by Poppy Noviana
Dalam sebuah kesempatan melayani keluarga yang sedang berduka, saya bertemu dengan seorang pria dewasa yang sedang kehilangan ayah dari hidupnya. Maut telah memisahkan mereka dan yang tersisa hanyalah kenangan. Malam itu saya mendengarkan kesaksiannya, yang (ternyata) adalah seorang manajer marketing—dimana beberapa anak buahnya juga datang melayat. Beliau berkata bahwa dirinya yang ada saat ini adalah dampak dari ajaran ayahnya yang selalu mendidiknya untuk hidup disiplin. Hal yang paling membekas dalam memorinya adalah saat sang ayah mengembalikan sepatu yang selalu dilemparkannya—saat tiba di rumah—ke rak sepatu seperti semula. Bentuk kedisiplinan inilah yang menjadi warisan terindah sang ayah, karena benihnya telah berbuah dalam kehidupan pria ini di kantornya—sehingga beliau bisa menjadi seorang manajer di sana.
Mungkin Pearlians pernah mendengar peribahasa, “Gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnnya, manusia mati meninggalkan namanya.” Ya, kematian seseorang selalu membawa dampak bagi yang ditinggalkan. Dampak tersebut bisa berupa jasa-jasa maupun perbuatan baik yang akan dikenang, atau justru perasaan kesal dan kesedihan yang belum terselesaikan atas perbuatan buruk yang dilakukan orang tersebut. Tapi bagaimana jika kematiannya menimbulkan ketidakberdayaan orang yang ditinggalkan?
Well… kira-kira itulah yang dirasakan oleh beberapa wanita yang berduka atas kematian seseorang yang baru saja meninggal. Kisahnya dicatat di Alkitab (Kisah Para Rasul 9:36-43), menandakan bahwa ada peran besar dari orang ini bagi lingkungannya—khususnya di sebuah kota yang bernama Yope—waktu itu.
Namanya Dorkas (alias Tabita). Dalam bahasa Yunani, Dorkas berarti “rusa kecil”. Dia disebut sebagai murid perempuan, seorang wanita yang “selalu berbuat baik” dan pemberi/donatur kepada janda-janda di Yope. Yang menarik adalah, Alkitab menuliskan tiga karakter Dorkas justru setelah kematiannya, dan hal itu menunjukkan bagaimana ia dikenang semasa hidupnya oleh orang-orang yang ditolongnya. Mari kita simak bersama karakter-karakter yang dimaksud:
1. MENJADI MURID
Menjadi seorang murid memerlukan kerendahan hati untuk dikoreksi dan dibentuk—yang bertujuan demi kebaikannya. Artinya, murid yang baik adalah seseorang yang menerima didikan, memperbaharui pemikirannya seturut kebenaran yang diberikan, dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai murid, tentu ada hal-hal yang membuat kita harus melepaskan ego dan menaati Tuhan. Ini bukan perkara mudah—apalagi kalau kita masih ingin hidup sesuka hati sendiri! Oleh karena itu, coba kita pikirkan baik-baik; apakah selama ini kita sudah menjadi seorang murid Kristus yang rela “terbentur dan terbentuk”, atau kita cenderung mementingkan keinginan diri sendiri di atas kehendak Tuhan?
Begitu pula dengan Dorkas. Tidak diceritakan apakah dia pernah merasa lelah untuk membantu para janda di Yope. Mungkin dia merasa mereka hanya menghambat finansialnya (ingat, Dorkas juga memberi sedekah (ayat 36)). Namun satu hal yang pasti, kematiannya membuat para murid di Yope (termasuk para janda di sana) merasa sangat kehilangan. Oleh karenanya, mereka memanggil Petrus untuk membangkitkan Dorkas—sehingga Tuhan menggunakan momen itu untuk menyatakan kemuliaan-Nya di Yope dan banyak orang di sana menjadi percaya kepada Tuhan. Ya, buah dari seorang murid memang belum tentu menghasilkan sesuatu semasa hidupnya; tapi mari kita terus berjuang menjadi murid yang menunjukkan citra Kristus—termasuk dalam hal mengasihi. Karena “semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).
2. MENJADI SALURAN BERKAT
“Now in Joppa there was a disciple named Tabitha, (which translated into Greek means Dorcas). She was rich in acts of kindness and charity which she continually did.”
(Acts 9:36)
Tentu ini adalah salah satu hal yang paling diinginkan semua orang. Ironisnya, tidak jarang kebaikan kita justru disalahpahami oleh orang lain. Ada yang menilai kita hanya ingin panjat sosial (pansos), menduga bahwa kita ingin memamerkan apa yang kita miliki, atau kita sendiri merasa terpaksa melakukannya demi “status Kekristenan” kita.
Tapi bagaimana dengan Dorkas?
Meskipun tidak diceritakan secara gamblang, namun kita bisa melihat bagaimana Dorkas terus menabur kebaikan dan berbagi hidup kepada para janda yang berkekurangan—termasuk membutuhkan kasih sayang sejak ditinggal oleh para suami mereka. Melalui harta yang dimilikinya, Dorkas menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk memberkati orang lain (misalnya melalui pakaian yang dijahitnya bagi para janda). Kedukaan mereka atas kematian Dorkas menunjukkan bagaimana dia memperhatikan kebutuhan mereka dengan penuh kasih, bukan untuk panjat sosial.
3. MENJADI ORANG YANG SUKA MEMBERI
Melanjutkan poin kedua, menjadi saluran berkat tentu memerlukan kerelaan hati untuk memberi apapun yang bisa kita berikan pada orang lain. Dalam hal ini saya belajar dari Dorkas yang berempati kepada para janda yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Salah satu bukti nyatanya adalah melalui pakaian yang dijahitkan Dorkas. Kalau Pearlians pernah melihat Spongebob Squarepants, ada salah satu episode dimana Spongebob menginginkan sweater dengan cinta dari sang nenek di setiap rajutannya. Mungkin itu pula yang dilakukan Dorkas: dia menjahit dengan sepenuh hati bagi para janda itu.
Proses menjahit itu tidak mudah. Biaya materialnya juga tidak murah. Belum lagi ketelitian dan kesabaran selama prosesnya. Plus, pakaian-pakaian itu ditujukan bagi para janda (bukan satu janda saja!). Well, ketika kita memberi, pemberian itu membawa pesan: extending the grace of God to others brings Him glory.
Seperti Dorkas yang memberikan hidupnya untuk melayani para janda di Yope, mari kita juga mulai belajar memberi dengan penuh kerelaan bagi orang lain yang membutuhkan. Pemberian itu tidak selalu harus berupa sumbangan dana dalam jumlah besar, tapi kita bisa memberi melalui apa yang kita miliki (baca: tanpa berutang demi pujian mereka). Lagipula, tujuan pemberian kita seharusnya bertujuan untuk memuliakan Tuhan. Yaps, bukan hal yang mudah untuk meneladan Dorkas di dalam dunia yang menggaungkan kehidupan serba instan, busy, fast, dan selfish ini. Namun apakah Tuhan menghendaki kita mengikuti ajaran duniawi tersebut? Jika ya, lalu apa gunanya Dia mengurbankan diri-Nya untuk menebus dosa-dosa kita?
Tuhan tahu bahwa kita tidak sanggup berjuang sendirian dalam menjalani peran kita sebagai saluran berkat. Karena itu, dia berkata:
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”
(Yohanes 15:3)
Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk terus memiliki kerinduan hidup di dalam Pokok Anggur yang benar, sehingga kita dapat menjadi “rusa kecil” yang menarik perhatian orang lain untuk memandang kepada Sang Pencipta yang mengasihinya.
“True humility and fear of the Lord lead to riches, honor, and long life.”
(Proverbs 22:4 NLT)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^