by Alphaomega Pulcherima Rambang
Bacaan : MATIUS 4:18-22 (Yesus memanggil murid-murid yang pertama)
Dengan mudahnya, para (calon) murid Yesus meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti Yesus. ASLI, begitu mudahnya, seperti gak berpikir. Kira-kira seperti ini kejadiannya:
Yesus : Aku akan membuatmu menjadi penjala manusia. Yuk, ikut Aku!
Para (calon) murid : Ayooo! (meninggalkan jalanya dan langsung pergi mengikut Yesus).
Gitu doang looooh ^^ Gak ada tuh acara KKR atau penginjilan supaya mereka menjadi orang percaya. Emang sih, sebelumnya Yesus memberitakan injil di Galilea, itupun hanya dengan kalimat yang singkat, padat dan jelas: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!"
Nyatanya pribadi Yesus begitu memesona keempat murid pertama itu, sehingga mereka bersedia mengikut Dia. Perjumpaan dengan Yesus dapat mengubah hidup seseorang. Tapi tidak berhenti di situ, dia harus juga memiliki kesediaan untuk mengikut Yesus. Kenapa? Karena perjumpaan dengan Yesus hanya dapat menghasilkan perubahan hidup saat seseorang mau ikut dan mengenal Yesus dari dekat, bukan dari kejauhan. Hanya dengan ikut dan mengenal Yesus dari dekat, bergaul akrab dengan-Nya, maka, kita bisa mengetahui isi hati-Nya, mengikuti teladan-Nya, dan melakukan apa yang berkenan di hati-Nya. Saat itulah hidup berubah.
Para (calon) murid yang awalnya hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tapi kemudian menjadi penjala manusia, mencari manusia untuk diselamatkan. Dari yang awalnya hanya memikirkan diri sendiri menjadi memikirkan sesama. Meskipun proses ke sana tidaklah sebentar, tapi kita bisa melihat bahwa panggilan Yesus dapat mengubah hidup seseorang. Ketika Yesus yang menjadi Raja atas hidup seseorang, dia akan mengubah fokus, tujuan, cara memperlakukan sesama, bahkan mengalami pembaharuan hidup—yang tidak akan bisa terjadi jika dia berjuang (di dalam keberdosaannya) sendirian. Selain itu, Yesus juga memberikan tujuan baru dan berharga untuk hidup mereka, sehingga mereka mampu melakukan yang lebih besar daripada yang mereka lakukan sebelum mengikut Yesus. Kalau dulu para murid menjala ikan, sekarang mereka memperoleh mandat untuk bersaksi tentang Injil bagi orang lain.
Saat mengikut Yesus, bukan berarti para murid tidak memikirkan hal-hal yang sebelumnya mereka perlukan—seperti makan, minum, dan tempat berteduh; well, they still think about them. Hanya saja, sekarang mereka percaya bahwa Yesus pasti menyediakannya. Mereka memercayai Yesus; sekalipun tidak ada yang tahu sebesar apa rasa percaya mereka awalnya pada-Nya, yang pasti mereka percaya Dia. Bayangkan, mengikuti seorang anak tukang kayu yang menjadi rabbi (guru) dan sanggup mengumpulkan kerumunan orang dalam waktu singkat. Bukan hal yang mudah, Esmeralda! Apalagi jika memikirkan bagaimana cara supaya kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Yesus bukan orang kaya, pekerjaan-Nya aja gak jelas, bahkan saat dipanggil pertama kali itu mereka belum menyaksikan kehebatan Yesus. Naah, bagaimana kalo Yesus ini pendusta? Bah!! Apa gak sia-sia tuh mereka menjadi pengikut-Nya? Kalau Yesus bukan penipu, tetapi dianggap gila, apa mereka yang mengikut-Nya tidak dianggap gila juga? Walaupun pada awalnya belum benar-benar memahami makna menjadi pengikut Yesus sepenuhnya pada saat itu, namun mereka—setelah melalui berbagai peristiwa yang menegaskan Yesus adalah Mesias—berani mengambil risiko untuk tetap setia kepada-Nya. Mereka memulai perjalanan mereka sebagai murid dengan iman, meskipun ada yang tidak mengakhirinya dengan hal yang sama. Aku jadi teringat pada kutipan yang baru aku baca akhir-akhir ini (aku lupa dari siapa); intinya adalah: Tidak penting bagaimana kamu memulai, yang penting bagaimana kamu mengakhirinya.
Memang sih, pasti ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar dalam sebuah panggilan. Terkadang seseorang harus meninggalkan pekerjaan, harta, bahkan keluarganya. Walau sulit, tapi itu sepadan. Pasti! Suami pertama Elisabeth Elliot yang bernama Jim Elliot—yang meninggal karena ditombak oleh suku Auca di Ekuador—pernah berkata, "Tidaklah bodoh orang yang memberikan apa yang tidak dapat dipertahankannya demi memperoleh apa yang tidak dapat dirampas darinya.” Begitu pula dengan para murid Yesus: mereka meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan kehidupan mereka (yang mungkin sudah sangat nyaman untuk dijalani)—bahkan sampai mati—demi mengikut Yesus. Mungkin bagi orang lain, apa yang mereka lakukan itu gila. Tapi mereka telah memilih yang terbaik dan tak mungkin dirampas darinya.
Meski demikian, bukan berarti mengikut Yesus adalah tindakan yang bisa dilakukan dengan gegabah. Tidak. Tentu ada hal-hal tertentu yang harus menjadi pertimbangan kita. Misalnya:
- Apakah keluarga kita siap ketika kita menyerahkan diri untuk melayani Tuhan penuh waktu?
- Apakah panggilan kita sebagai ibu rumah tangga—khususnya yang tidak bekerja—didukung oleh suami dan penghasilannya yang masih bisa mencukupkan kebutuhan keluarga?
- Bagaimana jika kita justru terpanggil untuk bermisi ke tempat-tempat yang berbahaya dan terpencil?
Masih ada banyak contoh lainnya yang bisa kita pikirkan sesuai dengan konteks masing-masing, namun satu hal yang pasti... jika Tuhan sudah membukakan jalan, maka tidak ada seorangpun yang dapat menutupnya—kecuali Dia sendiri yang menghendakinya. Selamat menggumulkan panggilanmu bersama Tuhan, Pearlians!