Monday, November 25, 2019

Elisabet: Mengasihi dan Mengenal Allah dalam Penantian dan Mukjizat


by Poppy Noviana

Pernahkah kamu mengalami mukjizat yang sebelumnya tidak terbayangkan? Sudah? Atau belum? Alkitab dipenuhi kisah-kisah tentang mukjizat. Kali ini kita akan membahas tentang Elisabet, seorang wanita yang menerima mukjizat dari Allah. Elisabet istri Zakharia, dikenal sebagai wanita mandul. Ia tidak memiliki keturunan sampai usia tuanya. Pada masa itu, kemandulan adalah aib bagi seorang wanita. Bayangkan bagaimana perasaan Elisabet. Pasti ada masa-masa dia merasa gagal sebagai wanita. Pasti ada masa-masa dia harus menghadapi penghakiman dari masyarakat. Yuk, kita belajar dari kehidupan Elisabet.

1. MUKJIZAT BERAWAL DARI KEMUSTAHILAN
Setiap mukjizat yang diceritakan di Alkitab, pasti berawal dari sebuah kemustahilan. Kemustahilan adalah ruang untuk Tuhan bekerja, if you let go and let God in yours. Mukjizat Elisabet dan Zakharia juga berawal dari kemustahilan, yaitu kemandulan.

Tapi sebenarnya, kemustahilan hanya ada dalam kamus manusia. Di kamus Tuhan, kemustahilan tidak pernah ada.

Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.
(Lukas 1:37)

Tuhan mampu memutarbalikkan keadaan dengan cara apapun yang Ia berkenan. Pertanyaannya adakah Ia menemukan iman yang menggerakkan mukjizat? Atau pilih meragu saja, seperti kisah Zakharia, suami Elisabet, yang abai terhadap pribadi Allah yang Maha Kuasa dan memilih untuk meragukan-Nya? Begini respon Zakharia terhadap malaikat yang memberitahu janji mukjizat dari Allah,

Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu: "Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya. Jawab malaikat itu kepadanya: "Akulah Gabriel yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk berbicara dengan engkau dan untuk menyampaikan kabar baik ini kepadamu. Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.
(Lukas 1:18-20)

Namun, bahkan ketika Zakharia tidak sepenuhnya percaya, kehendak Tuhan untuk memberinya keturunan tidak kemudian batal, meski tetap ada harga yang harus dibayar Zakharia sampai mukjizat Tuhan menjadi nyata. Ia ‘dibisukan’ oleh Allah sampai anak mukjizatnya lahir dari rahim Elisabet.

Kemustahilan tidak menjadi penghalang bagi Tuhan melakukan perbuatan besar dalam hidup kita.

2. MUKJIZAT MEMBANGUN KEHIDUPAN
Tuhan membuat mukjizat sesuai hikmat-Nya. Dia tahu waktu yang tepat dan cara yang tepat untuk memproses anaknya hingga menghasilkan buah. Mukjizat dilakukan untuk menggenapi tujuan Allah dalam hidup orang percaya, bukan sekedar membuat kita bahagia. Itulah kenapa, mukjizat bukan satu-satunya hal yang penting, juga bukan tujuan akhir. 

Apakah dalam perjalanan menuju mukjizat karaktermu diubah? Apakah setelah menerima mukjizat, pengenalanmu akan Tuhan makin bertambah? Elisabet mengimani dengan pasti, bahwa kehamilannya adalah anugerah Tuhan, dan Ia berani menyaksikannya.

"Inilah suatu perbuatan Tuhan bagiku, dan sekarang Ia berkenan menghapuskan aibku di depan orang."
(Lukas 1:24)

Iman Elisabeth ini muncul pada kesempatan lain ketika Ia dikunjungi oleh Maria. 

Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
(Lukas 1:39-44)

Lihat bagaimana sekarang Elisabeth bisa mempercayai Allah dengan lebih mudah. Hanya dengan lonjakan bayi yang ia rasakan di rahimnya karena salam Maria, ia percaya di rahim Maria adalah Tuhan-Nya.

Mujizat yang dilakukan Tuhan dalam hidup Elisabet memberinya pengertian baru tentang iman kepada Allah,

“Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”
(Lukas 1:45)

3. MUKJIZAT BUKAN SEGALANYA
Mukjizat Elisabet dan Zakharia juga harus melalui proses yang tidak sebentar. 

"Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes.”

Pasangan ini berdoa sekian lama, sampai pada satu titik mereka tidak lagi terlalu berharap. Tapi apakah dengan berkurangnya keinginan mereka akan mukjizat, cinta mereka pada Allah ikut berkurang? Alkitab mencatat dengan jelas,

Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.
(Lukas 1:6-7)

Diberi mukjizat atau tidak, Elisabet dan suaminya tetap hidup benar. Mereka tetap melayani Tuhan. Mereka tidak menjauh dari Tuhan disaat mukjizat belum terlihat mata. Pasangan ini menyadari bahwa mengasihi Allah tidak terbatas pada melihat perbuatan tangan-Nya, tapi juga pengenalan akan pribadi Tuhan dan tetap setia melayani-Nya. 


***

Jadi, jika orang-orang yang ada di sekitar kita sudah menerima mukjizat sedangkan kita belum, atau bahkan tidak sama sekali, jangan berkecil hati. Tuhan tetap baik dan rencana-Nya tetap sempurna. Dalam masa penantian seperti ini, penting untuk tetap punya sikap hati yang percaya dan berserah penuh, sebab disitulah terdapat kekuatan besar yang memampukan kita menghadapi situasi yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Berdoalah untuk hikmat dari Tuhan agar kita dapat memahami situasi dengan baik, dan mengerti tujuan Tuhan sampai kita berhasil melaluinya. Jadilah seperti Elisabet, yang tetap setia mengasihi Allah, bahkan ketika mukjizat belum terjadi dalam hidupnya.

Monday, November 18, 2019

Wanita Sunem: Ketulusan Hati tanpa Pamrih


by Irene Salomo

Hai teman-teman. Kali ini kita akan belajar dari seorang tokoh wanita yang tidak disebut namanya dalam Alkitab. Ia hidup pada zaman nabi Elisa dan berasal dari Sunem, sehingga Alkitab mencatatnya sebagai perempuan Sunem. Meskipun tidak banyak yang diceritakan Alkitab tentangnya, ada beberapa teladan hidup yang bisa kita pelajari dari perempuan ini, khususnya dari perikop 2 Raja-Raja pasal 4

1. Ia dengan murah hati membagikan berkat Tuhan kepada orang lain
...Di sana tinggal seorang perempuan kaya yang mengundang dia (Nabi Elisa) makan. Dan seberapa kali ia dalam perjalanan, singgahlah ia ke sana untuk makan.
(2 Raja-raja 4:8)

Pada zaman itu, biasanya para nabi mengandalkan kemurahan hati orang-orang yang mengundang mereka makan ke rumah. Alkitab mencatat perempuan Sunem bukan sekali saja, tapi berkali-kali mengundang nabi Elisa makan di rumahnya. Ia bahkan khusus membuat kamar bagi Elisa dan bujangnya, Gehazi, lengkap dengan beberapa perabotan esensial. Perempuan ini ingin memastikan bahwa Elisa dan Gehazi bisa beristirahat dan bekerja di kamar tersebut dengan leluasa.

Berkatalah perempuan itu kepada suaminya: “...Baiklah kita membuat sebuah kamar atas yang kecil yang berdinding batu, dan baiklah kita menaruh di sana baginya sebuah tempat tidur, sebuah meja, sebuah kursi dan sebuah kandil, maka apabila ia datang kepada kita, ia boleh masuk ke sana.”
(2 Raja-raja 4:10)

Dari ayat ini, kita juga bisa melihat bahwa perempuan Sunem menghormati suaminya. Ia tidak langsung mengambil keputusannya sendiri, namun dia meminta persetujuan dari suaminya dulu. Meskipun kita tahu keputusan ini untuk berbuat baik, dia tetap melibatkan suaminya.

2. Ia memberi dengan ikhlas dan tulus
Ketika Elisa bertanya apa yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikannya, dia menolak Elisa dengan halus. Padahal, ia tahu Elisa ini adalah abdi Allah yang punya relasi dengan raja Israel, tapi ia tidak memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari Elisa.

Elisa telah berkata kepada Gehazi: “Cobalah katakan kepadanya: Sesungguhnya engkau telah sangat bersusah-susah seperti ini untuk kami. Apakah yang dapat kuperbuat bagimu? Adakah yang dapat kubicarakan tentang engkau kepada raja atau kepala tentara?” Jawab perempuan itu: “Aku ini tinggal di tengah-tengah kaumku!”
(2 Raja-raja 4:13)

Bagaimana sikap kita ketika diberi kesempatan untuk menolong atau membagikan berkat Tuhan pada orang lain? Apakah kita masih hitung-hitungan tentang balasan apa yang bisa kita dapatkan? Atau kita memberi dengan ikhlas dan senang hati?

Dari ayat selanjutnya, kita juga tahu bahwa perempuan Sunem tidak mempunyai anak dan suaminya sudah tua. Sehingga Elisa menjanjikan anak dan di tahun berikutnya, perempuan Sunem dikaruniakan seorang anak laki-laki.

3. Ia menyerahkan masalahnya pada sumber yang tepat
Setelah anak itu menjadi besar, pada suatu hari keluarlah ia mendapatkan ayahnya, di antara penyabit-penyabit gandum. Tiba-tiba menjeritlah ia kepada ayahnya: “Aduh kepalaku, kepalaku!” Lalu kata ayahnya kepada seorang bujang: “Angkatlah dia dan bawa kepada ibunya!” Diangkatnyalah dia, dibawanya pulang kepada ibunya. Duduklah dia di pangkuan ibunya sampai tengah hari, tetapi sesudah itu matilah dia. Lalu naiklah perempuan itu, dibaringkannyalah dia di atas tempat tidur abdi Allah itu, ditutupnyalah pintu dan pergi, sehingga anak itu saja di dalam kamar. Sesudah itu ia memanggil suaminya serta berkata: “Suruh kepadaku salah seorang bujang dengan membawa seekor keledai betina; aku mau pergi dengan segera kepada abdi Allah itu, dan akan terus pulang.” Berkatalah suaminya: “Mengapakah pada hari ini engkau hendak pergi kepadanya? Padahal sekarang bukan bulan baru dan bukan hari Sabat.” Jawab perempuan itu: “Jangan kuatir.”
(2 Raja-raja 4:18-23)

Yang menarik adalah bagaimana respon perempuan Sunem setelah anaknya meninggal. Alih-alih menangis histeris atau mulai mempersiapkah penguburan anaknya, dia dengan tenang membaringkan anaknya di kamar dan pergi mencari Elisa. Saat itu, Elisa sedang berada di gunung Karmel, yang berjarak sekitar 32 km atau satu hari perjalanan dari Sunem.

Bisakah kita bayangkan gimana perasaan perempuan Sunem sepanjang perjalanan itu? Mungkin perempuan Sunem berpikir, jika Elisa sanggup melakukan mukjizat untuk memberikannya anak ini, maka ia mungkin sanggup membangkitkannya kembali. Setelah menemukan Elisa dan Gehazi, perempuan Sunem tersungkur di hadapan Elisa dan dengan terus terang mencurahkan kepedihan hatinya.

Dan sesudah ia sampai ke gunung itu, dipegangnyalah kaki abdi Allah itu, ....Lalu berkatalah perempuan itu: “Adakah kuminta seorang anak laki-laki dari pada tuanku? Bukankah telah kukatakan: Jangan aku diberi harapan kosong?”
(2 Raja-raja 4:27-28)

Bagaimana dengan kita? ketika mengalami kesusahan, apakah kita menyerahkan pergumulan hati kita kepada Tuhan? Atau mungkin kita lebih banyak curhat di social media atau teman dan keluarga, tanpa melibatkan Tuhan?

Kisah perempuan Sunem ini berakhir bahagia setelah Elisa melakukan mukjizat membangkitkan kembali anaknya.

Di zaman modern yang serba sibuk ini, kapan terakhir kita membuka rumah bagi orang lain untuk makan ataupun tinggal? Kisah perempuan Sunem mengingatkan saya pada Rosaria Butterfield - mantan aktivis lesbian dan profesor literatur yang tadinya anti kekristenan [1].

Pada suatu hari, ia diundang makan malam oleh tetangganya, Ken dan Floy Smith. Pasangan Kristen ini mengundang Rosaria untuk makan ke rumah mereka. Bukan hanya satu atau dua kali, tapi selama dua tahun mereka rutin menjamu Rosaria. Sehingga Rosaria bukan hanya berdiskusi intelektual dengan Ken, ia juga melihat dan mengalami bagaimana teman-teman gereja Ken saling mengasihi dan rutin ikut menyambut tamu non-Kristennya. Rosaria akhirnya bertobat dan menjadi penulis buku rohani, salah satunya tentang hospitality yang berjudul The Gospel Comes with a House Key: Practicing Radically Ordinary Hospitality in Our Post-Christian World. Ini semua diawali dengan undangan sederhana dari Ken untuk datang dan makan di rumahnya.

Teman-teman, kiranya kisah perempuan Sunem dan Rosaria Butterfield mendorong kita untuk menyatakan kasih Tuhan pada orang lain dengan bermurah hati tanpa pamrih, dan membuka rumah kita bagi mereka. 

[1] https://rosariabutterfield.com/

Monday, November 11, 2019

Dari Mata Turun Ke Hati: Pelajaran dari Istri Potifar


by Yunie Sutanto

Mata adalah jendela jiwa. Mata adalah cermin kedalaman hati dari si pemilik. Begitu menurut pepatah. Tetapi apa kata Firman Tuhan tentang mata?

Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 
jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu.
(Matius 6: 22-23a)

Mata seorang wanita adalah pelita tubuhnya. Terang atau gelap kehidupan kita, tergantung pada bagaimana kita menggunakan mata kita. Ia berhubungan dengan hati. Apa yang senang kita lihat menunjukkan kecenderungan hati kita. Mata pula yang mengisi hati kita, dengan terang atau dengan kegelapan.

Jika mata kita baik, teranglah seluruh tubuh kita. Jika mata kita jahat, gelaplah seluruh tubuh kita.  Area ‘penglihatan’ bisa jadi peperangan rohani, karena mata adalah salah satu benteng hati kita. Saat kita menjaga mata, maka kita sedang menjaga hati.

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, 
karena dari situlah terpancar kehidupan.
(Amsal 4:23)

Menjaga hati dimulai dari menjaga pikiran atas apa yang dilihat mata.

Nah sekarang, kita akan belajar dari seorang wanita Mesir yang membiarkan matanya liar dan pikirannya jahat.

Wanita itu adalah istri Potifar. Kata "istri" ini cukup menjelaskan siapa status wanita ini. Istri Potifar tentunya panggilan yang merujuk pada seorang wanita yang berstatus menikah dengan Potifar. Di seantero Mesir, siapa yang tidak mengenal Potifar? Ia adalah orang kepercayaan Raja, salah satu yang paling berkuasa di Mesir saat itu.

Namun, apa yang tercetus di pikiran kita saat mengingat istri Potifar?

Kebanyakan tentu akan menggambarkannya sebagai seorang istri yang tidak mengindahkan statusnya sebagai istri dan hidup dikuasai oleh keinginan matanya yang jahat. Ulahnya cukup sukses memenjarakan Yusuf, seorang pria yang menjadi kecintaan Tuhan. 

Ulah istri Potifar ini tercatat rapi di Kejadian 39 

Yusuf itu manis sikapnya dan elok parasnya. Selang beberapa waktu isteri tuannya memandang Yusuf dengan berahi, lalu katanya: "Marilah tidur dengan aku." Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada isteri tuannya itu: "Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku, bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" Walaupun dari hari ke hari perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia.

Kejahatan apa yang dilakukan Istri Potifar? 

Matanya menginginkan pria yang bukan suaminya. Ini adalah benih subur untuk perzinahan. Amsal mengatakan, memikirkan kebodohan mendatangkan dosa. Sesuatu yang terus dipikirkan akan berpotensi kuat untuk diwujudkan dalam ucapan dan tindakan. 

Tuhan Yesus pun mengingatkan mengenai perzinahan hati di Matius 5:27-29

Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan (baca: lelaki) serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka

Urusan pandangan mata ternyata bukan hanya monopoli kaum pria. Wanita pun bisa jatuh di area mata. Mata genit dengan lirikan penebar pesona pada lawan jenis bisa saja dimiliki wanita yang sudah bersuami sekalipun. Mata yang suka melihat film porno dan berimajinasi aneka fantasi seksual pun bisa saja dimiliki seorang remaja belasan tahun. Mata adalah pintu masuk godaan. Hawa pun tergoda saat melihat buah pengetahuan yang baik dan jahat itu. Buah terlarang yang semakin dipandang semakin menggiurkan. 

Kejahatan berikutnya yang dilakukan istri Potifar adalah mengambil kesempatan untuk bercinta dengan Yusuf saat suaminya tidak ada. Ia membujuk Yusuf dari hari ke hari, bukan hanya sekali. Berbagai kesempatan disiapkannya untuk berbuat kejahatan. Semua itu masih ditambah dengan fitnah yang membuat Yusuf dipenjarakan. 

Dosa istri Potifar diawali dari tatapan mata penuh birahi terhadap Yusuf yang elok parasnya dan manis sikapnya. Dari mata turun ke hati. Bukankah ini mirip dengan rentetan dosa Daud yang diawali dengan tanpa sengaja melihat Bersyeba mandi?

What you see is your battlefield.

Bahkan lagu sekolah minggu pun sudah memberi petunjuk untuk "hati-hati gunakan matamu". Apa yang terjadi di pikiran bisa dikendalikan dari apa yang kita masukkan ke dalamnya. Entah itu tontonan atau bacaan yang dipilih. Sortir apa yang masuk lewat mata. Jika novel romantis yang panas membuat pikiran mudah jatuh ke fantasi tak jelas, hindari. Jika film drama seri membuat ide tentang romansa dan pernikahan menjadi semu, hindari. 

Wanita yg takut akan Tuhan akan melatih dirinya untuk menjauhi kejahatan. Yusuf lari dari keadaan yang berpotensi membuatnya jatuh dalam dosa. Namun, Istri Potifar memberi pelajaran tentang wanita yang memilih mendekati kejahatan dan terjerat di dalamnya. 

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan. Jangan beri ruang untuk dosa yang masuk melalui pandangan mata. Jika matamu memandang godaan, larilah seperti Yusuf. Lari dari kejahatan, sebab wanita yang takut akan Tuhan menjauhi kejahatan

tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.
(Ayub 28:28)

Monday, November 4, 2019

Yokhebed: Wanita Yang Tidak Menyerah


by Grace Suryani Halim

Siapakah Yokhebed itu? Namanya hanya disebutkan dua kali dalam Alkitab, yaitu dalam Keluaran 6:19 dan Bilangan 26:59, keduanya dalam daftar silsilah. Mengapa dia penting? Karena dialah ibu dari nabi terbesar Israel, yaitu Musa.

Dan nama isteri Amram ialah Yokhebed, anak perempuan Lewi, yang dilahirkan bagi Lewi di Mesir; dan bagi Amram perempuan itu melahirkan Harun dan Musa dan Miryam, saudara mereka yang perempuan.
(Bilangan 26:59)

Latar belakang keadaan saat kelahiran Musa diceritakan dalam Keluaran 1. Saat itu keturunan Yakub yang semakin banyak jumlahnya masih tinggal di Mesir. Firaun yang sedang berkuasa merasa terancam dengan keberadaan mereka, sehingga ia memperbudak mereka. Ia bahkan mengeluarkan peraturan baru: setiap bayi laki-laki yang lahir dari wanita Ibrani harus dibunuh dengan cara dilempar ke sungai Nil.

Dalam keadaan itulah Musa lahir. Sebelumnya, Yokhebed sudah punya dua anak, yaitu Harun dan Miryam. Lalu tiba-tiba ia hamil lagi; dan pada saat Firaun sudah memberi perintah untuk membunuh semua bayi laki-laki! Sebagai ibu tentu Yokhebed bimbang. Saat mengandung, ia tidak tahu apakah bayi yang dikandungnya laki-laki atau perempuan. Mungkin ia berharap bayinya perempuan.

Lalu lahirlah bayinya: anak laki-laki. Ini yang Alkitab catat dalam Keluaran 2:1-2

Seorang laki-laki dari keluarga Lewi kawin dengan seorang perempuan Lewi; lalu mengandunglah ia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikannya tiga bulan lamanya.

Bagaimana ini? Perintah Firaun tidak mungkin dilawan! Tetapi Yokhebed tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Ia mengambil langkah berani dengan menyembunyikan bayinya. Tetapi lalu anak itu bertambah besar dan tidak bisa disembunyikan lagi, sehingga Yokhebed harus memikirkan cara lain. Ia tetap tidak mau menyerah, dan membuat rencana untuk menyelamatkan bayinya.

Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalnya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil.
(Keluaran 2:3)

Yokhebed mempercayakan nasib anaknya ke dalam tangan Tuhan, setelah ia melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukannya. Sungai Nil bukanlah sungai yang ramah; ada binatang buas dan arus yang deras yang berbahaya, apalagi bagi seorang bayi dalam peti anyaman. Namun itu satu-satunya cara agar puteranya tetap hidup. Dia juga menyuruh Miryam, anak perempuannya, untuk mengawasi laju keranjang adiknya.

Singkat cerita, sang bayi ditemukan oleh puteri Firaun, dan diberi nama Musa, yang berarti “diambil dari air”. Ketika puteri Firaun mencari inang untuk menyusui bayi itu, Miryam segera muncul dan menawarkan inang penyusu, yang tidak lain adalah Yokhebed, ibu bayi itu! Sungguh ajaib apa yang dialami bayi Musa: dari hampir dibunuh bangsa Mesir, menjadi anak angkat puteri Firaun, bahkan kembali tinggal bersama ibunya selama masa kecilnya. Sampai dewasa Musa tidak pernah lupa bahwa ia bukan orang Mesir; ia adalah orang Ibrani. Siapa yang menanamkan identitas kebangsaan yang begitu kuat pada Musa? Siapa yang mengajar dia untuk takut akan Tuhan Allah Abraham? Kemungkinan besar Yokhebed, ketika ia memiliki kesempatan untuk menyusui dan mengajar anaknya.

Musa bukan hanya tumbuh besar dengan aman dan sehat, namun di kemudian hari dia menjadi nabi besar bagi bangsanya. Saya rasa Yokhebed tidak pernah bermimpi Musa akan dipakai Tuhan seperti itu. Musa tidak dibunuh saja sudah bagus! Tapi Tuhan menghargai keputusan Yokhebed; Tuhan melihat perjuangan dan kasihnya bagi Musa. Tuhan memberi lebih daripada yang ia pernah pikirkan. 

Mungkin dalam hidup ini kita juga merasa seperti Yokhebed: hamil di saat yang salah, lahir di keluarga yang salah, berada di kelas dengan guru yang salah, dan sebagainya. Sepertinya keadaan tidak mendukung kita; sepertinya masa depan akan suram. Ketika segala sesuatu keliatan tidak ideal, ingatlah akan Yokhebed yang terus berjuang dengan segala cara yang bisa ia pikirkan. Demi puteranya, Yokhebed tidak mau menyerah pada keadaan. Dan ternyata itu sejalan dengan rencana Tuhan bagi Musa, bagi bangsa Israel, bahkan bagi kita yang hidup sekarang. Seandainya Yokhebed “tidak berdaya” dan tidak ngotot berusaha agar anaknya selamat, mungkin ceritanya akan berbeda.

Moms, sis, jangan mudah putus asa dan jangan sibuk menyalahkan keadaan. Ketika keadaan tidak sesuai harapan kita, ketika kita mengalami masalah, tetaplah berjuang dengan segenap kemampuan kita. Bukankah kita punya Tuhan yang memelihara hidup kita? Lakukan apa yang kita bisa, dan sisanya adalah bagian Tuhan, yang sanggup bekerja lebih dari yang kita bayangkan.