by Tabita Davinia Utomo
Pearlians, pernah nggak sih, kalian membayangkan bagaimana jika suatu saat nanti kalian ditinggalkan oleh suami—entah itu karena meninggal ataupun “pergi-begitu-aja”? Sedih? Berusaha mencari doi (kalau itu karena alasan kedua)? Atau pasrah saja dengan kepergian sang suami?
Beberapa waktu lalu, saya sempat menanyai warganet perempuan di Instagram mengenai hal ini. Meski jawaban yang diberikan berkisar pada emosi negatif (sedih, marah, kecewa), ada juga yang memutuskan akan mencari sang suami kalau dia “pergi-begitu-aja” dan berpegang pada komitmen pernikahan mereka. Wah, mantap jiwa! :P Anyway, saya sangat setuju dengan teman-teman yang tetap berkomitmen menjaga pernikahan mereka. Jangan sampai kata cerai diucapkan—meski pada kenyataannya tidak mudah, bukan?
Tapi tahukah Pearlians, ternyata ada lho, perempuan yang tetap menjanda selama bertahun-tahun setelah menikah selama 7 tahun. Nggak cuma itu, dia juga merupakan nabiah berusia lanjut yang ada dalam Perjanjian Baru. Well, dialah Hana! :)
Saat akan menulis artikel ini, saya beranggapan bahwa Hana di Perjanjian Baru (PB) memiliki nama yang sama dengan Hana di Perjanjian Lama (PL). Ternyata saya keliru… Haha! Meskipun di versi Alkitab Terjemahan Baru (TB) keduanya sama, namun mereka memiliki penulisan nama yang berbeda di dalam versi bahasa Inggrisnya. Bila Hana di PL dituliskan “Hannah”, maka Hana yang akan kita pelajari di sini bernama “Anna”.
Oke deh, tanpa basa-basi lagi, yuk kita belajar bersama dari Hana! Here is the story…
Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.
(Lukas 2:36-38)
Nama Fanuel, ayah Hana, kurang lebih memiliki arti yang sama dengan Pniel (“wajah Allah”). Mereka berasal dari suku Asyer, yang diduga merupakan salah satu suku yang hilang setelah Israel Utara ditaklukkan oleh kerajaan Asyur. Tidak diketahui bagaimana perjalanan kehidupan Hana selain bahwa dia telah puluhan tahun menjanda setelah hanya tujuh tahun menikah (usianya saat itu telah mencapai 84 tahun!) dan ia taat untuk melayani Tuhan sebagai nabiah. (By the way, dulu saya pernah mengira Simeonlah suami dari Hana. Tapi ups! ternyata bukan.)
Meski demikian, kita bisa belajar darinya tentang menemukan kepuasan sejati di dalam Tuhan.
Rasa sedih, kesal, marah, you name it, adalah sesuatu yang wajar saat kita kehilangan sesuatu yang berharga—termasuk saat ditinggalkan suami. Mungkin ini pula yang dialami Hana. Tapi setelah masa berkabung lewat, apakah dia tetap meratap dan enggan melanjutkan kehidupannya?
Tidak diceritakan seperti apa pergumulan Hana selama menjanda, namun saya menemukan bahwa dia beribadah dan berpuasa siang dan malam di Bait Allah—dan ini dilakukannya selama bertahun-tahun! Phew…
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Hana adalah sebuah kebodohan. “Ngapain coba, kamu ke Bait Allah tiap hari? Doa sama puasa mulu pula! Wong Tuhan aja ngambil suamimu! Cen gile ni orang!” Kita puasa 40 hari aja udah agak ngos-ngosan, kan? Lah, ini tiap hari—berdekade, lho!
Sebenarnya nih, Hana bisa aja marah-marah dan menyalahkan Tuhan karena telah mengambil suaminya yang dicintainya. Iya lah, wong laki-laki yang diharapkan bisa mengangkat derajatnya justru membuatnya menjanda. -.-“
But reality didn’t discourage Anna. She realized that God was the only one who could make her feel content.
Bukti dari dua kalimat di atas adalah bagaimana Hana—dengan iman—memberitakan kabar keselamatan bagi orang-orang yang ada di Bait Allah saat dia berjumpa dengan Yesus dan orangtua-Nya. Melalui relasi pribadinya dengan Tuhan, Hana tahu bahwa keselamatan akan datang dalam diri Yesus. Padahal dia nggak pernah ketemu sama Yesus sebelumnya! Satu-satunya penjelasan yang “logis” adalah bahwa Tuhan sendirilah yang memberitahu Hana, “Itu Dia, Sang Mesias yang Kukirimkan!” dan dia menerima berita itu dengan kepekaannya yang terasah terhadap suara Tuhan.
Mungkin ada yang menganggapnya bodoh karena lebih memilih berada di Bait Allah setiap hari, daripada mencari suami lain untuk membangun keluarga baru. Tapi (sekali lagi), Hana tetap menautkan dirinya pada Tuhan yang sanggup memenuhi janji-Nya. Pada akhirnya, imannya pun tidak sia-sia: di usianya yang sudah lanjut, dia bertemu dengan Sang Mesias—simbol kelepasan Israel yang telah dinantikan selama berabad-abad!
Saya tidak tahu bagaimana dengan keadaan setiap pembaca saat ini. Mungkin ada yang merasa bahwa dirinya baik-baik saja; mungkin juga ada yang sedang mengalami kekeringan rohani… nobody knows, except you and God, right? Namun saya berharap, tulisan sederhana ini dapat menjadi sarana Tuhan untuk menguatkan kita yang sedang menghadapi berbagai pergumulan.
If Anna were still alive, perhaps she would say,
“I may lose my husband. I may not have a family. But I know for sure: God is good and He will never leave me alone. I do believe Him, because He is the only one who is faithful with His promises.
How about you?”
***
Referensi: http://wanita.sabda.org/hana