Kejadian 3:12 hanya menyebutkan bahwa dia jatuh dalam dosa karena istrinya. Jangankan membela dan melindungi istrinya, Adam bahkan sama sekali tidak menyebutkan fakta bahwa semua yang terjadi itu disebabkankan karena pencobaan dari si jahat. Adam adalah orang pertama yang menyalahkan Hawa, istrinya sendiri.

Bagaimana rasanya menjadi Hawa?

Hawa memang melakukan kesalahan. Mungkin saat itu dia merasa bingung, sedih, dan takut. Sangat normal jika Hawa mengharapkan Adam, yang adalah bagian yang utuh dari dirinya, menghadapi tragedi itu bersama-sama. Tapi, suaminya itu justru meletakkan semua kesalahan di pundaknya. Bukannya mengakui kesalahannya, Adam lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai kepala yang gagal melindungi Hawa—yang (katanya) adalah tulang rusuknya.


***


Dari kehidupan Hawa ini, Alkitab justru menegaskan tentang pribadi Allah: 
1) Dia adalah Allah yang setia dan adil 
Pada saat manusia melakukan dosa, Allah tidak fokus pada hukuman; tapi Dia lebih peduli pada hubungan. Ia adalah Tuhan yang punya hati untuk memahami keadaan dan posisi kita. Bagaimanapun Ia adalah seorang Bapa yang baik, yang mau mendengarkan dan mengerti. Allah bukan Tuhan yang menyalahkan kita lalu asal memberikan hukuman; melainkan Dia memberikannya dengan adil. Baik Adam dan Hawa sama-sama melakukan dosa, namun Adam dituntut pertanggungjawaban karena sebagai suami ia adalah kepala. Adam juga dimintai pertanggungjawaban, karena sejak awal ia ada bersama dengan Hawa—sesungguhnya dia bisa mencegah Hawa meladeni Iblis sampai melanggar perintah Allah.

Mungkin saat ini, ada di antara kita yang sedang menghadapi masalah karena kesalahan yang kita lakukan. Mungkin kita jadi satu-satunya pihak yang dituntut pertanggungjawaban, padahal sebenarnya kita bukanlah satu-satunya penyebab masalah itu terjadi. Listen, God knows what happened. Dunia bisa saja mengacungkan jari ke muka kita, semua orang pergi dan membiarkan kita berjuang sendiri, tapi Tuhan tidak. He knows, He cares, He understands.

Tidak hanya adil, Allah juga setia. Jika kita lanjut membaca Kejadian 3, bahkan setelah menghukum Adam dan Hawa lalu mengusir mereka dari Taman Eden, pemeliharaan-Nya tidak berakhir.

Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.
(Kejadian 3:21)

Rasanya bagian ini sangat mengharukan. Tuhan bukan bapa yang mengatakan, “Kalian pendosa, kalian bukan anak-anak-Ku lagi!” Dengan membuatkan pakaian dan memakaikannya langsung, Allah seperti mengatakan, “Kalian memang berdosa, tapi kalian tetap anak-anak-Ku dan Aku tetap mengasihi kalian. Sekarang kalian harus menerima konsekuensi dosa, berjuanglah dan jangan melakukan dosa lagi. Aku masih menyertai kalian.” Dari situ, kita bisa belajar bahwa Tuhan yang adil jugalah Bapa yang tetap mengasihi kita.

Ia adalah Tuhan yang setia, apapun dosa dan kesalahan yang kita lakukan.

2) Alih-alih menyalahkan, Allah memberikan jalan keluar
Ketika manusia jatuh dalam dosa, rencana Tuhan seolah-olah hancur, Iblis merasa menang karena maut telah menguasai seluruh dunia. Tapi Tuhan punya jalan keluar. 

Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.
(Roma 5:12-15)

Saat kita melakukan kesalahan, kadang-kadang kita menganggap hidup kita berakhir dan masa depan kita hancur. Tapi Tuhan sanggup membalikkan keadaan. Dalam kasus Adam dan Hawa, Yesus Kristus adalah jalan keluar. Kabar gembiranya, Yesus menjadi jalan keluar yang juga Allah sediakan untuk setiap pergumulan dan dosa kita saat ini. Ia adalah kunci menuju kasih karunia dan anugerah Allah yang membenarkan hidup kita.


***


Sebagai bahan refleksi, bagaimana perasaanmu jika menjadi Hawa, yang suaminya menyalahkan dia, dan tidak mau menanggung beban bersama, bahkan ketika Tuhan sudah menyatakan bahwa mereka adalah satu daging? 

Alkitab tidak mencatat Hawa balas menyalahkan suaminya. Alkitab tidak mencatat Hawa sebagai wanita yang kecewa pada suaminya lalu meninggalkan dia. Alkitab mencatat Hawa yang tetap bersama Adam dan menjalankan perannya sebagai penolong bagi Adam.

Kesalahan Hawa tidak menghentikannya untuk memberikan tanggapan yang benar di kemudian hari. Hawa berusaha memahami apa artinya menjadi satu daging, meskipun suaminya pernah mengecewakannya. Bersama Adam, ia berjuang dari tragedi yang menimpa keluarga kecilnya. Pada akhirnya, Hawa tahu bahwa hidupnya dipulihkan semata-mata karena pertolongan Tuhan—sehingga ketika anak pertamanya lahir, Hawa bisa berkata, “"Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN." (Kejadian 4:1)

Dengan pengampunan dan karunia Tuhan, kesalahan Hawa justru membuatnya sungguh-sungguh mengalami dan mengenal-Nya.


***


Dosa apa yang saat ini sedang menjadi bebanmu? Apakah kamu merasa sudah tidak ada harapan untukmu? Apakah kamu merasa tidak ada seorangpun yang membelamu?

Mungkin…

kamu hamil di luar nikah. Kamu melakukannya dengan pacarmu, tapi orang-orang menyalahkanmu. Mereka tidak tahu pacarmu yang merayumu. Mereka tidak tahu kamu melakukan itu karena kamu mencari kasih. Mereka tidak tahu keluargamu tidak memberikan kasih yang kamu butuhkan, sehingga kamu mencarinya di tempat lain. Orang-orang tidak tahu, tapi mereka menyalahkanmu.

… atau mungkin,

kamu pernah mencoba bunuh diri. Orang-orang menghakimimu. Mereka mengatakan kamu berdosa karena menyia-nyiakan hidup dari Tuhan. Mereka mengatakan kamu nyaris masuk neraka. Mereka tidak tahu kamu melakukannya karena tekanan keluarga dan pergaulan. Mereka tidak tahu kamu sudah bertahun-tahun ada di bawah pengawasan ahli jiwa. Kamu sudah berjuang tapi kamu tetap saja disalahkan.

Bisa jadi saat ini,

kamu merasa dosamu di masa lalu terlalu besar, sehingga bahkan ketika bertahun-tahun sudah berlalu, orang-orang di sekelilingmu belum melupakannya. Kamu berjalan dengan kepala menunduk karena penghakiman. Kamu sudah mempertanggungjawabkan dosamu, tapi label “pendosa” masih saja ditempelkan kepadamu.

Bagaimanapun keadaanmu, kamu punya kabar baik.

Seperti Tuhan yang tidak menyalahkan Hawa, Dia juga tidak menyalahkanmu. Tentu ada konsekuensi yang diberikan-Nya atas dosamu, tapi Dia juga akan membalut lukamu dan memulihkan hidupmu. Saat tidak ada seorangpun yang membelamu, bahkan orang-orang terdekatmu, Yesus yang menjadi Pembelamu.

Seperti Allah yang tidak meninggalkan Hawa bahkan setelah ia berdosa, Allah juga tidak meninggalkanmu. Dia memberikan janji masa depan yang penuh harapan. Maukah kamu menjadi seperti Hawa yang bangkit kembali dengan pertolongan Tuhan?

Monday, December 24, 2018

Refleksi Natal: Berjalan Dengan Layak



by Mekar A. Pradipta

Beberapa jam lagi kita akan merayakan Natal. Untuk sebagian besar dari kita, Natal tahun ini pasti bukan yang pertama. Meskipun demikian, rutinitas peringatan Natal tidak seharusnya membuat kesiapan hati kita menyambut pesan Natal hanya setengah-setengah. Makna Natal yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun ini tetap dan lebih dari relevan untuk hidup kita saat ini.

Natal adalah tangan Bapa yang terulur, melalui kelahiran Anak Tunggal-Nya, untuk menjangkau manusia yang terhilang. Natal adalah panggilan untuk menapaki jalan yang Ia tawarkan dan menjadi pengikutnya. Yesus adalah jalan itu (Yohanes 14:6) dan Ia memanggil kita untuk mengikuti Dia menuju Allah Bapa. Panggilan Yesus kepada Matius di Matius 9:9 atau kepada Simon dan Andreas di Yohanes 4:19 adalah panggilan untuk setiap kita.

“Ikutlah aku,” kata Yesus.

Mungkin kita yang sudah bertahun-tahun menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat akan merespon seperti ini, “Tapi aku sudah mengikut Yesus. Aku orang Kristen. Aku ke gereja setiap Minggu.”

Really? Apakah itu membuatmu menjadi pengikut Kristus yang layak?

Karena Tuhan Yesus berkata begini, 

“Dan orang yang tidak mau memikul salibnya dan mengikuti Aku tidak patut menjadi pengikut-Ku.” (Matius 10:38 / BIS)

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
(Matius 16:24)

Menjadi pengikut Kristus bukan tentang berjalan di belakangnya saja, tapi berjalan seperti Dia: menyangkal diri dan mengikut salib. Dalam Alkitab versi terjemahan yang lain, “menyangkal diri” diartikan sebagai “melupakan kepentingan sendiri” (BIS) atau “mengesampingkan rencana dan keinginannya sendiri.” Banyak orang mengaku mengikut Kristus, tapi tidak mau melepas rencana-rencana dan keinginannya sendiri. Bukankah kita sering seperti ini? Mengaku berjalan mengikut Yesus, tapi sebenarnya yang kita ikuti masih mengikuti “keakuan” kita, “daging” kita dan bukan Roh Tuhan.

Mari kita jadikan Natal ini sebagai momen refleksi. Apakah kita sudah meresponi uluran tangan Tuhan dengan benar? Sudahkah kita menjadi umat yang layak? Umat yang mengikut Kristus dengan benar, ataukah kita masih berjalan di belakangnya dengan sembarangan? Jangan-jangan perjalanan kita masih mengikuti rencana dan keinginan kita sendiri: kadang belok kiri, kadang belok kanan, kadang malah mundur ke belakang. Jangan-jangan, berulang kali, kita pura-pura tidak mendengar arahan Yesus, sang Gembala, dan berkeras hati mengambil rute kita sendiri.

Tentu selama kita masih hidup di dunia, kedagingan kita tidak akan hilang dengan sempurna. Namun Tuhan ingin kita punya kesediaan untuk berproses. Dalam Firman-Nya, Yesus tidak bicara tentang hasil akhir. Ia bicara tentang proses – menyangkal diri dan memikul salib. Tuhan akan sangat mengerti jika kita beberapa kali terjatuh saat mengikut Dia. Yesus sendiri juga terjatuh saat Ia membawa salibnya menuju bukit Golgota. Sebagai manusia ia juga mengalami kelelahan dan kesakitan. Namun Yesus bangkit dan terus berjalan sampai Ia menyelesaikan tugas-Nya: menjadi domba yang dikorbankan untuk menebus dosa manusia.

Yesus sendiri juga mengalami saat ketika Dia harus memilih untuk mengikuti rencana dan keinginannya, atau taat pada kehendak Tuhan. Ia bergumul dan berdoa di Getsemani sampai meneteskan keringat darah. Yesus pun berjuang mengikuti Bapa-Nya. Ia juga mengalami proses menyangkal diri dan memikul salib. Ia sudah memberikan teladan untuk kita ikuti.

Natal penuh dengan pesan tentang menyangkal diri dan memikul salib. Dua orang penting yang menjadi alat Tuhan untuk menggenapi rencana-Nya tentang kelahiran Yesus – Maria dan Yusuf adalah orang-orang juga mengalami proses itu. Maria – ia dengan lembut hati memilih rencana Allah yang beresiko dan mengatakan, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Sementara itu, Yusuf harus membatalkan rencananya untuk membatalkan pertunangan dengan Maria dan menaati kehendak Allah untuk menikahi Maria. Mereka pasti sebelumnya sudah punya bayangan tentang masa depan yang mereka inginkan, ketika kehendak Allah tiba-tiba dinyatakan dan menuntut mereka untuk mengikutinya.

Pertanyaan lain untuk kita renungkan di Natal kali ini: dalam hal apa Allah masih ingin kita menyangkal diri dan memikul salib? Mungkin saat ini Tuhan mengingatkan kita tentang karakter tertentu, kebiasaan tertentu, atau dosa tertentu. Yes, itulah diri yang harus kita sangkal dan salib yang harus kita pikul. Mari perbaharui komitmen kita untuk memperjuangkannya, sebelum perjalanan kita dengan Yesus semakin berjarak karena ketidaktaatan.

Lalu bagaimana kalau kita merasa jarak kita dengan Yesus sudah terlalu jauh? Remember, He is never too far. He is still and is always closed to us, but sometimes our flesh and our sins make us incapable to clearly see His signs or hear His calls. Kita harus membuat keputusan untuk berbalik meninggalkan jalan yang salah dan kembali ke rute Tuhan, seperti anak bungsu yang memutuskan pulang ke bapanya. Hal apapun yang pernah anak bungsu itu lakukan, bapanya menerima dia dengan sukacita.

Yesus tidak memanggil kita untuk mengikuti Dia dengan asal-asalan. Mengikuti Yesus bukan hanya tentang berjalan di belakang-Nya, tapi juga menjadi seperti Dia. Jika Yesus penuh kasih, maka kita ikut penuh kasih. Jika Yesus panjang sabar, maka kita ikut panjang sabar. Jika Yesus mau mengampuni, maka kita ikut mengampuni. Begitu seterusnya, dalam segala hal kita mengikuti Yesus – pengajaran dan teladan-Nya. 

Semoga Natal kali ini membawa kesegaran baru dalam perjalanan kita dengan Yesus, membawa kita terus mendekat kepada-Nya dan serupa dengan Dia, menjadikan kita pengikut-Nya yang layak.

“dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya, dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang yang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”
(Lukas 1:17)


***

Selamat Natal. Tuhan Yesus memberkati.

Wednesday, December 19, 2018

Firman yang Memberi Jawaban (Part 1)


by Mekar Andaryani Pradipta

Kita pasti udah sering banget denger soal prinsip "Tanya Tuhan" sebelum kita mengambil keputusan buat melakukan sesuatu. I'm so grateful soalnya Mba Tatik, kakak rohaniku yang pertama dulu melatihku buat selalu tanya Tuhan dan dengar-dengaran akan suaraNya. Ngga peduli hal besar hal kecil, pokoknya tanya Tuhan dulu. Misalnya, kakak rohaniku ini ngga akan beli barang sebelum dia doakan dulu. It means kalo dia lagi jalan-jalan trus tiba-tiba nemu sale, trus eeehhh ada baju lucuuu, ga peduli seberapa pengennya dia, ato ga peduli dia lagi banyak duit, dia ga akan beli tuh baju sebelum dia doakan dulu. Even buat hal potong rambut pun, dia ga akan lakukan sebelum dia doakan. Dia belajar buat ngga impulsif dengan keinginannya, tapi take time buat selalu tanya Tuhan, at least buat laporan dulu ke Tuhan soal apa yang dia inginkan ^^

Kalo aku sendiri sih masih belum segitunya, hehe, kadang kalo liat bazaar buku masih suka kalap. Even kalo lagi ga punya duit pun, gimana caranya lah :p *Jangan ditiru ya teman-teman, saya masih belajar dan jatuh bangun di bagian ini.* :p Kakak rohaniku itu juga selalu encourage aku buat cari jawaban lewat Firman Tuhan. Emang sih, Tuhan bisa ngomong lewat segala macam cara, tapi Mba Tatik selalu bilang kalo Firman harus selalu dijadikan yang no. 1 bahkan di atas hal-hal yang paling supra natural sekalipun. Dalam segala hal, you have to get back to the Word. Bingung soal ini, lihat apa kata Firman. Bingung soal itu, lihat apa kata Firman. Si ini bilang A tapi si itu bilang B, ya tinggal lihat apa kata Firman. Trus kalo dapet mimpi atau nubuatan soal ABC, uji dengan Firman. Pokoknya kalo butuh pemahaman atau penjelasan tentang sesuatu, ask God to give us His Word.

Waktu baca bukunya Joyce Meyer yang How to Hear From God, aku diingatkan lagi soal hal ini. Cuman mungkin ada yang bingung ya... Alkitab itu kan kaya kumpulan cerita jaman dulu, apa iya bisa jawab pertanyaan jaman sekarang, misalnya, "Tuhan, abis lulus kuliah aku enaknya kerja di Jakarta atau tetap di Bandung ya? *colek Echa*, atau "Tuhan, ini lowongan CPNS banyak banget, aku masuk Kemlu atau Kemkeu ya?", or even pertanyaan kaya, "Haruskah aku keluar dari pelayanan multimedia supaya bisa fokus ke pelayanan anak?" Nah loh, kan ngga ada tuh di Alkitab dibilang, "Barang siapa harus memilih antara Kemlu atau Kemkeu, lebih baik pilih Kemlu" :p atau ngga juga tuh di Alkitab ditulis, "Barang siapa sudah masuk pelayanan multimedia tidak boleh dobel dengan pelayanan lain." Huaaaaaa, kan kagak ada tuh, wkwkwk. So, gimana caranya Firman bisa menjawab pertanyaan kita? :D

That's the wonder of the Word of God. Dia adalah Allah yang hidup yang juga memberikan Firman yang hidup. Alkitab memang adalah Logos (Firman yang tertulis) tapi kuasa Allah membuat Firman menjadi sebuah Rhema (Firman yang Hidup). KuasaNya memberikan sebuah divine inspiration yang memposisikan Firman itu menjadi jawaban atas pertanyaan kita. Joyce Meyer menggambarkannya seperti ini, "Sometimes a Scripture will seem illuminated or made alive in a particular way, and that is when the portion of the logos becomes a specific rhema to us. The answer are found in God's Word and are revealed to us by His Spirit" 

Memang pada akhirnya rhema ini sifatnya sangat personal. Bisa saja muncul pertanyaan, kok kamu bisa bilang ayat A adalah peneguhan kami harus tetep tinggal di Kota X? Atau kok kamu bisa bilang ayat ini peneguhan kami harus ambil beasiswa ke New Zealand? Well, balik lagi ke post sebelumnya The Peace Deep Inside, somehow you just know in your spirit and you have peace about it. Kalo ada yang pernah baca bukunya Maqdelene Kawotjo yang judulnya berhasil karena iman, dia memutuskan untuk ambil beasiswa ke Amerika karena Tuhan bicara kepadanya lewat perikop bangsa Israel menyerang kota Ai. Aneh kan, apa hubungannya Ai sama Amerika coba? Emang kalo bangsa Israel menyerang kota Ai, itu berarti Ms. Maqdalene harus 'menyerang' Amerika? Apa itu ngga terlalu dihubung-hubungin banget? Yaaah, sekali lagi itu sifatnya personal, somehow through that verses Ms. Maqdalene just sensed in her spirit, kalo Tuhan lagi nerangin bahwa Amerika itu adalah Ai bagi dia, jadi ya berangkat aja sekolah ke sama. Other people might not understand dan itu wajar karena revelation semacam itu sifatnya personal. Tuhan ngomong secara pribadi ke kita, bukan ke orang lain.

Kalo buat aku, jawaban Tuhan lewat Firman macam ini justru adalah hal yang dapat kita andalkan. Dalam kemanusiaan kita, memang tetap terbuka kemungkinan untuk salah mengartikan kehendak Tuhan lewat firmanNya. Salah satu cara buat menguji adalah di cross check dengan bagian Firman Tuhan yang lain, dan tentu saja test damai sejahtera. Misalnya: kamu sedang tanya Tuhan, haruskah kamu putus dengan orang tidak percaya ini karena orang tua tidak merestui? Padahal kamu udah berjuang bertahun-tahun buat mendapatkan restu, termasuk menginjili pacarmu. Well, you might get the verse about the victory God promise to give, somehow you feel that this verse is God's promise to give you victory, means marriage with that unbeliever. Nah loh, kalo ngga diuji dengan ayat lain, bisa salah kaprah tuh, soalnya di ayat lain dibilang janganlah menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang tidak percaya dan of course, hormatilah ayahmu dan ibumu. Sudah jelas, walopun kita merasa firman soal kemenangan itu adalah jawaban, karena hal itu berkontradiksi dengan firman Tuhan yang lain, sudah pasti itu bukan dari Tuhan. It's just our feeling anyway.

Terus gimana dong kalo ada kemungkinan salah gitu? Hehe, ya jangan jadi takut melangkah juga sih. Seperti halnya hubungan, semakin intim kita dengan Tuhan, roh kita akan semakin peka sama suara-Nya. Yang penting, kalo kita merasa Tuhan bicara secara spesifik dengan kita lewat Fimannya, as long as itu ngga bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan yang lain, imani dan taat aja. Awalnya memang seperti trial and error, tapi lama-lama kita akan tahu apakah ini benar suara Tuhan atau tidak. Kalaupun memang kita salah, Tuhan pasti akan kasih tahu kalo kita sedang berjalan ke arah yang tidak sesuai dengan rencana-Nya.

Mari kira pegang janji Tuhan di Mazmur 32:8, "Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kau tempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu." Tuhan itu seneng banget loh kalo kita tanya Dia dalam segala sesuatu, sebelum ambil keputusan. Soalnya itu berarti kita sedang meletakkan kehendak kita di bawah kehendak-Nya, kita ngga hidup suka-suka kita sendiri tapi hidup di bawah pimpinan Allah. And definitely God is more than willing to lead us :)

Kayanya udah kepanjangan ini post yak, hehe. Padahal aku masih mau cerita soal keputusan-keputusan yang aku buat based on the rhema I got. Soal kuliah, soal kerjaan, soal banyak hal. Mungkin ntar additional reading kali yak, wkwkw. Anyway, cuma mau ngomong gini, guys, ngga ada yang namanya short cut buat dapet keintiman sama Tuhan. Keintiman sama Tuhan ngga akan bisa di dapat kalo kita ngga hidup di dalam firman-Nya. Hidup di dalam Firman ini extremely important pake banget, cos disitulah ada semua isi hati Tuhan yang harus kita tahu. Jadi kalau ada yang masih males-malesan baca Firman, hayooooo, mari bangun disiplin rohani buat saat teduh, bible reading, dan hafal ayat. Mungkin awalnya emang susah, tapi yang penting tekun dan setia, sampai akhirnya hal itu jadi kebiasaan dan kita ngga bisa hidup tanpa semua hal itu :) Even sampai sekarang, sometimes aku juga masih jatuh bangun soal ini, bergumul sama hobi tidur dan bangun siang yang parah, bergumul sama kebiasaan suka menunda baca jatah bacaan hari ini, bergumul juga dengan rasa sok "udah pernah baca" :p Tapi yang namanya Firman Tuhan itu wow! Sekali kamu ngalamin kuasa FirmanNya, you'll be eager to get more and more and more of it.

Sippo! Sampai disini dulu... Buat proyek (kalo ada yang mau sih :p), coba baca Mazmur 119 dan temukanlah the wonder of the Word of God. Misal Firman Tuhan itu berguna buat a b c d e, ato melalui Firman kita bisa melakukan a b c d e. Huehehe... Kalo ada yang mau sharing, I'm all ears to hear :)

***

Read Part 2

Monday, July 30, 2018

Menikmati Masa Lajang


by Mekar Andaryani Pradipta

Psstt... Tahukah kamu kalau dari artikel-artikel Pearl yang paling banyak dibaca kebanyakan bertema relationship dan singleness. Pokoknya kalau tentang cinta-cinta, Pearlians semangat banget baca dan nge-share artikelnya. Nah, sebentar lagi Pearl akan ngadain sesi khusus Q&A tentang singleness di Instagram. Lewat Q&A ini, Pearlians boleh tanya-tanya, bagi pengalaman atau bahkan curhat. 

Tapi sebelumnya, yuk kita belajar dulu tentang bagaimana menikmati masa lajang. Because we know, berdamai dengan masa lajang itu ngga gampang, apalagi kalau seakan-akan kita jadi satu-satunya lajang di tengah teman-teman yang sudah berpasangan. Sampai kapan, Tuhan? Siapa sebenarnya jodohku? Mungkin itu yang ada di pertanyaan kita saat ini.

Tuhan memang kadang bekerja dengan cara yang misterius. Ingat kan bagaimana dia dulu memanggil Abraham, Musa, Yusuf, atau Daud. Kepada mereka, rencana-Nya tidak disingkapkan sekaligus. Begitu pula dengan hidup kita. Ada masa-masa kita bingung tentang rencana Tuhan, lalu gelisah karena Tuhan seakan-akan menempatkan kita di dalam ketidakpastian. Tapi, hey, seperti orang-orang kesayangan Allah di Alkitab, kita punya janji Tuhan yang ya dan amin. Berjalan di dalam janji Tuhan berarti berjalan di dalam kepastian. Bukankah Dia adalah Allah yang setia?

Jadi, kalau Tuhan berjanji bahwa rancangannya adalah rancangan damai sejahtera, maka itulah yang akan Dia lakukan. Tugas kita adalah menanti rancangannya dibukakan dengan sikap hati dan respon yang benar. Apa saja?

1. Menerima rencana Allah: meletakkan keinginan kita atas pernikahan di bawah kehendak Tuhan, apapun itu. 
Mari kita uji dengan pertanyaan ini:

Apakah aku bisa menerima jika ternyata Allah menghendaki aku tetap melajang? Aku tahu kalau rancangan Allah adalah rancangan damai sejahtera, lalu jika pernikahan tidak termasuk dalam rencana Allah untuk hidupku, bagaimana responku?

Pertanyaan ini sepertinya sederhana, tapi jawaban yang kita berikan menunjukkan sikap hati yang berserah dan menerima rencana Allah, atau justru masih memegang kehendak kita sendiri.

Ketika Yesus berada di taman Getsemani pada malam sebelum Ia disalibkan, Ia begitu ketakutan dan gelisah. Tapi pada akhirnya dia bisa berjalan menuju Bukit Golgota dengan ketenangan dan ketabahan luar biasa. Mengapa? Karena pada akhirnya Yesus bisa menerima rencana Allah dan melepaskan kehendak-Nya sendiri. Kalau kita bisa memberikan respon yang sama seperti Yesus, maka kegelisahan kita menjalani masa lajang bisa tergantikan dengan ketenangan dan sukacita.

Jawaban kita atas pertanyaan tadi juga mencerminkan bagaimana kita memposisikan pernikahan. Jangan-jangan kita menginginkan pernikahan lebih dari kita menginginkan Allah dan rencana-Nya.

Di Mazmur 73:25, Daud berkata, “Selain Engkau tidak ada yang kuingini di Bumi.” Baginya Tuhan adalah yang utama, sepanjang Ia punya Tuhan maka Ia tidak kekurangan apapun, bahkan ketika Ia harus hidup dalam penantian atau ketika doanya tidak dikabulkan sekalipun.

Keinginan yang berlebihan terhadap pernikahan cenderung membuat hati kita merasa tidak puas dengan masa lajang kita. Kita merasa tidak utuh dan lengkap. Kita akan dikuasai ketakutan hidup melajang selamanya. Kita juga jadi tidak sabar karena pernikahan menjadi fokus hidup kita.

Percaya atau tidak, salah satu tanda kita siap menikah adalah ketika kita bisa mengatakan bahwa, “Rancangan Tuhan adalah baik. Baik menikah maupun melajang adalah baik jika sesuai dengan rancangan Tuhan. Aku memang menginginkan pernikahan, tapi jika Tuhan menghendaki aku melajang, maka aku akan berkata, “Bukan kehendakku, tetapi kehendak-Mu yang jadi.”

2. Puas dengan Allah: Utuh dan Penuh di dalam Yesus 
Ketika kita sudah bisa menerima apapun rancangan Tuhan untuk masa depan kita, kita perlu juga belajar puas dengan Allah. Seperti Daud yang mengatakan, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”

Media sering mengatakan bahwa orang yang belum menikah berarti belum utuh. Mungkin kita malas datang ke pertemuan keluarga karena harus mendengar orang-orang yang mengatakan hidup kita tidak lengkap tanpa seorang suami.

Semua itu salah. Alkitab menjelaskan ini dengan sangat gamblang di Kolose 2:9-10 (Amplified Bible):

For He is the complete fullness of deity living in human form.
And our own completeness is now found in him.
(Col 2:9-10 / AMP)

Hidup kita lengkap hanya karena Yesus, bukan karena hal lain. As long as you have Jesus, your life is complete. Seperti Daud, hidupmu takkan kekurangan apapun. Repeat: apapun, termasuk cinta. Jesus’ love is more than enough to satisfy us. 

3. Menemukan Tujuan dalam Masa Lajang
Menjadi lajang bukan aib. Kalau Tuhan masih menghendaki kita menjalani fase ini, maka hal itu berarti Tuhan punya tujuan baik. Tugas kitalah untuk menemukan tujuan itu. Kadang ada yang merasa dirinya sudah sangat siap untuk pernikahan – usia sudah matang, karakter sudah dewasa, finansial sudah cukup – tapi Tuhan belum juga memberikan jodoh. Lalu mengapa?

Dalam bukunya A Purpose Driven Life, Rick Warren mengatakan bahwa orang yang paling mengetahui tujuan diciptakannya sesuatu adalah penciptanya. Nah, sama dengan masa lajang, Tuhanlah yang paling tahu tujuan dari masa lajang kita, karena Ia yang mengatur musim hidup kita.

Tanpa tujuan, seseorang tidak akan bisa menikmati perjalanannya. Bahkan orang yang melakukan perjalanan tanpa rencana pun sebenarnya memiliki tujuan: menemukan tempat-tempat menarik di perjalanan, atau bertemu dengan orang-orang lokal secara kebetulan. Sekedar menjalani masa lajang akan membuat kita tidak fokus dan menginvestasikan banyak energi pada hal-hal negatif seperti perasaan kesepian, mengasihani diri atau iri dengan orang lain yang sudah berpasangan.

Alkitab sebenarnya sudah memberikan kita gambaran mengenai tujuan masa lajang yaitu agar kita hidup tanpa kekuatiran, fokus pada perkara-perkara surgawi dan mencari perkenanan Tuhan (I Korintus 7:32). Tapi setiap kita sebaiknya mendapatkan arahan spesifik atau rhema pribadi dari Tuhan sendiri mengenai perkara surgawi apa atau perkenan Tuhan dalam hal apa yang dikhususkan untuk hidup kita.

Seorang teman saya yang baru-baru ini menikah, mendapatkan rhema dari Yeremia 29:5 yang mengatakan, “Dirikanlah rumah untuk kamu diami, buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya, ambillah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan”. Melalui ayat ini, Tuhan menuntunnya untuk mengembangkan usahanya, mempersiapkan rumah dan isinya, baru kemudian menikah. Sebuah tuntunan yang tampak sederhana namun memberikan pelajaran mengenai prioritas hidup yang benar bagi teman saya. Ketika saat ini dia sudah menikah, teman saya tidak perlu direpotkan dengan masalah keuangan, malah keluarganya bisa lebih maksimal untuk memberkati orang lain.

Untuk saya pribadi, masa lajang adalah sebuah “extra time” dari Tuhan. Saya melewatkan masa lajang saya dengan kegelisahan tentang pernikahan, sampai akhirnya saya menang di bagian ini. Masa lajang saya saat itu bertujuan untuk membentuk hati dan karakter saya. Saat ini, saya masih lajang, namun tahapnya sudah berbeda. Tuhan memberikan masa lajang ini sebagai kesempatan yang benar-benar saya nikmati untuk menciptakan pencapaian-pencapaian yang memberkati diri saya sendiri dan orang lain. 

Apa tujuan Tuhan dengan masa lajangmu saat ini? Bertanyalah kepada Dia yang punya rencana atas masa lajangmu.

Melakukan tiga poin di atas akan menolong kita untuk menikmati masa lajang dengan sukacita dan ketenangan. Menunggu tidak lagi menyiksa karena kita tahu di depan sana Tuhan punya rencana indah, meskipun ada kemungkinan rencana-Nya tidak seperti yang kita harapkan. Ketiga poin di atas adalah prinsip-prinsip hidup yang penerapannya harus kita buat sendiri sesuai konteks hidup kita. Misalnya untuk poin 2, bisa saja penerapannya adalah tidak lagi mencari perhatian dari cowok-cowok dengan mengirimkan pesan singkat sehari lima puluh kali. Atau untuk poin 3, bisa saja penerapannya mulai belajar IELTS untuk persiapan seleksi beasiswa sekolah ke luar negeri.

Kesimpulannya adalah: Don't waste your singleness merely waiting anxiously. Jangan lewatkan masa lajangmu hanya dengan menunggu. Nikmatilah dengan melakukan sesuatu, untuk Tuhan, untuk diri sendiri, untuk orang-orang di sekitar kita, juga untuk pasangan hidup kita di masa depan – jika memang Tuhan menginginkan kita masuk ke pernikahan. Mulailah dengan belajar menerima rencana Tuhan dan menjadi puas hanya karena Allah, lalu dapatkan tuntunan Tuhan tentang apa yang harus kita kerjakan dengan masa lajang kita.

Monday, June 25, 2018

Lebih Berharga dari Permata


by Mekar Andaryani Pradipta

Beberapa tahun yang lalu, saya menemukan buku lama karangan Jo Lynne Pool berjudul A Good Man is Hard to Find (Unless You Ask God to Be Head of Your Search Committee). Buku ini membahas tentang penantian mendapatkan pasangan hidup. Nah! Jujur aja, tema ini pasti menarik banget buat para single yang kadang merasa penantiannya tiada berujung.

Penantian dalam buku ini dibahas lewat Amsal 31:10. 

Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata.
Who can find a virtuous woman? For her price is far above rubies.

Ayat ini memang ngga membahas tentang penantian, tapi tentang “find” atau “menemukan”. Di buku A Good Man itu, Mrs. Pool menulis sesuatu yang menarik...

"Pay attention to the word 'find' in Proverbs, chapter 18 and 31. It is there for a reason, it is up to the man to do the finding, the discovering. It is not for you to go out and hunt down your own guy. The world will tell you there are millions of hungry women out there looking for one good man and that you must join the fray. Get out there, find one, fight for him. You've heard the whole routine. But the Bible says that 'he' shall find you..."

Ilustrasinya begini, sebutir permata tidak akan meloncat keluar dari dalam tanah, mengetuk-ngetuk jari-jari kaki para penambang untuk menarik perhatian. Mereka menunggu dengan tenang sampai ditemukan.

Anyway, ternyata di Amsal 18:22 juga ada lho.

[He who] finds a wife finds a good [thing], And obtains favor from the LORD.

Dalam konteks seorang pria mendapatkan pasangan, selalu dipakai kata 'find'. Menurut kamus Oxford, kata 'find' itu berarti: 1. discover or perceive by chance or unexpectedly ; 2. reach or arrive at by a natural or normal process. Membaca definisi ini, saya menangkap kesan adanya faktor yang out of our control and power, seperti ada ketidaksengajaan, sesuatu di luar perkiraan, sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa campur tangan kita.

Kita pasti pernah membaca kalimat ini di undangan-undangan pernikahan.

Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya. 
Indah, saat Ia mempertemukan, indah saat Ia menumbuhkan kasih, 
dan indah saat Ia mempersatukan dalam pernikahan kudus.

Tiga kalimat di atas bisa dirangkum dalam satu kalimat: an enchanting love story is one which arranged by God.

Dunia boleh bilang, hai, cewek-cewek, go out, arrange something, chase some men in that crowd and find a husband. Pergilah ke gereja dan duduk paling depan supaya pemain musik itu menyadari kehadiranmu. Gabunglah ke komsel, siapa tahu disana ada pria baik cinta Tuhan yang cukup potensial :") Mari bersikap ramah kepada pria-pria itu, buatkan mereka makanan, kirimi mereka ayat-ayat Alkitab, kasih senyum semanis lollipop, siapa tahu ada yang terjerat.

Sounds familiar?

Kalau kita termasuk wanita-wanita yang melakukan hal itu, mari cek lagi hati kita, perhatikan lagi motivasi kita. Memang, hanging out, join with the new community, atau apapun dengan label "bergaul" itu tidak salah, tapi saat kita melakukannya hanya untuk mendapatkan suami... Apakah Tuhan tidak mampu membawa seorang pria menemukan kita, sampai kita heboh menjemput pria-pria itu? Sebegitu kuatirkah kita sampai harus berjuang memanipulasi keadaan?

Berikut kutipan dari buku A Good Man tentang bagaimana seharusnya tindakan kita agar 'ditemukan':

Kehendak Allah akan digenapi dalam hidup anda, kalau anda adalah miliknya dan mau menjalani hidup anda sesuai dengan firmanNya.
... 
Majulah dan mintalah apa yang menjadi kerinduan hati anda, kemudian tenanglah dalam keyakinan bahwa Ia melakukannya, tenang dan tinggallah dalam Tuhan. Ingatlah bahwa 'tindakan' harus dilakukan oleh Tuhan. 
... 
Mintalah kepada Allah apa yang sesungguhnya anda inginkan, hanya apabila anda sudah benar-benar siap untuk menerimanya, Sediakan waktu yang sungguh-sungguh memeriksa hati anda sendiri. Bersekutulah dengan sungguh-sungguh. Bersekutulah dengan Yesus bukan dalam 'doa-doa minta jodoh', tetapi meminta tuntunan dan pengarahannya. Katakan kepadaNya bahwa keinginan hati Anda yang terdalam adalah untuk menerima suami yang disediakan-Nya bagi anda dan yakini bahwa itu adalah benar. 

Kesimpulannya seperti ini:

Yang harus kita lakukan adalah membangun hubungan dengan Allah, melakukan apa yang Dia ingin kita lakukan, menjadi maksimal dengan masa single kita dan mempersiapkan diri kita untuk suami kita di masa depan. 

Be still and know that He is God. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia Allah. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia sanggup. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia setia. Tenang dan ketahuilah bahwa Dia punya rencana. Tenang dan ketahuilah bahwa waktu-Nya tepat. Tenang dan ketahuilah bahwa tindakan-Nya benar. Tenang dan biarkan Dia bekerja...

Tuhan adalah arranger utama dari percintaan kita, setiap tindakan berasal dari Dia. Kalaupun ada intervensi lain, itu bukan pada objek yang ditemukan, tapi pada subjek yang menemukan, merekalah yang melakukan usaha yang dibutuhkan untuk menemukan objek itu. Tapi tentu saja usaha itu tetap ada di bawah arahan Tuhan, sebagai sutradara dan produser utama. Ini berarti, kalau wanita adalah rubi atau mutiara, maka usaha untuk menemukan rubi atau mutiara itu adalah bagian para pria...

Let’s just remember our identity: far above rubies. Kalo untuk sebutir rubi, para penambang harus menggali dan masuk ke dalam tanah sampe beribu-ribu meter, pria yang ingin mendapatkan kita seharusnya juga tidak malas berusaha. They have to find our heart in the palms of God’s hand and ask for it from God self. 

Perjuangan para pria itu tidak selalu berarti tentang menghadapi penolakan kita. Bisa saja perjuangan itu tidak kelihatan yaitu pergumulan dengan Tuhan secara pribadi, saat mereka mendoakan kita. Tuhan yang akan menguji mereka sampai mereka bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar mengasihi kita, sampai mereka cukup berani untuk mengambil inisiatif, cukup kuat untuk berjuang, cukup lembut untuk memperhatikan, cukup rendah hati untuk berkorban, cukup sabar untuk menunggu, seperti Kristus mencintai dan mengasihi kita. Seram ya? Diuji dengan Kristus sebagai standar? Yup, because that is exactly what they are supposed to do.

Husbands, go all out in your love for your wives, exactly as Christ died for the church--a love marked by giving, not getting.
Ephesians 5:25 (The Message) 

Saat mereka jadi suami kita nanti, mereka memang dituntut bisa mengasihi kita dengan cinta yang all out seperti cinta Kristus kepada jemaat. Itulah kenapa Tuhan menetapkan kita hard to find (Amsal 31:10 – the Message), supaya dalam proses menemukan itu para pria diproses untuk memiliki kasih seperti Kristus. Di lain pihak, dengan bersikap hard to find, kita juga diproses untuk menjadi wanita dengan a gentle and quite spirit, yang ditandai dengan ketenangan, kesabaran dan pengendalian diri. 

Cuman masalahnya kadang kita merebut apa yang seharusnya menjadi bagian para pria itu, we did the effort, even sometimes too much effort to get a man we love. Misalnya, mereka belum ngajak kencan, kita udah ajak duluan. Mereka telepon cuma 10 menit, sekali dalam seminggu, kita telepon sejam, setiap hari. Mereka belum bicara dengan papa kita, kita udah ngomongin nikaaah mulu. Jangan heran kalo pria-pria itu punya pride dan ego yang segunung dan kurang menghargai kita. Pria-pria masa kini cenderung mengalami penurunan maskulinitas, salah satunya karena kita, para wanita, yang tidak membiarkan mereka berperan sebagai pria. We have to let guys be the guys, having divine masculinity, a quality of a man which is set by God itself, according to His image.

Tapi, bukan berarti lalu kita diem-diem aja kaya ulat yang kerjanya cuma ngulet-ngulet. Dideketin-diem, digoyang-goyang-diem juga, dilempar sandal deh lama-lama :D Peran kita sebagai wanita adalah, tidak menyerahkan hati kita dengan gampang, namun justru ber-partner dengan Allah dalam menguji para pria itu. Hard to find bukan berarti jual mahal, tapi meresponi dengan hikmat. God has give us our identity: far above rubies, let’s behave according to that identity. Mari melepaskan kontrol untuk mendapatkan para pria dan membiarkan diri kita ‘ditemukan’.