Showing posts with label Kerendahan Hati. Show all posts
Showing posts with label Kerendahan Hati. Show all posts

Monday, January 11, 2021

What Would Jesus Do?




by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.”
(1 Yohanes 2:6)

Slogan WWJD mungkin tidak terlalu sering terdengar sekarang seperti pada tahun 2000 awal. Kepanjangan dari WWJD adalah ‘What Would Jesus Do?’, sebuah pertanyaan singkat yang sebaiknya ditanyakan pada diri sendiri sebelum mengambil keputusan atau tindakan apa yang akan dilakukan. Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir antara melakukan sesuatu atau tidak, seperti apa yang akan Yesus lakukan jika dia berada di posisi kita. Jika kita tidak melakukan seperti yang akan Dia lakukan, jangan-jangan kita tidak mengenal Yesus dengan baik sehingga tidak meneladani Yesus dalam kehidupan kita. Well, pada akhirnya memang kita harus mengenal Dia secara pribadi untuk bisa melakukan seperti yang Yesus lakukan.

"Bayangkan suatu hari Yesus bangun dari tidurnya dan menjalani hidup kita yang sekarang, adakah yang berbeda dari hidup kita?"

Demikian pertanyaan seorang Kakak saat membawa kami dalam perenungan pada persekutuan doa yang aku ikuti di UKM Kristen bertahun-tahun lalu.

Aku ingat kami merenungkan pertanyaan tersebut dan sharing, kira-kira bagaimana Yesus akan menjalani hidup kami. Aku membayangkan jika Yesus akan bangun pagi-pagi sekali, saat teduh, bersih-bersih rumah (Yesus gak mungkin males saat teduh lah ya, hihihi), lalu Ia akan menyiapkan sarapan, duduk sarapan bersama eyangku-mengobrol tentang banyak hal-mendengarkan eyang menceritakan tentang apapun, lalu Ia berangkat kuliah naik motor dengan santai tanpa ngebut sambil ngobrol dengan BapaNya atau bernyanyi-nyanyi - tersenyum melihat mereka yang ngebut. Yesus tidak akan telat tiba di kampus, Ia membantu kawan yang belum mengerjakan tugas - bukan memberi contekan, sesekali Ia bercanda dengan kawan-kawannya-tentunya bukan lelucon kotor yang dikeluarkannya, tidak pula gosip, tapi tanpa begitupun Ia mampu membuat orang lain tertawa, sense of humour Nya terbaik, dst. Yesus menjadi diriku dalam versi terbaik.

Membayangkan Yesus menjalani kehidupanku sangatlah menarik, membayangkan Dia berbicara, kuliah, ikut ujian, pelayanan, dll. Aktivitasnya kurang lebih apa yang aku lakukan TAPI minus DOSA pastiiii... plus hubungan mesra dengan Bapa Surgawi. Saat kita memberikan Yesus tempat istimewa dalam hati dan hidup kita, Dia akan melakukan berbagai hal dengan caraNya, dan PASTI, hidup kita akan berbeda. Aku yang sekarang (memiliki Yesus) akan berbeda dengan aku yang sebelumnya. Tentu saja, yang memimpin adalah Yesus di dalamku, biar Yesus saja yang semakin bertambah dan aku yang semakin berkurang. Kira-kira demikianlah seharusnya hidup kita saat kita telah menerimaNya sebagai Juruselamat kita. KehadiranNya nyata nampak dalam hidup kita. ”Tapi ini sulit, aku gak bisa Tuhan, jeritku dalam hati, kenapa Tuhan tidak membiarkanku seperti ini saja?”

“Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya. Dia akan mengubah kita menjadi seperti Kristus.” 
- Max Lucado
Beberapa waktu kemudian aku mendapat kesempatan membaca sebuah buku yang di dalamnya bertuliskan seperti ini : Bagaimana, kalau Yesus menjadi anda untuk satu hari? Max Lucado dalam bukunya ini, Just Like Jesus, mengatakan bahwa untuk menjadi serupa dengan Kristus harus dimulai dari memiliki hati seperti hati-Nya dan hal itu dimulai dengan pembentukan hati oleh Roh Kudus. Kita perlu belajar memiliki hati seperti hatiNya. Ia menjabarkan ciri hati Kristus yang harus dimiliki oleh umat-Nya, yaitu hati yang mengampuni, penuh belas kasihan, mau mendengar, hati yang haus akan Tuhan, haus beribadah, terfokus pada Allah, jujur, murni, penuh pengharapan, bersukacita, dan tabah. Berikut ini beberapa ciri hati Yesus yang harus kita miliki:


HATI YANG MENGAMPUNI

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”
(Kolose 3:13)

Mengampuni memang sulit tapi Yesus melakukannya, mari kita pandang Yesus yang telah memberikan teladan pengampunan terlebih dahulu terhadap kita. Ingat malam dimana Dia membasuh semua kaki murid-muridNya? Yesus bukannya tidak tahu kalau di antara murid-muridnya akan mengkhianati dan menyangkalNya tapi nyatanya Dia tetap membasuh kaki mereka. Dia memberikan anugerahNya kepada mereka yang tidak pantas diampuni TERLEBIH DAHULU. Dia menawarkan kasih dan pengampunanNya tanpa diminta dan memberikannya cuma-cuma. Kupikir, apa yang kita alami tidak lebih menyakitkan dari yang Dia alami, tapi Dia tetap mengampuni yang menyakitiNya. Inilah yang harus kita teladani


HATI YANG MENDENGAR

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.” 
(Yakobus 1:22-23)

Yesus dalam khotbahNya berkali-kali mengatakan : Siapa bertelinga hendaklah Ia mendengar. Seperti yang Yesus mendengar BapaNya dan taat, kita sangat perlu dengar-dengaran dengan Firman dan kehendak Allah di hidup kita. Bagaimana cara mendengarkan Tuhan? Dimulai dengan Alkitab yang terbuka dan membiarkan Dia berbicara melalui firmanNya yang berisi kehendak dan isi hatiNya, seperti yang Yesus lakukan. Lalu, lakukan! Semudah sekaligus sesulit itu. 


HATI YANG JUJUR

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” 
(Efesus 4:25)

Pernahkah mendapati Yesus berdusta? Sepanjang hidupnya selama 33 tahun kehidupan Yesus di muka bumi, tak ada cerita tentang kebohonganNya sekalipun keadaan Yesus sangat mendesak. Bagaimana dengan kita? Terkadang kita menambah atau mengurangi kebenaran, berbohong demi kebaikan, berdusta untuk melindungi diri kita, dll, apapun itu namanya, tetap saja kita tidak jujur. Bahkan kita menyampaikan hanya setengah kebenaran dan berkata kita telah jujur. Kita perlu meneladani hati Yesus yang jujur, yang tidak ada dusta 


HATI YANG MURNI

“sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” 
(Markus 7:21-22)

Hati manusia dipenuhi dengan segala kejahatan, hal-hal terburuk yang ingin dilakukan. Berbeda dengan hati Yesus yang murni. Setiap hari hatiNya dimurnikan oleh firman Tuhan dan Ia menjaga hatiNya sungguh-sungguh supaya tidak ditumbuhi benih yang jahat. Mudah bagi Yesus untuk merasa sombong karena kuasa yang dimilikiNya, tetapi nyataNya Ia mengakui dan menyadari karya Allah di dalamNya dan memuliakan Allah. Yesus memilih apa yang ingin Dia rasakan dengan selektif sehingga tindakanNya juga selektif. Perbuatan dan perkataan kita adalah cermin dari hati kita.


HATI YANG PENUH PENGHARAPAN

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
(Roma 12:12)

Yesus berkata bahwa segala sengsara yang harus dialamiNya telah dinubuatkan. Dia melihat tujuan dalam penderitaanNya sebagai pemenuhan rencana besar Allah. Dia tidak membiarkan diriNya mengasihani diriNya atau mengutuki keadaan. Dia tetap berharap pada BapaNya dan meminta namun dengan rendah hati menginginkan kehendak BapaNya yang terjadi karena Ia tahu rancangan Allah adalah yang terbaik.

Kita perlu berlatih agar memiliki hati seperti hatiNya. Allah ingin agar kita menempatkan Kristus sebagai TELADAN atas seluruh hidup kita (Roma 8:28-29). Dia mau kita menjadi serupa dengan gambaran anakNya, lewat segala sesuatu yang kita alami. Melalui pilihan-pilihan yang kita ambil, Dia ingin membentuk hati kita menjadi serupa dengan Kristus.

Sebelum melakukan sesuatu, kita perlu menanyakan pertanyaan penting ini:

Apakah ini membuatku makin SERUPA dengan Kristus?

Monday, August 24, 2020

THE LAST = THE FIRST? HOW COME!


by Benita Vida

Siapa sih, yang tidak mau jadi orang yang diutamakan, atau jadi orang nomor satu (dari depan, tentunya)? Apalagi kalau kita seorang wanita, wah… pengen banget jadi yang pertama dan diutamakan. Kan, ada istilah “ladies first”, tuh. Bahkan di beberapa tempat, ada tempat parkir dan diskon khusus bagi para wanita di hari-hari tertentu. Hayo, siapa yang pernah memanfaatkan situasi seperti itu? Hahahaa...

Semua orang ingin menjadi yang pertama dan diutamakan. Gimana nggak? Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama; sejak kita bersekolah saja sudah dikenalkan sistem ranking, begitu juga sistem di dalam dunia ini yang membuat manusia berlomba-lomba mau jadi nomor satu. Bahkan saat mengantre pun kita tidak sabar untuk segera berada di depan kasir (apalagi kalau antrean cukup mengular). Tapi pertanyaannya, salahkah jika kita ingin jadi yang terdepan? Hmmm... sebenarnya nggak, sih. Disadari atau tidak, insting kita—secara alamiah—memiliki kecendurungan untuk menginginkan hal itu. Namun keinginan ini justru menjadi sesuatu yang salah adalah ketika kita mengusahakan segala cara yang tidak benar, bahkan menyakiti orang lain.

Merasa diutamakan itu penting karena itu membuat kita menyadari bahwa orang lain menghargai kita, tetapi menjadi yang pertama dan diutamakan bukanlah segalanya.

Salah satu hal yang diajarkan oleh dunia adalah agar kita harus menjadi yang pertama. Kita dituntut harus bisa menguasai segala sesuatu. Karena itulah, kita memiliki mindset untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Kalau kita lengah dan mengalah, posisi itu bisa direbut oleh orang lain. Nah, disadari atau tidak, kita justru menjadi orang yang egois dan mudah iri hati. Kita marah jika ada orang lain yang lebih pintar dari kita, kita iri jika orang lain malah lebih berhasil dari kita. Akibatnya, keegoisan dan rasa iri hati ini membuat banyak orang menghalalkan segala cara hanya untuk bisa mendapatkan posisi yang utama. Misalnya, kita menyontek saat ujian agar mendapatkan nilai yang baik—bahkan juara pertama; kita “menginjak” dan memanfaatkan orang lain dalam perusahaan kita agar kita bisa dipromosikan. See? Dunia menyatakan bahwa menjadi yang pertama dan yang utama berarti kita menguasai segala hal, orang-orang hormat dan tunduk sama kita, juga menjadi orang yang dilayani dalam berbagai hal.

Tapi pernahkah Pearlians berpikir... Kenapa kita bisa memiliki keinginan untuk selalu menjadi yang diutamakan?

Alasannya bisa bermacam-macam. Mungkin saat masih anak-anak, kita dituntut oleh orang tua untuk memperoleh peringkat terbaik di kelas maupun perlombaan tertentu (bahkan sekolahan). Bisa saja ini dikarenakan mereka melihat potensi di dalam diri kita, sehingga “harapannya” kita mengerahkan seluruh usaha untuk mencapai hasil yang terbaik. Namun tidak jarang pola seperti ini terjadi karena orang tua kita sendiri tidak sanggup memenuhi tuntutan orang lain di masa lalu (misalkan kakek-nenek kita, atasan, dan sebagainya). Selain itu, kalau berada di posisi terdepan, kita akan merasa lebih diterima oleh orang lain; harga diri pun akan meningkat. Lebih asyik, kan, kalau kita dianggap lebih hebat daripada orang lain? Padahal kalau mau jujur, sebenarnya ada perasaan bahwa kita ingin diterima sebagaimana adanya kita (literally)—bukan hanya melulu karena pencapaian kita.

Lalu, apa kata Tuhan Yesus mengenai hal ini?

Kita bisa membacanya di Lukas 14:7-11. Di suatu hari Sabat, Yesus—yang datang ke rumah salah satu pemimpin orang Farisi untuk makan bersama—baru saja menyembuhkan seorang penderita busung air. Berhubung saat itu sedang dilangsungkan perjamuan makan, ada beberapa tamu yang berusaha menduduki tempat kehormatan di sana. Nah, berbeda dari pemikiran mereka untuk berusaha dipandang para tamu yang lain, Yesus mengajarkan hal sebaliknya.

Bagi-Nya, ketika kita merendahkan hati dan diri masing-masing, justru itulah yang akan membuat kita menjadi yang terutama. Hmm, aneh ya? Bagaimana caranya bisa jadi nomor satu tapi posisinya paling rendah? Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengajarkan kalau diundang dalam suatu acara, jangan sampai kita langsung mengambil posisi paling depan, melainkan mengambil posisi paling belakang supaya sewaktu pemilik acara melihat kita, pemilik acara tersebut yang akan memanggil kita dan membawa kita ke posisi paling depan. 

Yesus ingin agar sebagai anak-anak Allah, kita tidak menjadi sombong dan menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, Dia memberikan teladan supaya kita menjadi rendah hati dan mengutamakan orang lain—sebab yang akan meninggikan dan membawa kita ke posisi paling depan adalah si pemilik acara, yaitu Tuhan sendiri. Kalau menggunakan istilah dalam bisnis, “promosi” itu datangnya dari Tuhan dan bukan karena kehebatan atau usaha kita.

Kenapa sih, harus jadi yang terendah supaya bisa jadi yang terutama?

Kenapa yang terakhir bisa menjadi yang pertama? Ini hukum yang aneh, atuh. Bagaimana caranya?

Coba deh, kita perhatikan tokoh-tokoh dan pahlawan iman yang kisahnya diceritakan di dalam Alkitab. Sadarkah kita kalau Tuhan mengambil mereka dari posisi terendah, dan Dia sendiri yang membawa mereka ke tempat tertinggi. Contohnya adalah Daud. Dia adalah anak yang paling kecil dan hampir dilupakan sama papanya sendiri (baca 1 Samuel 16:1-13, khususnya pada bagian Samuel mengundang seluruh keluarga Isai, namun Daud malah masih menggembalakan kambing domba). Bukannya memilih kakak-kakaknya, Tuhan justru memilih Daud yang seperti itu untuk menjadi raja di Israel. Belum lagi Yusuf, salah satu anak Yakub yang termuda (sekaligus anak kesayangan).Walaupun di awal dia dibenci oleh para saudaranya, pernah menjadi budak dan mantan narapidana, tapi Yusuf malah menjadi orang kepercayaan Firaun—dimana semua orang harus tunduk dan taat dengan kata-katanya. Siapa yang sangka orang-orang dengan masa lalu yang buruk dan bisa dibilang orang “rendahan” tapi bisa sukses dan jadi orang nomor satu. Tentunya, semua ini hanya bisa terjadi karena Allah berkenan untuk memilih mereka. Well, bukankah perkenanan-Nya tidak bisa digoyahkan oleh perlawanan manusia?

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat...”
(1 Korintus 1:27)

Di sisi lain, Yesus juga ingin agar kita memahami bahwa potensi yang dimiliki tidak membuat posisi kita menjadi yang pertama di hadapan Allah. Alasannya karena Allah melihat jauh ke dalam hati kita, He sees our motivation! Itulah sebabnya kerendahan hati adalah kunci yang penting bagi kerajaan Allah. Ya, bertentangan dari apa yang dunia ajarkan, kehormatan di hadapan Allah hanya bisa didapat dengan memiliki kerendahan hati—bukan keegoisan dan iri hati. Bagi Allah, karakter dan sikap hati kitalah yang terpenting. Dia menghargai orang yang mau dibentuk dan memiliki hati yang teachable.

Mungkin ketika menerapkan prinsip kerajaan Allah ini, rasanya progress kita dalam mencapai sesuatu cenderung lebih lambat dari orang lain yang (mungkin) sampai harus saling menyikut. Bisa saja kita merasa minder karena posisi terbelakang yang kita alami. Namun bukankah berkat Tuhan tidak selalu tentang materi dan prestasi? Bukankah Dia juga menghargai proses pembentukan karakter kita? Lagipula, Tuhan tidak menjanjikan bahwa kesuksesan akan selalu bersama kita—karena bagi-Nya, penyertaan-Nya bagi kitalah yang lebih penting. Who knows, melalui kerendahan hati kita, orang lain menemukan Pribadi yang selama ini mereka cari? Who knows, mereka justru memberikan respect yang lebih kepada kita ketika melihat bagaimana kita tetap berada di track yang benar (menurut firman Tuhan) untuk memperoleh sesuatu?

Karena itu, baik saat kita sudah berada di posisi terdepan menurut manusia, “biasa saja”, bahkan di tempat yang paling dianggap remeh oleh orang lain, kiranya ayat ini menjadi pengingat kita:

Apapun juga yang kamu lakukan, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.
(Kolose 3:23-24)

Monday, August 17, 2020

Siapakah Yang Terbesar?


by Yunie Sutanto

Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?"
(Matius 18:1 / TB)

Hasrat untuk menjadi yang paling besar rasanya ada di hati setiap manusia. Ingin jadi yang terpandai, ingin jadi yang tercantik, ingin jadi yang paling hebat! Sangat manusiawi. Bahkan di Markus 9:33-37 pun tercatat jelas bahwa para murid sempat bertengkar saat membicarakan siapa yang terbesar di antara para murid.

Siapakah yang paling besar? Yuk kita main tebak-tebakan sejenak. 

Siapakah pesulap paling besar? Sepintas terlintas di benak beberapa nama: Harry Houdini, David Copperfield dan Shin Lim. Saat mencoba mencari di Google search ternyata nama-nama pesulap ini memang muncul dalam deretan pesulap terbesar sepanjang masa.

Tebakan berikutnya: Siapakah kira-kira yang layak dinobatkan sebagai wanita tercantik di dunia? Bingung deh kalo yang ini, sebab bukankah cantik itu relatif? Wah, ternyata ada juga sebuah situs penyelenggara polling yang meminta responden dari seluruh dunia untuk menobatkan siapa gerangan 100 wanita tercantik di bumi!

Hasrat untuk unggul memang sesuatu yang manusiawi. Keinginan itu disuburkan oleh perasaan ingin diakui, dikagumi, dan dipuja… yang ujung-ujungnya berkembang menjadi ingin dimuliakan.

Kembali ke nats bacaan kita tadi. Terbesar versi Alkitab memang berbeda dari versi dunia. Lantas, apa sih jawaban Yesus saat para murid-Nya – yang ternyata juga punya hasrat untuk jadi yang terbesar, bertanya pada-Nya: “Siapakah yang terbesar di Kerajaan Sorga? Siapakah dari antara para murid yang paling besar?”

Yuk simak baik-baik Matius 18:2-5 (TB):

Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."

Jawaban Yesus cukup to the point. Ia memanggil seorang anak kecil. Ia tidak memanggil orang bijak, sarjana terpelajar atau orang hebat untuk dipelajari pengalaman hidupnya. Tidak! Yesus malah memanggil seorang bocah ingusan. Jangankan menjadi terbesar di Kerajaan Sorga, masuk Sorga pun tidak bisa kalau kita tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil! Orang yang merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecillah yang terbesar di Kerajaan Sorga. 

Lantas mengapa anak kecil ya? Ada apa gerangan dengan anak kecil? Sikap hati seorang anak kecil rupanya yang menjadikan seseorang "besar" di Kerajaan Sorga.

Seperti apa sih sikap hati seorang anak kecil itu?

RENDAH HATI & TEACHABLE; Seorang anak mudah belajar apapun dari siapapun, kapanpun dan dimanapun. Ia punya sikap hati yang penuh rasa ingin tahu sehingga ia mudah diajari. Ia tidak sok tahu dan merasa sudah mengerti. Anak kecil itu punya kualitas hati yang mudah diajar. Bukankah semangat pembelajar seorang murid Kristus itu seyogyanya demikian? 

MURNI HATI; Anak kecil mempunyai sikap hati yang murni hatinya. Seseorang yang punya sikap hati seperti anak kecil bisa melihat Tuhan dalam segala sesuatu. Senantiasa menyadari bahwa Tuhan hadir dalam segala fase kehidupan, bahkan dalam hal-hal kecil pun Tuhan hadir.

DEPENDANT; Orang yang mempunyai sikap hati seperti anak kecil sadar bahwa ia lemah dan ia membutuhkan otoritasnya. Ia mempunyai sikap hati yang bergantung pada Tuhan. Ia tidak mengandalkan kekuatan dirinya dan bermegah atas kemampuannya.

MUDAH MENGAMPUNI; Orang yang punya sikap hati seperti anak kecil tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia mudah melupakan kesalahan orang dan mudah mengampuni. Lihatlah anak-anak bermain gundu yang berantem, tak lama berselang mereka sudah main bareng lagi. 

Alih-alih berlomba meninggikan diri, mari belajar untuk merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini. Sebab, bagi Allah, justru orang yang demikianlah yang Ia anggap terbesar dalam Kerajaan Sorga.