Showing posts with label Benita Vida. Show all posts
Showing posts with label Benita Vida. Show all posts

Friday, December 25, 2020

Hadiah untuk Tuhan



by Benita Vida

Waktu kecil kita merindukan natal,
Hadiah yang indah dan menawan.
Namun, tak kusadari seorang bayi t’lah lahir,
Bawa keselamatan ‘tuk manusia…”
- Karena Kita -

Pasti tahu atau minimal pernah dengar lagu ini dong? Lagu wajib yang dinyanyikan waktu perayaan Natal. Sejujurnya saya sangat menyukai lagu ini, karena selain nadanya yang enak, kata-kata dalam lagu ini sangat bagus, mengingatkan saya bahwa ternyata saya sudah menerima hadiah terindah di waktu Natal. 

Natal dirayakan untuk mengingat kelahiran Yesus Kristus dalam dunia, kejadian yang sangat fenomenal yang tidak akan ada dan terulang di dunia ini. Bagaimana tidak? Bayangkan Sang Pemilik Sorga rela turun ke bumi untuk menjalankan misi menyelamatkan manusia, bukan karena sebuah keharusan untuk menyelamatkan kita tetapi karena kasih-Nya yang begitu besar. 

Kelahiran-Nya sudah dinubuatkan jauh sebelum itu terjadi, bahkan dinanti-nantikan oleh bangsa pilihan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa kelahiran-Nya sudah dirancang sejak lama, misi penyelamatan ini sudah direncanakan begitu sempurna, bahkan silsilah dan nenek moyang dari Yesus sudah ditentukan sampai ratusan tahun lamanya. Keren ya? Mana ada yang bisa merancang sedetail dan sesempurna itu? Itulah kehebatan Tuhan kita, jika untuk menyelamatkan kita saja rencana-Nya sesempurna itu, apalagi rencana-Nya bagi hidupmu dan hidupku, pasti sempurna dan akan terjadi di hidup kita. Kelahiran-Nya adalah sebuah hadiah yang paling indah dan tidak bisa digantikan oleh apapun di dunia ini. Tuhan telah memberikan hadiah terindah untuk kita, seorang Raja segala raja namun rela lahir dalam kandang domba dengan segala kerendahan hati-Nya. 

Setiap tahun kita merayakan kelahiran-Nya, namun pernahkah kita memberikan hadiah di hari “Ulang Tahun-Nya”? Kita sering menerima hadiah natal dari teman atau keluarga, bahkan kita buat acara yang heboh untuk merayakan Natal. Tapi, apakah kita sudah memberikan hadiah kepada-Nya yang berulang tahun? Kira-kira apa ya yang Tuhan inginkan sebagai hadiah? Tuhan sudah memiliki segala sesuatu, apa mungkin masih ada yang Tuhan inginkan? Eiitzzz, ternyata ada loh yang Tuhan inginkan. Apa tuh?? Hati kita. 

Tuhan tidak perlu yang lain, Tuhan cuma mau hati kita. Tapi kan hati kita kotor, kita sering berbuat dosa, kita kadang melakukan hal yang Ia tidak senangi, bahkan hati kita sering mendua dari Tuhan, kok Tuhan masih mau? Yes, Tuhan masih menginginkan hati kita, Tuhan mau dekat sama kita, dan Tuhan mau berjalan bersama kita dalam suka dan dukanya kita. Simple kan maunya Tuhan? Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu, susah banget loooh mau kasih hati dan hidup kita sama Tuhan, daging kita kadang terlalu egois dan akhirnya kita mengecewakan Tuhan. Terus gimana dong? Tuhan kita itu bukan Tuhan yang jahat loh, Tuhan kita penuh dengan kasih dan pengertian, Dia sangat tahu kalau ciptaan-Nya ini sangat jauh dari kata sempurna. 

Tuhan tidak butuh kita yang sempurna, karena kita tidak akan pernah menjadi sempurna tanpa-Nya. Apalagi jika kita berusaha menggunakan kekuatan kita sendiri, ujung-ujungnya kita hanya akan gagal. Dalam kasih-Nya kita disempurnakan, kita sempurna karena kita punya Dia yang sangat sempurna tinggal di dalam kita. Yang Tuhan inginkan adalah hati yang rindu, hati yang lembut, dan hati yang mau dibentuk, itu sudah cukup buat Tuhan. 

Sekalipun hadiah yang kita terima tidak mahal dan keren, tapi jika diberikan oleh orang yang sangat berarti buat kita, pasti kita akan sangat bahagia kan? Begitu juga Tuhan akan sangat bahagia ketika kita MAU memberikan hati kita untuk-Nya, karena kita sangat berharga dan berarti bagi-Nya. 

Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.
(Yesaya 43:4)

Tanpa sadar kita selalu menerima kebaikan dan kemurahan-Nya, tanpa sadar kita selalu menerima hadiah dari Tuhan. Jarang sekali kita memberikan hadiah untuk Tuhan, kita hanya bisa meminta seolah-olah Tuhan bank hadiah kita. Kita minta perlindungan, minta berkat, dan banyak lagi sesuai dengan list keinginan kita.

Tahun ini penuh dengan duka dan masalah, tapi lihatlah perlindungan-Nya sempurna tanpa cela. Kalau sampai kita bisa merayakan Natal tahun ini, semua tak lepas dari kasih dan kemurahan-Nya. 

Yuk kita renungkan semua kebaikan-Nya bagi kita dan mari kita siapkan hadiah untuk Tuhan sebagai ucapan syukur kita. 

MERRY CHRISTMAS!

Monday, October 19, 2020

Apa Untungnya?




by Benita Vida

Pada dasarnya, kita—sebagai manusia—selalu mencari “untung”, profit, atau upah dalam melakukan sesuatu karena kita tidak mau apa yang sudah kita lakukan dan kerjakan dengan susah payah itu sia-sia, apalagi merugi. Salahkah itu? Sebenarnya tidak salah dan itu manusiawi kok, selama masih dalam batas wajar dan tidak merugikan orang lain. Ketika kita ditawarkan pekerjaan atau diajak berbisnis, pasti kita akan menghitung untung-rugi dan itu sangat wajar. Jangan sampai kita sudah mencurahkan tenaga, waktu, dan biaya tapi ujung-ujungnya membuat kita rugi. Ya, kan?

Hal yang sama pernah ditanyakan oleh Petrus kepada Yesus,

“... Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau;
jadi apakah yang akan kami peroleh?”
(Matius 19:27)

Petrus sudah meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus: pekerjaannya, keluarganya, teman-temannya, dan kenyamanannya sewaktu Yesus memanggilnya menjadi murid-Nya. Namun sebagai manusia, Petrus mulai mempertanyakan, “Apa ya untungnya mengikut Yesus? Atau jangan-jangan setelah mengikut Yesus sekian tahun, ujung-ujungnya malah nggak dapet apa-apa. Percuma dong.” Yesus memahami pemikiran dan perasaan ini, dan jawaban Yesus di luar perkiraan Petrus:

“Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.”
(Matius 19:18-19)

Ternyata dari jawaban Yesus, kita menangkap kesimpulan bahwa menjadi pengikut-Nya tidak berarti membuat kita menjadi kaya atau populer; sebaliknya, jawaban Yesus adalah janji-Nya. Dari jawaban tersebut, kita bisa memahami bahwa definisi “keuntungan” sebagai pengikut Yesus bukanlah untuk mendapatkan untung dalam hal materi, melainkan kita (melalui anugerah Allah) dilayakkan untuk menerima janji-Nya yang kekal. Yup... semua janji-Nya itu yang tertulis dalam surat cinta-Nya (a.k.a. Alkitab) untuk kita.

Oke, kita sudah tahu kalau kita mengikut Tuhan, kita perlu meninggalkan zona nyaman dan dosa-dosa kita, lalu kita berkomitmen untuk mengubah pusat hidup (dari diri sendiri menjadi kepada Tuhan saja). Sayangnya, banyak di antara orang percaya (mungkin termasuk kita) yang sudah sungguh-sungguh mengikut Tuhan tapi malah merasa makin berat dan “rugi”. Kita juga tidak bisa memanipulasi orang lain! Padahal kalau jujur kita bisa saja tidak akan mendapatkan promosi; tidak bisa membalas orang lain yang jahat sama kita sementara hati ini sudah sangat tersakiti. Wah… wah… ini untung atau rugi nih? Kok, malah jadi makin tidak enak? Nah, dalam situasi-situasi seperti ini, mulai deh kita mempertanyakan ulang apa untungnya mengikut Tuhan.

Kita harus memahami dan mengimani bahwa saat kita menyerahkan hidup dan mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh, kita telah menerima upah yaitu janji-Nya. Tapi harus dicatat ya: kita memang sudah menerima janji-Nya yang adalah ya dan amin—yang artinya pasti terjadi di hidup kita cumaaaaa tidak selalu instan yah, teman-teman. Selain perlu menunggu dalam ketaatan dan kesetiaan, kita juga membutuhkan iman supaya kita tidak menyerah di tengah jalan. Ada waktu untuk menerima janji-Nya, tapi pasti juga ada proses yang harus dilalui agar janji-Nya bisa terealisasi di hidup kita.

Bila kita melihat kehidupan Daud, Tuhan menjanjikannya menjadi seorang raja bagi bangsa Israel di waktu umurnya masih sangat muda, tetapi Daud perlu puluhan tahun untuk benar-benar jadi raja dan mengalami janji Tuhan di hidupnya. Selama perjalanannya menanti janji Tuhan dan hidup sungguh-sungguh ikut Tuhan, apakah Daud senang dan damai hidupnya? Sangat jauh dari kata senang dan damai. Bahkan Daud pernah harus bertingkah seperti orang gila untuk menyelamatkan nyawanya dari Raja Filistin. Daud juga tidak membunuh Saul yang sudah sangat jahat dan membuat hidup Daud berantakan sekalipun Daud memiliki kesempatan untuk melakukannya.

Kita semua pernah berada di posisi Daud—atau mungkin saat ini kita sedang merasa menjadi seperti dirinya. Rasanya penantian ini begitu panjang dan tiada akhir. Rasanya mengikut Tuhan tidak memberikan keuntungan untuk kita; kita sudah memberikan semuanya tetapi tidak dapat apa-apa dan kita merasa sia-sia sudah “pengorbanan” kita. Hmm… walaupun terdengar klise, tapi bersabarlah, teman-teman. Tetap pegang teguh imanmu, karena janji-Nya tidak pernah terlambat. Mungkin saat ini kamu sedang diproses untuk siap menerima janji-Nya. Terkadang memang janji dan kenyataan tidak sejalan, tapi yakinlah jika Allah sanggup menjadikan seorang gembala menjadi seorang raja, jika Allah sanggup menjadikan seorang kakek bernama Abraham menjadi bapa segala bangsa, Allah pun sanggup mengubah keadaanmu.

Walaupun begitu ada satu hal yang harus kita ingat: Jika Tuhan menghendakinya, kita bisa saja seumur hidup tidak memperoleh janji-Nya. Buktinya saja Abraham. Meskipun masih bisa menatap Ishak—anak yang dijanjikan Allah melalui Sara—sebelum meninggal, tapi dia tidak pernah melihat keturunannya yang banyak seperti bintang di langit maupun pasir di pantai. Abraham juga tidak melihat tanah perjanjian yang subur dan “berlimpah susu dan madunya” (hal ini baru digenapi lebih dari 600 tahun kemudian, yaitu saat bangsa Israel masuk ke Kanaan). Karena merasa bahwa hidupnya tidak akan bertahan sampai dua hal itu terjadi, Abraham meminta konfirmasi dari Tuhan (Pearlians bisa membaca kisah selengkapnya di Kejadian 15). Tapi manakah yang lebih penting: kehadiran Tuhan sendiri di dalam hidup kita (bahkan dalam titik terendah), atau janji-Nya yang tergenapi namun tanpa penyertaan-Nya secara nyata? Bukankah Tuhan juga memakai penderitaan dalam masa penantian dan perjuangan kita untuk mendewasakan kita, bukannya berpangku tangan dan mengasihani diri sendiri karena ngambek pada-Nya?

Ketika saya masih kecil, ada saat dimana Papa—bisa dibilang—kurang sayang dan kurang memperhatikan saya. Tapi suatu hari, Tuhan berbicara secara langsung kepada orang tua melalui seorang dokter, “Kamu bisa diberkati sekarang karena anak ini. Kalo kamu gak mau sama anak ini, sini kasih saya aja.” Mendengar cerita itu dari Mama ketika sedang berjuang mengerjakan skripsi, saya tahu jika di masa lalu (baca: saat saya kecil dan belum kenal Tuhan sungguh-sungguh) saja Tuhan perhatikan dan bela, apalagi mengenai masa depan: pasti Tuhan berikan yang terbaik. Saya imani bahwa janji Tuhan bagi masa depan yang penuh harapan itu pasti terjadi untuk saya, tapi ternyata kenyataannya tidak seindah itu: proses pengerjaan skripsi saya terasa berat. Tiba-tiba dosen pembimbing saya dipromosikan sehingga sulit diajak untuk berdiskusi, bahan yang saya cari untuk pembuatan produk skripsi saya tidak bisa didapatkan di mana-mana, dan itu belum termasuk air mata perjuangannya yang entah berapa kali tertumpah. Singkat cerita, entah bagaimana caranya, Tuhan selalu membuka jalan saya. Apa yang saya lakukan adalah percaya bahwa pembelaan-Nya sempurna seperti saat saya masih kecil. Janji-Nya di awal masa perkuliahan bahwa saya pasti lulus tepat waktu pun ditepati. Saya lulus dengan nilai yang memuaskan bahkan dengan predikat terpuji. 

Kadang-kadang ada perasaan minder karena dunia memandang kita sebagai orang bodoh. Mana ada yang mengharapkan upah “tidak nyata” dan tidak berbentuk? Bahkan tidak sedikit juga orang percaya yang menyerah dan berhenti berharap. Tapi mari kita belajar bersama untuk setia dan taat kepada Tuhan. Dia tidak pernah berutang. Dia melihat pengorbanan dan ketaatan kita untuk setia mengikuti-Nya, dan percayalah… akan ada waktu di mana kamu akan menerima upah dari ketaatan dan kesetiaanmu.

Monday, August 24, 2020

THE LAST = THE FIRST? HOW COME!


by Benita Vida

Siapa sih, yang tidak mau jadi orang yang diutamakan, atau jadi orang nomor satu (dari depan, tentunya)? Apalagi kalau kita seorang wanita, wah… pengen banget jadi yang pertama dan diutamakan. Kan, ada istilah “ladies first”, tuh. Bahkan di beberapa tempat, ada tempat parkir dan diskon khusus bagi para wanita di hari-hari tertentu. Hayo, siapa yang pernah memanfaatkan situasi seperti itu? Hahahaa...

Semua orang ingin menjadi yang pertama dan diutamakan. Gimana nggak? Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama; sejak kita bersekolah saja sudah dikenalkan sistem ranking, begitu juga sistem di dalam dunia ini yang membuat manusia berlomba-lomba mau jadi nomor satu. Bahkan saat mengantre pun kita tidak sabar untuk segera berada di depan kasir (apalagi kalau antrean cukup mengular). Tapi pertanyaannya, salahkah jika kita ingin jadi yang terdepan? Hmmm... sebenarnya nggak, sih. Disadari atau tidak, insting kita—secara alamiah—memiliki kecendurungan untuk menginginkan hal itu. Namun keinginan ini justru menjadi sesuatu yang salah adalah ketika kita mengusahakan segala cara yang tidak benar, bahkan menyakiti orang lain.

Merasa diutamakan itu penting karena itu membuat kita menyadari bahwa orang lain menghargai kita, tetapi menjadi yang pertama dan diutamakan bukanlah segalanya.

Salah satu hal yang diajarkan oleh dunia adalah agar kita harus menjadi yang pertama. Kita dituntut harus bisa menguasai segala sesuatu. Karena itulah, kita memiliki mindset untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Kalau kita lengah dan mengalah, posisi itu bisa direbut oleh orang lain. Nah, disadari atau tidak, kita justru menjadi orang yang egois dan mudah iri hati. Kita marah jika ada orang lain yang lebih pintar dari kita, kita iri jika orang lain malah lebih berhasil dari kita. Akibatnya, keegoisan dan rasa iri hati ini membuat banyak orang menghalalkan segala cara hanya untuk bisa mendapatkan posisi yang utama. Misalnya, kita menyontek saat ujian agar mendapatkan nilai yang baik—bahkan juara pertama; kita “menginjak” dan memanfaatkan orang lain dalam perusahaan kita agar kita bisa dipromosikan. See? Dunia menyatakan bahwa menjadi yang pertama dan yang utama berarti kita menguasai segala hal, orang-orang hormat dan tunduk sama kita, juga menjadi orang yang dilayani dalam berbagai hal.

Tapi pernahkah Pearlians berpikir... Kenapa kita bisa memiliki keinginan untuk selalu menjadi yang diutamakan?

Alasannya bisa bermacam-macam. Mungkin saat masih anak-anak, kita dituntut oleh orang tua untuk memperoleh peringkat terbaik di kelas maupun perlombaan tertentu (bahkan sekolahan). Bisa saja ini dikarenakan mereka melihat potensi di dalam diri kita, sehingga “harapannya” kita mengerahkan seluruh usaha untuk mencapai hasil yang terbaik. Namun tidak jarang pola seperti ini terjadi karena orang tua kita sendiri tidak sanggup memenuhi tuntutan orang lain di masa lalu (misalkan kakek-nenek kita, atasan, dan sebagainya). Selain itu, kalau berada di posisi terdepan, kita akan merasa lebih diterima oleh orang lain; harga diri pun akan meningkat. Lebih asyik, kan, kalau kita dianggap lebih hebat daripada orang lain? Padahal kalau mau jujur, sebenarnya ada perasaan bahwa kita ingin diterima sebagaimana adanya kita (literally)—bukan hanya melulu karena pencapaian kita.

Lalu, apa kata Tuhan Yesus mengenai hal ini?

Kita bisa membacanya di Lukas 14:7-11. Di suatu hari Sabat, Yesus—yang datang ke rumah salah satu pemimpin orang Farisi untuk makan bersama—baru saja menyembuhkan seorang penderita busung air. Berhubung saat itu sedang dilangsungkan perjamuan makan, ada beberapa tamu yang berusaha menduduki tempat kehormatan di sana. Nah, berbeda dari pemikiran mereka untuk berusaha dipandang para tamu yang lain, Yesus mengajarkan hal sebaliknya.

Bagi-Nya, ketika kita merendahkan hati dan diri masing-masing, justru itulah yang akan membuat kita menjadi yang terutama. Hmm, aneh ya? Bagaimana caranya bisa jadi nomor satu tapi posisinya paling rendah? Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengajarkan kalau diundang dalam suatu acara, jangan sampai kita langsung mengambil posisi paling depan, melainkan mengambil posisi paling belakang supaya sewaktu pemilik acara melihat kita, pemilik acara tersebut yang akan memanggil kita dan membawa kita ke posisi paling depan. 

Yesus ingin agar sebagai anak-anak Allah, kita tidak menjadi sombong dan menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, Dia memberikan teladan supaya kita menjadi rendah hati dan mengutamakan orang lain—sebab yang akan meninggikan dan membawa kita ke posisi paling depan adalah si pemilik acara, yaitu Tuhan sendiri. Kalau menggunakan istilah dalam bisnis, “promosi” itu datangnya dari Tuhan dan bukan karena kehebatan atau usaha kita.

Kenapa sih, harus jadi yang terendah supaya bisa jadi yang terutama?

Kenapa yang terakhir bisa menjadi yang pertama? Ini hukum yang aneh, atuh. Bagaimana caranya?

Coba deh, kita perhatikan tokoh-tokoh dan pahlawan iman yang kisahnya diceritakan di dalam Alkitab. Sadarkah kita kalau Tuhan mengambil mereka dari posisi terendah, dan Dia sendiri yang membawa mereka ke tempat tertinggi. Contohnya adalah Daud. Dia adalah anak yang paling kecil dan hampir dilupakan sama papanya sendiri (baca 1 Samuel 16:1-13, khususnya pada bagian Samuel mengundang seluruh keluarga Isai, namun Daud malah masih menggembalakan kambing domba). Bukannya memilih kakak-kakaknya, Tuhan justru memilih Daud yang seperti itu untuk menjadi raja di Israel. Belum lagi Yusuf, salah satu anak Yakub yang termuda (sekaligus anak kesayangan).Walaupun di awal dia dibenci oleh para saudaranya, pernah menjadi budak dan mantan narapidana, tapi Yusuf malah menjadi orang kepercayaan Firaun—dimana semua orang harus tunduk dan taat dengan kata-katanya. Siapa yang sangka orang-orang dengan masa lalu yang buruk dan bisa dibilang orang “rendahan” tapi bisa sukses dan jadi orang nomor satu. Tentunya, semua ini hanya bisa terjadi karena Allah berkenan untuk memilih mereka. Well, bukankah perkenanan-Nya tidak bisa digoyahkan oleh perlawanan manusia?

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat...”
(1 Korintus 1:27)

Di sisi lain, Yesus juga ingin agar kita memahami bahwa potensi yang dimiliki tidak membuat posisi kita menjadi yang pertama di hadapan Allah. Alasannya karena Allah melihat jauh ke dalam hati kita, He sees our motivation! Itulah sebabnya kerendahan hati adalah kunci yang penting bagi kerajaan Allah. Ya, bertentangan dari apa yang dunia ajarkan, kehormatan di hadapan Allah hanya bisa didapat dengan memiliki kerendahan hati—bukan keegoisan dan iri hati. Bagi Allah, karakter dan sikap hati kitalah yang terpenting. Dia menghargai orang yang mau dibentuk dan memiliki hati yang teachable.

Mungkin ketika menerapkan prinsip kerajaan Allah ini, rasanya progress kita dalam mencapai sesuatu cenderung lebih lambat dari orang lain yang (mungkin) sampai harus saling menyikut. Bisa saja kita merasa minder karena posisi terbelakang yang kita alami. Namun bukankah berkat Tuhan tidak selalu tentang materi dan prestasi? Bukankah Dia juga menghargai proses pembentukan karakter kita? Lagipula, Tuhan tidak menjanjikan bahwa kesuksesan akan selalu bersama kita—karena bagi-Nya, penyertaan-Nya bagi kitalah yang lebih penting. Who knows, melalui kerendahan hati kita, orang lain menemukan Pribadi yang selama ini mereka cari? Who knows, mereka justru memberikan respect yang lebih kepada kita ketika melihat bagaimana kita tetap berada di track yang benar (menurut firman Tuhan) untuk memperoleh sesuatu?

Karena itu, baik saat kita sudah berada di posisi terdepan menurut manusia, “biasa saja”, bahkan di tempat yang paling dianggap remeh oleh orang lain, kiranya ayat ini menjadi pengingat kita:

Apapun juga yang kamu lakukan, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.
(Kolose 3:23-24)

Monday, June 22, 2020

Menjadi Domba yang Dengar-dengaran pada Sang Gembala

oleh Benita Vida

Pernah dengar perumpamaan domba yang hilang? Pasti sudah sering sekali ya, bahkan sudah hafal ceritanya. Setidaknya kita mendengar atau membacanya satu kali—entah itu saat masih menjadi anak sekolah Minggu, maupun dari khotbah di kebaktian. Dari situ kita tahu bahwa “domba” itu adalah manusia yang tersesat dalam dosa, dan “gembala yang baik” adalah Tuhan sendiri. Kita juga sudah paham bahwa perumpamaan ini menegaskan bahwa Allah sangat mengasihi kita—bahkan Dia mencari sedemikian rupa hingga seekor domba yang hilang (yaitu kita) itu ditemukan-Nya. Setelah menemukan si domba, gembala itu (yaitu Allah) akan membuat pesta besar; artinya, surga bergembira karena “ada satu orang yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Lukas 15:7)

Tapi kali ini, mari kita melihat perumpamaan ini dari cara pandang lain.

Sebagai domba yang sangat dikasihi, kita sering terhilang—bukan cuma satu kali, tapi berkali-kali. Salah satu penyebabnya adalah kita tidak dengar-dengaran dengan gembala kita yaitu Tuhan. Kadang-kadang rasa ingin tahu kita lebih besar daripada ketaatan kita, sehingga hal itu membuat kita keluar dari jalan yang sudah Allah tetapkan. Hmm… Seberapa sering kita berlaku seperti ini? Walaupun merasa sudah tahu apa yang menyenangkan hati Bapa, tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa ada keinginan untuk berjalan dengan cara yang berbeda dari rencana Allah. Akibatnya, kita tidak mendengarkan pesan maupun perintah dari Sang Gembala dengan baik. Bukannya menemukan jalan yang diinginkan, kita justru lebih sering tersesat, bukan? Perjalanan menuju “padang berumput hijau” yang kita bayangkan ternyata tidak seindah itu.

Rasa ingin tahu berubah menjadi rasa takut.

Kita terhilang dan merasa tidak bisa menemukan jalan lagi.

Kita “dipaksa” untuk menelan kenyataan bahwa kita sendirian di jalan yang suram itu.

Meski kita berulang kali mengabaikan firman-Nya, Allah tidak tinggal diam. Dia tetap mencari sampai menemukan kita, karena kesetiaan dan kasih-Nya yang sangat besar. Tanpa disadari, sebenarnya Allah sudah memanggil—bahkan memperingatkan—kita yang mulai melangkah di luar jalur-Nya. Sayangnya, kitalah yang sering tidak menangkap sinyal yang Allah berikan, karena kita merasa bahwa jalan yang kita pilih lebih baik dan lebih menjanjikan.

Yah, tidak ada seorangpun yang menyukai ketidakpastian. Sebaliknya, kita membutuhkan kepastian mengenai masa depan, jaminan bahwa penyakit yang diderita akan sembuh, dan sebagainya. Masalahnya adalah… hidup ini selalu memiliki ruang untuk ketidakpastian; segala sesuatu bisa berubah dalam hitungan detik. Inilah yang membuat kita menjadi gelisah dan selalu mencari cara untuk bisa mendapatkan kepastian atas keingintahuan kita. Kapasitas logika yang terbatas membuat kita menilai bahwa jalan maupun tempat yang sudah Allah sediakan justru tidak menjamin apa yang dibutuhkan—saking tampak tidak masuk akal bagi kita untuk memperolehnya.

Padahal di sisi lain, Allah tetap menetapkan cerita kehidupan bagi kita dengan cara-Nya yang unik, dan ini mempertegas sifat-Nya sebagai Pribadi yang kreatif. Artinya, apa yang orang lain lalui maupun cara yang mereka gunakan untuk berhasil belum tentu harus juga kita lakukan ketika menghadapi pergumulan yang sama. Tapi yah… karena kita ingin segala sesuatunya bisa terselesaikan secara instan, kalau melihat orang lain berhasil, kita langsung ingin melakukan hal yang sama tanpa melalui proses terlebih dahulu. Mungkin kita pernah berpikir bahwa pergumulan yang dihadapi saat ini adalah bentuk hukuman Allah, karena kita tidak mendengar dan menaati firman-Nya. Namun tidak demikian dengan apa yang Allah katakan:

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
(Yeremia 29:11)

Konteks Yeremia 29:1-23 adalah tentang firman Tuhan bagi orang-orang Yehuda yang dibuang ke Babel, karena mereka menyembah berhala dan menyeleweng dari hukum Taurat lainnya pada masa kerajaan-kerajaan sebelumnya. Sebagai bentuk hukuman-Nya, Allah membuang mereka ke Babel selama 70 tahun—namun nantinya akan memulangkan mereka ke Yerusalem lagi. See? Walaupun kita merasa diperlakukan dengan kejam, sebenarnya Allah tidak akan merancangkan sesuatu yang jahat bagi kita. Bahkan apa yang tampak buruk saat ini bisa saja menjadi berkat di kemudian hari... dan itu semua hanya karena anugerah-Nya.

Allah adalah Pribadi yang mencintai proses, karena tanpa proses hasil seindah apapun akan runtuh dalam sekejap. Kita bisa melihat penggambarannya dari tukang keramik. Ketika melihat ada bagian yang kurang baik, dia tidak akan segan untuk memecahkan keramik itu—bahkan kalaupun keramik itu hampir jadi! Kalau kita diumpamakan sebagai keramik, mungkin kita akan merasa si tukang adalah orang yang plin-plan, bukan? Namun dia melakukannya karena ingin keramiknya menjadi sesuatu yang berharga setelah melalui proses pembentukan, pembakaran, hingga pewarnaan. Begitu pula yang Allah lakukan bagi kita: Dia ingin agar kita menghargai proses. Bukannya tidak bisa memberikan yang kita mau dengan segera, bukan juga karena tidak mau melihat hidup kita bahagia, tapi Tuhan seolah-olah membuat kita berputar-putar dalam proses agar kita menikmati hasilnya di kemudian hari. Kapankah itu? Tidak ada yang tahu. Tapi satu hal yang harus kita pegang adalah… “Tuhan tidak meninggalkan kita dalam perjalanan iman ini.”

Ironisnya, sekali lagi, kita—sebagai manusia—sangat menyukai segala sesuatu yang instan. Kita ingin apapun bisa tersedia sesegera mungkin. Misalnya saja makanan instan maupun cepat saji, atau nilai yang baik tapi tidak mau belajar, atau ingin sukses tapi tidak mau belajar dari nol, dan sebagainya. Akibatnya, kita menjadi sangat tidak betah diam dalam proses yang Allah berikan, dan tidak bisa berjalan di dalam jalan yang Tuhan sudah tetapkan karena menurut kita ada jalan dan cara yang lebih cepat. Lagipula, kalau ada jalan yang seperti itu, kenapa kita harus melalui penderitaan dan ketidaknyamanan ini? Bukannya kita adalah domba yang dikasihi-Nya?

Pikiran-pikiran seperti itu membuat kita mempertanyakan banyak hal tentang kehendak Allah. “Apa sih, yang dipikirkan Allah waktu kasih penyakit ini?”, “Kenapa jalan-Nya nggak jelas banget? Padahal aku udah rajin baca Alkitab dan doa, lho!”, dan masih ada banyak pertanyaan yang membuat kita ragu-ragu akan kasih setia Allah ketika kita mengalami pergumulan. Well, Pearlians, keraguan memang bisa datang kapan saja. Namun saat kita tidak bisa melihat jalan yang Allah berikan, saat kita tidak mengerti isi pikiran dan rencana-Nya, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memercayai hati-Nya—hati yang mengasihi kita lebih dari apapun. Bukankah setiap kali kamu tersesat dan terhilang, Dia selalu datang dan membawamu kembali? Bukankah Dia yang mati untuk menebusmu—dalam diri Yesus Kristus? Bukankah kita adalah milik-Nya yang berharga?

“Teorinya emang gitu. Tapi kenapa Allah kayak diem aja kalau tahu kita ini udah bosen sama penantian yang nggak jelas gini!”

“Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH, Yang Mahakudus, Allah Israel: "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.”
(Yesaya 30:15)

Ya, tinggallah tenang dan percaya dalam hadirat-Nya, tapi jangan lupa untuk membuka telinga dan hati ini. Allah bisa berbicara melalui apapun, namun ketika momen itu tiba, kita perlu menenangkan diri agar dapat berdoa. Tanpa doa, yang adalah napas kehidupan bagi orang percaya, komunikasi kita juga akan terputus dari-Nya.

Kita juga perlu mengakui bahwa ketidakinginan untuk mendengar dan taat kepada Allah justru membuat proses yang dialami juga semakin panjang. Kadang-kadang ada perasaan yang mengatakan bahwa seharusnya kita sudah melalui proses ini. Tapi karena kita terus-menerus tidak mau mendengar, Allah seakan membuat kita harus mengulang proses yang sama sampai kita menyelesaikannya. Mungkin rasanya pergumulan kita terlalu panjang dan melelahkan untuk dilalui. Mungkin kita juga harus dihancurkan berkali-kali untuk melalui pergumulan itu. Tapi kabar baiknya: kita tidak sendirian karena Allah beserta kita. Bukankah lebih baik melalui proses yang terlihat melelahkan ini bersama Allah daripada kita berjalan sendiri di dalam apa yang kita anggap baik? Ketika berjalan bersama Allah, apa yang hilang dalam proses yang kita alami akan digantikan-Nya dengan yang lebih baik; apa yang hancur dari kita akan dipulihkan-Nya; kita akan menerima untuk memberi, kita akan diberkati lebih dari yang bisa dibayangkan untuk menjadi berkat.

Semuanya itu hanya bisa terjadi ketika kita memiliki hati yang mau untuk mendengarkan dan menaati apa yang Allah katakan, dan mengasah kepekaan terhadap suara Roh Kudus ketika kita menghadapi sebuah pergumulan. Seperti domba yang pasti mengenal suara gembalanya dan tidak akan peduli dengan suara lain selain suara gembalanya, mari kita menjadi domba-domba Allah yang selalu memasang telinga kita akan apa yang mau Tuhan sampaikan. He can speak to each of us personally in many ways. Selamat menikmati prosesmu bersama-Nya, Pearlians, sampai kita sama-sama menjadi sesuai dengan apa yang di dalam pikiran Allah ketika kita lahir di dalam hati-Nya.

Monday, May 25, 2020

Nyata Tapi Tak Terlihat


by Benita Vida

Bulan ini kita merayakan kenaikan Yesus ke Sorga, suatu peristiwa dalam sejarah Kekristenan yang menyatakan bahwa Yesus berasal dari Sorga dan bahwa Dia sendiri adalah Allah. Tapi, bukan hanya peristiwa itu yang kita rayakan bulan Mei ini. Peristiwa lain yang tidak kalah luar biasa adalah turunnya Pribadi lain yang menggantikan posisi Yesus, sepuluh hari setelah kenaikan Yesus. Pribadi itu hadir dan bekerja bahkan hingga saat ini. Siapakah Dia? Ya, ROH KUDUS. Pribadi ini tak terlihat. Alkitab hanya mencatat wujud Roh Kudus terlihat sekali dalam bentuk lidah api yang turun ke atas kepala murid-murid saat sedang berkumpul dan berdoa. 

“Hanya karena sesuatu tak terlihat, tidak berarti sesuatu itu tidak nyata”, kalimat ini pernah muncul dalam salah satu film yang saya tonton. Saat mendengar kalimat ini, Tuhan menegur saya karena kadang saya sering melupakan Pribadi yang tidak terlihat itu. Kita adalah makhluk visual, kita cenderung mempercayai dan mengingat semua yang bisa kita lihat dan dengar, karena ini lah terkadang kita mudah menyerah dan putus asa dengan keadaan sekeliling kita karena kita tidak bisa melihat apa yang kita harapkan.

Kabar baiknya, setelah Yesus meninggalkan kita secara “fisik”, Dia mengerti kita tak pernah bisa sendiri. Dia mengutus Pribadi yang akan selalu ada bersama kita sesuai dengan janji-Nya di Matius 28:20 sebelum Ia naik ke Sorga. 

“… dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Siapa sih yang tidak pernah sedih? Siapa sih yang bisa melakukan segalanya tanpa ada bantuan orang lain? Siapa sih yang tidak butuh disemangati? Sekuat-kuatnya seorang manusia, pasti ada saat dimana dia butuh bersandar dan dikuatkan, butuh dihibur dan diberikan kata-kata penyemangat. Setelah kenaikan Yesus ke Sorga, mungkin murid-murid dalam keadaan galau bahkan kalut dan sedih karena seseorang yang selalu bersama mereka selama 3,5 tahun ini tidak lagi bersama mereka. Yesus sangat paham perasaan itu, perasaan kehilangan seseorang yang dekat. Karena itu, sejak awal Yesus menjanjikan Pribadi lain yang menggantikan-Nya menemani orang-orang terdekat-Nya. Pribadi yang akan menjadi seorang Penghibur. 

“Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.”
(Yohanes 16:7)

Datangnya Roh Kudus menjadi penghiburan bagi murid-murid yang ditinggalkan. Roh Kudus memang tidak terlihat secara fisik, tapi jauh dalam hati mereka, ada sukacita dan damai sejahtera karena Roh Kudus tinggal dan diam dalam hidup mereka. 

Ada banyak sekali cara menghibur. Penghiburan bisa datang dari diri sendiri dan orang lain. Ada orang yang terhibur hanya dengan makan makanan enak, ada yang terhibur dengan belanja di mall, ada juga yang terhibur dengan tidur seharian, dan lain-lain. Tapi terkadang dalam suatu keadaan tertentu, dimana seseorang sedang mengalami tekanan yang hebat, mereka butuh orang lain sebagai tempat bercerita dan berkeluh kesah. 

Tahukah kita kalau kita punya “Penghibur pribadi”? Kita punya satu Pribadi yang selalu bersama kita. Berbeda dengan orang lain yang tidak selalu punya waktu untuk kita, Roh Kudus selalu ada untuk kita dan selalu siap memberikan penghiburan. Penghiburan-Nya selalu tepat waktu dan kadang tidak pernah terlintas di pikiran kita. Saya ingat di tahun 2014, saat saya dalam proses pencarian kerja dan sudah 1 bulan belum dapat kerja, jujur saat itu sangat amat stres dan malu jika ada orang yang bertanya tentang pekerjaan saya. Di tengah kesedihan dan perasaan tertekan yang saya alami, Roh Kudus menghibur saya dengan memberikan saya seekor anjing yang sudah lama saya inginkan. Sederhana dan nampak seperti tidak ada hubungannya, tapi hal kecil ini mengingatkan saya ada Tuhan yang peduli dengan kerinduan hati saya.

Tahukah kamu, terkadang rasa stres, sedih, dan tertekan membuat kita tidak tenang? Ketika kita tidak tenang, kita menjadi sulit berdoa. Roh Kudus sangat paham akan hal itu, terkadang bisikan lembut membuat kita menjadi lebih tenang dan bisa berdoa. Ia terkadang mengingatkan kita tentang kebaikan Tuhan dalam hidup kita dan membuat kita menyadari bahwa kita tidak perlu panik menghadapi hidup ini. Karena bukankah kita punya Allah yang hebat? Penghiburan tidak selalu harus membuat kita senang dan masalah kita selesai, kadang penghiburan cukup membuat kita menjadi lebih tenang sehingga kita bisa berpikir lebih jernih dan bertindak dengan hikmat. 

Daud berkata dalam Mazmur 94:19 

“Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan jiwaku.”

Dalam keadaan yang tidak menyenangkan dan dibandingkan dengan segala usaha yang bisa kita lakukan untuk menghibur diri sendiri atau orang lain, sesungguhnya penghiburan-Nya lah yang paling kita butuhkan. Tapi kadang kita lupa. Kita justru mencoba mencari segala cara supaya hati kita lebih tenang dan terhibur, padahal sesungguhnya yang perlu kita lakukan adalah meminta langsung dari Sang Sumber. 

Dalam keadaan pandemik seperti sekarang ini, semua media yang menyediakan penghiburan seperti hilang. Mall tutup, restoran tutup, taman bermain tutup. Kumpul-kumpul bersama teman-teman pun sulit. Kita hanya bisa diam di rumah. Siapa yang tidak pusing? Siapa yang sudah mulai bosan? Siapa yang sudah tertekan? Rasanya pasti sudah kehabisan cara untuk menyenangkan diri sendiri, tapi yuk ingat, Daud yang dalam keadaan tidak mengenakkan mencari Sumber Penghiburan itu sendiri. Percayakah kita akan keberadaan-Nya? Pekerjaan-Nya nyata sekalipun fisik-Nya tak terlihat, Penghibur yang Tuhan sediakan untuk kita, bahkan bukan hanya sebagai penghibur, Roh Kudus juga penolong dan pemimpin hidup kita. Mari kita buka hati dan terima Roh Kudus dalam hati kita, biarkan Dia bekerja bebas dalam hidup kita dan biar penghiburan-Nya nyata dalam setiap keadaan kita. 

Monday, April 20, 2020

Tuhan di Atas Kemustahilan


by Benita Vida

Banyak hal ajaib yang Yesus perbuat saat menjadi manusia di bumi. Dari semua hal itu, menurutmu, mana yang paling ajaib? Mukjizat air menjadi anggur saat perkawinan di Kana? Atau mengutuk pohon ara sehingga tidak berbuah lagi? Semua itu memang luar biasa, tetapi ada satu hal paling ajaib yang dampaknya oleh semua manusia di bumi, bahkan sampai saat ini, yaitu saat Yesus bangkit dari kematian. 

Saat harapan dari para murid mulai hilang, saat kepercayaan para pengikut dan saksi dari perbuatan Yesus mulai hancur, Yesus membuat mukjizat yang tidak pernah mereka pikirkan yaitu bangkit dari kematian-Nya. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Yesus ditangkap, diadili, dicambuk, berdarah, dan mati di atas kayu salib. Mereka juga melihat Yesus sudah dikuburkan di tempat yang ditutup dengan batu besar dan dijaga oleh dua orang pengawal. Tidak sekalipun terlintas di benak mereka bahwa yang terjadi kemudian adalah Yesus bangkit. 

Dalam duka yang besar karena melihat orang yang mereka kasihi telah mati dan dikubur, para wanita datang mengunjungi kubur Yesus dan terkejut melihat bahwa kubur itu telah kosong. Duka mereka semakin besar, mengira bahwa Tuhan mereka diambil oleh orang, bahkan sampai detik itu pun tak terlintas di benak mereka bahwa Yesus telah bangkit. Inilah manusia, terkadang kita terlalu mengandalkan penglihatan dan pemikiran kita. Kita menganggap masalah kita sudah tidak mungkin diubah – tidak mungkin air menjadi anggur, tidak mungkin saya menang tender melawan perusahaan sebesar itu, tidak mungkin saya diterima kerja di perusahaan besar karena saya lulusan universitas yang tidak popular, dan lain-lain. Di sisi lain, kita juga kerap lebih percaya pada apa yang orang lain katakan, bahwa tidak ada harapan lagi, lebih baik menyerah, penyakit kita sudah tidak bisa sembuh, anakmu tidak bisa jadi orang berhasil, dan banyak lagi hal lain. 

Sadarkah kita bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan di atas segala kemustahilan? Bangkit dari kematian adalah hal yang sangat mustahil terjadi, apalagi bangkit dan hidup selama-lamanya. Kebangkitan Yesus menjadi kabar baik bagi kita, menjadi pengharapan saat kita putus asa, dan keteguhan bagi yang percaya, bahwa kita mampu menang dari semua situasi dan keadaan yang tampak mustahil bagi manusia. Ya, sebab Tuhan kita telah melampaui akal sehat dan berdiri di atas segala kemustahilan. 

Sang Pencipta sangat memahami ciptaan-Nya. Ia paham bagaimana cara kerja manusia, bagaimana cara pikir manusia, dan apa yang dirasakan manusia – karena Yesus pun adalah seorang manusia sampai saat Dia harus mati untuk kita. Dia sangat mengerti bahwa tanpa melihat, merasakan, dan mendengar, sangat sulit bagi kita untuk percaya walaupun sudah sering mengalami dan melihat perbuatan ajaib-Nya. Alkitab mencatat malaikat Tuhan yang diutus untuk memberitahukan berita kebangkitan-Nya.

Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: "Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring. Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia. Sesungguhnya aku telah mengatakannya kepadamu.” Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus.
(Matius 28:5-8)

Tapi, tidak semua percaya pada berita yang dibawa murid-murid perempuan. Sampai akhirnya, mereka menjadi percaya ketika Yesus menampakkan diri-Nya. Mereka melihat dengan mata mereka, mendengar salam Yesus dengan telinga mereka, dan memeluk kaki Yesus, sehingga mereka percaya bahwa Yesus telah BANGKIT. 

Berapa banyak dari kita yang harus melihat bukti dulu baru percaya? Kurang cukupkah Firman yang menceritakan perbuatan ajaib Yesus sehingga kita selalu merasa tak berdaya menghadapi badai? Bukankah Dia Tuhan yang sudah bangkit dan hidup untuk selama-lamanya? Ya, memang sangat sulit untuk percaya dan mempunyai iman saat belum melihat dan belum mengerti tentang rencana besar-Nya. Itu kelemahan kita sebagai manusia, kita terbiasa hidup dalam keterbatasan logika, sehingga sulit memahami ketidakterbatasan Tuhan. 

Namun, dalam segala keterbatasan manusia, firman-Nya berkata: 

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
(2 Korintus 12 : 9)

Kita butuh kasih karunia dan kekuatan-Nya, tanpa Dia kita tidak akan bisa apa-apa bahkan mungkin sulit untuk percaya. Tuhan mau kita mengandalkan-Nya agar kuasa-Nya selalu terlihat paling nyata dalam kelemahan kita. 

Kebangkitan Yesus membawa pengharapan baru bagi kita, memberikan bukti bahwa kita tidak sedang menyembah Allah yang sia-sia. Kebangkitan Yesus memampukan kita untuk terus percaya bahwa ada kuasa Allah yang besar dan tidak terbatas. Ada hal-hal mustahil yang bisa kita lakukan dengan dan hanya bersama Yesus saja. Ia Allah yang sudah menang, dan kemenangannya adalah jaminan kemenangan kita juga, "Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kaki-Nya." (1 Korintus 15:27a).

Keadaan yang semakin tidak menentu akhir-akhir ini bisa membuat iman kita goyah. Pandemik di seluruh dunia menimbulkan banyak ketidakpastian. Pekerjaan kita saat ini mungkin tidak menentu dan harapan kita semakin redup, tapi percayalah dan tetap teguh dalam imanmu, jadilah kuat sebab Yesus sudah menang dari semua kemustahilan. Dia sudah bangkit dari kematian dan lihatlah tangan-Nya terulur untukmu, maukah kau melakukan hal yang mustahil bersama-Nya?

Monday, July 22, 2019

Ribka: Menanti dengan Penuh Percaya dan Tanggung Jawab


by Benita Vida

Kalo ditanya siapa pasangan favorit saya di Alkitab, saya selalu menjawab Ishak dan Ribka. Buat saya, cerita mereka begitu manis—tanpa banyak drama, tapi sangat natural dan ajaib—seolah-olah Tuhan memang sudah menuliskan cerita cinta itu untuk mereka. 

Kali ini, saya akan membahas cerita tersebut dari sisi Ribka. Anak dari Betuel (saudara Abraham) ini berasal dari garis keturunan yang sama dengan Ishak. Dijelaskan pada Kejadian 24:16, Ribka adalah seorang wanita yang cantik parasnya dan perawan (belum pernah bersetubuh dengan laki-laki). Dia juga seorang yang rajin dan setia melakukan tanggung jawabnya—yang pada zaman itu adalah pergi untuk menimba air.

Berkilo-kilometer jauhnya, selagi Ribka setia melakukan apa yang menjadi tugasnya, Eliezer (sang tangan kanan dari Abraham) dipanggil untuk mencari seorang istri bagi anak sang tuan yang bernama Ishak. Abraham pun memberikan beberapa persyaratan sebagai “catatan” Eliezer dalam menjalankan tugas penting tersebut; yaitu: 
  1. tidak akan mengambil seorang istri dari antara perempuan Kanaan bagi Ishak; 
  2. harus pergi ke negeri dan kepada sanak saudara Abraham untuk mengambil seorang istri bagi Ishak; 
  3. tidak membawa Ishak kembali ke negeri asal Abraham; dan 
  4. jika perempuan itu tidak mau mengikutinya untuk menikah dengan Ishak, maka lepaslah hamba itu dari sumpahnya. 
Maka berangkatlah Eliezer dengan harap-harap cemas. Akankah ada wanita yang mengikutinya ke tempat yang tidak diketahui? Adakah yang akan percaya dengan perkataannya? Apakah orang-orang di tempat Abraham masih mengenal Abraham karena Abraham sudah pergi dari tempat itu dalam jangka waktu yang lama? Namun, dalam keraguannya, Eliezer sudah melihat kesetiaan Tuhan selama perjalanan hidup tuannya. Maka Eliezer pun berdoa dan meminta tanda untuk wanita yang menjadi pilihan Tuhan untuk Ishak. (Tanda yang diminta Eliezer bisa dibaca dari Kejadian 24:12-14)

Sesampainya Eliezer di tempat yang dituju, sesudah dia mengucapkan permohonannya, datanglah seorang wanita cantik. Ya, dialah Ribka yang sedang menimba air. Singkat cerita, ternyata Ribka lah yang menjadi istri Ishak dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan Abraham untuk Eliezer.

***

Rasanya tidak mudah ya, ketika kita menunggu seseorang untuk menjadi pasangan hidup. Kadang-kadang mau menyerah, ditambah lagi jalannya tidak jelas... Seolah-olah apa yang di depan mata terasa berbeda dari apa yang kita harapkan. Tapi mulai hari ini, yuk kita belajar dari Ribka yang: 
1. MELAKUKAN BAGIANNYA
Apa yang menjadi bagian Ribka? Pada zaman itu, wanita mempunyai tugas untuk menimba air setiap harinya dan ya, Ribka melakukannya—sampai akhirnya dia bertemu dengan Eliezer. Mungkin dia pernah bosan dan berpikir, “Aih, ngapain sih nimba-nimba air gini!? Berat atuhh. Besok nggak usah nimba aja kali, ya?” Meski di Alkitab tidak dijelaskan berapa kali dia harus menimba air dan memberi minum hewan-hewan (apalagi unta, yang kalau minum bisa menghabiskan banyak tempayan!), kita tahu bahwa Ribka menuai apa yang dikerjakannya: menjadi menantu bapak orang beriman sekaligus istri dari salah satu nenek moyang Yesus Kristus.

Dalam penantian kita, jangan meratapi nasib seolah-olah dunia sudah runtuh dan tidak ada harapan lagi. But don’t worry, girls. Masa lajang justru menjadi masa dimana kita bisa melayani dengan maksimal di berbagai ladang yang Tuhan percayakan pada kita—entah itu dalam pelayanan misi, marketplace, literatur, you name it. Fokuslah pada tanggung jawab kita sebagai a Godly woman, dan percayalah bahwa Tuhan tahu kapan Dia akan memberikan yang terbaik bagi kita pada waktu-Nya. Seperti yang tertulis pada ayat berikut ini,

“ Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air”
(Kejadian 24:13)

dikatakan bahwa “anak-anak perempuan datang keluar”, termasuk Ribka. Artinya, dia pergi keluar melakukan bagiannya, tidak diam di rumah, tidak bermalas-malasan maupun merenungi nasibnya. She went out to do her duty. How about us?

2. MEMILIKI BELAS KASIHAN
Siapa yang tidak takut jika ada orang asing yang tidak dikenal tiba-tiba minta diberi air untuk minum? Mungkin di zaman sekarang, kita akan melihat dengan tatapan aneh dan kabur jika ada yang berlaku seperti itu kepada kita.

Tapi Kejadian 24 ini menceritakan bahwa sewaktu Eliezer meminta air untuk minum, Ribka dengan yakin mengatakan, “Minumlah.” Ada belas kasihan yang Ribka tunjukkan ketika melihat orang asing yang telah melakukan perjalanan jauh. Tidak hanya itu, dia juga berkata, “Baiklah unta-untamu juga kutimba air, sampai semuanya PUAS minum.” Ribka menyadari jika orang ini melanjutkan perjalanan, unta-unta yang dibawanya membutuhkan minum yang tidak akan didapati di padang gurun selama perjalanannya—ditambah lagi, Ribka memberikan minum kepada unta-untanya itu sampai PUAS.

(FYI, Girls, rata-rata jumlah air yang diminum seekor unta adalah 130 liter. Jika dikatakan “unta-unta”, maka mohon dipahami bahwa ada lebih dari satu unta. Jika satu unta menghabiskan 130 liter, maka unta-unta menghabiskan……… Wooowwww! Inilah kenyataan bahwa Ribka tidak hanya bersimpati dan berempati, tapi juga mengubah keduanya menjadi sebuah tindakan penuh belas kasihan yang harus kita contoh.)

Girls, di zaman sekarang, melakukan hal yang dilakukan itu Ribka tidaklah mudah. Ada kalanya kita merasa sangat sulit untuk mengerjakan bagian masing-masing. Rasanya, sebanyak apapun usaha yang kita lakukan itu tidak ada hasilnya, tidak dihargai... #sigh. Semuanya terasa sia-sia—apalagi memiliki belas kasihan terhadap orang tak dikenal, yang ada kita curiga jika ada orang yang tiba-tiba mendekati kita dan meminta pertolongan!

Meskipun penantian kita terasa berlangsung sangat lama, jalan mulai tak terlihat, rencana mulai kacau, tidak ada hasil dari apa yang sudah kita lakukan, dan yang kita tunggu serta harapkan tidak datang… Tetaplah percaya bahwa dalam Tuhan, penantian kita tak pernah sia-sia—seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 15:58,

“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
(1 Korintus 15:58)

Tuhan tahu kok, kita sedang berusaha. Dia tahu rasanya menunggu, perasaan ketika tidak dihargai, tapi Dia juga berjanji kalau semua usaha kita tidak akan pernah sia-sia. Girls, tetaplah imani dan amini ayat ini—apalagi kalau kita mulai merasa putus asa. Ketika masa penantian itu berbuah manis, kita akan geleng-geleng kepala saat mengingat bagaimana Tuhan memroses kita dengan luar biasa sampai mempersatukan kita dengan pasangan hidup kita kelak. Do you believe that?


***

Setelah menjadi istri dari Ishak, ternyata drama hidup Ribka masih berlanjut. Alkitab berkata bahwa Ribka tidak bisa mempunyai anak. Wah, sebagai seorang wanita, kita pasti sangat paham perasaan kalau mendengar berita itu. Dijamin hati Ribka sangat hancur; jauh dari rumah, tidak kenal siapa-siapa, lalu dengar kabar bahwa dia mandul.

Tapi Ribka mengenal siapa Allahnya. Kalau Allah berjanji keturunan Abraham akan seperti bintang di langit dan pasir di laut banyaknya, jika Ribka adalah wanita yang sudah Tuhan tentukan bagi keturunan Abraham, maka Tuhan pasti menepati janji-Nya. Bukankah Ishak lahir saat Sara sudah usia lanjut? Bukankah sudah banyak keajaiban yang Tuhan buat untuk keluarganya? 

Dalam kesedihan dan hancur hatinya, Ribka mencari Sang Penggenap Janji, berseru dan meminta kepada Allah yang penuh kuasa. Pada akhirnya, Tuhan menjawab doanya; nggak tanggung-tanggung lho, dia melahirkan anak kembar!


***

Girls, apakah saat ini kita sedang merasa kehidupan ini melelahkan? Gelapkah jalan yang kita jalani, sampai-sampai kita tak tahu ke mana arah tujuan kita? Atau mungkin, apakah kita sedang merasa doa-doa yang diucapkan belum terjawab?

Apapun yang kita hadapi belakangan ini, mari kita tetap mengarahkan hati dan pikiran pada Tuhan, karena Dialah satu-satunya pribadi yang tidak pernah mengecewakan; janji-Nya ya dan amin. Percayalah bahwa semua akan datang pada waktu-Nya yang tepat dan dengan cara-Nya yang ajaib. Tapi jangan lupa: lakukan bagian kita sebagai anak-anak Allah, sampai kita menerima bagian yang memang sudah ditentukan untuk kita bahkan sampai nanti kita kembali bertemu dengan Pencipta kita. Tuhan memberkati!

Monday, July 8, 2019

Miryam


by Benita Vida

Kisah tentang Miryam tidak begitu banyak kita temukan di Alkitab. Informasi umum yang kita dapat tentang Miryam adalah sosoknya sebagai kakak dari hamba Tuhan yang dipakai luar biasa, yaitu Musa. Siapakah Miryam? Apa saja yang bisa kita pelajari dari seorang Miryam?
1. Sang Pembalik Keadaan
Miryam hidup ketika bangsanya, Israel, berada di masa penuh ancaman dari Firaun. Saat itu, Firaun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Israel yang baru lahir. Tanpa disangka, dalam keluarga Miryam lahirlah seorang bayi laki-laki, adik laki-lakinya yang kedua. Sebelumnya, Miryam sudah memiliki seorang adik bernama Harun. 

Alkitab berkata, bayi itu disembunyikan selama tiga bulan. Wah, bisakah kalian bayangkan bagaimana mereka hidup selama tiga bulan itu? Firman memang tidak menjelaskan berapa umur Miryam saat Musa lahir. Tapi sebagai anak sulung, Miryam pasti punya tanggung jawab yang cukup besar, meskipun dia seorang wanita. Di usia muda, Miryam dituntut menyimpan rahasia yang menentukan keselamatan keluarganya. 

Setelah tiga bulan, orang tua Miryam memutuskan untuk menghanyutkan bayi itu di sungai Nil. Disinilah Miryam punya peran penting. Ia diminta untuk mengawasi bayi itu dari kejauhan, melihat seperti apa nasib adiknya.

Takutkah Miryam saat itu? Inginkah Miryam meninggalkan adiknya? Mungkin terlintas dalam pikirannya. Tapi apapun yang ia rasakan saat itu, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya. Ia tetap mengawasi adiknya, sampai Putri Firaun mengambil bayi itu dari keranjangnya dan berkata akan mengangkatnya menjadi anaknya. 

Kita tidak tahu sejauh mana Ibu Miryam memberi tugas kepada Miryam. Yang jelas, saat itu, Miryam mendekati Putri Firaun dan menawarkan bantuan untuk mencari pengasuh bagi bayi yang baru ditemukan. Ibu pengganti yang dipanggil oleh Miryam adalah ibunya sendiri, ibu kandung bayi itu.

Ada dua kemungkinan, jika Ibunya menyuruh Miryam untuk mendekati siapapun yang menemukan Musa, maka Miryam melakukannya dengan taat. Kemungkinan kedua, jika Ibunya hanya menyuruh Miryam mengawasi adiknya, maka Miryam melakukan lebih dari yang diminta. Ia memiliki inisiatif untuk melakukan lebih dari sekedar memperhatikan keadaan adiknya dari jauh. 

Sebagai anak-anak Allah, kita perlu memiliki sikap untuk memberikan yang terbaik, bahkan melebihi apa yang diminta. Dalam Matius 5:41 diajarkan “Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.” 

Keputusan Miryam membalikkan keadaan. Adiknya yang berada di bawah ancaman kematian, bisa hidup sebagai bangsawan Mesir, namun tetap diasuh oleh ibunya sendiri. Di usianya yang muda, Miryam memahami tanggung jawabnya dan bersedia dipakai Tuhan, melalui orang tuanya, untuk berperan dalam rencana Tuhan menyelamatkan hidup bangsanya. 

2. Sang Nabiah 
Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: "Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.
(Keluaran 15:20-21)

Miryam adalah Nabiah pertama yang disebut dalam Alkitab. Menjadi nabiah artinya ia dikaruniai kepekaan untuk mendengar dan menyampaikan suara Tuhan. Miryam melakukannya melalui pujian, dan ia bahkan menggerakkan dan memimpin semua perempuan Israel untuk ikut menyembah Tuhan. 

Posisi Miryam sebagai saudara dari orang-orang yang dipakai Tuhan, Musa dan Harun, tidak membuat dia bersantai-santai. Ia ikut aktif melayani Tuhan, sesuai dengan porsi yang bisa Ia kerjakan. Ketika Musa dipanggil untuk menjadi pemimpin, Harun dipanggil menjadi imam, Miryam mengerjakan panggilannya sebagai seorang penyembah.

3. Sang Pemberontak 
Kehidupan Miryam memang tidak selalu gemerlap. Firman Tuhan mencatat bahwa ia, bersama Harun, pernah jatuh dalam dosa pemberontakan karena mengatai Musa atas keputusan Musa menikahi perempuan Kush.

Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush. Kata mereka: "Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN.
(Bilangan 12:1-2)

Tapi apakah hanya karena itu? Kalau memang masalahnya adalah perempuan Kush, mengapa mereka mengungkit-ungkit soal Musa yang penjadi perantara suara Tuhan? Mengapa mereka menekankan bahwa mereka juga mampu menjadi perantara firman Tuhan?

Ya, Miryam iri kepada Musa. Ia tidak puas hanya menjadi seorang nabiah, pemimpin penyembahan. Ia ingin memiliki kuasa seperti Musa. Sikap ini membuat Tuhan murka, sebab ini berarti Miryam menentang pilihan dan kehendak Tuhan. Tuhan kemudian menghukum Miryam dengan penyakit kusta (Bilangan 12:6-10).

Ya, betul, Miryam yang sebelumnya adalah pahlawan keluarga, pemimpin pujian di antara umat Israel, adalah juga manusia biasa, bisa salah, bisa berdosa, dan bisa jatuh. Kadang kita cenderung lebih mengingat dosa Miryam dibanding hal-hal baik yang ia lakukan. Berapa kali kita sering berpikir, pelayan Tuhan kok masih buat dosa? Kita lupa bahwa selama kita hidup di dunia, sangkal diri dan pikul salib adalah perjuangan setiap waktu. Berita baiknya, Tuhan kita adalah Tuhan yang sangat amat mengasihi kita. Dia tahu daging kita lemah, Dia tahu kita sering jatuh, karena itu Yesus datang dan memberikan nyawanya sebagai ganti dosa kita, Yesus datang untuk menolong kita yang tadinya tidak berdaya atas dosa untuk menang atas dosa. 

Tuhan menyediakan pengampunan. Miryam menerima pengampunan itu, meskipun ia tetap harus menanggung konsekuensi atas pemberontakannya. 

Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Sekiranya ayahnya meludahi mukanya, tidakkah ia mendapat malu selama tujuh hari? Biarlah dia selama tujuh hari dikucilkan ke luar tempat perkemahan, kemudian bolehlah ia diterima kembali. Jadi dikucilkanlah Miryam ke luar tempat perkemahan tujuh hari lamanya, dan bangsa itu tidak berangkat sebelum Miryam diterima kembali.” (Bilangan 12:14-15)

Atas permohonan Musa, Miryam sembuh dari kusta setelah diasingkan selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu, bangsa Israel tidak meninggalkan Miryam. Demikian juga Allah, Ia tidak meninggalkan kita bahkan ketika kita berdosa dan Ia selalu menerima kita saat kita mau bertobat.

“Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali...”
(Amsal 24:16)

Jangan putus asa! Jangan biarkan dosa menghentikan kita. Bangkit lagi, usaha lagi, berjuang lagi, sebab Yesus sudah menang atas dosa! Tetapi, kita juga perlu belajar untuk tidak menghakimi orang lain, hanya karena orang tersebut melakukan dosa yang berbeda dengan kita. Miryam beruntung, sebab ia punya Allah, keluarga dan saudara sebangsa yang mengasihi dia dan mau menerima dia kembali setelah kesalahan yang ia lakukan. Apakah kita bisa melakukan hal yang sama untuk Miryam-Miryam yang Tuhan kirim dalam hidup kita? 

Thursday, November 22, 2018

Strong Woman



by Benita Vida

Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar frase "strong woman"? Apakah mengingatkanmu pada wanita dengan fisik besar? Atau wanita yang bisa melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan pria? Kali ini, mari kita melihat definisi strong woman dari perspektif Firman Tuhan, seperti yang ditulis dalam Amsal 31:17.

Amsal 31:10-31 membahas tentang "istri yang cakap", yaitu apa dan bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh wanita Allah untuk menjadi penolong dan pendamping seorang pria. Setiap ayat dalam Amsal 31:10-31 ini memiliki fokus yang berbeda, kekuatan wanita menjadi fokus pada ayat 17, 

"Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya."
(Amsal 31:17 / TB)

Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dari ayat ini mengatakan, 

“Ia menyiapkan dirinya untuk bekerja sekuat tenaga.”
(Amsal 31:17 / BIS)

"Mengikat pinggang" berbicara tentang kesiapan seseorang untuk melakukan sesuatu. Seorang wanita Allah, baik yang belum menikah atau yang sudah menikah, diminta mempersiapkan dirinya untuk bekerja sekuat tenaga. Bekerja yang kita bicarakan ini bukan cuma bekerja untuk mendapatkan upah/nafkah tetapi juga bekerja wholeheartedly melayani keluarga.

Saat ini, untuk bisa bekerja, baik memulai bisnis sendiri ataupun bekerja kepada orang lain, umumnya kita menghabiskan waktu sekitar 18 tahun menempuh pendidikan, mulai TK hingga lulus sarjana (S1). Belum lagi jika kita ingin melanjutkan pendidikan sampai S2 atau mengambil jurusan lain, tentu saja akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Masa kita menempuh pendidikan sampai kita memasuki dunia kerja bisa kita sebut dengan masa “persiapan”. Masa “persiapan” ini tidaklah mudah, kita semua merasakannya, bukan? Ada kesulitan dan ujian yang belum pernah kita hadapi, namun harus kita lalui. Tantangan-tantangan itu, mencakup fisik dan mental. Ada kalanya kita harus tetap sekolah atau menghadiri ujian saat kita sakit parah, ada saatnya kita harus berkompromi dalam tugas-tugas kelompok yang diberikan. You name it, pasti banyak hal, formal maupun non-formal, yang menjadi pelajaran bagi kita. Masa “persiapan” ini adalah masa yang membentuk kita menjadi pribadi yang siap bekerja. Jika kita bisa melalui masa “persiapan” ini dengan baik serta mengambil pelajaran-pelajaran berharga dari setiap tantangan, tentu kita akan menjadi pribadi yang siap saat memasuki jenjang kehidupan berikutnya.

Untuk melalui masa “persiapan” ini, ada beberapa karakter yang penting untuk menjalankan “pekerjaan” yang Tuhan percayakan untuk kita nanti, terutama untuk mendukung peran kita sebagai sebagai seorang istri: 


// PERSEVERANCE 

Ketekunan atau perseverance merupakan kemampuan untuk tetap melakukan bagiannya dengan baik, sekalipun ada rintangan dan kesulitan yang harus dihadapi untuk mencapai tujuan. Karakter ini penting untuk memastikan kita tidak lekas menyerah. Misalnya, mereka yang ingin mengembangkan bisnis dari bawah membutuhkan ketekunan untuk tetap melakukan yang terbaik sekalipun tampaknya semua jalan tertutup. Mereka yang bekerja sebagai karyawan di suatu perusahaan juga memerlukan ketekunan dalam mempelajari sistem perusahaan atau metode pekerjaan agar menguasai pekerjaan tersebut. The first is always the hardest, tapi tetaplah tekun sampai bisa mencapai tujuan. 

Sebagai contoh, kita bisa meneladani Yusuf yang tekun bekerja di rumah Potifar hingga akhirnya Yusuf mendapat kepercayaan dari tuannya. 

Ketekunan kita sebagai seorang istri nanti sangat penting. Kita perlu ketekunan menghadapi urusan rumah tangga yang tidak ada habisnya, seperti anak-anak yang rewel, suami yang tidak peka, atau tamu yang sering datang.


// DON'T GIVE UP EASILY 

Jika kita mudah menyerah dalam segala hal, bisa-bisa kita tidak bisa melewati masa “persiapan” kita. Bayangkan, hanya karena ujian susah lalu, kita mau berhenti sekolah. Atau, jika nilai ujian kita jelek, lalu kita menyerah untuk belajar. Kegagalan atau kejatuhan bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan, Alkitab berkata di Amsal 24:16a,

“Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali...”
(Amsal 24:16a)

Jika kita menyerah, percayalah, kita masih akan mengalami ujian yang sama sampai kita “lulus” dalam pembentukan karakter yang Tuhan mau. Allah tidak menginginkan anak-anak-Nya mudah menyerah dalam hidup ini. Bayangkan, jika Musa menyerah bicara dengan Firaun apakah bangsa Israel bisa keluar dari Mesir? Atau, bayangkan juga jika bangsa Israel dan Yosua menyerah mengelilingi tembok Yerikho karena jarak yang jauh dan udara yang panas, bisa-bisa tembok Yerikho tidak runtuh. 


// LOYALTY

Dalam masa “persiapan” ini, kita juga diharapkan untuk menjadi pribadi yang setia. Setia terhadap apa? Terhadap apapun yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kerjakan saat ini. Apapun yang sedang dipercayakan kepada kita, sekecil apapun itu, kita perlu kesetiaan dalam mengerjakannya. Apa yang diharapkan? Harapannya adalah kita jadi tidak “asal-asalan” jika nanti Tuhan mempercayakan hal-hal besar untuk kita kerjakan. Misalnya, jika kamu seorang pelajar, setialah dalam tugas-tugasmu, dalam imanmu ketika sedang menghadapi ujian, setialah menjadi teladan bagi teman-temanmu. Jika kamu seorang karyawan, setialah dalam kejujuranmu, dalam pekerjaan-pekerjaan yang dipercayakan kepadamu, sekalipun mungkin kamu memiliki kesempatan untuk meninggalkan kesetiaanmu. Jika nanti kamu menjadi seorang istri, kamu akan setia dalam peranmu, tanggung jawabmu, tingkah lakumu sebagai seorang istri yang takut akan Allah.

Dalam terjemahan bahasa Inggris versi NIV, dikatakan “She sets about her work vigorously; her arms are strong for her tasks.” Sang wanita Allah selalu memulai pekerjaannya dengan semangat. Teman-teman sekalian, berapa banyak di antara kita yang terkadang memulai pagi atau aktivitas kita dengan keluhan? Dengan rasa malas? Berapa banyak di antara kita yang setiap minggu malam berpikir “Yaahh, besok udah Senin lagi”? Well, I did that too sometimes... Hehehe... Tanpa semangat, semua pekerjaan yang kita lakukan terasa berat dan tidak menyenangkan. Bahkan Alkitab berkata di Amsal 17: 22,

“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”
(Amsal 17: 22)

Tuhan mau kita mengerjakan segala sesuatu dengan hati yang gembira dan penuh semangat, dengan begitu semua pekerjaan yang dipercayakan pada kita saat ini akan terasa menyenangkan. Kita perlu belajar untuk menikmati proses yang Tuhan sediakan untuk kita lalui saat ini. Sebaliknya, tanpa semangat (semangat yang patah) membuat kita mudah mengeluh, bersungut-sungut, mudah menyerah, yang bahkan akan berdampak bukan hanya ke kesehatan rohani tetapi juga jasmani kita. 

Contohnya, tanpa semangat, seorang istri tidak akan mau melakukan pekerjaannya. Bayangkan jika ibu kita “mogok” mengerjakan tugasnya memelihara rumah tangga. Rumah pasti berantakan, tidak ada makanan untuk kita makan, tidak ada pakaian bearish, menyeramkan bukan?! Lalu bagaimana kita bisa memunculkan semangat itu? Bagaimana kita bisa memulai pekerjaan kita, baik sebagai pelajar/karyawan/istri/ibu rumah tangga, dengan semangat? Ingatlah mengapa kita memulainya, dan pegang harapan-harapan yang mau kita capai. Jika kita seorang karyawan, mungkin ada promosi jabatan yang kita harapkan. Jika kita seorang ibu, ada anak-anak yang membutuhkan kita, yang perlu kita didik sampai mereka berhasil. Percayalah, jika Tuhan mempercayakan sesuatu kepada kita artinya Dia percaya kita mampu melakukannya. Dia tidak pernah membiarkan kita melakukan sesuatu tanpa membekali kita dengan apa yang kita perlukan. 

Strong woman tidak bicara tentang kekuatan fisik saja. Memang kita butuh kekuatan fisik untuk bisa melakukan banyak hal, tetapi wanita yang kuat juga adalah wanita yang mampu mengendalikan pikiran dan emosinya. Dia harus kuat saat keadaan seolah-olah membuatnya harus menyerah dan meninggalkan kesetiaannya. Dia harus kuat untuk menentukan pilihan-pilihan yang sulit dalam hidupnya. Dia harus kuat menjalani apa yang Tuhan letakkan untuk menjadi kerinduan di hatinya. Di atas semuanya, dia harus kuat dalam imannya, sebab nantinya sebagai seorang istri, wanita adalah tiang doa bagi keluarganya. Hai, para putri kerajaan Allah, jadilah kuat, kuat dalam kasihmu, kuat dalam imanmu, dan kuat dalam teladanmu.

Bagi para lajang, kuat dan setialah dalam masa “persiapan”mu. Tetaplah semangat dalam melakukan hal yang Tuhan percayakan untukmu saat ini. Kuatlah dalam proses-proses hidupmu dan belajarlah menikmati semua prosesnya, karena dalam prosesmu Tuhan sedang membentuk dan mempersiapkanmu menjadi seorang wanita Allah dengan karakter yang berkenan di hadapan-Nya. Proses itu akan membuatmu siap jika pada saat-Nya nanti kamu menjadi seorang penolong dan pendamping suamimu.

Bagi yang sudah menjadi seorang istri, tetap lakukan bagianmu dengan taat dan setia, kuatlah dalam menjalankan peranmu sebagai seorang pendamping dan penolong bagi suamimu, kuat dan setialah dalam mendidik anak-anakmu. Keep your fighting spirit!!