Monday, June 24, 2019

Anna: Berpegang Teguh pada Sang Penggenap Janji


by Tabita Davinia Utomo 

Pearlians, pernah nggak sih, kalian membayangkan bagaimana jika suatu saat nanti kalian ditinggalkan oleh suami—entah itu karena meninggal ataupun “pergi-begitu-aja”? Sedih? Berusaha mencari doi (kalau itu karena alasan kedua)? Atau pasrah saja dengan kepergian sang suami? 

Beberapa waktu lalu, saya sempat menanyai warganet perempuan di Instagram mengenai hal ini. Meski jawaban yang diberikan berkisar pada emosi negatif (sedih, marah, kecewa), ada juga yang memutuskan akan mencari sang suami kalau dia “pergi-begitu-aja” dan berpegang pada komitmen pernikahan mereka. Wah, mantap jiwa! :P Anyway, saya sangat setuju dengan teman-teman yang tetap berkomitmen menjaga pernikahan mereka. Jangan sampai kata cerai diucapkan—meski pada kenyataannya tidak mudah, bukan? 

Tapi tahukah Pearlians, ternyata ada lho, perempuan yang tetap menjanda selama bertahun-tahun setelah menikah selama 7 tahun. Nggak cuma itu, dia juga merupakan nabiah berusia lanjut yang ada dalam Perjanjian Baru. Well, dialah Hana! :) 

Saat akan menulis artikel ini, saya beranggapan bahwa Hana di Perjanjian Baru (PB) memiliki nama yang sama dengan Hana di Perjanjian Lama (PL). Ternyata saya keliru… Haha! Meskipun di versi Alkitab Terjemahan Baru (TB) keduanya sama, namun mereka memiliki penulisan nama yang berbeda di dalam versi bahasa Inggrisnya. Bila Hana di PL dituliskan “Hannah”, maka Hana yang akan kita pelajari di sini bernama “Anna”. 

Oke deh, tanpa basa-basi lagi, yuk kita belajar bersama dari Hana! Here is the story… 

Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya,  dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun.  Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa.  Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.
(Lukas 2:36-38)

Nama Fanuel, ayah Hana, kurang lebih memiliki arti yang sama dengan Pniel (“wajah Allah”). Mereka berasal dari suku Asyer, yang diduga merupakan salah satu suku yang hilang setelah Israel Utara ditaklukkan oleh kerajaan Asyur. Tidak diketahui bagaimana perjalanan kehidupan Hana selain bahwa dia telah puluhan tahun menjanda setelah hanya tujuh tahun menikah (usianya saat itu telah mencapai 84 tahun!) dan ia taat untuk melayani Tuhan sebagai nabiah. (By the way, dulu saya pernah mengira Simeonlah suami dari Hana. Tapi ups! ternyata bukan.) 

Meski demikian, kita bisa belajar darinya tentang menemukan kepuasan sejati di dalam Tuhan. 

Rasa sedih, kesal, marah, you name it, adalah sesuatu yang wajar saat kita kehilangan sesuatu yang berharga—termasuk saat ditinggalkan suami. Mungkin ini pula yang dialami Hana. Tapi setelah masa berkabung lewat, apakah dia tetap meratap dan enggan melanjutkan kehidupannya? 

Tidak diceritakan seperti apa pergumulan Hana selama menjanda, namun saya menemukan bahwa dia beribadah dan berpuasa siang dan malam di Bait Allah—dan ini dilakukannya selama bertahun-tahun! Phew… 

Mungkin bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Hana adalah sebuah kebodohan. “Ngapain coba, kamu ke Bait Allah tiap hari? Doa sama puasa mulu pula! Wong Tuhan aja ngambil suamimu! Cen gile ni orang!” Kita puasa 40 hari aja udah agak ngos-ngosan, kan? Lah, ini tiap hari—berdekade, lho! 

Sebenarnya nih, Hana bisa aja marah-marah dan menyalahkan Tuhan karena telah mengambil suaminya yang dicintainya. Iya lah, wong laki-laki yang diharapkan bisa mengangkat derajatnya justru membuatnya menjanda. -.-“ 

But reality didn’t discourage Anna. She realized that God was the only one who could make her feel content. 

Bukti dari dua kalimat di atas adalah bagaimana Hana—dengan iman—memberitakan kabar keselamatan bagi orang-orang yang ada di Bait Allah saat dia berjumpa dengan Yesus dan orangtua-Nya. Melalui relasi pribadinya dengan Tuhan, Hana tahu bahwa keselamatan akan datang dalam diri Yesus. Padahal dia nggak pernah ketemu sama Yesus sebelumnya! Satu-satunya penjelasan yang “logis” adalah bahwa Tuhan sendirilah yang memberitahu Hana, “Itu Dia, Sang Mesias yang Kukirimkan!” dan dia menerima berita itu dengan kepekaannya yang terasah terhadap suara Tuhan. 

Mungkin ada yang menganggapnya bodoh karena lebih memilih berada di Bait Allah setiap hari, daripada mencari suami lain untuk membangun keluarga baru. Tapi (sekali lagi), Hana tetap menautkan dirinya pada Tuhan yang sanggup memenuhi janji-Nya. Pada akhirnya, imannya pun tidak sia-sia: di usianya yang sudah lanjut, dia bertemu dengan Sang Mesias—simbol kelepasan Israel yang telah dinantikan selama berabad-abad! 

Saya tidak tahu bagaimana dengan keadaan setiap pembaca saat ini. Mungkin ada yang merasa bahwa dirinya baik-baik saja; mungkin juga ada yang sedang mengalami kekeringan rohani… nobody knows, except you and God, right? Namun saya berharap, tulisan sederhana ini dapat menjadi sarana Tuhan untuk menguatkan kita yang sedang menghadapi berbagai pergumulan. 

If Anna were still alive, perhaps she would say, 
“I may lose my husband. I may not have a family. But I know for sure: God is good and He will never leave me alone. I do believe Him, because He is the only one who is faithful with His promises. 

How about you?” 

***

Monday, June 17, 2019

Maakha: Bahaya Menduakan Tuhan


by Glory Ekasari 

Dalam Perjanjian Lama, nama Maakha digunakan baik untuk pria maupun wanita. Nah, Maakha yang dimaksud di sini adalah seorang wanita yang berada di ranah kepemimpinan Israel. Dia adalah anak dari Absalom bin Daud, yang kemudian menjadi isteri raja Rehabeam bin Salomo. Rehabeam begitu mencintai Maakha, sehingga putera mahkota yang dipilih untuk menggantikannya adalah Abia, anak Maakha. Dengan demikian Maakha menyanding status terhormat sebagai ha gebira atau ibu suri. 

Dalam 2 Tawarikh 13:2, namanya disebut sebagai Mikhaya, yang berarti, “Siapakah yang seperti Allah?” Tapi sekalipun namanya demikian, Maakha bukan pengikut Allah Israel, atau setidaknya, dia mencampuradukkan agama Yahwe dengan agama Kanaan. Alkitab mencatat bahwa Maakha membuat patung Asyera untuk ibadah di Yerusalem. Kemungkinan besar patung ini diletakkan di Bait Suci, untuk bersanding sejajar dengan TUHAN. 

Abia, putera Maakha, hanya memerintah selama tiga tahun sebelum digantikan oleh anaknya, Asa. Raja Asa tidak mengikuti jejak ayah dan kakeknya yang menjadi penyembah berhala, namun ia mengembalikan Yehuda kepada penyembahan kepada TUHAN Allah. Pada saat inilah Maakha kena batunya: raja Asa memecat neneknya itu dari jabatan ibu suri karena ia tidak mau meninggalkan penyembahan berhalanya. 

Cerita tentang Maakha hanya segitu saja dalam Alkitab. Tapi penyembahan berhala, khususnya pada dewi yang bernama Asyera ini terus berlanjut sampai Israel dan Yehuda dibuang ke tanah asing. Siapa sebenarnya Asyera, dan mengapa penyembahan terhadap dia tetap laku walaupun Israel sudah punya Allah sendiri? 

Bangsa Israel punya sejarah panjang tentang ketidaksetiaan mereka kepada Allah. Sejak Yosua mati, mereka mulai melirik tetangga mereka, orang-orang Kanaan, dan bertanya-tanya, mengapa orang Kanaan punya begitu banyak dewa, sedangkan mereka hanya satu. Ada anggapan dalam budaya pagan kuno bahwa setiap dewa memiliki keahlian sendiri: ada dewa perang, dewa kesuburan, dewa hujan, dewa pengobatan, dan sebagainya. Sekarang Israel sudah tinggal menetap, jadi mereka harus beribadah pada dewa lain, seperti dewa hujan dan dewa kesuburan, agar usaha pertanian dan peternakan mereka sukses! Demikianlah tekanan dan pengaruh dari lingkungan sekitar membuat Israel tercemar dalam iman mereka. 

Asyera, bersama Astarte dan Anat, adalah tiga dewi terbesar dalam agama Kanaan. Dia adalah isteri dari El, dewa utama agama Kanaan, dan mereka bersama punya 70 anak (yang, tentu saja, semuanya dewa). Karena anaknya yang banyak ini, Asyera dianggap sebagai dewi kesuburan dan alam. Dewi ini sangat populer di daerah Timur Tengah kuno. Lambang-lambangnya adalah singa (kekuatan), ular (kesembuhan), dan pohon (kesuburan). 

Karena pohon merupakan salah satu lambang dari Asyera, maka dalam ibadah kepadanya selalu ada yang namanya “tiang” atau “tugu” dari kayu. Jangan bayangkan tiang ini seperti kayu sengon ya. Ini benar-benar pohon atau tubuh pohon yang dipahat untuk mewakili dewi Asyera. Pemujaan Asyera juga dilakukan di daerah pegunungan yang disebut dengan bukit pengorbanan (Inggris: high places). Dikatakan tentang penyebab jatuhnya Kerajaan Israel: “Mereka mendirikan tugu-tugu berhala dan tiang-tiang berhala di atas setiap bukit yang tinggi dan di bawah setiap pohon yang rimbun” (2 Raja-raja 17:10). Yang dipuja di tempat-tempat itu adalah duet dewa Kanaan: Baal dan Asyera. 

Yang menarik adalah, orang Israel dan Yehuda mencampurkan ibadah mereka dengan agama Kanaan. Di kota Lakhis, contohnya, ada rumah ibadah yang bentuknya meniru Bait Suci di Yerusalem (dengan ruang kudus dan ruang mahakudus), tetapi di dalam ruang mahakudus yang ada adalah patung berhala. Demikian pula di Yerusalem, tugu Asyera disandingkan dengan perabot Bait Suci karena mereka beranggapan bahwa Asyera adalah isteri Allah Israel. Bentuk ibadahnya pun demikian. Dalam tempat ibadah untuk Asyera dan Baal, ada kegiatan pelacuran bakti, di mana pelacur-pelacur pria/wanita yang bekerja atas nama dewa/dewi tersebut berhubungan seks dengan para pemuja yang datang beribadah pada hari festival. 

Okay, that was intense. Ini sudah sama sekali berbeda dengan ibadah Israel yang seharusnya. 

Tetapi ibadah seperti itulah yang diikuti Maakha dan tidak mau ditinggalkannya, termasuk ketika Asa, cucunya, memerintahkan agar semua tugu berhala dirobohkan. Dikatakan oleh Alkitab bahwa Maakha “...membuat patung Asyera yang keji” (1 Raja-raja 15:13), yang begitu kejinya, sehingga dihancurkan dan dibakar di lembah Kidron oleh Asa. Ada yang berkata bahwa Maakha membuat sebuah patung penis raksasa, ada juga yang berspekulasi Maakha meletakkan patung Asyera di ruang mahakudus di Bait Suci. Kita belum tahu pasti patung apa yang dimaksud, tetapi yang jelas Asa bereaksi keras terhadap ketegaran hati neneknya yang tidak mau meninggalkan penyembahan berhala itu. Bertentangan dengan Maakha, Asa bertekad untuk beribadah kepada Tuhan dengan segenap hati dan tidak mencampur ibadahnya dengan ibadah pada dewa-dewi asing. 

Maakha adalah contoh klasik dari orang-orang yang begitu pluralis, sehingga mereka menerima segala macam ibadah, menganggap semua sama saja. Mereka jatuh pada dosa sinkretisme: mencampuradukkan berbagai kepercayaan. Dia masih memanggil nama TUHAN Allah Israel, tetapi juga sujud di hadapan Asyera. Dia membakar korban bagi Allah Israel, tetapi mendukung pelacuran bakti di hadapan dewa-dewi asing. Pada akhirnya dia tidak lagi bisa membedakan apa yang kudus dan keji di hadapan Tuhan; dia sudah tidak lagi mengenal Allah. 

Satu pertanyaan menarik timbul karena Maakha bergesekan dengan keluarganya sendiri, yaitu raja Asa: Apakah raja Asa terlalu fanatik? 

Di kota tempat saya tinggal, setiap tahun ada perayaan dewa kelenteng lokal, dan banyak orang keturunan Tionghoa akan ikut mengangkat tandunya. Saya sudah beberapa kali mendengar orang berkomentar terhadap orang Kristen: “Orang Kristen itu fanatik! Ini gak boleh, itu gak boleh, sembahyangan leluhur gak boleh, mengarak tandu dewa juga gak boleh. Fanatik!” 

Sedikitpun saya tidak merasa tersinggung dengan sebutan “fanatik” itu. Antara Tuhan dengan umat-Nya ada perjanjian: Dia akan memelihara kehidupan kami di dunia ini dan dunia yang akan datang, dan kami akan beribadah hanya kepada Dia. Kalau saya disebut fanatik karena saya setia kepada Tuhan yang saya sembah, memegang perjanjian dengan-Nya dengan sungguh-sungguh, saya tidak keberatan. Tentunya saya menghargai kebebasan orang lain untuk beribadah sesuai kepercayaan mereka, tapi itu bukan berarti saya harus ikut beribadah sesuai cara mereka. 

Ketika kita mencampuradukkan Tuhan dengan dosa, atau ibadah kepada Tuhan dengan ibadah terhadap yang lain, yang terjadi adalah suatu hybrid yang aneh, yang sama sekali tidak ada miripnya dengan ibadah yang dijelaskan dalam Firman Tuhan. Tuhan membenci percabulan dan perzinahan, tapi agama Kanaan mengkultuskan pelacuran bakti di tempat ibadah. Tuhan tidak pernah menyuruh pengorbanan manusia, tapi para pengikut berhala menyembelih anak-anak mereka sendiri untuk dikorbankan kepada dewa! Bagaimana mungkin orang bisa memanggil nama Tuhan sekaligus beribadah kepada dewa-dewi yang karakternya begitu berbeda dengan Allah Israel? Bagaimana terang dapat bersatu dengan gelap? Bagaimana dosa bisa ditolerir di hadapan Allah Yang Mahakudus? 

Sebagai umat Tuhan, kita harus memisahkan diri dari dunia dan cara hidup mereka. Gereja berasal dari kata ekklesia, yang artinya orang-orang yang dipanggil keluar. Israel dipilih Tuhan menjadi umat-Nya untuk menjadi pemimpin bagi bangsa-bangsa lain dalam beribadah kepada Tuhan; namun mereka justru mencampurkan diri dengan bangsa-bangsa lain dan mengkhianati panggilan mereka. Tuhan memilih orang-orang yang menjadi umat-Nya dengan dasar iman, dan firman Tuhan menegaskan: 

“Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.”
(1 Petrus 2:9)

Kita bukan Maakha. Mari bersihkan pikiran kita dari segala gagasan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Bersihkan tangan kita dari dosa yang kita toleransi. Bersihkan hati kita dari penyembahan yang menyimpang dari Tuhan. Dunia boleh mencemooh kita, menganggap kita strict, fanatik, gak gaul, konservatif, dan sebagainya—yang penting Tuhan berkenan dengan hidup dan penyembahan kita.

Monday, June 10, 2019

Orpa: What is the Right Choice?


by Poppy Noviana

Dear Diary,
Saat itu aku hanya menemukan kabar kelaparan, ketidakpastian hidup, tangisan, dan putus asa. Tampaknya tidak ada hal menyenangkan di depan sana menantikanku, apalagi ketika melihat semua yang telah terjadi semuanya semakin menyakitkan. Sekarang pun aku masih terus berjalan sih, dan sudah cukup jauh melangkah… tapi entah sampai kapan aku mampu bertahan! Bahkan orang terdekat yang menjadi semangatku pun tidak memberikanku pilihan untuk melanjutkannya! Balik arah adalah satu-satunya jalan!
Yah… kenyataan hidup memperhadapkanku pada pilihan yang berat. Kondisiku menuntutku untuk memilih dengan tepat. Pilihan ini harus kuputuskan sendiri, karena tidak bisa digantikan oleh orang lain. Keputusanku ini akan menentukan di mana dan bagaimana kehidupanku selanjutnya. Meskipun merasa sedih dan sudah berusaha bertahan sedemikian rupa, akhirnya aku berbalik arah dan kisahku pun tamat.

Wait… Kok, kisahnya gitu doang? Yakin nih udah kelar? Kalo baca cerpen, ini mah nggantung atuh! Nggak ada orang yang doyan digantungin (ya kan, wahai pemirsaahh?). Kurang menarik dan ga berkesan :(

Secara pribadi, aku minta maaf ya, para pembaca. Tapi memang begitulah kenyataannya. Kisah di atas merupakan perkiraan gambaran sudut pandangan tante Orpa di saat-saat terakhir bersama Oma Naomi, mertuanya. Kisahnya bisa dibaca di Rut 1:1-14 aja, karena abis itu udah selesai kisahnya. Eitt, ini bukan berarti nggak ada yang bisa kita pelajari dari Orpa, lho! Siapapun dan bagaimanapun tokohnya, Bapa selalu bisa memakainya untuk mengajarkan sesuatu pada kita.

Trus, kita bisa belajar apa dari Orpa? 
1) Respon yang benar dalam hidup membentuk kedewasaan seseorang. 
Mari kita cermati perbedaan dari “respon karena melihat” dan “respon karena percaya” di bawah ini:

Respon karena MELIHAT Respon karena PERCAYA
Pulanglah, anak-anakku, pergilah, sebab sudah terlalu tua aku untuk bersuami. Seandainya pikirku: Ada harapan bagiku, dan sekalipun malam ini aku bersuami, bahkan sekalipun aku masih melahirkan anak laki-laki,

13. masakan kamu menanti sampai mereka dewasa? Masakan karena itu kamu harus menahan diri dan tidak bersuami? Janganlah kiranya demikian, anak-anakku, bukankah jauh lebih pahit yang aku alami dari pada kamu, sebab tangan TUHAN teracung terhadap aku?"

14. Menangis pula mereka dengan suara keras, lalu Orpa mencium mertuanya itu minta diri, tetapi Rut tetap berpaut padanya.
Berkatalah Naomi: "Telah pulang iparmu kepada bangsanya dan kepada para allahnya; pulanglah mengikuti iparmu itu."

16. Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku;

17. di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!"

Ibrani 11:1 mengatakan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dalam tabel di atas, kita bisa memahami bahwa iman tidak bisa didasarkan oleh apa yang kita lihat—that’s why we need faith. Yesus pun pernah berkata, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20:29) Ya, kita beriman bukan karena telah melihat apa yang kasat mata; melainkan karena percaya kepada Tuhan yang menganugerahkan iman kepada kita—meskipun kita belum pernah melihat-Nya.

2) Pilihlah segala sesuatu yang arahnya menuju kepada Tuhan. 
Dalam Rut 1, digambarkan bagaimana Naomi berjalan kembali menuju kepada bangsa Israel, bangsa yang dipilih Allah dan mengenal-Nya. Naomi tidak sendirian; dia bersama Rut yang rela meninggalkan ilah-ilah bangsa Moab untuk mengikuti Allah yang benar dan hidup.

“Kemudian berkemaslah ia (Naomi) dengan kedua menantunya dan ia pulang dari daerah Moab, sebab di daerah Moab ia mendengar bahwa TUHAN telah memperhatikan umat-Nya dan memberikan makanan kepada mereka”.
(Rut 1:6)

3) Be still in your purpose, no matter what. It is the best choice for you. 
Demikianlah Naomi pulang bersama-sama dengan Rut, perempuan Moab itu, menantunya, yang turut pulang dari daerah Moab. Dan sampailah mereka ke Betlehem pada permulaan musim menuai jelai. 
(Rut 1:22)

Kita tidak akan pernah menuai jika tidak pernah menabur, kita tidak akan menuai bila kita tidak menabur sebelumnya, dan kamu hanya bisa melihat sebatas sudut pandangmu saja. Saat menuai jelai itu hanya akan tiba jika kita menabur, lalu kita setia untuk merawatnya dalam rentang waktu tertentu, dan kita percaya bahwa suatu saat nanti akan hadir jelai yang siap dituai karena kita tahu siapa yang berjanji memberikan pertumbuhan (1 Korintus 3:6). Don’t trust our perception; trust God's promises, He always fulfills His Promises.

Tuhan memberimu kebebasan menentukan pilihan atas hidupmu, namun Ia adalah pilihan terbaikmu untuk dipilih. 

So… pastikan cerita hidup kita jadi seru dan menarik untuk disaksikan, karena hidup hanya sekali dan mengenal Dia adalah kehidupan yang sebenarnya; sedangkan hidup yang berpusat pada diri sendiri tidak menarik buat Tuhan dan pemirsa (orang lain) untuk dikenang. Siapa yang jadi penguasa hidup kita akan menentukan keputusan seperti apa yang harus diambil.

Dengan akhir seperti ini,

“Menangis pula mereka dengan suara keras, lalu Orpa mencium mertuanya itu minta diri, tetapi Rut tetap berpaut padanya...”
(Rut 1:14)

Sang Penulis Kisah Kehidupan merasa lebih menarik membahas tentang Rut pada kisah selanjutnya.

So what is your choice? I hope you know what it is exactly!

Monday, June 3, 2019

Maria: Penyembahannya di Kaki Tuhan Yesus


by Irene Salomo

Kita bisa menemukan beberapa tokoh wanita dengan nama Maria di dalam Injil. Nah, kali ini, Maria yang akan kita jumpai adalah Maria dari Betania, saudari Marta dan Lazarus. Satu hal menarik yang saya temukan dari Maria adalah, setiap kali namanya disebut dalam Injil, ia berada di kaki Tuhan Yesus dalam konteks yang berbeda: 
  • Mendengarkan pengajaran Yesus.
“...Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya…”
(Lukas 10:39)
  • Berduka karena kematian Lazarus, saudaranya.
“Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati."
(Yohanes 11:32)
  • Mengurapi Yesus.
“Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus…” 
(Yohanes 12:3)

Kali ini kita akan fokus pada peristiwa Maria mengurapi kaki Tuhan Yesus yang terjadi tepat 6 hari sebelum Paskah - saat di mana Yesus akan disalib dan mati. Menurut sejarah dan budaya bangsa Israel, pengurapan dengan minyak biasanya dilakukan pada bagian kepala seseorang sebelum memulai jabatan tertentu, seperti nabi, imam, atau raja. Contohnya, Daud diurapi oleh Nabi Samuel untuk menjadi raja Israel.

Namun, pengurapan yang dilakukan Maria sangat berbeda dengan pengurapan umumnya, yaitu:
1. Maria menggunakan “...setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya”
(Yohanes 12:3). Setengah kati itu kira-kira sebanyak 324 gram. Menurut Yohanes, di ayat ke 5, harga minyak ini adalah 300 dinar. Upah harian di saat itu sekitar 1 dinar, artinya 300 dinar = upah kerja 300 hari. Kalo kita pakai standar upah minimum harian Jakarta tahun 2019 senilai Rp 170.000, artinya harga minyak ini sekitar 300 x 170.000 = 51 juta! Bayangkan, mungkin Maria memakai seluruh tabungannya untuk membeli minyak ini. Beberapa komentator Alkitab juga menyebutkan bahwa sangat jarang di masa itu bagi wanita untuk memiliki uang sebanyak 300 dinar, jadi ada juga kemungkinan minyak ini adalah barang pusaka keluarga yang sangat bermakna bagi Maria dan keluarganya.

Maria memberikan kepada Yesus yang terbaik dan dengan berkelimpahan dari apa yang ia miliki. Dia tidak perhitungan dalam mengekspresikan kasihnya pada Tuhan. Bagi Maria, Tuhan Yesus jauh lebih berharga dari apapun yang paling berharga yang ia miliki. 

Bandingkan dengan Yudas, murid Yesus yang beberapa hari setelah peristiwa ini, tega menjual Yesus ‘hanya’ dengan 30 uang perak (senilai upah kerja 100 hari atau 100 x 170.000 = 17 juta).

2. Alih-alih mengurapi kepala Yesus, Maria mengurapi kaki Tuhan.
Menurut budaya Israel, kaki adalah bagian yang paling rendah atau hina dari tubuh kita. Salah satu sebabnya, karena mereka biasa berjalan dengan alas kaki yang cukup terbuka di kondisi geografis yang mayoritas adalah padang pasir. Jadi gak heran kalau kaki mereka gampang kotor, sehingga biasanya di rumah-rumah akan disediakan air untuk mencuci kaki. Bahkan di rumah-rumah orang kaya, ada budak yang bertugas membasuh kaki majikan atau tamunya.

Maria dengan penuh kerendahan hati, menempatkan posisi dirinya setara dengan budak di hadapan Tuhan Yesus. Ia mungkin merasa tidak layak untuk mengurapi kepala Yesus, sebagaimana tradisi pengurapan pada umumnya.

3. Setelah mengurapi kaki Yesus, Maria menyeka kaki Yesus dengan rambutnya.
Mungkin kita akan bertanya, kenapa Maria nggak pake handuk atau kain untuk mengeringkan kaki Yesus? Bukankah lebih ‘bersih dan kering’? Menurut budaya Israel, rambut adalah bagian yang terhormat dari seorang wanita yang tidak seharusnya dibiarkan tergerai dan harus ditutupi di depan orang banyak, khususnya bagi wanita yang sudah menikah. Namun Maria menunjukkan ia ingin menggunakan rambutnya yang terhormat untuk membasuh kaki Yesus, tanpa mempedulikan apa kata orang saat itu.

***

Teman-teman, bagaimana dengan kita?

Tuhan Yesus sudah memberikan hidup-Nya untuk menebus dosa kita dan supaya kita memiliki relasi yang kekal dengan-Nya. Apakah kita memandang Tuhan Yesus sebagai pribadi yang paling penting dan bernilai? Sehingga kita dengan sukarela dan rendah hati memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki pada Tuhan? Ataukah kita lebih mempedulikan apa kata orang lain daripada apa yang menyenangkan hati Tuhan?

Tentunya sekarang kita nggak mungkin lagi mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu seperti Maria, tapi kita mungkin punya waktu, energi, talenta, atau berkat-berkat lainnya yang bisa kita berikan untuk melayani Tuhan dan sesama.

Saya teringat dengan sebuah hymne berjudul “Have I Done My Best” yang ditulis oleh Ensign Edwin Young, sepenggal liriknya berbunyi demikian:


I wonder have I done my best for Jesus,
Who died upon the cruel tree?
To think of His great sacrifice at Calvary!
I know my Lord expects the best from me.

The hours that I have wasted are so many
The hours I’ve spent for Christ so few;
Because of all my lack of love for Jesus,
I wonder if His heart is breaking too.

-

Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus Tuhanku?
Besar pengorbananNya di Kalvari!
DiharapNya terbaik dariku.

Begitu banyak waktu yang terluang
sedikit ‘ku b’ri bagiNya.
Sebab kurang kasihku pada Yesus;
mungkinkah hancur pula hatinya?