Showing posts with label Gentleness. Show all posts
Showing posts with label Gentleness. Show all posts

Wednesday, June 6, 2018

Roh Yang Lemah Lembut dan Tenteram



by Glory Ekasari

“...perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi,
dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram,
yang sangat berharga di mata Allah.”
(1 Petrus 3:4)

Pada abad pertama, ketika para rasul memberitakan Injil, banyak wanita menjadi percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi suami-suami mereka tetap skeptis. Kepada wanita-wanita inilah rasul Petrus menuliskan ayat ini. Justru, menurut Petrus, wanita Kristen harus tunduk kepada suami mereka (saya yakin dalam arti melayani, mengasihi, dan menghormati, bukan menuruti suami ketika dia meminta istrinya melanggar firman Tuhan), agar para suami melihat seperti apa yang namanya kehidupan baru di dalam Kristus melalui perilaku istri-istri mereka. Mungkin sang suami menolak diinjili oleh istrinya karena merasa harga dirinya terluka bila ia mau mendengarkan istrinya. Baiklah. Tapi bila hari demi hari dia melihat istrinya hidupnya makin baik, makin sayang suami, mau tidak mau suami akan bertanya-tanya juga, “Apa yang membuat istriku berubah?” Dari situlah Roh Kudus bekerja, dan mereka akan dimenangkan.

Karakter yang diubahkan ini disebut oleh Petrus sebagai “perhiasan yang tidak binasa”. Tidak seperti tas H*rmes yang harganya ratusan juta (tetapi bisa hangus terbakar), atau mobil B*gatti yang harganya entah berapa miliar (tetapi pasti turun mesin bila sampai terendam banjir!), atau uang yang nilainya terus turun karena inflasi, perhiasan yang sejati tidak rusak oleh api maupun air, dan tidak lekang dimakan waktu.

Nah, ketika saya membaca ayat di atas di dalam versi KJV, saya menemukan sesuatu yang menurut saya aneh:

“But let it be the hidden man of the heart, in that which is not corruptible, even the ornament of a meek and quiet spirit, which is in the sight of God of great price.”
(1 Peter 3:4 KJV)

Ya, di dalam ayat itu digunakan kata “man” (Yunani: anthropos), padahal kita tahu bahwa konteksnya sedang membicarakan tentang wanita. Apa ini berarti wanita itu di dalam manusia batiniahnya adalah laki-laki? Tentu bukan demikian. Saya rasa penyebab penggunaan kata benda maskulin dalam 1 Petrus 3:4 sebagai kata “manusia” tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa roh yang lemah lembut dan tenteram itu bukan hanya untuk wanita, tetapi juga pria—pendeknya, untuk semua orang. Dan teladan kita, pria maupun wanita, dalam belajar untuk punya roh yang lemah lembut dan tenteram juga sama: Yesus Kristus. Dialah anthropos yang sejati; “manusia kedua (yang) berasal dari sorga” (1 Korintus 15:47); “Adam yang akhir (yang) menjadi roh yang menghidupkan” (1 Korintus 15:45). Kepada Dialah semua manusia melihat contoh bagaimana mereka harus hidup.

Dua karakter yang disebutkan dalam 1 Petrus 3:4 (lemah lembut dan tenteram) adalah karakter yang langka, bukan hanya bagi wanita, tetapi juga manusia secara keseluruhan. Saya tertarik untuk melihat makna “lemah lembut” dan “tenteram” tersebut, dan menyelidiki apakah Yesus memang memiliki karakter itu.

Istilah lemah lembut (Yunani: praus) digunakan sebanyak empat kali di dalam Perjanjian Baru. Dua di antaranya adalah tentang Yesus. Secara eksplisit, Yesus menyatakan bahwa Dia lemah lembut dan rendah hati (Matius 11:29) dan kita “diperintahkan” untuk belajar kepada-Nya. Kelemahlembutan bukan berarti bicara pelan-pelan atau selalu malu-malu kucing; kelemahlembutan adalah pertemuan antara kuasa yang besar dengan pengendalilan diri dan kasih. Dikatakan tentang Tuhan Yesus:

Katakanlah kepada puteri Sion:
“Lihat, Rajamu datang kepadamu,
Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai,
seekor keledai beban yang muda.”
(Matius 21:5)

Sebenarnya Tuhan Yesus bisa saja datang kepada puteri Sion (yaitu Yerusalem) “dengan kemuliaan, kedahsyatan, dan murka-Nya yang menyala-nyala” karena mereka menolak Dia. Namun sebaliknya, Dia datang ke Yerusalem dengan lemah lembut, tidak memakai kuasa-Nya untuk berbuat semena-mena terhadap umat-Nya, tetapi merendahkan diri-Nya untuk menebus dosa mereka!

Kadang-kadang, kita ada di posisi di mana kita bisa melakukan sesuatu untuk menyakiti orang lain, atau membalas kejahatan yang mereka lakukan terhadap kita. Tetapi kelemahlembutan berarti tidak menggunakan kuasa itu untuk memenuhi hawa nafsu kita, melainkan dengan rendah hati mengendalikan diri dan justru mengasihi orang tersebut; baik itu suami, orang tua, anak, teman, rekan pelayanan, dsb. Granted, orang pada umumnya tidak berbuat seperti itu. Orang cenderung berbuat semena-mena ketika punya kekuasaan, dan langsung membalas orang yang menyakitinya ketika ada kesempatan. Tapi Tuhan kita bukan sembarang orang; Dia adalah teladan kita yang sejati.

Karakter kedua adalah tenteram (Yunani: hesuchios/hesyxios). Untuk menjelaskan makna istilah ini, kita bisa melihat lawan dari karakter ini. Ada ayat dalam Amsal yang sangat menarik:

“Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah
daripada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.”
(Amsal 21:9 / Amsal 25:24)

Sisters, raja Salomo menuliskan ayat ini dua kali, yang menunjukkan pada kita bahwa cowok sungguh tidak sanggup diajak bertengkar terus oleh wanita. Sebagai contoh adalah cerita yang saya dengar tentang seorang bapak yang melakukan KDRT terhadap istrinya. Waktu pendeta dan ibu pendetanya datang untuk menjenguk, bapak ini bercerita, “Pak, Nu, saya ini sudah tidak kuat. Masalahnya sepele, tapi istri saya terus-terusan ngomel. Saya pikir, daripada pusing dengar dia ngomel terus, saya tinggal ke kamar. Eeh, saya diikuti ke kamar dan diomeli lagi! Saya tinggal dia ke dapur, eeh, saya diikuti dan diomeli lagi! Saya ke mana saja di seluruh sudut rumah, saya diikuti dan diomeli terus! Akhirnya saya tampar dia supaya berhenti bicara!”

Cerita di atas, buat saya, lucu sekaligus miris. Wanita terkenal cerewet, banyak omong, suka ngerumpi, dan tidak bisa menguasai diri dalam hal perkataan. Tetapi wanita Kristen seharusnya tidak seperti itu. Apa yang diucapkan mulut, meluap dari hati. Jika Kristus sungguh ada dalam hati kita, tidakkah seharusnya mulut kita meluapkan hal-hal yang baik? Selain kualitas kata-kata kita, kuantitasnya pun harus diperhatikan. Saya sangat terkesan ketika memikirkan apa yang dikatakan Yesus ketika Dia dihina dan dianiaya menjelang penyaliban. Ya, Dia tidak mengatakan apapun. Yesus bukan hanya tahu bagaimana harus berbicara, Dia juga tahu kapan harus berbicara, dan kapan harus diam.

Tetapi hikmat seperti ini tidak berasal dari luar. Nasihat yang disampaikan jutaan kali terhadap seorang wanita untuk tidak bawel tetap tidak akan mengubah dia. Hal ini dikarenakan kelemahlembutan dan ketentraman sejati berasal dari roh, bukan dari luar pribadinya. Roh seseorang harus diubah, jika dia mau memiliki perhiasan sejati yang “sangat berharga di mata Allah”. Dengan demikian, kita harus lebih dulu menyerahkan hidup kita kepada Yesus, kemudian Roh Kudus akan bekerja memperbarui kita dari dalam. Dan seperti yang kita ketahui dari Galatia 5:22-23, kelemahlembutan dan damai sejahtera adalah buah Roh; yang berarti, kita tidak mungkin menghasilkan buah ini dari diri kita sendiri; melainkan harus Roh Kudus yang mengerjakannya—dan kita taat kepada-Nya.

Setelah itu, dimulailah proses selangkah demi selangkah mengikuti Yesus. Seperti yang dikatakan di atas, Yesuslah teladan kita yang sejati. Apa yang Dia lakukan, kita tiru. Apa yang Dia katakan, kita turuti. Dengan demikian perhiasan batiniah yang sejati itu terbentuk, dan orang lain akan mulai melihat hasilnya. Sesungguhnya yang dikagumi orang itu bukan penampilan lahiriah, tetapi apa yang terpancar dari dalam. Dari situlah orang akan tertarik kepada Yesus yang ada di dalam hidup kita, dan kita bisa menjadi kesaksian bagi mereka.

Tuesday, April 3, 2018

Feminisme Itu…


by Tabita Davinia Utomo

Kalo Pearlians mengikuti isu-isu yang ada di media sosial (medsos) belakangan ini, isu feminisme jadi salah satu trending topic di dalamnya. Ini karena banyaknya aktivis wanita dan pesatnya arus informasi melalui media. Kalo cuma dibaca sekilas, feminisme bisa kelihatan kontradiktif. Di satu sisi, feminisme menyadarkan banyak orang bahwa wanita punya derajat yang sama dengan pria; tapi di sisi lain, feminisme bisa dianggap sebagai bentuk pengagungan atas kehadiran wanita—makanya bisa aja kaum prianya yang justru direndahkan. 

Nah, untuk artikel ini, aku mencoba bertanya pada beberapa temanku tentang makna feminisme sesuai pemahaman mereka. Berikut beberapa di antaranya...
  • Idealisme mengenai kesetaraan perempuan dan laki-laki. But instead of bringing the men down, we bring the women up biar keduanya ada di posisi yang sama—walopun kadang yang terjadi justru perempuan “terlihat menindas” dan ingin memiliki posisi yang lebih tinggi daripada laki-laki.  
  • Sesuatu yang sangat lekat dengan perempuan; semuanya dihubungkan dengan kelembutan seorang perempuan.  
  • Sisi kewanitaan. 
  • Keadaan egaliter. It means perempuan dan laki-laki memiliki martabat yang sama dan dihargai dengan cara yang sama.  
  • Sebuah konstruksi sosial tentang atribut atau kualitas yang sebaiknya dimiliki wanita.  
  • Cewe-cewe bakoh (a.k.a. strong) yang ga butuh cowo. 
Wah, menarik ya, ladies. Tapi sebenernya, feminisme itu apa, sih? 
The advocacy of women's rights on the ground of the equality of the sexes. (1)(Tindakan mendukung hak-hak wanita atas dasar kesetaraan gender [antara pria dan wanita].) 
I should confess to you: this is the first time I write something that’s so viral nowadays, based on what I learnt before. Hahaha :p Di kuliah, aku sempet juga icip-icip dikit tentang feminisme ini, tentang gimana seorang wanita menganggap emansipasi perempuan menjadi sesuatu yang “diagungkan”. Makanya nggak heran kalo ada banyak wanita yang pengen berkarir dan nggak mau “terkurung” di rumah sebagai emak-emak seumur hidup. Hmm... Masalah panggilan hidup mah tergantung Tuhan mau kasih kita yang kaya apa; entah jadi wanita karir ato SAHM (Stay-at-Home Mom). Tapi ada satu hal yang harus kita tanamkan dalam pikiran kita: 
The idea that women are equal with men isn’t from a feminist idea; it’s a Christian idea. —Rebekah Merkle (2) 
Kita perlu bersyukur kalo bisa memperoleh pendidikan (mungkin sampe detik ini), karena sebelum emansipasi perempuan dimulai di Indonesia, perempuan dianggap “kaum kelas dua” oleh para laki-laki. Thanks to R. A. Kartini, Dewi Sartika, etc. who brought us to this great era, kita bisa belajar dan bekerja (dengan derajat yang sama) seperti laki-laki. Tapi ini bukan berarti kita bisa sombong, “Nih, gw bisa kerja di perusahaan X—bahkan posisinya lebih tinggi daripada cowo yang pernah ngeledekin gw zaman sekolah dulu!” Nggak. Di manapun Tuhan tempatkan kita saat ini, kita harus percaya bahwa Dia ingin kita berkarya di situ untuk memuliakan-Nya. :) Well, I know this may sound cliché, but it’s the truth. Karena tanpa Tuhan, kita nggak akan bisa ada di posisi sekarang dengan usaha sendiri. Bisa aja sih, kita bilang kalo kita beruntung; but come on... Nggak ada yang namanya keberuntungan atau kebetulan; semuanya udah Tuhan arahin—as long as we walk on His path with obedience. Kita bisa milih buat tetep berjuang dengan kekuatan sendiri buat mencapai posisi atau pekerjaan yang ada, dan puas waktu apa yang kita harapkan terwujud. Tapiiii, inget apa yang dibilang sama penulis Amsal, 

Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan. (Amsal 15:33, TB) 

Paulus pun bilang dalam 1 Korintus 11:11, “...dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan.” Selama empat bulan pertama di tahun 2018 ini, kita telah dan akan terus belajar bagaimana menjadi wanita yang memiliki hati yang takut akan Tuhan dan menghormati laki-laki sebagai kaum yang setara dengan kita. Kalo orang yang dulunya budak pada akhirnya dibebaskan, apalagi kita yang telah merdeka di dalam Tuhan (Kolose 3:11)? 

Aku keinget pernah nulis tentang put my feet on his shoes, untuk mengajariku bagaimana aku melihat dari sudut pandang si doi. :) Menjadi setara dengan laki-laki bukan berarti kita memiliki kesempatan untuk menjatuhkan mereka di saat mereka salah (jadi yang namanya statement ‘women are always right’ nggak selalu bener :p haha!), tapi justru merupakan kesempatan untuk saling memahami dan menghargai—dan juga memiliki keterbukaan hati untuk dibentuk. :) Bayangin kalo laki-laki yang selamanya ada di posisi dominan, sedangkan kita cuma bisa manut tanpa berhak membantah—apalagi kalo keputusan yang doi buat salah? Duh, jadi nggak imbang, kan... Syukurlah, Tuhan nggak bermaksud menciptakan laki-laki dan perempuan dengan ketimpangan derajat, melainkan seimbang—walopun laki-laki emang diharapkan yang jadi pemimpin keluarga karena punya natur memimpin (dilihat dari aspek dominasi, kesehatan, dan kecerdasan) (3) bukankah itu tujuan laki-laki dan wanita diciptakan? Agar kita saling mengasihi dalam kebenaran.

Baca juga:

Blaker, N. M., Rompa, I., Dessing, I. H., Vriend, A. F., Herschberg, C., & Vugt, M. v. (2013). The height leadership advantage in men and women: Testing evolutionary psychology predictions about the perceptions of tall leaders. Group Processes & Intergroup Relations, 17-27. doi:https://doi.org/10.1177/1368430212437211

Monday, October 30, 2017

Marah Itu Pilihan


by Mega Rambang

Bahagia itu sederhana.

Kalimat ini jadi tema statusku dan beberapa kawan saat mengikuti kuis yang diadakan oleh Morris. Dan aku bersyukur mengikuti kuis itu, membuatku menyadari kalo bahagia itu gak cuma sederhana, sesederhana saat kita memutuskan buat bahagia.

Bahagia itu keputusan.

Saat kita memutuskan untuk mensyukuri setiap hal kecil dan sederhana yang kita miliki, maka kita akan berbahagia.

Aku juga belajar saat ini kalo MARAH pun juga bisa jadi pilihan kita.

Kemarin aku merasa marah pada seseorang, dia mengatakan sesuatu yang menyakitiku. Ingin rasanya mengatakan sesuatu untuk mengungkapkan kemarahanku, tapi aku pikir daripada aku melakukan sesuatu yang bodoh lebih baik aku diam dulu. Konyolnya, saat aku membayangkan orang lain yang mengatakan hal itu kepadaku, kok aku gak merasa semarah kepada orang tadi ya *sigh*. Aku memutuskan untuk berhenti marah.
AKU GAK MAU MARAH.

Perasaan muncul silih berganti, datang dan pergi dengan cepat, tapi sebenarnya kita yang memutuskan apakah perasaan itu akan tinggal menetap atau hanya sesaat.

Pernah dengar kalimat ini: Seperti menyiram bensin ke api.

Kalimat ini biasa kita gunakan saat seseorang marah, lalu adaaaaa saja hal ato seseorang yang membuatnya semakin marah. Bayangkan api yang sedang membakar lalu disiram bensin, tentunya api semakin besar dan merusak sekitarnya. Demikianlah amarah yang dipelihara, alih-alih dipadamkan, malahan diberi bahan bakar, gimana gak merusak.

Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa; berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam. 
Mazmur 4:5

Ayat ini yang menahanku untuk berkata-kata kepada orang yang membuatku kesal. Aku diam.
Good job Meg!
NO.
Aku diam tapi dalam hati aku masih kueseeeelllll luar biasa sama orang itu.Aku memikirkan berbagai alasan NEGATIF mengapa orang tersebut berkata demikian. Aku sedang menyiram bensin ke apiku. DAN AKU SEMAKIN MARAH.

Puji Tuhan, di tengah pergumulanku antara memaki-maki atau menyindir secara halus orang ini, kesadaran timbul, kesadaran untuk gak berbuat bodoh. Aku baru berdoa, yeahhhh... sesudah lama bergumul baru ingat berdoa, aku berdoa dan protes ke Tuhan:
Apa sih maunya orang ini?
Dan Tuhan diam aja.
Mbok Tuhan jawab yaaa... hehhehehe

Gak tau napa waktu habis berdoa, aku jadi sedikit tenang. Mulai mencoba berpikir positif. Diam di tempat tidur lagi dan mencari ribuan (oke, gak nyampai ribuan, aku lebay), eh beberapa alasan mengapa si orang ini berkata demikian.TAPI kali ini aku mencoba berpikir positif:
Pasti dia hanya bercanda...
Pasti dia gak tahu dampak perkataannya...
Pasti dia gak ingin menyakiti siapa-siapa...

Mencoba berpikir positif waktu marah tu gak gampang,i ni seperti ada setan dan malaikat yang mencoba mempengaruhiku. Waktu aku mencoba berpikir positif ada aja sisi lain yang berkata:
Masa sih dia sebodoh itu, ngomong tanpa tau dampaknya. Hahahaha... kepalaku penuh...

Dan ini lah ya dampaknya menaruh ayat hapalan tentang kasih dimeja kantor, aku melihat ayat ini:

Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
1 Korintus 13:5 

Kasih TIDAK PEMARAH.

Bukan berarti kasih gak bisa marah tapi kasih gak mudah marah. Kasih gak meledak-ledak merusak hubungan. Kasih marah dengan sopan, dia gak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih yang marah bukan seperti binatang buas yang ingin menyakiti dengan semangat membalas.

sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.
Yakobus 1:20

Aku memilih melepaskan amarahku dan menyerahkannya kepada Allah. Aku mau mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Aku gak mau marah sembarangan. Kalo pun aku perlu berbicara hati ke hati dengan orang tadi, aku memilih untuk menenangkan diriku, berpikir positif dan tidak membiarkan perasaanku bergantung pada orang lain.

Jika aku bisa memilih untuk berbahagia saat keadaan sebenarnya tidak membahagiakan, tentunya aku juga bisa dunk memilih untuk gak marah lagi.

Bukan karena aku gak punya alasan untuk marah, tapi karena alasan itu tidak penting, maka aku gak akan membiarkan sukacita dan damai sejahtera yang aku punya direnggut amarah sesaat. Kalopun aku marah, aku gak akan membiarkannya berlama-lama menetap di hatiku, aku akan mengusirnya jauh-jauh. PERGI KAU AMARAH!!! ;)

Friday, October 27, 2017

Hati: Keras vs Lemah Lembut (Bagian 3)


by Mekar Andaryani Pradipta


Kamu akan kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam hatimu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras, dan kuberikan kepadamu hati yang taat.
Yehezkiel 36:26

Setelah belajar tentang perbedaan hati yang keras dan lemah lembut dan bagaimana Tuhan mengubah hati kita, sekarang kita akan belajar tentang satu hal yang tidak kalah penting yaitu roh yang baru.

Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?
I Korintus 2:11

Roh manusia adalah pelita Tuhan, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya
Amsal 20:27

Hati dan roh ternyata punya kaitan erat. Roh kita adalah pelita Tuhan untuk menerangi hati kita. Jika roh kita yang adalah pelita ini tidak berfungsi dengan baik, hati kita seperti tidak mendapatkan pengawasan yang seharusnya. Roh inilah yang memampukan kita hidup dengan hati yang lemah lembut, yaitu hati yang taat kepada kehendak Allah. Karena inilah karakter dari roh itu sendiri: roh memang penurut, tetapi daging lemah (Matius 26:41).

Untuk itulah roh kita harus diperbaharui dengan roh yang kita terima dari Allah. Dan, roh yang ia berikan kepada kita itu adalah Roh-Nya sendiri, pribadi-Nya yang kita kenal sebagai Allah Roh Kudus. Roh ini diam di dalam kita. Tubuh kita adalah bait Roh Kudus, Roh Kudus yang kita peroleh dari Allah (I Kor 6:19). Roh Kudus inilah yang memimpin kita agar terus melembutkan hati. Dalam Ibrani 3:7-8, hal ini tertulis dengan jelas. 

Sebab itu, seperti yang dikatakan Roh Kudus: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman pada waktu pencobaan di padang gurun...”

Ketika kita menerima Kristus, maka perubahan hati itu dimulai. Dalam perjalanan perubahan hati itu, kadang Tuhan memang perlu mengoperasi hati kita, menggunakan peristiwa, keadaan; baik maupun tidak baik, untuk menyingkirkan bagian-bagian yang keras di hati kita. Dan dalam semua proses itu, ada roh yang baru, roh-Nya sendiri yang ia berikan, menjadi pelita-Nya untuk menerangi dan mengawasi hati kita.

Lalu bagaimana caranya Roh Kudus bekerja?

Sebagai pribadi Tuhan, tidak ada Batasan bagi Roh Kudus untuk bekerja. Tapi salah satunya seperti yang tertulis dalam ayat ini,

Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus... Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah kukatakan kepadamu.
Yohanes 14:26

Salah satu cara Roh Kudus bekerja adalah melalui Firman Allah. Mungkin hal ini sering kita alami, ketika kita sedang bergumul untuk taat, tiba-tiba kita teringat pada ayat atau pengertian yang pernah kita dapatkan, itulah pekerjaan Roh Kudus. Ketika kita mendisiplin diri kita untuk membaca Firman dan merenungkannya, sebenarnya kita sedang membiarkan Roh Kudus bekerja melembutkan hati kita.

Bagian kita adalah menentukan pilihan: apakah kita mau mendengarkan Dia atau mengacuhkan-Nya. Ketika kita memilih untuk bekerja sama dengan Roh Kudus, maka hari demi hari hati kita akan berubah. Dia mengubah hati kita menjadi hati yang lemah lembut, sama seperti Dia sendiri adalah lemah lembut.

Wednesday, October 25, 2017

Hati: Keras vs Lembut (Bagian 2)


by Mekar Andaryani Pradipta

Kalo belum baca yg bagian 1, baca disini ya.

Kamu akan kuberikan hati yang baru, dan roh yang barudi dalam hatimu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras, dan kuberikan kepadamu hati yang taat.
Yehezkiel 36:26

Membaca ayat ini, entah kenapa saya membayangkan operasi transplantasi hati. Operasi yang dilakukan Tuhan untuk mengambil hati kita yang batu, dan menggantinya dengan hati daging. Masalahnya operasi itu tidak ada yang nyaman, apalagi operasi besar seperti cangkok hati. Bayangkan, Tuhan membedah bagian-bagian yang paling tersembunyi, menyayat, mengiris atau memotong beberapa bagian diri kita yang paling peka. Dan setahuku, di ruang bedah Tuhan tidak dipakai obat bius...

Ketika hati yang keras sedang Tuhan lembutkan, ada prosesnya. Ia membentuk, menyempurnakan. Ia mengikis apa yang tidak tepat. Membuang apa yang tidak seharusnya. Meremukkan apa yang salah.Tidak semua orang sanggup bertahan di bawah tangan kuat kuasa Tuhan yang sedang melembutkan kita. Ada yang justru menjadi keras dan bahkan meloncat keluar dari ruang operasi Tuhan.

Contoh gampangnya adalah Israel, si bangsa tegar tengkuk yang keras kepala. Untuk melembutkan hati mereka, mengubahnya menjadi hati yang taat, ruang operasi Tuhan berupa padang gurun. Di padang gurun inilah Tuhan menyingkapkan setiap kekerasan hati yang selama ini tersembunyi dan membereskannya.

Apakah beres?

Tergantung respon. Sebagian bangsa Israel mati di Padang Gurun membawa kekerasan hati mereka. Sebagian yang lain merelakan diri diubah dan berjalan hingga tanah perjanjian.

Dalam hal apa Tuhan sedang mengoperasi kekerasan hati kita? Dalam hal apa kita masih tidak bisa taat? Mungkin saat ini diantara kita malah sedang berada di ruang operasi Tuhan. Seperti terkurung, tidak paham dengan apa yang Tuhan kerjakan. Yang kita rasakan cuma rasa sakit.

Karena Tuhan membedah hati kita dengan pisau penantian. Mungkin setelah itu Tuhan bedah hati kita dengan pisau kehilangan. Di lain waktu Tuhan bedah hati kita dengan pisau kegagalan.

Saat operasi itu terjadi, bertahanlah. Jangan memberontak. Beri respon yang benar pada setiap tindakan Tuhan. Tuhan adalah ahli bedah yang bisa dipercaya. Ia tidak pernah salah mendiagnosa. Ia tidak pernah salah memberi tindakan. Ia memang tidak senang melihat kita menderita, tapi Ia menguatkan dirinya, mengijinkan kita menderita sebentar demi kebaikan kita. Waktu kita mengerang kesakitan selama proses operasi itu, ia selalu siap untuk menghapus keringat dan air mata kita. Ia juga selalu siap dengan kata-kata semangat agar kita bisa bertahan.

Kita ada di tangan yang tepat. Kita ada di ruangan yang tepat. Kita ada di proses yang tepat. Ikuti saja sampai operasinya selesai. Lalu lihatlah hasil operasi Tuhan. Betapa berbedanya hati kita, hati yang keras itu sudah tidak ada, diganti dengan hati yang taat.

Monday, October 23, 2017

Hati: Keras vs Lemah Lembut (Bagian 1)



by Mekar Andaryani Pradipta

Ketika merenungkan makna kelemahlembutan, ayat ini terlintas di pikiran saya:

Kamu akan kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam hatimu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras, dan kuberikan kepadamu hati yang taat.
Yehezkiel 36:26

Awalnya saya heran karena di ayat ini kata “lemah lembut” sama sekali tidak disebut. Tapi ternyata, kata keras didefinisikan oleh KBBI sebagai “tidak lemah lembut”. Keras adalah lawan dari lemah lembut. Hal ini dikonfirmasi ketika saya membaca terjemahan lain dari ayat di atas.

“And I will give you a new heart, and I will put a new spirit in you. I will take out your stony, stubborn heart and give you a tender, responsive heart.”
Yehezkiel 36:26 (New Living Translation)

Istilah “tender” adalah sinonim kata gentle dan meek, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “lemah lembut”. 

Merenungkan ayat ini, setidaknya ada 2 (dua) hal yang bisa kita pelajari. Pertama, perbedaan hati yang keras dan lemah lembut, dan, kedua, bagaimana Tuhan mengubah hati yang keras menjadi lemah lembut. Artikel kali ini akan membahas poin pertama. 

Firman Tuhan menggambarkan dua macam hati dengan ciri-cirinya masing-masing. Kalau kita pelajari terjemahan versi lain maka kita bisa membuat daftar perbedaan hati yang keras dan hati yang lemah lembut.

Yehezkiel 36:26
Hati yang Keras
Hati yang Lemah Lembut
TB
Keras
Taat
BIS
Sekeras batu
Taat
FAYH
Mengeras seperti batu karena dosa
Lembut dan penuh kasih
NIV/NKJV
Heart of stone
Heart of flesh
Message
Stone heart
A heart that’s God-willed, not self-willed

Dari daftar itu, Firman Tuhan ternyata mencatat bahwa hati yang keras disebabkan karena dosa, dan jalan keluar dari masalah dosa ini hanya ada dalam karya keselamatan Kristus di kayu salib.

Di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.
Kolose 1:14

Hal ini berarti, hati yang lemah lembut harus diawali dengan pertobatan. Tanpa pertobatan, mustahil hati yang keras bisa berubah menjadi lembut. Kenapa? Karena hanya Tuhan yang sanggup mengubah hati. Yehezkiel 36:26 tadi jelas sekali menuliskan bahwa perubahan hati adalah pekerjaan Tuhan. “Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras, dan kuberikan kepadamu hati yang taat,” demikian firman Tuhan. Usaha manusia untuk memiliki hati yang lemah lembut akan sia-sia tanpa Allah di dalamnya.

Masalahnya, banyak orang yang sudah percaya Kristus tapi tidak mengalami perubahan hati. Contoh yang paling jelas adalah bangsa Israel yang oleh Tuhan disebut sebagai ‘bangsa yang tegar tengkuk’. Tegar tengkuk adalah masalah hati. Itulah mengapa Tuhan memerintahkan, “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk.” (Ulangan 10:16 – TB). Dengan kata lain, “sucikanlah hatimu yang berdosa... (Ulangan 10:16 – FAYH) dan milikilah hati yang lemah lembut.

Sayangnya, alih-alih menyunat hati, bangsa Israel yang telah mengalami pembebasan dari kehidupan lama di Mesir (yang pada Perjanjian Baru serupa dengan mengalami pembebasan dari dosa), justru menolak hidupnya diatur oleh Tuhan dan bahkan ingin kembali Mesir (alias kembali ke kehidupan dosa). Bangsa ini menolak diarahkan oleh Tuhan, tak peduli berapa banyak berkat dan bukti kasih Allah yang telah mereka peroleh dan lihat.

Hati mereka tetap keras karena mereka tidak membiarkanTuhan mengambil alih hidupnya.

Sesuai daftar tadi, ciri utama dari hati yang lembut adalah dikuasai oleh kehendak Allah, bukan kehendak diri sendiri. Hati seperti ini adalah hati yang mengerti bahwa ‘...bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Selain percaya Yesus, maka untuk memiliki hati yang lemah lembut memerlukan kesediaan kita menanggalkan ‘keakuan’ kita. Ini artinya, memposisikan Yesus sebagai Tuhan dalam hidup kita.

Selama kita masih hidup di dunia, memang tidak mungkin untuk bebas seratus persen dari keinginan diri sendiri. Namun keinginan orang yang hatinya lemah lembut akan mudah ditundukkan oleh kehendak Allah. Hatinya begitu responsive (Yehezkiel 36:26 – NLT) kepada isi hati Tuhan. Hatinya sanggup menyangkal diri dan memilih mengikuti Yesus, walaupun itu juga berarti harus memikul salib.

Jadi, melihat daftar dan renungan kita kali ini, yang manakah hati kita? Keras atau lemah lembut? Pada hal-hal apa saja hati kita masih keras dan menuruti keinginan diri sendiri? Dalam hal-hal apa saja hati kita sudah responsif dengan kehendak Tuhan?

Sambil menunggu artikel bagian kedua tentang bagaimana Tuhan melembutkan hati yang keras. Yuk kita sama-sama evaluasi hati kita. Jangan lupa juga membuat komitmen-komitmen spesifik kalau Tuhan tunjukkan hal-hal tertentu yang selama ini menghalangi kita memiliki hati yang lemah lembut ya...

Monday, October 16, 2017

Rahasia Cantik tanpa Kosmetik




by Yunie Sutanto

Siapa sih wanita yang tak ingin tampil menarik?
Semua wanita ingin terlihat cantik…
Dari bulu mata yang lentik
Hingga cat kuku di jari yang lentik
Belum pula tubuh yang berbalutkan busana apik
Dengan bahan kain batik
Begitulah semangat yang terpantik
Saat kaum hawa ingin tampil yang terbaik!


Beauty hurts... they say.
Beauty bloggers merajalela, produk kosmetik dengan target sasaran kaum hawa laris manis... Bisnis kosmetik tuh pasti membawa keuntungan deh...

Meningkatnya jumlah bedah plastik membuktikan betapa upaya untuk cantik ternyata tak mengenal takut! Ga takut mahal dan ga takut sakit!
Cantik itu luka... itulah harganya agar tampil cantik!
Wanita memang sudah demikian, suka berhias agar cantik parasnya. 

Namun apa kata Alkitab tentang ini?
Berhias diri ternyata sudah ada sejak jaman Alkitab juga loh! 


Beauty is vain... the Bible says!
Well... Let’s make sure we are not misquoting:


Favour is deceitful, and beauty is vain: but a woman that feareth the LORD, she shall be praised. -- Proverbs 31:30 (KJV Bible)

Firman Tuhan tuh gak pernah ketiggalan zaman, always up to date!
Soal berias pun ada di Alkitab!
Alkitab sebagai manual hidup kita, jadi untuk urusan kecantikan pun, sudah ada tuntunanNya.

Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.
1 Petrus 3:3-4

Perhiasan lahiriah yang umum dikenakan wanita:
  • Mengepang-ngepang rambut: era kekiniannya mungkin aneka treatment saat nyalon, mulai dari digital perm, rebonding, highlight, hair extension, dan kroni kroninya yang lain. 
  • Memakai perhiasan emas: era kekiniannya bisa literal, memakai asesoris yang menonjolkan kepribadian si pemakainya…. ada yang suka perhiasan emas, emas putih, berlian. perak, giok atau bahkan tren cincin batu mungkin? 
  • Mengenakan pakaian yang indah-indah: era kekiniannya baju bermerek, baju yang lagi tren, baju yang digunakan ikon mode tertentu... pokoknya baju indah yang juga tak segan menguras kocekmu

Semua yang disebutkan diatas nampak amat berharga di mata manusia, bukan? 

Namun perhiasan macam apa yang berharga dimata Tuhan?
Perhiasan yang dinasehatkan oleh Alkitab adalah perhiasan yang tidak binasa, dari roh yang lemah lembut dan tentram, yang sangat berharga di mata Allah!

Orang yang memiliki roh lemah lembut , tentu perkataannya pun berbeda.
Inside out: yang terpancar di mulut mengalir dari hati. Dari hati terpancar ke mulut. 

Dalam penutup kitab Amsal pun, Salomo menulis tentang wanita yang bijak:

Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya. 
--Amsal 31:26

Wanita yang berhias versi Alkitab adalah wanita yang memiliki kualitas roh yang lemah lembut. Perkataannya lembah lembut, membawa damai di telinga dan hati pendengarnya.

Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah. --Amsal 15:1

Adalagi nih ternyata bonus untuk orang yang lemah lembut:

Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. 
--Matius 5:5


So, mau berias ala Alkitab? Cantik yang berasal dari Tuhan dimana justru manusia batiniahnya yang cantik. Inside beauty yang tak lekang oleh waktu. Kalau cantik fisik ada expired date nya, tak demikian dengan cantik batin. Yuk makin sering berkaca pada Firman Tuhan!

Monday, October 9, 2017

The Power of Gentle Tongue



by Leticia Seviraneta

“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” –Amsal 15:1 

Kata kelemahlembutan terdengar kurang menarik bagi sebagian dari kita. Dalam bahasa kita, kata ini sering diasosiasikan dengan sikap yang terlihat lemah dan lembut. Namun di dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah gentleness atau meekness. Dalam bahasa Yunani, digunakan kata praotes yang artinya strength in gentleness; keseimbangan antara power dengan pengendalian diri; strength under reserve; kemampuan untuk tidak bersikap kasar yang tidak membangun namun juga dapat bersikap tegas bila diperlukan. 

Kelemahlembutan dapat digambarkan sebagai kekuatan batin di dalam (inner strength), tidak terlihat namun memberi kestabilan dan ketenangan bagi yang memilikinya meski situasi di luar sedang tidak kondusif. Kita menunjukkan kualitas kelemahlembutan ketika kita sebenarnya mampu membalas, baik perkataan maupun perbuatan, namun kita mampu untuk menahan diri dan tidak melakukan pembalasan. Hal inilah yang memberikan gambaran bahwa kelemahlembutan sama sekali bukanlah atribut yang dimiliki oleh orang yang lemah, melainkan orang yang kuat, karena dibutuhkan kekuatan jauh lebih besar untuk tidak menggunakan power kita meski kita sangat mampu menggunakannya. 

Di artikel ini saya ingin mengupas lebih dalam lagi mengenai kelemahlembutan secara khusus di area perkataan. Kita sebagai wanita pada umumnya senang sekali berbicara. Namun kita seringkali melupakan bahwa di dalam perkataan kita baik dari pilihan kata, nada, dan waktu pengucapannya sangat penting karena memiliki dampak besar. 

“Kita semua sering membuat kesalahan. Tetapi orang yang tidak pernah membuat kesalahan dengan kata-katanya, ia orang yang sempurna, yang dapat menguasai seluruh dirinya.

Kalau kita memasang kekang pada mulut kuda supaya ia menuruti kemauan kita, maka kita dapat mengendalikan seluruh badan kuda itu. Ambillah juga kapal sebagai contoh. Meskipun kapal adalah sesuatu yang begitu besar dan dibawa oleh angin yang keras, namun ia dikendalikan oleh kemudi yang sangat kecil, menurut keinginan jurumudi. Begitu juga dengan lidah kita; meskipun lidah kita itu kecil, namun ia dapat menyombongkan diri tentang hal-hal yang besar-besar. Bayangkan betapa besarnya hutan dapat dibakar oleh api yang sangat kecil!” –Yak 3:2-5 

Yakobus memberikan gambaran betapa besarnya peranan lidah atau perkataan di dalam kehidupan kita. Terlebih lagi betapa besarnya berkat yang dapat kita berikan bagi orang lain, bila perkataan kita merupakan perkataan yang lemah lembut! Seberapa besarkah kekuatan sebuah perkataan yang lemah lembut? Dalam Amsal 15:1 Salomo menuliskan, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” Dari ayat tersebut, jelas bahwa bila kita mampu berkata dengan lemah lembut, kita bagaikan air di tengah api yang membara. Kita dapat meredakan situasi yang memanas di saat orang lain mungkin sedang marah-marah. Kelemahlembutan memberikan seseorang kekuatan meski sedang diperlakukan tidak adil sekalipun. Orang yang lemah lembut tidak terpancing untuk membalas tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Apabila muncul saat yang tepat ketika ia perlu berbicara maka ia akan memikirkan kata-kata yang tepat terlebih dahulu disertai dengan nada yang baik agar tidak membuat lawan bicara menjadi semakin marah. 

“Kesabaran disertai kata-kata yang ramah dapat meyakinkan orang yang berkuasa, dan menghancurkan semua perlawanan.” – Ams 25:15 [BIS] 

Di dalam terjemahan bahasa Inggris dikatakan bahwa a gentle tongue breaks a bone. Hal ini mengandung makna bahwa perkataaan lemah lembut dapat mematahkan perlawanan sekeras apa pun. Ini merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa! 

Apakah semua ini terdengar sulit untuk dilakukan bagi teman-teman? Lalu bagaimana cara agar tutur kata yang lemah lembut menjadi gaya hidup kita? 

1. Hidup di dalam pimpinan Roh Kudus 
Karena kelemahlembutan merupakan aspek dari buah Roh (Gal 5:23), maka kita tidak dapat menghasilkan kualitas tersebut di luar pimpinan Roh Kudus. 

“Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.” – Gal 5:16 

Hidup dipimpin oleh Roh membutuhkan penundukan dan penyerahan segenap hidup kita untuk mau taat terhadap arahan Roh Kudus. Kita juga memerlukan kepekaan untuk mendengarkan suara-Nya dengan rajin berdiam diri dan bersekutu dengan Tuhan. Saya secara pribadi adalah orang yang lebih cepat berbicara dibandingkan berpikir. Jadi kemungkinan saya untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat, di nada yang salah, serta di waktu yang salah sangat tinggi. Namun seiring dengan pertumbuhan saya, serta setelah mengalami beberapa konsekuensi dari kurangnya kelemahlembutan dalam bertutur kata, saya akhirnya belajar untuk berkata-kata sesuai dengan arahan Roh Kudus. Roh Kudus akan menuntun apa saja yang perlu dikatakan dan apa saja yang tidak perlu. Yang perlu kita lakukan adalah taat terhadap arahan-Nya. Bila Roh Kudus memberikan impresi untuk kita berhenti berbicara atau berkata dengan nada yang lembut, maka lakukanlah. Bila kita tidak mampu berbicara dengan lembut saat itu lebih baik kita diam dan mundur dari perbincangan tersebut. 

“Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air; jadi undurlah sebelum perbantahan mulai.” – Amsal 17:14 

2. Latihan, latihan, latihan 
“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah.” –Yak 1:19 

Latihlah untuk lebih berpikir sebelum bertutur kata. Apakah perkataanku ini membangun? Apakah perkataanku ini dapat kusampaikan dengan nada lembut? Apakah waktunya tepat untuk menyampaikannya? Bila salah satu dari pertanyaan tersebut jawabannya adalah tidak, maka perkataan tersebut tidak perlu diucapkan sama sekali. Tantangan berikutnya adalah ketika lawan bicara kita memancing amarah yang membuat kita sangat ingin membalas atau berbuat sesuatu untuk menunjukkan ia salah. Dalam situasi ini penting bagi kita untuk memiliki sudut pandang yang benar. Kita hendaknya berpikir bahwa kalah dalam argumentasi bukanlah berarti kita lemah ataupun payah. Kita harus berada di atas argumentasi tersebut, bukan terbawa arus olehnya. Justru hal ini menunjukkan benar-benar bahwa kita kuat. Untuk apa memenangkan perdebatan, namun pada akhirnya merusak hubungan itu sendiri? Di dalam hubungan dengan sesama tidak ada unsur kompetisi di mana ada menang maupun kalah. Di dalam Tuhan, hubungan harus bersumber dari satu hal saja: kasih. Tidak ada menang atau pun kalah di dalam kasih. Yang ada hanyalah hubungan ini penuh kasih atau tidak ada kasih di dalamnya. 

“Perintah baru Kuberikan kepadamu: Kasihilah satu sama lain. Sama seperti Aku mengasihi kalian, begitu juga kalian harus saling mengasihi. Kalau kalian saling mengasihi, semua orang akan tahu bahwa kalian pengikut-pengikut-Ku.” –Yoh 13:34-35 [BIS] 

Biarlah tutur kata yang lemah lembut menjadi gaya hidup kita agar orang-orang mengenali kasih yang ada di dalam setiap hubungan yang kita bina dan pada akhirnya membawa mereka ke dalam pengenalan akan Yesus Kristus. 

Friday, October 6, 2017

Lemah Lembut pada Suami


by Alphaomega Pulcherima Rambang


Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah. (Amsal 15:1 (TB))


Pernahkah bertengkar karena perkataan?

Aku pernah. Sering.

Biasanya ini TKP-nya di rumah.

Sasarannya? Suamiku.


Semula aku mengira ini terjadi karena isi perkataanku, tapi kupikir-pikir ga ada tuh isi omonganku yang perkataan kotor (sampai perlu disensor). Penyebabnya nggak cuma itu. Lalu aku me-review, memutar ulang pertengkaran kami dan AHA!!! Aku menemukan jawabannya. Masalahnya ada di aku. Nada suaraku terkadang meninggi. Aku membantah pak suami karena menganggap diriku yang paling benar. Sewaktu aku kesal dengan suamiku, aku nggak bisa mengendalikan lidahku. Kalau nggak diam (baca: ngambek), aku berkata ketus. Bukan yang pakai teriak sampai terdengar tetangga sih, tapi nada bicaraku nggak menyenangkan. Kasar. Nah, masalahnya adalah nggak ada orang yang senang mendengarkan orang berkata-kata kasar padanya, bahkan orang yang kasar sekalipun. Ibaratnya api disiram bensin makin besar, maka jawaban yang pedas membuat masalah semakin besar. 

Bagaimana caranya bersikap lemah lembut terhadap suami? 
1. Lebih banyak mendengar dibanding berbicara
Berlambatlah berkata-kata dan banyak mendengar supaya kita bisa mengerti apa isi hati suami yang sesungguhnya. Terkadang kita nggak mengerti karena nggak mau mendengarkan lalu respon kita jadi salah. Padahal kalau kita mau mendengarkan dengan baik, kita akan mengerti isi hati suami yang sesungguhnya dan nggak mengasumsikan yang negatif. Nah, kalau suami ngomong satu kalimat dan kita menyambar balas puluhan kalimat, kira-kira apa yang terjadi? Apakah suasana mendingin atau memanas? Lebih baik diam jika kita tidak punya hal baik untuk diucapkan. 

2. Perhatikan isi perkataan kita
Sebelum berbicara... THINK:

T = is it True? (apakah yang kubicarakan ini benar?)

H = is it Helpful? (apakah yang kubicarakan ini menolong?)

I = is it Inspiring? (apakah yang kubicarakan ini menginspirasi?)

N = is it Necessary? (apakah yang kubicarakan ini penting?)

K = is it Kind? (apakah yang kubicarakan ini baik?)

Kalau memang kita pikir itu bukan hal yang benar, atau nggak menolong, atau nggak menginspirasi, atau nggak penting, atau hal yang nggak baik... lebih baik nggak usah kita katakan.

Suatu kali aku kesal karena suamiku menghabiskan waktu weekend-nya bukan dengan kami tapi malah memasang parabola kami. Begitu ada masalah, aku berkomentar, ”Tuh kan, nggak bisaaaa... Coba suruh orang saja, bayar sedikit. Pasti nggak kayak gini.” Bisa diduga kan, akibatnya? Kami bertengkar karena aku nggak berhati-hati dengan ucapanku. Kalau dipikir sekarang aku merasa tolol, apa coba aku berkomentar seperti itu? Nggak ada gunanya, nggak membantu mempercepat pekerjaannya, eh membuat kesal iya. 

3. Perhatikan sikap dan nada kita saat berbicara 
Terkadang kita nggak sadar kalau bahasa tubuh, nada suara dan sikap kita saat berbicara itu kasar. Kendalikan diri. Kita harus punya kontrol atas segala tindakan kita. Terkadang tanpa sadar kita memalingkan muka saat suami berbicara, menaruh barang dengan kasar, membanting pintu karena kesal, dll. Ini memancing pertengkaran. Begitu juga dengan nada suara kita, kita harus tenang supaya nada bicara kita nggak meninggi. Suami tahu looo... kalau kita mulai menaikkan nada bicara kita. Tetaplah menghormati suami dan bersikap lembut padanya.

Kalau dengan orang lain kita bisa berlemah lembut, kenapa tidak pada suami? ^^V

Wednesday, October 4, 2017

Kelemahlembutan: Belajar dari Musa (2)


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Musa juga pernah gagal menaati Allah. Ketidaktaatan Musa terjadi saat bangsa Israel kehausan di padang gurun dan bersungut-sungut meminta air kepada Musa dan Harun. Ketika Musa dan Harun melaporkan sungut-sungut bangsa Israel kepada Tuhan, Tuhan memerintahkan Musa untuk berbicara kepada sebuah bukit batu agar mengeluarkan air, sehingga bangsa Israel bisa minum. Namun, Musa tidak melakukan tepat seperti yang diperintahkan oleh Tuhan. Kisah lengkapnya bisa kita baca di Bilangan 20:2-13. 

Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: "Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka." (Bilangan 20:13)

Di mata Tuhan, kesalahan Musa bukanlah kesalahan yang kecil atau sepele, tetapi sudah termasuk pada dosa pemberontakan. Akibatnya pun fatal: Musa tidak dapat masuk ke tanah perjanjian. Apakah saat itu Musa protes? Nggak! Musa menerima saja hukuman Tuhan. Bayangkan, selama puluhan tahun Musa bersabar memimpin umat Israel dan nggak melakukan kesalahan; namun karena satu kesalahan maka dia menerima hukuman seberat itu. Respon Musa luar biasa, dia menerima saja dan sesudahnya nggak merasakan kepahitan kepada Tuhan, dia tetap taat.

Ada kan ya, orang yang melakukan kesalahan dan ditegur Tuhan malah marah dan kepahitan sama Tuhan, lalu menolak Tuhan. Tapi berbeda dengan Musa. Dia menerima keputusan Tuhan, apapun itu, sebagai konsekuensi atas kesalahannya.

Allah dapat berbicara dengan mudah pada orang yang lembut, karena orang itu mau mendengarkan. Orang yang lembut hatinya lebih mudah untuk taat. Dia mudah ditegur, karena dia mau meresponi apa yang Allah katakan dengan hati yang terbuka. Semua orang bisa berbuat salah, tapi pada orang yang lembut, dia lebih cepat untuk berbalik dari kesalahannya. Hati yang lembut dan gampang dibentuk oleh Allah, bukan hati yang keras dan susah dibentuk. Hati yang lembut saat dia ditegur Allah akan segera taat ^_^ Ada lo, orang yang berbicara lembut tetapi hatinya keras! Kelihatannya dia tenang dan berbicara dengan lemah lembut, tapi hatinya menolak dengan keras—bahkan tanpa mempertimbangkan dan memikirkan—apa yang coba disampaikan orang kepadanya. Ciri-ciri orang yang lembut hatinya yang terakhir adalah ia MAU DIAJAR DAN DIBENTUK oleh ALLAH.

Bagaimana dengan kita? :)

Monday, October 2, 2017

Kelemahlembutan: Belajar dari Musa (1)


by Alphaomega Pulcherima Rambang


Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi." (Bilangan 12:3)


Mungkin sulit ya, untuk membayangkan Musa sebagai orang yang lembut. Dia adalah orang yang memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Kita tahu betapa tegar tengkuknya bangsa ini, kan? Bagaimana mungkin Musa yang lembut bisa memimpin mereka? Sosok lemah lembut yang aku bayangkan adalah sosok yang kalau bicara pelan, ramah, isi perkataannya bukan kebun binatang, nggak tegas gitu lah pokoknya. Baru akhir-akhir ini aku menyadari kalau yang dimaksud lemah lembut di sini bukan sekadar tampilan luar, bukan tentang sekadar bagaimana dia berbicara atau kata-kata yang diucapkan. Bukan itu!! Yang dibicarakan adalah mengenai sikap hati yang lembut. 

Alkitab mengatakan kalau Musa adalah orang yang paling lembut hatinya di bumi. Ayat ini terletak di dalam perikop yang berkisah tentang pemberontakan Miryam dan Harun. Inti dari kelembutan Musa disimpulkan melalui kisah pada perikop ini. Pada saat itu, kedua kakak Musa ini ingin menjatuhkannya karena iri dengan kepemimpinannya. Apa yang dilakukan Musa? Musa hanya diam dan Allah turun tangan membelanya. Bahkan Allah menghukum Miryam dengan penyakit kusta. Mungkin kalau kita berada di posisi Musa segera saja kita akan bersorak-sorai, merasa menang karena Allah turun tangan langsung membela kita. Tapi tidak demikian dengan Musa, dia malah memohon pengampunan kepada Allah untuk Miryam. Jadi, salah satu ciri orang yang lembut hatinya adalah TIDAK MENDENDAM DAN MAU MEMAAFKAN. 

Kalau kita membaca lagi kisah Musa maka kita akan melihat contoh lain bagaimana dia memang berhati lembut. 

Lalu Musa mencoba melunakkan hati TUHAN, Allahnya, dengan berkata: "Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat? (Keluaran 32:11)

Musa benar-benar punya hati yang lemah lembut. Dia tetap mau membela bangsanya di hadapan Tuhan, padahal kelakuan mereka parah abis. Coba pikirkan, berapa kali mereka menyalahkan Musa untuk semua hal yang mereka alami? Nggak sehari dua hari lo, puluhan tahun! Musa memimpin sebuah bangsa yang kelakuannya sangat buruk: keras kepala, nggak tahu berterima kasih, ahli bersungut-sungut, suka mengeluh, nggak pernah puas, dan selalu menentang Tuhan. Kalau kita di posisi Musa, entah berapa hari kita bisa bertahan. Tapi dia tetap taat. Dia sanggup mengendalikan emosinya dan terus mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan untuk ia perbuat. Setiap saat bangsa Israel menentangnya, Musa nggak mau bertengkar. Justru dia mempersilakan Tuhan yang menjawab bangsa Israel melalui dirinya. Ciri-ciri kedua orang yang lembut hatinya adalah TIDAK SUKA BERTENGKAR. 

Bagaimana jika kita berada dalam situasi seperti yang Musa alami? Apakah kita akan berlari pada Tuhan dan membiarkan Tuhan yang turun tangan, sibuk bertengkar dan berusaha membela diri, atau marah-marah dan mengutuki mereka yang berseberangan dengan kita?