Monday, May 6, 2019

Batsyeba: Bangkit Melampaui Masa Lalu


by Yuni Sutanto 

Masa lalu kita tentunya beragam. Ada yang membanggakan, ada juga yang memalukan. Ada yang membahagiakan, ada juga yang ingin kita lupakan. Dari semua itu, memori tentang masa lalu mana yang sering muncul di benak kita – sengaja atau tidak? Apakah rasa sedih saat kehilangan ayah tercinta? Atau kenangan putus cinta saat orang yang kita doakan ternyata memilih gadis lain? Mungkin juga ingatan tentang masa lajang yang diwarnai pergaulan yang buruk. Kadang kenangan tentang peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan itu datang tanpa diundang. Lain halnya dengan kenangan yang baik, kita menjaganya agar tidak terlupakan. Misalnya, perasaan saat lulus kuliah dengan predikat summa cum laude, euforia bulan madu, atau keharuan saat melahirkan bayi mungil yang memberi kita status sebagai seorang ibu. 

Ada lorong-lorong di batin kita yang menjadi semacam “hall of pride”, dimana kita memajang momen-momen membanggakan. Ada pula lorong-lorong “hall of shame” tempat kita meletakkan ingatan tentang momen memalukan, menyedihkan dan penuh penyesalan. 

Masa lalu memang tidak bisa diubah. Tapi ia membangkitkan emosi dan pikiran tertentu saat kita mengingatnya. Emosi dan pikiran yang dapat menentukan masa kini dan masa sekarang. Nah, apapun warna masa lalu kita, jangan sampai masa lalu itu jadi batu penghalang untuk kita maju saat ini. Keputusan yang salah di masa lalu dengan segala konsekuensinya biarlah membuat kita lebih bijak dalam mengambil keputusan di masa kini dan akan datang. 

Kita bisa belajar dari Batsyeba. 

Batsyeba bukanlah wanita biasa. Ya, ia jelas berbeda dari wanita-wanita di Perjanjian Lama, sampai-sampai namanya diabadikan di silsilah Yesus. Dalam budaya patriarki bangsa Yahudi, biasanya hanya kaum pria yang namanya dicatat dalam silsilah. Tapi, dari silsilah Yesus, ada tertulis beberapa nama wanita. Mereka ini adalah para wanita yang “tidak biasa”, sehingga penulis Alkitab merasa perlu memberikan sedikit catatan tentang mereka. Salah satu dari nama wanita yang tercatat di silsilah Yesus ialah Batsyeba! 

Namun, bagaimana kisah Batsyeba diabadikan di silsilah Mesias tersebut? Catatan apa yang ditulis tentang seorang Batsyeba? Apa sih kisah tak biasa itu? Apakah kisah yang layak dipajang di hall of fame, atau skandal yang harus diletakkan di hall of shame

Ternyata, Batsyeba tidak dituliskan sebagai “Batsyeba anak Eliam” padahal ayahnya tercatat sebagai salah seorang pahlawan gagah perkasa Israel. Ia juga tidak dituliskan sebagai “Batsyeba cucu Ahitofel”, padahal kakeknya adalah salah satu dari penasehat Raja. Ia juga tidak dicatat sebagai “Batsyeba istri Daud”, tidak demikian! Namanya dicatat sebagai “istri Uria”, orang Het. 

Demikian firman Tuhan di Matius 1:6

“Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria.” 

Jadi, silsilah Tuhan Yesus mencatat bahwa Raja Daud memperanakkan Salomo, sang pewaris tahtanya dari “isterinya Uria”. Sungguh sebuah catatan hall of shame. Sebuah skandal perzinahan yang jejaknya diabadikan dalam silsilah seorang Juru Selamat. 

*** 

Siapa gerangan suami resmi Batsyeba? Siapa Uria orang Het itu? 

Uria ternyata adalah salah satu pahlawan perang Daud. Jadi, ayah dan suami Batsyeba termasuk dalam daftar 37 pahlawan perang Daud. Pahlawan perang di zaman Raja-Raja ibarat samurai yang hidup di zaman Edo di Jepang. Mereka adalah kaum terhormat yang dipandang berjasa dan bermartabat. Batsyeba berasal dari keluarga yang termasuk kalangan ini. Rasa hormat terhadap istri dan anak dari pahlawan perang ini tentu membuatnya cukup dipandang oleh masyarakat era itu. Sebuah reputasi awal yang sangat terhormat bukan? 

Namun setelah skandal “one night stand” bersama Raja Daud, predikat Batsyeba sebagai istri dan anak pahlawan perang yang terhormat seolah sirna. Rusak susu sebelanga hanya karena nila setitik. Rusak sudah nama baik yang selama ini terjaga. 

Hal ini berbeda dengan Ester yang menjalani setahun dalam kontes ratu Persia. Ia mempersiapkan diri sekian lama demi mendapat kesempatan “one night with King Ahasyweros”. Ia melakukan berbagai ritual kecantikan demi bertemu sang Raja. Kontras sekali dengan Batsyeba yang tanpa persiapan ternyata lalu seranjang dengan Raja Daud. Ia bahkan tak sadar bahwa sang Raja menyaksikannya mandi tanpa sehelai benang di tubuhnya, tepatnya saat Batsyeba berada di atas sotoh rumahnya menjalankan ritual membersihkan diri sesuai tradisi wanita Yahudi. Ritual membersihkan diri di era itu memang dilakukan dengan air hujan yang di tampung di tempayan-tempayan di atas sotoh. Ia tak tahu bahwa aksi mandinya membangkitkan birahi seorang Raja, yang posisinya begitu strategis untuk menyaksikan pemandangan sekelilingnya! 

Saat sang Raja memanggilnya menghadap pun, ia mungkin mengira sesuatu telah terjadi pada Uria suaminya di medan perang. Terluka parahkah Uria? Tak disangkanya ternyata ia diundang ke istana untuk memuaskan birahi sang Raja yang kebetulan sedang “tak ikut berperang”. Tindakan itupun membuahkan benih di rahimnya. Bathsyeba hamil, dan kehamilan itu terjadi suaminya berperang. Semua orang akan tahu ia berzinah. 

“Wanita macam apakah yang bersedia tidur dengan Raja sementara suaminya bertarung di medan perang?” begitu mungkin cibiran dan bisik-bisik di antara para dayang dan kerabat istana. Atau mungkin bisik-bisik itu hanya muncul di kepalanya, ungkapan tajam hati nurani yang tak henti menuduh dirinya sendiri! 

Singkat cerita, Batsyeba akhirnya diperistri oleh raja Daud, setelah Uria suaminya “tewas” di medan perang. Anak yang terlahir dari hasil hubungan terlarangnya dengan sang Raja pun meninggal sebagai hukuman Tuhan. Namun Batsyeba masih melahirkan empat putra lagi bagi Daud: Simea, Sobab, Natan dan Salomo. Tuhan tetap membuka rahim Batsyeba. 

Bastsyeba memang pernah melakukan kesalahan, namun ia tidak berkubang dalam kesalahannya. Bersama Daud, ia bangkit dari masa lalunya. Pertobatan Batsyeba memang tidak diceritakan secara khusus di Alkitab. Firman Tuhan hanya mencatat pertobatan Daud. Tapi, kita bisa melihat perkenan Tuhan bagi keluarga ini, melalui kehidupan Salomo, dan bagaimana Tuhan memilihnya menjadi leluhur seorang Mesias. 

*** 

Mungkin ada di antara kita yang memulai pernikahan dengan problema seperti Batsyeba. Ada pasangan yang memulai pernikahan dengan bimbingan pranikah, penuh persiapan beberapa tahun sebelumnya, setelah sebelumnya melalui proses menjaga kekudusan. Namun, tidak menutup mata, banyak pula yang memulai pernikahan tanpa persiapan matang, bisa saja demi menutupi aib keluarga, karena terlanjur hamil di luar nikah, dikejar target usia, memakai jasa biro jodoh, atau bisa saja menikah dengan seseorang yang ternyata pasangan orang lain. Ada berbagai motif dan alasan yang salah saat seseorang memasuki gerbang pelaminan. 

Batsyeba pun demikian, ia memulai rumah tangganya dengan Daud dengan cara yang salah, namun ia bangkit mengatasi masa lalunya. Ia memang menjalani konsekuensi dari perbuatannya yang salah. Ia harus menjalani kesedihan karena anak hasil hubungan dengan Daud meninggal dunia. Ia harus hidup dengan Raja Daud yang juga mempunyai istri-istri lainnya. Ia harus diingat sebagai istri Uria yang berzinah dengan sang Raja. Cukup memalukan dan mengerikan ya konsekuensi dari kesalahannya? 

Tapi, meskipun Alkitab tidak menceritakan pertobatan Batsyeba dengan detail, kita bisa melihat bagaimana Batsyeba kemudian berperan dalam kehidupan Daud dan Salomo sebagai istri dan ibu yang takut akan Tuhan. Saat polemik pergantian raja, Batsyeba, atas nasihat Nabi Natan, mencegah Daud mengangkat Adonia dan memperjuangkan Salomo menjadi Raja sesuai kehendak Tuhan. Natan adalah seorang Nabi yang punya integritas, dialah yang menegur Daud atas perzinahan yang ia lakukan bersama Batsyeba. Apabila Natan tidak percaya pada Batsyeba, mustahil rasanya ia menyuruh Batsyeba bicara pada Daud. Dan Batsyeba, mengikuti nasihat Nabi Natan dengan taat. Atas peran Batsyeba, Daud memerintahkan Salomo diurapi menjadi raja menggantikan dia. 

Mustahil rasanya Batsyeba bisa melupakan masa lalunya, tapi ia menebus semua itu dengan pertobatan, hingga kemudian melakukan perannya sebagai istri Daud dan ibu bagi Salomo dengan benar. Ia memulai dengan salah, tapi ia berupaya mengakhiri dengan benar! Bukankah demikian juga seharusnya dengan hidup kita? Entah kita memulai dengan awal yang benar atau salah, bagian kita adalah terus mengerjakan keselamatan hingga garis akhir! Jangan puas atau takabur dengan awal yang benar, tapi pastikan kita mengakhiri hidup kita dengan benar! Lebih baik seorang mantan pelacur yang bertobat daripada seorang mantan hamba Tuhan yang murtad. Bagaimana kita menyelesaikan pertandingan imanlah yang menentukan. 

Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh! 
(1 Korintus 10:12)

Hiduplah di masa kini, jangan hidup di masa lalu! Fokus mengingat kegagalan di masa lalu membuat hidup kita tidak maksimal di masa kini. Yang kita miliki hanyalah “saat ini” dan “pelajaran” dari masa lalu. Keputusan di tangan kita: apakah kita terus melanjutkan sisa hidup ini dalam kebenaran atau tidak. Batsyeba memilih untuk tidak mengijinkan masa lalunya yang salah mengikatnya dalam mengambil keputusan benar di saat ini. Kita pun bisa memilih melakukan hal yang sama. Mari terus berjuang mengerjakan keselamatan sampai akhir hidup kita! 

Never quit in your journey of faith! Finish strong!

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^