Monday, October 26, 2020

Penjala Ikan Menjadi Penjala Manusia




by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan : MATIUS 4:18-22 (Yesus memanggil murid-murid yang pertama)

Dengan mudahnya, para (calon) murid Yesus meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti Yesus. ASLI, begitu mudahnya, seperti gak berpikir. Kira-kira seperti ini kejadiannya:

Yesus : Aku akan membuatmu menjadi penjala manusia. Yuk, ikut Aku!

Para (calon) murid : Ayooo! (meninggalkan jalanya dan langsung pergi mengikut Yesus). 

Gitu doang looooh ^^ Gak ada tuh acara KKR atau penginjilan supaya mereka menjadi orang percaya. Emang sih, sebelumnya Yesus memberitakan injil di Galilea, itupun hanya dengan kalimat yang singkat, padat dan jelas: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!"

Nyatanya pribadi Yesus begitu memesona keempat murid pertama itu, sehingga mereka bersedia mengikut Dia. Perjumpaan dengan Yesus dapat mengubah hidup seseorang. Tapi tidak berhenti di situ, dia harus juga memiliki kesediaan untuk mengikut Yesus. Kenapa? Karena perjumpaan dengan Yesus hanya dapat menghasilkan perubahan hidup saat seseorang mau ikut dan mengenal Yesus dari dekat, bukan dari kejauhan. Hanya dengan ikut dan mengenal Yesus dari dekat, bergaul akrab dengan-Nya, maka, kita bisa mengetahui isi hati-Nya, mengikuti teladan-Nya, dan melakukan apa yang berkenan di hati-Nya. Saat itulah hidup berubah.

Para (calon) murid yang awalnya hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tapi kemudian menjadi penjala manusia, mencari manusia untuk diselamatkan. Dari yang awalnya hanya memikirkan diri sendiri menjadi memikirkan sesama. Meskipun proses ke sana tidaklah sebentar, tapi kita bisa melihat bahwa panggilan Yesus dapat mengubah hidup seseorang. Ketika Yesus yang menjadi Raja atas hidup seseorang, dia akan mengubah fokus, tujuan, cara memperlakukan sesama, bahkan mengalami pembaharuan hidup—yang tidak akan bisa terjadi jika dia berjuang (di dalam keberdosaannya) sendirian. Selain itu, Yesus juga memberikan tujuan baru dan berharga untuk hidup mereka, sehingga mereka mampu melakukan yang lebih besar daripada yang mereka lakukan sebelum mengikut Yesus. Kalau dulu para murid menjala ikan, sekarang mereka memperoleh mandat untuk bersaksi tentang Injil bagi orang lain.

Saat mengikut Yesus, bukan berarti para murid tidak memikirkan hal-hal yang sebelumnya mereka perlukan—seperti makan, minum, dan tempat berteduh; well, they still think about them. Hanya saja, sekarang mereka percaya bahwa Yesus pasti menyediakannya. Mereka memercayai Yesus; sekalipun tidak ada yang tahu sebesar apa rasa percaya mereka awalnya pada-Nya, yang pasti mereka percaya Dia. Bayangkan, mengikuti seorang anak tukang kayu yang menjadi rabbi (guru) dan sanggup mengumpulkan kerumunan orang dalam waktu singkat. Bukan hal yang mudah, Esmeralda! Apalagi jika memikirkan bagaimana cara supaya kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Yesus bukan orang kaya, pekerjaan-Nya aja gak jelas, bahkan saat dipanggil pertama kali itu mereka belum menyaksikan kehebatan Yesus. Naah, bagaimana kalo Yesus ini pendusta? Bah!! Apa gak sia-sia tuh mereka menjadi pengikut-Nya? Kalau Yesus bukan penipu, tetapi dianggap gila, apa mereka yang mengikut-Nya tidak dianggap gila juga? Walaupun pada awalnya belum benar-benar memahami makna menjadi pengikut Yesus sepenuhnya pada saat itu, namun mereka—setelah melalui berbagai peristiwa yang menegaskan Yesus adalah Mesias—berani mengambil risiko untuk tetap setia kepada-Nya. Mereka memulai perjalanan mereka sebagai murid dengan iman, meskipun ada yang tidak mengakhirinya dengan hal yang sama. Aku jadi teringat pada kutipan yang baru aku baca akhir-akhir ini (aku lupa dari siapa); intinya adalah: Tidak penting bagaimana kamu memulai, yang penting bagaimana kamu mengakhirinya.

Memang sih, pasti ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar dalam sebuah panggilan. Terkadang seseorang harus meninggalkan pekerjaan, harta, bahkan keluarganya. Walau sulit, tapi itu sepadan. Pasti! Suami pertama Elisabeth Elliot yang bernama Jim Elliot—yang meninggal karena ditombak oleh suku Auca di Ekuador—pernah berkata, "Tidaklah bodoh orang yang memberikan apa yang tidak dapat dipertahankannya demi memperoleh apa yang tidak dapat dirampas darinya.” Begitu pula dengan para murid Yesus: mereka meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan kehidupan mereka (yang mungkin sudah sangat nyaman untuk dijalani)—bahkan sampai mati—demi mengikut Yesus. Mungkin bagi orang lain, apa yang mereka lakukan itu gila. Tapi mereka telah memilih yang terbaik dan tak mungkin dirampas darinya.

Meski demikian, bukan berarti mengikut Yesus adalah tindakan yang bisa dilakukan dengan gegabah. Tidak. Tentu ada hal-hal tertentu yang harus menjadi pertimbangan kita. Misalnya:
  1. Apakah keluarga kita siap ketika kita menyerahkan diri untuk melayani Tuhan penuh waktu?
  2. Apakah panggilan kita sebagai ibu rumah tangga—khususnya yang tidak bekerja—didukung oleh suami dan penghasilannya yang masih bisa mencukupkan kebutuhan keluarga?
  3. Bagaimana jika kita justru terpanggil untuk bermisi ke tempat-tempat yang berbahaya dan terpencil?
Masih ada banyak contoh lainnya yang bisa kita pikirkan sesuai dengan konteks masing-masing, namun satu hal yang pasti... jika Tuhan sudah membukakan jalan, maka tidak ada seorangpun yang dapat menutupnya—kecuali Dia sendiri yang menghendakinya. Selamat menggumulkan panggilanmu bersama Tuhan, Pearlians!

Monday, October 19, 2020

Apa Untungnya?




by Benita Vida

Pada dasarnya, kita—sebagai manusia—selalu mencari “untung”, profit, atau upah dalam melakukan sesuatu karena kita tidak mau apa yang sudah kita lakukan dan kerjakan dengan susah payah itu sia-sia, apalagi merugi. Salahkah itu? Sebenarnya tidak salah dan itu manusiawi kok, selama masih dalam batas wajar dan tidak merugikan orang lain. Ketika kita ditawarkan pekerjaan atau diajak berbisnis, pasti kita akan menghitung untung-rugi dan itu sangat wajar. Jangan sampai kita sudah mencurahkan tenaga, waktu, dan biaya tapi ujung-ujungnya membuat kita rugi. Ya, kan?

Hal yang sama pernah ditanyakan oleh Petrus kepada Yesus,

“... Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau;
jadi apakah yang akan kami peroleh?”
(Matius 19:27)

Petrus sudah meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus: pekerjaannya, keluarganya, teman-temannya, dan kenyamanannya sewaktu Yesus memanggilnya menjadi murid-Nya. Namun sebagai manusia, Petrus mulai mempertanyakan, “Apa ya untungnya mengikut Yesus? Atau jangan-jangan setelah mengikut Yesus sekian tahun, ujung-ujungnya malah nggak dapet apa-apa. Percuma dong.” Yesus memahami pemikiran dan perasaan ini, dan jawaban Yesus di luar perkiraan Petrus:

“Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.”
(Matius 19:18-19)

Ternyata dari jawaban Yesus, kita menangkap kesimpulan bahwa menjadi pengikut-Nya tidak berarti membuat kita menjadi kaya atau populer; sebaliknya, jawaban Yesus adalah janji-Nya. Dari jawaban tersebut, kita bisa memahami bahwa definisi “keuntungan” sebagai pengikut Yesus bukanlah untuk mendapatkan untung dalam hal materi, melainkan kita (melalui anugerah Allah) dilayakkan untuk menerima janji-Nya yang kekal. Yup... semua janji-Nya itu yang tertulis dalam surat cinta-Nya (a.k.a. Alkitab) untuk kita.

Oke, kita sudah tahu kalau kita mengikut Tuhan, kita perlu meninggalkan zona nyaman dan dosa-dosa kita, lalu kita berkomitmen untuk mengubah pusat hidup (dari diri sendiri menjadi kepada Tuhan saja). Sayangnya, banyak di antara orang percaya (mungkin termasuk kita) yang sudah sungguh-sungguh mengikut Tuhan tapi malah merasa makin berat dan “rugi”. Kita juga tidak bisa memanipulasi orang lain! Padahal kalau jujur kita bisa saja tidak akan mendapatkan promosi; tidak bisa membalas orang lain yang jahat sama kita sementara hati ini sudah sangat tersakiti. Wah… wah… ini untung atau rugi nih? Kok, malah jadi makin tidak enak? Nah, dalam situasi-situasi seperti ini, mulai deh kita mempertanyakan ulang apa untungnya mengikut Tuhan.

Kita harus memahami dan mengimani bahwa saat kita menyerahkan hidup dan mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh, kita telah menerima upah yaitu janji-Nya. Tapi harus dicatat ya: kita memang sudah menerima janji-Nya yang adalah ya dan amin—yang artinya pasti terjadi di hidup kita cumaaaaa tidak selalu instan yah, teman-teman. Selain perlu menunggu dalam ketaatan dan kesetiaan, kita juga membutuhkan iman supaya kita tidak menyerah di tengah jalan. Ada waktu untuk menerima janji-Nya, tapi pasti juga ada proses yang harus dilalui agar janji-Nya bisa terealisasi di hidup kita.

Bila kita melihat kehidupan Daud, Tuhan menjanjikannya menjadi seorang raja bagi bangsa Israel di waktu umurnya masih sangat muda, tetapi Daud perlu puluhan tahun untuk benar-benar jadi raja dan mengalami janji Tuhan di hidupnya. Selama perjalanannya menanti janji Tuhan dan hidup sungguh-sungguh ikut Tuhan, apakah Daud senang dan damai hidupnya? Sangat jauh dari kata senang dan damai. Bahkan Daud pernah harus bertingkah seperti orang gila untuk menyelamatkan nyawanya dari Raja Filistin. Daud juga tidak membunuh Saul yang sudah sangat jahat dan membuat hidup Daud berantakan sekalipun Daud memiliki kesempatan untuk melakukannya.

Kita semua pernah berada di posisi Daud—atau mungkin saat ini kita sedang merasa menjadi seperti dirinya. Rasanya penantian ini begitu panjang dan tiada akhir. Rasanya mengikut Tuhan tidak memberikan keuntungan untuk kita; kita sudah memberikan semuanya tetapi tidak dapat apa-apa dan kita merasa sia-sia sudah “pengorbanan” kita. Hmm… walaupun terdengar klise, tapi bersabarlah, teman-teman. Tetap pegang teguh imanmu, karena janji-Nya tidak pernah terlambat. Mungkin saat ini kamu sedang diproses untuk siap menerima janji-Nya. Terkadang memang janji dan kenyataan tidak sejalan, tapi yakinlah jika Allah sanggup menjadikan seorang gembala menjadi seorang raja, jika Allah sanggup menjadikan seorang kakek bernama Abraham menjadi bapa segala bangsa, Allah pun sanggup mengubah keadaanmu.

Walaupun begitu ada satu hal yang harus kita ingat: Jika Tuhan menghendakinya, kita bisa saja seumur hidup tidak memperoleh janji-Nya. Buktinya saja Abraham. Meskipun masih bisa menatap Ishak—anak yang dijanjikan Allah melalui Sara—sebelum meninggal, tapi dia tidak pernah melihat keturunannya yang banyak seperti bintang di langit maupun pasir di pantai. Abraham juga tidak melihat tanah perjanjian yang subur dan “berlimpah susu dan madunya” (hal ini baru digenapi lebih dari 600 tahun kemudian, yaitu saat bangsa Israel masuk ke Kanaan). Karena merasa bahwa hidupnya tidak akan bertahan sampai dua hal itu terjadi, Abraham meminta konfirmasi dari Tuhan (Pearlians bisa membaca kisah selengkapnya di Kejadian 15). Tapi manakah yang lebih penting: kehadiran Tuhan sendiri di dalam hidup kita (bahkan dalam titik terendah), atau janji-Nya yang tergenapi namun tanpa penyertaan-Nya secara nyata? Bukankah Tuhan juga memakai penderitaan dalam masa penantian dan perjuangan kita untuk mendewasakan kita, bukannya berpangku tangan dan mengasihani diri sendiri karena ngambek pada-Nya?

Ketika saya masih kecil, ada saat dimana Papa—bisa dibilang—kurang sayang dan kurang memperhatikan saya. Tapi suatu hari, Tuhan berbicara secara langsung kepada orang tua melalui seorang dokter, “Kamu bisa diberkati sekarang karena anak ini. Kalo kamu gak mau sama anak ini, sini kasih saya aja.” Mendengar cerita itu dari Mama ketika sedang berjuang mengerjakan skripsi, saya tahu jika di masa lalu (baca: saat saya kecil dan belum kenal Tuhan sungguh-sungguh) saja Tuhan perhatikan dan bela, apalagi mengenai masa depan: pasti Tuhan berikan yang terbaik. Saya imani bahwa janji Tuhan bagi masa depan yang penuh harapan itu pasti terjadi untuk saya, tapi ternyata kenyataannya tidak seindah itu: proses pengerjaan skripsi saya terasa berat. Tiba-tiba dosen pembimbing saya dipromosikan sehingga sulit diajak untuk berdiskusi, bahan yang saya cari untuk pembuatan produk skripsi saya tidak bisa didapatkan di mana-mana, dan itu belum termasuk air mata perjuangannya yang entah berapa kali tertumpah. Singkat cerita, entah bagaimana caranya, Tuhan selalu membuka jalan saya. Apa yang saya lakukan adalah percaya bahwa pembelaan-Nya sempurna seperti saat saya masih kecil. Janji-Nya di awal masa perkuliahan bahwa saya pasti lulus tepat waktu pun ditepati. Saya lulus dengan nilai yang memuaskan bahkan dengan predikat terpuji. 

Kadang-kadang ada perasaan minder karena dunia memandang kita sebagai orang bodoh. Mana ada yang mengharapkan upah “tidak nyata” dan tidak berbentuk? Bahkan tidak sedikit juga orang percaya yang menyerah dan berhenti berharap. Tapi mari kita belajar bersama untuk setia dan taat kepada Tuhan. Dia tidak pernah berutang. Dia melihat pengorbanan dan ketaatan kita untuk setia mengikuti-Nya, dan percayalah… akan ada waktu di mana kamu akan menerima upah dari ketaatan dan kesetiaanmu.

Monday, October 12, 2020

Menjadi Pengikut Yang Seperti Pohon Aras Bagi Kristus


by Poppy Noviana

Hai, Pearlians! Tidak terasa sebentar lagi kita akan memasuki bulan Desember—bulan yang biasanya penuh salju saat musim dingin di belahan negara dunia yang lain. Hehe. Nah, ketika membayangkan salju yang memenuhi taman dan menutupi tumbuhan, kira-kira apa yang terlintas di pikiran Pearlians? Suram? Tidak ada kehidupan seperti di musim-musim lainnya? Atau ingatan terhadap ketidakberdayaan yang sedang dihadapi?

Tahukah Pearlians bahwa ternyata ada tumbuhan yang masih tetap dapat bertahan hidup walaupun musim dingin sedang berlangsung? Foto ini adalah salah satu buktinya:

Foto yang diambil oleh Adnan Mahmoud Al-Sabbagh itu menarik perhatian saya karena memunculkan sesuatu di benak saya. Seperti yang bisa Pearlians lihat, foto tersebut memuat beberapa pohon di permukaan bersalju; namun ada satu pohon yang berada pada posisi tertinggi bagaikan pemimpin pepohonan. Selain itu, suasana di sana pasti dingin sekali karena penuh salju dan (tampaknya) berangin. Tapi hal itu tidak membuat pohon tersebut mati kekeringan.

Setelah saya selidiki (dengan bantuan Wikipedia), ternyata pohon itu adalah pohon aras libanon yang memiliki banyak keunggulan. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli pegunungan Himalaya hingga Mediterania dan tumbuh dengan baik di ketinggian 1.500 meter - 3.200 meter. Tidak hanya itu, aras bahkan dapat tumbuh hingga ketinggian 60 m.


Hal menarik dari aras lainnya adalah kayunya yang memiliki aroma khas karena kaya akan resin dan keunikan pada motif kayunya. Resin tersebut berguna untuk menangkal serangan ngengat dan dapat menyerap kelembaban dan bau (makanya kayu aras sering jadi bahan baku untuk pembuatan lemari pakaian dan sepatu kayu). Daun aras pun unik; bentuknya meruncing menyerupai jarum dan tetap hijau sepanjang tahun, serta susunannya spiral di sekitar ranting. Setiap spesies aras juga memiliki lapisan lilin di daunnya dengan ketebalan yang bervariasi dan menentukan warna daun. aras tahan terhadap cuaca dingin dan hujan. Itu sebabnya aras dapat menjadi tanaman hias di kawasan beriklim dingin, karena tumbuhan ini tahan terhadap cuaca bertemperatur minus 25 derajat Celcius.

Mungkin karena melihat keunikan pohon aras tersebut membuat pemazmur menulis,

“Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon.”
(Mazmur 92:13)


Adakah ulasan singkat pohon Aras mengingatkan engkau tentang sesuatu?

Memahami identitas diri sendiri di dalam Kristus adalah esensi untuk kehidupan orang percaya, karena—pada dasarnya—kita hidup tidak lebih dari apa yang kita percayai. Buktinya, kita tidak dapat mengubah diri ini berdasarkan persepsi yang kita miliki; kita mengubah persepsi tentang diri sendiri dengan kebenaran yang dipercayai. Artinya, kalau persepsi kita tentang diri sendiri sudah salah sejak awal, kita akan hidup dengan persepsi yang salah selamanya—karena apa yang kita percayai bukanlah kebenaran. Lalu, kebenaran apa yang harus kita pegang?

Alkitab menuliskan, orang percaya dideskripsikan sebagai “saints” (orang-orang kudus) yang artinya holy ones (Roma 1:7, 1 Korintus 1:2, 2 Korintus 1:1 Filipi 1:1) dan ditulis lebih dari 240 kali. Hal ini menjelaskan adanya pemisahan dan pembeda antara orang percaya dan orang belum percaya. Orang percaya sudah dilahirkan baru dan hidup dalam kebenaran. Identitas mereka ditentukan oleh Allah, bukan apa kata orang atau situasi yang dialaminya atau latar belakangnya. Hidup sebagai orang percaya adalah satu hal, namun hidup benar sebagai orang percaya yang sudah dibenarkan adalah hal lain yang perlu dikerjakan dengan tekun. 

Pendeta Chris Manusama pernah berkata, “Ketika kamu berada di garasi, bukan berarti kamu menjadi mobil. Demikianlah orang Kristen: menerima Tuhan Yesus dan berada di gereja, tidak berarti menjadi pengikut-Nya—kalau hanya berdiam diri dan hidup tanpa pertumbuhan.”

Seperti yang dikatakan oleh Pemazmur di atas, kehidupan orang benar yang menghidupi kebenaran akan selalu mengarah kepada kesuburan. Artinya, mereka akan memiliki ketahanan dalam suasana tidak ideal seperti pohon aras pada musim dingin—dimana tidak semua pohon mampu bertahan di sana. Pohon itu juga memiliki aroma dari dalam karena mengandung resin yang berguna untuk dimanfaatkan sebagai perabotan oleh manusia dan batangnya kokoh besar. Ditambah lagi, akarnya yang sekuat itu menahan beban yang sangat berat di atasnya. Tapi ingat: proses dan tekanan yang dilalui si pohon aras pasti nggak kaleng-kaleng. Hal itulah yang dimaksud juga sebagai mental pengikut Yesus, yang perlu menyadari perannya untuk mengakui-Nya di depan manusia. Dengan demikian “Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. Tetapi barangsiapa menyangkal Yesus di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah.” (Lukas 12:8-9)

Perkataan Yesus di atas benar-benar bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Bayangkan: saat itu, mereka hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi, bangsa yang menjadikan Kaisar sebagai dewa dan menuntut mereka untuk menyembahnya (plus dewa-dewi Romawi). Artinya, kalau ada orang yang dengan berani mengaku percaya kepada Yesus, maka nyawa yang jadi taruhan. Kita bisa melihat buktinya dari sejarah gereja mula-mula (khususnya di Kisah Para Rasul), dimana mereka mengalami penganiayaan (baik oleh sesama orang Yahudi (khususnya para petinggi agama) maupun orang non-Yahudi), dan tidak sedikit yang menjadi martir. Walaupun demikian, hal itu tidak mengubur semangat orang percaya di abad pertama untuk bersaksi karena mereka memegang janji penyertaan Allah:

“Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Allah sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu. Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Nya. Tetapi tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.”
(Lukas 21:14-19)

Menjadi pengikut Yesus memang tidak mudah, namun sebenarnya sederhana… sesederhana kamu bisa percaya dan melakukan segala perintah-Nya. Oke, teorinya mah gampang, tapi pelaksanaannya yang bikin hemhamhem. Di saat dunia mengajarkan untuk mengejar popularitas, Yesus justru mengajar kita agar tidak menjadikan hal lain lebih tinggi dari-Nya, dan menempatkan Allah serta kehendak-Nya sebagai alasan dan pusat pengambilan keputusan hidupmu. Jadi ngga popular sih pasti. Kadang terkesan kaku alias ngga fleksibel… tapi itu kata dunia yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keberlangsungannya. Kenapa? Karena sejak awal, hanya Fiman Allah yang sanggup menopang kita dari ketidakpastian. Firman-Nya tetap dan tidak ada yang bertentangan dan ini yang perlu kita ingat bersama: semua konteks yang diberikan Allah adalah untuk kebaikan kita, agar kita semakin dibentuk dan bertumbuh ke arah Kristus.

“Barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.”
(Matius 10:42)

Pandemi ini adalah saat terbaik bagi kita untuk mengekspresikan identitas kita—secara nyata—sebagai orang percaya kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Beberapa contoh yang pernah saya lakukan di bawah ini mungkin bisa menginspirasi Pearlians untuk melakukan hal serupa:
  1. Membagikan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan kepada teman kost-an saat ngobrol santai.
  2. Memfasilitasi pertemuan live group secara virtual untuk tetap terkoneksi dan peduli pada orang-orang percaya lainnya.
  3. Menginisiasi bagi-bagi makanan kepada orang kurang mampu yang saya temui di pinggiran jalan.
  4. dan lain-lain (bisa juga lho, kalau ada yang mau nambahin list-nya di kolom komentar).
Bentuk konkret akan membuat kita menjadi lebih relevan dengan kebutuhan dunia saat ini, karena dunia tidak peduli dengan siapa kita sampai mereka melihat apa yang kita lakukan bagi mereka. Kepedulian, ketulusan, kesederhanaan dalam menjalani kehidupan, dan lainnya—yang menginspirasi dan menegaskan bahwa apa yang kita percayai dan anut—adalah nilai-nilai kekal dari Alkitab karena kita pengikut Kristus. Yes, menjadi seorang pelaku Firman dan melayani orang lain, dengan motivasi mengikut Yesus, bisa dilakukan hanya jika kita memilih untuk berelasi dekat dengan Tuhan. Caranya dengan mengenal-Nya, memahami hal-hal yang berkenan kepada-Nya, dan melakukan segala sesuatu untuk Dia dan mengandalkan-Nya (khususnya) saat menghadapi tekanan.

Salah satu pengalaman yang saya alami selama pandemi ini adalah ketika melayani ibadah tutup peti dalam kedukaan keluarga anggota jemaat yang kehilangan ayah yang dikasihinya. Perasaan saya berbenturan dengan keyakinan saya; saya yakin bahwa Allah menyukai jika saya melayani, namun di sisi lain saya ragu-ragu dapat tetap sehat tanpa tertular virus berbahaya yang sedang merajalela (apalagi physical distancing masih harus tetap dilakukan). Well, pada akhirnya saya belajar bahwa perasaan tidak selalu berkata benar, tapi keyakinan saya terhadap perlindungan Tuhan dan berhikmat dengan menerapkan protokol keselamatan membuat saya untuk memenuhi tanggung jawab saya dalam melayani jemaat yang berduka.

Pearlians, ketakutan kita yang berlebihan bisa bergeser menjadi keegoisan dalam memproteksi diri dan apapun yang ada pada kita. Parahnya, hal itu tidak membuat kita terlindungi sama sekali—malah menambah masalah pada tatanan pikiran dan jiwa yang tidak sehat. Namun ketika kita dapat menanggapi panggilan Allah dan menghidupi, kita akan melihat secara nyata bahwa Dia melindungi kita dengan cara-Nya yang ajaib. Yes, hidup yang kita jalani bukan hanya berbicara tentang hari ini dan besok, tapi juga soal apa yang kita persiapkan untuk menyambut hari penghakiman kelak.


Pertanyaannya (sebagai refleksi pribadi juga)…

di mana imanmu?

Apa yang sudah kamu lakukan bagi Tuhan?

Bagaimana kamu mengembangkan talentamu?

Sudahkah kamu menguasai bumi dan bermultiplikasi?

Adakah kasih dan buah roh dalam dirimu?


“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.”
(2 Korintus 4:18)

Monday, October 5, 2020

Delayed Obedience


by Leticia Seviraneta

Pada pelayanannya di bumi, Yesus menunjuk 12 orang untuk menjadi murid-Nya dengan sebuah ajakan, “Mari, ikutlah Aku...” (Mat 4:19). Dalam versi terjemahan Bahasa Inggris, ayat yang sama berbunyi, “Come, follow me…” Sejak itu, mereka yang dipanggil oleh Yesus meninggalkan pekerjaan dan keluarganya lalu mengikuti-Nya (Mat 4:22). Pada zaman itu, belum ada istilah “Kristen”. Orang-orang yang mengikuti Yesus, dikenal dengan sebutan para pengikut Kristus (Christ’s followers) atau para murid (Christ’s disciples). Seorang murid akan mengikuti guru (rabbi) mereka ke mana pun ia pergi, menirukan cara hidupnya, cara bicaranya, bahkan sampai ke cara ia makan. Pada intinya, tujuan hidup seorang murid adalah menjadi sama atau serupa dengan gurunya. Mereka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk itu.

Seiring dengan bertambahnya popularitas Yesus melalui mujizat-mujizat yang Ia kerjakan, banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi pengikut-Nya, termasuk seorang ahli Taurat. Ahli Taurat merupakan orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari dan mengajarkan hukum Taurat kepada orang Ibrani. 

Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka."
Matius 8:19-22 [TB]

Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana." Dan seorang lain lagi berkata: "Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku." Tetapi Yesus berkata: "Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah."
Luk 9:60-62

Mujizat-mujizat yang Yesus kerjakan dapat memberikan gambaran yang megah akan sebuah pelayanan. Orang banyak ingin mengikuti-Nya karena salah mengira bahwa pelayanan adalah kehidupan yang menyenangkan, selalu di atas tidak pernah di bawah, memberikan dampak, dan dikagumi banyak orang. Namun Yesus dengan mudah dapat menyaring orang-orang yang siap mengikuti-Nya tidak hanya di masa suka saja, melainkan di masa duka. Karena pelayanan yang Ia kerjakan sesungguhnya jauh dari gambaran kenyamanan tersebut. Ia membandingkan diri-Nya dengan serigala maupun burung yang memiliki rumah, namun Ia tidak memiliki-Nya. Pelayanan yang dikerjakan memiliki harga yang besar, yaitu nyawa-Nya. Para pengikut-Nya (seorang murid yang memiliki tujuan hidup untuk menjadi serupa dengan-Nya) juga tidak lepas dari gambaran hidup yang demikian: menunjukkan kasih dengan pengorbanan untuk kemuliaan Allah.

Lalu ada seorang murid yang lain yang berkata ingin mengikuti-Nya, namun meminta izin untuk pergi dahulu menguburkan ayahnya (Mat 8:21). Respon Yesus terhadapnya seolah-olah tidak mengindahkan keluarganya. Namun sebenarnya ketika murid tersebut sedang berkata demikian, ayahnya belum meninggal. Dengan alasan pergi dahulu menguburkan ayahnya, sesungguhnya ia menyatakan ingin berada di rumah ayahnya dan menemaninya terus sampai ia meninggal. Ini berarti merupakan sebuah periode waktu yang tidak jelas kapan ia akan mulai mengikuti Yesus. Bila ayahnya berumur panjang, maka ia jelas untuk waktu yang lama tidak pergi mengikuti Yesus. Dengan kata lain, ia menunda untuk mengikuti Yesus.

Mari kita bandingkan dengan respon murid Yesus yang lain kembali di Matius 4:19-22.

Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.

Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes ketika diajak oleh Yesus untuk mengikuti-Nya, mereka dengan segera meninggalkan jalanya, ayahnya, dan mengikuti-Nya. Bagi para nelayan, jala adalah alat yang digunakan sehari-hari dalam mata pencaharian mereka. Jadi, meninggalkan jala serta ayah mereka (untuk Yakobus dan Yohanes) berarti mereka bersedia meninggalkan seluruh kehidupan lama, zona nyaman (comfort zone), keadaan yang mereka kenal betul (familiar). Itulah mengapa Yesus berkata, “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” (Luk 9:62). Seseorang tidak dapat benar-benar menaati Tuhan dan tujuan-Nya bila ia tidak mau meninggalkan kehidupan lamanya. Ini merupakan sebuah ketaatan yang radikal karena benar-benar mengubah kehidupan mereka 180 derajat. Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes tidak tahu ke mana Yesus akan membawa mereka, namun mereka percaya kepada pribadi Yesus sebagai figur yang layak untuk mereka ikuti menjadi teladan.

Bila kita bandingkan sikap para murid di Mat 4:19-22 dengan Mat 8:19:22, Luk 9:57-62; jelas betapa kontras sikap antara murid sejati dengan murid yang hanya menginginkan kenyamanan saja. Sebuah ketaatan yang ditunda adalah bentuk ketidaktaatan. Bila kita tahu apa yang benar dan harus kita lakukan saat ini, namun dengan berbagai alasan tidak melakukannya, maka sama saja kita sedang tidak taat. Kita lebih memilih berbagai alasan dibandingkan dengan perintah Tuhan. Bila kita tahu kehendak Allah untuk mengampuni seseorang yang menyakiti kita, namun kita berargumentasi dengan mengatakan betapa orang tersebut telah menyakiti kita dan memutuskan untuk tetap memendam rasa pahit terhadap orang tersebut, maka itu berarti kita sedang tidak taat kepada-Nya. Kita lebih memilih untuk menyimpan rasa pahit daripada mengampuninya. 

Yesus menunjukkan harga yang harus dibayar oleh para pengikut-Nya secara gamblang di muka. Perjalanan menjadi serupa dengan-Nya akan membuat kita harus meninggalkan kebiasaan dosa kita, segala bentuk keterikatan, sumber keamanan kita, dan mengajar kita untuk percaya, taat, dan bergantung sepenuhnya hanya kepada Kristus. Hanya dengan proses ini seorang murid dapat berhasil mencapai tujuan akhir-Nya yaitu menjadi serupa dengan Sang Guru. Buah dari semua harga yang perlu dibayar untuk mengikuti Yesus tersebut manis, yaitu hubungan pribadi dengan Kristus yang sanggup memenuhi segala dahaga dalam jiwa kita, kehidupan kekal melalui pengenalan akan Kristus (Yoh 17:3), dan upah di sorga nantinya (Mat 5:11-12).

Tahun lalu, saya membatalkan pernikahan dan memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama 7 tahun dengan mantan kekasih. Bila ada yang bertanya mengapa, saya hanya menjawab sekilas dengan harapan semua orang dapat maklum tanpa bertanya lebih jauh lagi, yaitu berkaitan dengan restu orang tua. Namun kepada orang yang saya kenal dekat, saya dapat lebih terbuka bahwa sebenarnya ini adalah bentuk ketaatan karena Tuhan berkata dengan jelas bahwa partner saya waktu itu sudah tidak lagi sevisi dan hubungan pribadinya dengan Kristus sudah menurun jauh. Akan sulit ke depannya untuk mewujudkan panggilan Tuhan atas hidup saya, bila saya tetap memaksakan untuk menikah dengannya. 

Saya mendengar Tuhan berkata, “Put it down in the altar...” “Pesta pernikahan impian, gaun impian, pasangan yang selama ini kamu yakini akan kamu nikahi dan bahagia selamanya, letakkan itu semua di altar.” Partner saya saat itu merupakan orang yang sangat baik dari segala aspek, cinta pertama, pacar pertama, setia, dan sangat mengasihi saya. Benar-benar seseorang yang berharga bagi saya untuk “dikorbankan di atas altar.” Meskipun berat, saya memutuskan untuk percaya kepada-Nya serta kepentingan misi-Nya lebih dari perasaan saya. Itu merupakan masa yang sulit, namun saya tidak pernah menyesalinya. Itu merupakan keputusan yang benar, sebuah ketaatan, meskipun ada harga yang harus dibayar. Hal ini dikarenakan hubungan dengan Kristus bagi saya bukan hanya sekedar bumbu dalam Kekristenan, itu merupakan segalanya, pusat dari kehidupan kita. Tanpa-Nya, seorang yang baik dapat tergelincir menjadi tidak baik suatu saat nanti. Tanpa terhubung dengan Kristus secara terus menerus, kita tidak dapat mencapai tujuan hidup yang telah Ia rancangkan bagi kita. 

Ketaatan kepada kehendak-Nya menunjukkan kita menaruh nilai bahwa kehendak-Nya lebih utama dari hal lain yang berharga dalam hidup kita. Ketaatan itu ditunjukkan dengan segera melakukan yang kita sadar betul benar dan sejalan dengan kehendak-Nya. Menunda ketaatan sama saja dengan ketidaktaatan dan ke depannya harga yang kita bayar sangat mungkin jauh lebih mahal lagi. Bila saya memaksakan untuk tetap menikah dengan menerabas restu orang tua saat itu, saya sangat mungkin akan masuk dalam pernikahan yang sulit seumur hidup ke depannya. Harga yang kita bayar untuk mengikuti Yesus, seberapa pun mahalnya, tetap tidak lebih mahal dari harga untuk sebuah ketidaktaatan. Saya percaya Tuhan Yesus yang kita sembah itu adalah Tuhan yang baik, seorang Bapa yang rindu memberikan yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

“Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Matius 7:9-11 [TB]

Segala perintah-Nya itu untuk kebaikan dan melindungi kita dari konsekuensi yang lebih buruk. Percayalah kepada kebaikan-Nya dan mulailah untuk taat dari hal terkecil sekalipun yang kita ketahui Ia ingin kita lakukan saat ini. Bukalah telinga kita untuk mendengar, jangan lagi memberi alasan-alasan, atau menunda mentaati-Nya. Karena saya percaya buah dari ketaatan kita hari ini akan sangat manis ke depannya. Tuhan memberkati!