by Tabita Davinia
Sebagai mahasiswi konseling, saya (dan teman-teman) wajib menyelesaikan beberapa tugas book report. Salah satu buku yang dibaca adalah karya Richard L. Pratt, Jr. yang berjudul He Gave Us Stories. Meskipun isinya tentang cara menafsirkan Perjanjian Lama, namun saya menangkap sebuah kesimpulan manis yang ditekankan buku ini berulang kali:
The Bible shows how God made them wonderfully,
and it reflects that He is the center of the story.
The story is made by Him to glorify Him alone,
and so are you.
Selama tahun 2019 ini, kita sudah belajar banyak hal dari para wanita yang ada di Alkitab. Sebagian di antaranya mencerminkan karakter-karakter yang perlu diteladani, sebagian lainnya tidaklah demikian. Terlepas dari berbagai perbedaan latar belakang maupun sifat yang ada, Tuhan memakai mereka dalam karya keselamatan-Nya sampai hari ini. Buktinya ada di kita. Tanpa kehadiran para wanita ini, keselamatan akan memiliki alur cerita yang berbeda—bahkan tidak akan ada Alkitab. Iya lah. Gimana mau melahirkan para penulis tanpa keberadaan satupun perempuan di dunia ini (wong Yesus aja lahir dari Maria)? *okay ini receh, sih*
Setiap kita berasal dari keluarga dan memiliki pergumulan masing-masing, kan? Begitu pula dengan para wanita yang telah kita bahas sepanjang tahun ini. Tapi sekali lagi, ada satu kesamaan di antara mereka: Tuhan memakai mereka untuk menyatakan karya keselamatan-Nya bagi dunia, sekaligus menegakkan keadilan-Nya di antara umat-Nya.
Abigail menjadi role model bagi kita dalam bersikap bijak terhadap pasangan—semenyebalkan apapun dia. Dalam kondisi yang menyesakkan seperti itu, kita perlu terus belajar menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber kekuatan yang sejati.
Priskila menginspirasi kita untuk menjadi wanita yang tangguh di dalam Tuhan. Tangguh di sini tidak hanya berbicara tentang kuat secara fisik, tapi juga secara mental dan rohani. Yes, being a tough woman in God alone is beautiful.
Wanita ini menunjukkan bahwa iman selalu berbuah manis. Meskipun apa yang kita doakan tidak kunjung datang (atau terjawab dengan cara yang tidak kita inginkan), don’t worry! Tuhan mendengar setiap doa kita, Ladies... Yang Tuhan inginkan adalah kita dapat terus bertumbuh di dalam pengharapan kepada-Nya, dan setia dibentuk untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya.
Dari Maria, kita belajar untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Mungkin persembahan itu berupa suara kita, handcrafting kita, kemampuan untuk mengajar, atau bahkan menjadi homemaker. Tapi kita juga perlu mengingat: Kita tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Mereka bisa saja menilai pemberian kita dengan negatif, sehingga membuat niat kita jadi ciut. Namun kita patut bersyukur, karena Tuhan memandang hati kita yang mau menyerahkan seluruh hidup ini kepada-Nya sebagai persembahan yang sejati.
Janda miskin ini melakukan hal yang sama dengan saudari Lazarus itu: menyerahkan hidupnya secara total kepada Tuhan. Mungkin kita juga sedang bergumul dengan keperluan maupun perencanaan di masa depan. “Nanti mau makan apa, ya? Uangku udah mulai menipis...” Tapi satu hal yang perlu kita pegang teguh: “Tuhan yang menciptakan kita adalah Pribadi yang juga memelihara kehidupan kita, because He is our Jehovah Jireh.” Iya, Tuhan tahu pergumulan kita secara spesifik, tapi Dia ingin mendidik kita untuk beriman kepada-Nya melampaui apapun. Seperti kata Fanny J. Crosby dalam lagu He Leadeth My Soul, “He giveth me strength as my day.”
Nama Damaris hanya disebut satu kali saja di dalam Alkitab, namun kehadirannya di Areopagus saat itu bukanlah tanpa alasan. Mungkin kita berpikir bahwa status sebagai orang Kristen jugalah kebetulan, “Yah gw soalnya emang lahir dari keluarga Kristen, sih! Jadi ya udah, ikutan jadi Kristen aja. Toh pengajarannya juga bagus-bagus…” But we need to think it again: keselamatan BUKAN karena kita beragama Kristen, tapi karena Tuhanlah yang memilih kita sejak semula untuk diselamatkan—sebuah anugerah yang tidak bisa ditolak (irresistable grace). Damaris termasuk di antaranya, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyambut anugerah itu sebagaimana mestinya?
Mungkin kita sedang bergumul mengenai masa depan anak-anak kita seperti Eunike. Kita khawatir apakah iman mereka akan tetap bertahan di tengah-tengah badai kehidupan ini. That’s why we need to follow what she’d done to Timothy, her son. Kita tidak bisa menabur benih Firman Tuhan dengan kekuatan sendiri; kita butuh Tuhan, Sumber Hikmat itu. Tidak berhenti di situ, kita juga perlu mendidik dan membimbing anak-anak kita untuk peka terhadap kehendak Tuhan bagi mereka. Tapi bagaimana mereka bisa paham kalau kita tidak pernah berelasi dengan-nya secara pribadi? Saya teringat dengan salah satu pernyataan Ci Sarah Eliana,
“Orang tua cuma bisa menabur benih Firman Tuhan, tapi perkara sang anak mau terima Tuhan atau nggak yaaa kembali lagi pada kasih karunia Tuhan dan keputusan anak itu. Bukan berarti orang tua lalu bisa lenggang-lenggong nggak menabur benih Firman Tuhan, ya! Ngajarin tentang Tuhan Yesus pada anak adalah tanggung jawab dan kepercayaan dari Tuhan, juga bukti kasih orang tua bagi Tuhan.”[1]
Sama seperti Eunike, Yokhebed mungkin tidak pernah membayangkan bahwa anak laki-lakinya akan menjadi seorang pemimpin bagi banyak orang. Selagi sang anak masih kecil, Yokhebed mengasuh serta mendidiknya untuk mengenal identitasnya sebagai orang Israel—umat pilihan Allah. Kelak Musa, anak itu, menjadi pemimpin bangsanya untuk keluar dari tanah perbudakan menuju tanah perjanjian—tanah yang dijanjikan Tuhan pada Abraham, nenek moyangnya, lebih dari 600 tahun sebelumnya. Yaps, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita nanti; namun satu hal yang harus kita lakukan—selama masih ada kesempatan—adalah terus menjadi teladan iman bagi mereka. Believe it or not, mereka bisa melihat dan meneladani ketaatan kita kepada Tuhan ketika pikiran, perkataan, dan perbuatan kita memancarkan citra-Nya.
But don’t forget. If there’s a “flawless” side, there’s also a “dark side” too.
Ada saat di mana kita juga bergumul dengan dosa maupun kesulitan yang kita hadapi. Para wanita ini pun mengalami hal yang sama! Namun kita perlu mengingat untuk selalu belajar dari setiap pesan di balik kehadiran mereka di dalam Alkitab.
Melalui istri Ayub, kita belajar bahwa it’s okay to not be okay—terutama saat ada pergumulan dalam pernikahan kita. Namun kita perlu mengingat, “God counts every heart that chooses to serve, to suffer together, and to sacrifice.” Janji yang kita ucapkan saat menikah itu bukan hanya untuk “ritual” semata, tapi harus kita hayati dan lakukan sampai kematian memisahkan kita dari pasangan. It’s not easy, so that’s why God will help us to commit the vow faithfully ‘till death do us part from our husband. Pertanyaannya: kita mau menaati kehendak-Nya atau tidak?
Kita juga belajar dari Hawa tentang konsekuensi yang selalu ada untuk setiap keputusan (bahkan yang berujung pada kesalahan) yang kita buat. Namun Tuhan selalu menunggu kita untuk bertobat dan menguatkan kita dalam menjalani konsekuensi itu. Wajar sih, kalau kita ingin memperbaiki peristiwa itu… but the past is in the past. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain mengakui kesalahan kita di hadapan Tuhan (dan orang yang kita lukai), dan berjanji akan berubah dengan sungguh-sungguh.
Mungkin kita juga sama seperti Batsyeba yang pernah melakukan kesalahan saat melepas hak untuk suami kita bagi laki-laki lain, bahkan menyebabkan hamil di luar nikah. Mungkin masih ada memori yang berkelebat saat kita mengingatnya, dan membuat kita menyesal sampai ragu-ragu apakah Tuhan masih berkenan mengasihi kita atau tidak. Tapi melalui kisah wanita ini, kita diteguhkan bahwa Tuhan rindu kita kembali kepada-Nya, mengakui dosa kita, serta berkomitmen untuk menghidupi kehidupan yang baru bersama-Nya.
Melalui Miryam, kita diingatkan untuk terus waspada agar tidak lengah terhadap godaan dosa. Saat kita merasa iman kita baik-baik saja, Iblis justru bisa menggoncangkan iman kita dengan mudah. Mungkin ada benih-benih pemberontakan yang tersemai dan bertumbuh subur tanpa kita sadari, sehingga saat kita merasa Tuhan tidak adil, kita jadi menyalahkan-Nya. Tapi sama seperti yang dialami Hawa, Batsyeba, dan Miryam, Tuhan tetap mengampuni dan mengasihi kita—meskipun selalu ada konsekuensi yang harus kita tanggung. With great power, comes great responsibility, Ladies!
Last but not least, jangan sampai kita jadi seperti Izebel yang justru jadi batu sandungan bagi suaminya. Kita perlu mengingat pepatah, “Di balik pria yang kuat, ada wanita yang kuat.” Kita juga perlu terus mengevaluasi diri, “Apakah aku sudah menjadi orang yang terus mendorong orang lain (khususnya pasangan dan keluarga) untuk bertumbuh di dalam Tuhan? Atau aku malah membuat mereka semakin menjauh dari-Nya?”
Anyway, kalau Pearlians perhatikan, setiap link tentang para wanita di atas adalah perwakilan dari karya para penulis Pearl selama tahun ini! Yayyy… Sama seperti para wanita di Alkitab, kami juga memiliki pergumulan masing-masing… Tapi kami rindu agar dari hari ke hari, Tuhan terus membentuk kami untuk semakin mengenal dan mencintai-Nya melalui proses yang Dia berikan dalam hidup kami. For God is too wise to be mistaken, and He is too good to be unkind. He knows better than us, because He is the center of the story, right?
***
Personally, I really thank God for giving me a chance to end this article (for this year) with something different from other articles hehe. Thank you so much buat Ci Lia, Ci Femmy, Kak Poppy, Ci Sarah, Kak Dhieta, Kak Glory, Ci Yunie, Ci Irene, Ci Benita, Kak Mega, Ci Eunike, dan Ci Grace! :) Thank you juga buat para pejuang medsos (poke Ci Eden, Ci Melissa, dan Ci Michelle) yang (dengan sabar haha) menunggu update artikel dari para penulis Y And thanks to all of Pearlians too! Mewakili Pearl, saya bersyukur untuk setiap support dan doa dari Pearlians… Kiranya pelayanan Pearl di tahun-tahun berikutnya boleh semakin efektif menjangkau para wanita (even pria juga boleh, deh. Lol) dan menjadi alat kemuliaan bagi Tuhan. Soli Deo Gloria! Y
— Kemang Utara, 26 November 2019 || 01.08
[1] Dikutip dari notes Facebook-nya Ci Sarah Eliana yang berjudul “Para Malaikat pun Berpesta..” (12 Desember 2013)