Showing posts with label parenting. Show all posts
Showing posts with label parenting. Show all posts

Monday, January 14, 2019

Atalya: Mata Rantai Dosa


by Tabita Davinia Utomo 

Selamat memasuki tahun 2019, Pearlians! Bagaimana kabarnya? Masih bersemangat menjalani resolusi yang sudah tersusun di tahun sebelumnya? :) Nah, biar lebih afdol lagi, hari ini kita akan belajar dari seorang wanita yang sangat berpengaruh di zamannya. Bukan hanya sebagai seorang istri dan ibu, tapi juga bagi cucu dan… seluruh bangsanya! Well, the clue is… dia adalah satu-satunya ratu yang pernah memerintah di sepanjang sejarah kerajaan Yehuda dan Israel. Who is that woman? 

Dia adalah Atalya, anak perempuan Ahab, raja Israel. Kisahnya bisa kita temukan di 2 Raja-raja 8:26; 2 Raja-raja 11; 2 Tawarikh 22; 2 Tawarikh 23:13-21; 24:7. Seperti yang kita tahu, Ahab dan Izebel, istrinya, telah membuat Israel sampai ke titik kebobrokannya. Pada masa pemerintahan Ahab, ia membuat bangsa Israel menyembah berhala dan mengakibatkan Tuhan murka—sampai-sampai hujan tidak turun selama 3,5 tahun. 

Atalya yang dibesarkan dengan orang tua seperti Ahab dan Izebel, tumbuh pula menjadi wanita yang tidak mengenal Allah. Yuk, kita berefleksi melalui tiga peran buruk yang dicatat Alkitab mengenai Atalya! 

1. ATALYA SEBAGAI ISTRI
Dengan membawa didikan mengenai penyembahan berhala dari orangtuanya, Atalya pun memengaruhi Yoram—suaminya sekaligus raja Yehuda—untuk memimpin kerajaan Yehuda dalam penyembahan berhala. Padahal, Yoram adalah salah satu keturunan Daud, yang seharusnya menjaga integritasnya untuk hidup dalam kehendak Tuhan. Tapi Alkitab mencatat, 

Ia (Yoram) hidup menurut kelakuan raja-raja Israel seperti yang dilakukan keluarga Ahab, sebab yang menjadi istrinya adalah anak Ahab. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. 
(2 Raja-raja 8:18 / TB)

Selama ini, saya hanya mendengar bahwa seorang istri memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan suaminya. Tapi kali ini, Alkitab memberikan data akurat bahwa pengaruh seorang istri bisa menjadi salah satu sumber kejatuhan suaminya dalam dosa. 

Seorang istri dapat menjadi sarana bagi suaminya untuk mendekat kepada Tuhan, atau justru menjauh dari-Nya. 

Untuk menegaskan hal ini, berabad-abad kemudian, Petrus menuliskan tentang bagaimana seorang istri harus bersikap, bahkan saat suaminya tidak taat pada Firman Tuhan, 

“Begitu juga kalian, istri-istri, harus tunduk kepada suami supaya kalau di antara mereka ada yang tidak percaya kepada berita dari Allah, kelakukanmu dapat membuat mereka menjadi percaya. Dan tidak perlu kalian mengatakan apa-apa kepada mereka, sebab mereka melihat kelakukanmu yang murni dan saleh.” 
(2 Petrus 3:1-2 / BIMK) 

Dari peran pertama ini, kita bisa crosscheck ke diri masing-masing. Apakah sebagai istri atau calon istri kita: 
  1. rindu agar kehidupan suami mengalami pertumbuhan, baik secara iman dan karakter? 
  2. mendorong suami untuk bertumbuh bersama; baik melalui saat teduh, komunitas pertumbuhan iman, dsb.? 
  3. mendorong suami untuk terlibat dalam pelayanan; baik di gereja maupun di luar gereja—disertai pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya? 
  4. bukan hanya “memerintah” suami untuk melakukan ini atau itu, melainkan juga bersedia untuk mengalami proses pertumbuhan iman dan karakter di dalam Tuhan bersamanya—maupun tidak? 

2. ATALYA SEBAGAI IBU 
Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri. Ia pun hidup menurut kelakuan keluarga Ahab, karena ibunya menasihatinya untuk melakukan yang jahat. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN sama seperti keluarga Ahab, sebab sesudah ayahnya mati, mereka (keluarga Ahab) menjadi penasihat-penasihatnya yang mencelakakannya. 
(2 Tawarikh 22:2-4 / TB) 

Sejahat-jahatnya seorang ibu, pasti dia ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, bukan? Tapi sepertinya, apa yang Atalya lakukan ini benar-benar di luar logika manusia. Terlepas dari obsesinya untuk jadi ratu—lalu membunuh semua calon penerus kerajaan Yehuda—pola asuh (parenting) dengan cara mengajarkan hal-hal jahat bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan orangtua maupun keluarga besar lainnya. 

Yang lebih “aneh” lagi, usia Ahazia saat menjadi raja sudah 42 tahun. Bukan usia yang muda, namun bisa dimaklumi jika dia memerlukan penasihat (yah, memimpin sebuah negara/kerajaan pasti butuh nasihat yang bijak karena menyangkut kepentingan banyak orang). But at least, seharusnya Ahazia paham kalau apa yang ibunya lakukan itu salah. Tidak dijelaskan apakah kejahatan yang Ahazia lakukan ini juga karena ayahnya yang melakukan hal yang sama; tapi ada kemungkinan demikian. Jika tidak, kenapa Ahazia tidak menolak usulan ibunya saat keluarga Ahab (yang notabene adalah musuh kerajaan Israel waktu itu) menjadi penasihatnya? 

Selain kepada suami, seorang wanita juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan anaknya. 

Dear mommies and mommies soon to be, apakah kita: 
  1. rindu agar anak kita mengalami pertumbuhan dalam Tuhan secara pribadi, khususnya dalam iman dan karakter? 
  2. tidak segan menegur anak kita ketika dia melakukan kesalahan, tentunya dengan cara yang bijak dan tidak asal mengomel? 
  3. bersama suami – atau anggota keluarga lain bagi yang single parents, berjuang mendidik dan memberikan teladan pada anak untuk hidup dalam kebenaran Firman Tuhan? 
  4. mendorong anak untuk terlibat dalam pelayanan, disertai pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya, bukan hanya sekedar kesibukan? 
  5. menjadi teladan dalam disiplin rohani, kepekaan iman, dan aspek-aspek kerohanian maupun karakter lainnya?

3. ATALYA SEBAGAI NENEK
Saya yakin siapapun pasti ingin melihat keturunan-keturunan berikutnya selagi bisa, dan berusaha mendidik mereka untuk hidup dalam Firman Tuhan. Tapi Atalya melakukan sesuatu yang anti mainstream dan bahkan brutal, yaitu membunuh semua calon penerus tahta kerajaan Yehuda demi obsesinya untuk jadi ratu. Meskipun Yoas, anak Ahazia yang luput dari pembunuhan itu, terselamatkan, namun peran Atalya sebagai nenek menunjukkan bahwa dia gagal menjalankan peran sebagaimana seharusnya (2 Tawarikh 22:10-12). 

Inti pertanyaan refleksi di bagian ini sama dengan bagian sebelumnya, tapi yuk, kita juga berdoa bagi anak kita agar dia dan pasangannya dapat mendidik cucu kita kelak untuk bertumbuh dalam Firman Tuhan. Selagi masih ada kesempatan, kita juga bisa menolong cucu kita dengan cara menceritakan pengalaman iman kita. 

4. ATALYA SEBAGAI RATU/PEMIMPIN
Obsesi Atalya untuk menjadi ratu membuat bangsa Yehuda ketakutan. Mereka takut melanggar perintahnya, tapi juga tidak tahu harus lari ke mana. Bukankah sebenarnya ini adalah bentuk kegagalan seorang pemimpin dalam menjadi “penjamin keamanan” bagi rakyatnya? 

Menjadi pemimpin di sini bukan hanya soal memerintah sebagai pemimpin negara, melainkan bagaimana kita memimpin anak-anak rohani kita untuk bertumbuh dan berbuah di dalam Tuhan. Saya pun harus mengakui kalau saya belum menjadi pemimpin yang baik bagi anak-anak rohani saya. Tapi di sisi lain, saya juga tidak mau menjadi pemimpin yang gagal seperti Atalya. 

Bagi Pearlians yang dipercaya untuk menjadi pemimpin dalam sebuah perusahaan, yayasan, atau apapun itu, yuk kita belajar bersama menjadi teladan iman bagi orang-orang di sekitar kita. Berapapun usia dan apapun latar belakang kita, biarlah mereka dapat menemukan Kristus dalam kehidupan kita dan memuliakan-Nya. 

***

Kisah Atalya ini sesungguhnya menggambarkan sebuah pola tentang dosa yang diwariskan hingga ke generasi selanjutnya. Dimulai dari Ahab dan Izebel, kemudian Atalya dan suaminya, bahkan hingga ke anak-anak dan cucu mereka. Dosa di dalam keluarga mereka seakan menjadi rantai yang mengikat, dimana setiap orang di dalamnya adalah mata rantainya. Tapi sebenarnya, alih-alih menjadi mata rantai yang melanjutkan kehancuran bagi keluarga dan bangsanya, Atalya punya pilihan untuk berbalik dan memutus rantai dosa. Sebenarnya dia bisa menjadi seperti Yosia – raja Yehuda yang memutus rantai dosa penyembahan berhala di keluarga dan bangsanya, meskipun hal itu tidak dilanjutkan oleh keturunannya (2 Raja-Raja 22:1-20 dan 23:1-30). Kakek dan ayah Yosia, Manasye dan Amon, melakukan hal-hal yang jahat di mata Tuhan, tapi Yosia justru melakukan apa yang benar dengan menghancurkan bukit-bukit pengorbanan, tiang-tiang berhala, patung-patung pahatan dan patung-patung tuangan di Yehuda. Yosia menjadi mata rantai yang berbeda dari kakek dan ayahnya dan bahkan melakukan reformasi rohani bagi bangsanya. 

Sebagai penutup, biarlah lagu berikut dapat menjadi pengingat sekaligus penyemangat kita untuk menjadi mata rantai yang meneruskan teladan Kristus dalam segala aspek dan peran kita di dunia ini. :) 



(Hidup Ini Adalah Kesempatan) 

Hidup ini adalah kesempatan 
Hidup ini untuk melayani Tuhan 
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b'ri 
Hidup ini harus jadi berkat 

O Tuhan, pakailah hidupku 
selagi aku masih kuat 
Bila saatnya nanti, ‘ku tak berdaya lagi, 
hidup ini sudah jadi berkat

Friday, November 30, 2018

Beauty in Weakness


by Natalia Setiadi

Rasul Paulus berkata dalam 2 Korintus 12:7 bahwa dia diberi duri dalam dagingnya supaya dia jangan meninggikan diri. Ada penafsir yang berpendapat duri dalam dagingnya itu adalah penyakit, ada juga yang bilang sifat Paulus yang pemarah, tidak ada yang tahu pasti.

Kalo boleh disama-samain, kayaknya keadaan atau situasi hidup juga bisa jadi duri dalam daging ya. Dalam perjalanan saya ikut Tuhan, salah satu tantangan terbesar adalah kecaman terhadap kinerja saya sebagai ibu. Maksudnya, di-judge dalam hal motherhood. Motherhood memang dunia yang keras. Sejak proses melahirkan kita udah kenyang di-judge soal lahiran normal atau caesar, kasih ASI atau susu formula, pakein pampers atau cloth diapers, dan seterusnya. Seiring berjalannya waktu, kritik, kecaman, dan judgement itu bukannya mereda, tapi makin bertambah terus.

Dulu, dengan segunung idealism, saya berusaha sekuat tenaga untuk menjadi the best mother. Bukan cuma buat anak saya, tapi juga buat ego saya pribadi. Saya diam-diam menikmati pujian “supermom” dan merasa diri lebih baik daripada beberapa mama lain. Buat menghibur diri karena “pengorbanan” saya melepaskan atribut dokter dan turun ke dapur jadi ibu RT, saya berusaha sedemikian rupa supaya jadi mama yang maksimal. Apa itu ngga baik? Tentu saja baik. Ngga baiknya adalah, saya merasa sudah berhasil dan tanpa sadar berhenti mengandalkan Tuhan.

Tahun ketiga jadi mama, anak saya didiagnosis ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau gangguan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas). Seiring bertambahnya umurnya, sebagian kesulitannya berkurang, tapi muncul juga kesulitan-kesulitan lain yang justru makin jelas. Salah satunya masalah perilaku.

Ngomong memang selalu lebih gampang daripada menjalani. Menghakimi selalu lebih gampang daripada mengalami sendiri. Karena anak saya tidak bisa duduk tenang, mudah emosi dan frustrasi, “nakal”, papa-mamanya dibilang kurang perhatian. Kalo orang dengar pantangan makan anak saya yang segambreng, mereka bilang saya overprotective. Kalo saya mendisiplin, saya dibilang terlalu keras. Kalo saya biarkan anak saya eksplorasi, manjat dan lari-lari, saya dibilang terlalu membiarkan. Bahkan pernah juga mentah-mentah saya disebut mama yang ngga bener.

Untuk menepis omongan-omongan itu, saya berusaha lebih keras jadi mama yang lebih baik lagi. Kadang-kadang berhasil, tapi lebih sering gagalnya. Gagal dengan sukses. Ternyata jadi mama yang paling baik yang saya bisa pun tidak bisa meredakan judgement.

Saya membiasakan diri untuk ngga ambil pusing dengan komentar orang, tapi selain itu juga ada macem-macem kesulitan silih berganti. Dari masalah sosialisasi, tuntutan akademis dari sekolah, guru yang ngga paham dan ngga ingin paham, rutinitas ketat, pola pikir yang kaku, masalah emosi, sampe urusan insomnia parah yang meliputi episode nangis-tantrum hampir setiap malam selama berminggu-minggu.

Berulang kali saya jatuh bangun dan terpuruk. Saya merasa kurang sabar, pernah sampe histeris, sering kali sikap saya juga ketus dan mudah marah. Ternyata saya bukan supermom. Pingin banget kayak mama-mama di TV nan cantik rupawan dan lemah lembut. Tapi saya kok jauhnya kebangetan deh dari mama-mama itu, saya lebih mirip tokoh ibu tiri jadul yang suka ngomel teriak-teriak sambil nyirih dan makan jengkol. Wkwkwkw...

Kadang saya merasa tak berdaya ngeliat begitu banyak pergumulan anak saya di sekolah, juga di rumah, tak berdaya mengubah diri sendiri supaya jadi mama yang lemah lembut dan panjang sabar, tak berdaya menangkis tuduhan-tuduhan si jahat yang hobi me-replay komentar miring yang sering saya terima. Ternyata saya lemah. Image supermom juga dipakai iblis buat memojokkan saya: “Keliatannya aja baik di luar, kalo ngga ada yang lihat kok pake teriak-teriak... Nggak malu tuh, sama tetangga?”

Waktu saya lemah terpuruk berurai air mata, saya berseru minta pertolongan Tuhan. Tapi kok Tuhan diem aja ya? Nggak ada tuh suara yang menenangkan saya. Nggak ada damai sejahtera supranatural yang mendadak melingkupi saya. Saya gak mendadak bangkit dan jadi kuat kayak Hulk. Padahal kalo saya baca atau denger kesaksian orang, kok mereka ditolong Tuhan luar biasa?

Kok mereka dapat damai sejahtera yang melampaui segala akal? Kok saya enggak? Kok Tuhan tega ya liat saya nangis-nangis putus asa tapi Tuhan diem aja? How could You, Lord? :(

Tanpa saya sadari, Tuhan TIDAK DIAM SAJA! Dia sedang bekerja, walaupun tangan-Nya ngga terlihat oleh saya.

Saya berusaha berserah seperti kata orang-orang. Gimana sih sebenernya berserah itu? Apa yang harus saya lakukan kalo mau menyerahkan masalah saya sama Tuhan? Gimana caranya?

Maka dengan sabar Tuhan pun mengajari saya lagi, seperti mengajari anak kecil sesuatu yang udah diketahui oleh semua orang.

Saya belajar lagi bahwa berserah itu adalah tidak mencari jalan keluar sendiri. Menyerahkan suatu masalah ke Tuhan itu adalah berhenti memikir-mikirkan masalah itu dan menunggu.

Kadang-kadang menunggu itu sambil diam saja, kalo memang Tuhan memerintahkan demikian. Kadang-kadang menunggu sambil melakukan bagian kita, artinya melakukan yang baik yang bisa kita lakukan, dan selebihnya biarkan Tuhan melakukan bagian-Nya.

Maka saya tidak lagi berusaha mengubah kepribadian saya. Wong aslinya memang renyah (alih-alih lembut) ya mau dikata apa wkwkwk... Dan saya berhenti brainstorming untuk setiap kesulitan baru yang dialami anak saya.

SAYA BERDOA LEBIH BANYAK, LALU MENUNGGU.

Menunggu Tuhan menuntun saya, untuk melakukan sesuatu yang Dia tunjukkan, atau untuk diam saja menantikan pertolongan-Nya.

Ternyata ini yang mau Tuhan ajarkan dalam “diam”-Nya. Dia “membiarkan” saya merasakan kelemahan.

“Karena kuasa-Ku menjadi sangat nyata ketika kamu lemah.”
(2 Korintus 12:9 / Terjemahan Sederhana Indonesia)

Jadi lemah itu bukan sesuatu yang buruk. Hebat dan kuat itu tidak selalu baik.

Kalau lemah membuat saya melihat kuasa Tuhan dinyatakan, maka lemah itu indah. Kalau hebat dan kuat membuat saya berhenti mengandalkan Tuhan dan menyombongkan diri, maka hebat dan kuat itu sama sekali tidak baik.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.
(2 Korintus 12:9-10)

Kalo saya lihat ke belakang, ke waktu-waktu yang paling sulit, di mana saya udah desperado abis, beneran loh justru masa-masa itu yang Tuhan pakai luar biasa buat membentuk saya. Waktu di tengah badai persoalan memang mata saya seperti rabun, ngga bisa lihat tangan Tuhan bekerja, hati saya ndablek, susah buat ngerasain kebaikan Tuhan. Tapi setelah badai berlalu, setelah mata saya cukup terang buat memandang karya tangan-Nya, hati saya sudah cukup tenang buat ngerasain kasih setia-Nya, kuasa-Nya, begitu nyata saya lihat dan rasakan.

Jadi, next time kalo lagi ngerasa lemah, it’s OK, there’s beauty in weakness.

Ingat bahwa kasih karunia Tuhan selalu cukup. Senang dan relalah dalam kelemahan, karena di situlah kuasa Tuhan nyata.

Friday, June 29, 2018

Doa Seorang Ibu


by Sarah Eliana

Seperti kebanyakan ibu, aku bermimpi dan berdoa agar anakku menjadi orang yang sukses. Wajar sekali kan? Ibu mana yang today ngga berdoa seperti itu? Ya ngga? Anyway, doa tentang anakku ini bikin aku ingat dulu ketika aku berdoa tentang pasangan hidup. Salah satu nasihat yang masih kuingat adalah nasihat Oma. Oma bilang, sebagai seorang lajang, aku tidak seharusnya fokus pada daftar kriteria "nanti suamiku harus begini, begitu, begonoy, and begetong," tapi sebaliknya, aku harus fokus pada membentuk diriku menjadi wanita yang berkenan di hadapan Allah. Nah, sama prinsipnya dengan berdoa untuk anak. Daripada fokus pada doa tentang anakku harus begini dan begitu, aku belajar berdoa tentang pembentukan diriku menjadi ibu yang Tuhan inginkan. 

Inilah doaku...
Saat panggilan sebagai seorang ibu aku terima, tolong aku menjadi Ibu yang Engkau kehendaki untuk jiwa- jiwa berharga yang Kau anugerahkan kepadaku. 
Tolong aku menjadi seperti Sarah yang taat pada suaminya, tanpa keluhan dan sungut-sungut, kemanapun Engkau memerintahkan Abraham, suaminya, pergi. Biarlah ketaatanku menadi teladan bagi anak-anakku, Tuhan, agar mereka belajar until taat kepada-Mu. Inilah mimpiku yang terbesar: mereka mengenal, menghormati, takut dan mencintai-Mu, Bapa. 
Tolong aku menjadi seperti Hana yang mau mempersembahkan anaknya, Samuel, untuk melayani-Mu. Kemanapun Tuhan suruh mereka pergi, ke pelosok hutan di Afrika atau jajaran pelaku korporasi, tolong aku until mendukung dan menyemangati mereka. Ajar aku mengerti bahwa kemana mereka Kau panggil untuk pergi, itu Karena Engkau tahu disanalah tempat mereka bisa lebih dekat kepada-Mu. Ajar aku tidak fokus kepada menjadi APA anak-anakku, tetapi menjadi SIAPA mereka di dalam Tuhan. Jangan biarkan aku menjadi Ibu yang yang mendorong mereka menjadi pemimpin, disaat Tuhan ingin mereka menjadi pengikut. Yusuf bukanlah pemimpin yang hebat, tapi dia diberi anugerahkan terbesar sebagai pria yang membesarkan Pangeran Surgawi. Yusuf adalah tukang kayu sederhana yang hidupnya hanya ingin memuliakan-Mu, dan Engkau menghargainya karena itu. Tolong aku, Tuhan, agar tidak mendorong anak-anakku menjadi CEO, pengacara, dokter, ilmuwan, jika yang Engkau kehendaki dari mereka adalah hidup sederhana yang memuliakan nama-Mu. Bukan namaku Tuhan yang utama, melainkan nama-Mu saja. Tolong aku, tolong aku menyerahkan mimpi-mimpiku dan memberi ruang bagi mimpi-mimpi-Mu untuk mereka... APAPUN itu. 
Tolong aku menjadi seperti ibu Raja Lemuel yang mengimpartasikan hikmat Surgawi bagi anaknya. Ajar aku hanya membuka mulutku untuk mengucapkan berkat Dan semangat, khususnya bagi keluargaku. Bungkam aku, Tuhan, jika perkataanku terus menjatuhkan suami dan anak-anakku. Biarlah bibirku menjadi sumber perkataanku kasih, semangat, dukungan dan doa bagi keluargaku, Bapa. 
Tolong aku menjadi seperti Debora, yang berperang penuh keberanian bagi Israel. Akan selalu ada peperangan yang harus diperjuangkan saat membesarkan anak-anak. Mungkin peperangan itu adalah memenangkan anak-anak yang ingin menjauh dari Engkau atau melepaskan mereka dari ikatan dosa tertentu. Ingatkan aku terus, Tuhan, bahwa tidak seorangpun sempurna, termasuk anak-anakku. Jangan biarkan aku menuntut mereka menjadi sempurna, tapi ajar aku untuk berperang bagi mereka dalam doaku. Biarlah gambaran ibu yang berlutut dan berdoa adalah gambaran yang mereka ingat tentang aku. 
Tolong aku menjadi seperti Maria yang duduk dengan setia di kaki-Mu untuk mendengarkan Firman-Mu. Biarlah aku menjadi teladan bagi anak-anakku tentang apa artinya tertanam dalam perkataan-Mu. Biarlah aku menaruh Firman-Mu dalam hati dan pikiranku, mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahiku. Biarlah aku mengajarkannya pada anak-anakku, membicarakannya saat mereka duduk dan berdiri, saat mereka tidur dan bangun. 
Ajar aku, Tuhan, bahwa anak-anakku bukanlah semestaku. Ingatkan aku bahwa Engkaulah yang terutama. 
Tolong aku agar tidak mngedampingkan suamiku, tapi Makin mencintainya setiap Hari, sehingga anak-anakku melihat dan mengalami seperti apa pernikahan di dalam-Mu.
Biarkan aku belajar bahwa aku tak punya kekuatan tanpa-Mu, Tuhan. Biarlah aku memuliakan-Mu untuk setiap hal baik yang terjadi dalam hidup anak-anakku. Biarlah aku tidak menyombongkan diri tentang kesuksesan mereka. Biarlah aku bermegah hanya di dalam-Mu. 
Tolong aku, Tuhan, menjadi Ibu yang berkenan di mata-Mu, bukan agar anak-anakku menjadi orang sukses, tapi supaya mereka tumbuh menjadi anak-anakku laki-laki dan perempuan yang menyenangkan Engkau karena itulah kesuksesan sejati. Biarlah nama-Mu dimuliakan di dalam dan melalui hidup mereka karena itulah tujuan mereka diciptakan.

"Anak-anaknya bangun dan menyebutnya berbahagia”
(Amsal 31:28)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dear Abba Father, 
When the calling of motherhood is bestowed upon me... help me to be the kind of mother You want me to be for those precious gifts you are giving us.  
Help me to be like Sarah the submissive wife who without complaints and grudge went wherever You called her husband Abraham to go. May my submission be an example to my sons and daughters, Lord, that they too learn to be submissive to You. This is my highest dream for them that they come to know, respect, fear, and love You, Father.  
Help me to be like Hannah who so willingly gave up her son Samuel to Your service. Whether You want to put them in the deep jungle of Africa or the crazy jungle of corporate ladders, Lord, help me to support and encourage them. Teach me to understand that wherever they are called to go, it is because You know that's exactly where they can bring others closer to you.Teach me NOT to focus on WHAT my children can be, Lord, but WHO they can be in Christ. Don't let me push them to be leaders if what You want for them is to be followers. Joseph was no great leader, and yet he was given the highest honor to be the man who brought up the Prince of Heaven. Joseph was a humble carpenter whose life simply was to honor You, and because of that You honor him. Oh teach me, Lord, not to push my children to be CEOs, lawyers, doctors or rocket scientists if what You want from them is a humble life that glorify YOUR name. Not mine, Lord, not my name, but YOURS ALONE! Help me... help me give up my dreams for them to make room for YOUR dreams for my children, Lord... WHATEVER Your dreams for them are.  
Help me to be like the mother of King Lemuel who imparted godly wisdom to her child. Lord, please teach me to ONLY open my lips when what I want to say will bless and encourage others, especially my family. Strike me mute, Lord, if I constantly bring my husband and children down with my words. May You use my lips as the source of words of love, encouragement, support, and prayers for my family, Father.  
Help me be like Deborah, Father, who so courageously fought Israel's battles There will be battles to be fought, I know, when raising children. Some of them might want to stray away from Your Word, Father. Some might struggle with certain sins, and yet some others might struggle with insecurity or a certain obsession. Constantly remind me, Father that nobody is perfect, including my children! Don't let me expect them to be perfect, Lord, but teach me to fight those battles for them in my prayers.May the image of a mother who kneels and prays for my husband and children be what they remember me for, Father. 
Help me to be like Mary who sat down ever so faithfully at Your feet to listen to Your Word, Lord. May I be an example to my children of what it means to be planted in Your word, Father. May I fix Your words in my heart and mind; tie them as symbols on my hands and bind them on my forehead. May I teach them to my children, talking about them when we sit at home and when we walk along the road, when we lie down and when we get up.  
Teach me, Father, that my children are NOT my universe. Constantly remind me that YOU are my number 1. 
Help me NOT to kick my husband to the sideline, but to love him more and more each and every single day that my children will experience and know what a godly marriage is all about.  
May I learn that I am powerless without You, Abba Father. May I give glory for every good things that come into the lives of my future sons and daughters. May I not boast about their successes. May I boast in YOU only, Lord =)  
Help me, Father, to be a godly mother NOT so that my children be successful but so that they grow up to be men and women after Your own heart because that is the true success. May YOUR name be glorified in and through their lives because that is the purpose of their creation.