by Natalia Setiadi
Anak saya punya kebiasaan unik: dia suka banget mengecek kebenaran dari suatu pernyataan.
Contoh paling gampang di meja makan. Kalo dia pengen nambah makanan tertentu dan makanan itu kebetulan udah abis, dia biasanya (baca: hampir selalu) ngotot pengen liat sendiri ke dalem mangkok/panci, buat mastiin bahwa makanan itu bener-bener udah gak ada lagi.
Atau waktu makan ikan goreng. Nah dia suka banget bagian yang kriuk-kriuk garing, misalnya sirip or ekornya, atau bagian favoritnya, yang dia sebut "pipi", alias penutup insang yang emang kalo digoreng garing tuh bisa gurih en kriuk banget.
Nah kalo saya lagi nyuwirin ikan untuk buangin durinya dan bagian-bagian laen yang ga bisa dimakan, dia suka korek-korekin tuh tumpukan duri, mengais-ngais bagian kriuk yang mungkin terlewatkan atau ga sengaja kebuang ama saya. Hhhh… -.-'
Kadang-kadang saya sebel deh liatnya. Seolah2 saya ga cukup sayang ama dia apa ya, sampe saya ngebuang bagian-bagian yang dia suka? Padahal porsi makan saya pun dengan senang hati saya relakan buat dia, "Gak usah sampe ngorek2 di tumpukan buangan kali, Nak…" :'(
Ah, jadi inget perjalanan saya sendiri bersama Tuhan.
Sering kali Tuhan udah "buangin" bagian-bagian "sampah" dalam hidup saya. Misalnya, Dia buangin kesempatan-kesempatan yang Dia tau ngga cukup baik buat saya. Atau dia "belokin" saya supaya menjauh dari hal-hal yang ga sesuai ama rencana indah yang udah Dia rancang buat saya.
Misalnya waktu kami lagi nyari rumah kontrakan. Waktu itu pas banget di deket sekolah anak saya (jarak 200 meteran lah), ada rumah yang mau dikontrakin. Wuih kami langsung naksir, berdoa en berharap2 dah. Soalnya selain deket banget jadi praktis en murah untuk anter jemput anak ke sekolah, itu rumah juga bentuknya keliatan nyamaaan banget, cocok lah ama apa yang saya pengen. Letaknya juga strategis, di tengah-tengah kota, lingkungannya nyaman (di jalan kecil, tapi deket ke jalan arteri). Tapi sayang beribu sayang, harga sewanya jauh (BUANGETTT) di luar bujet kami. Akhirnya Tuhan sediain rumah lain buat kami. Saban hari tiap anter jemput anak saya ke sekolah, saya lewat di depan rumah itu. Kadang-kadang masih dengan perasaan mendamba (hoek hoek banget ga sih bahasanya, wekekekke…)
Bukannya ini mirip sama "mengorek-ngorek sampah" yang udah Tuhan buangin? Sekarang saya bisa bayangin perasaannya Bapa gimana. Mungkin ampir sama kaya perasaan saya waktu anak saya ngorekin tumpukan duri ikan.
“Ngga percayakah kamu sama penilaian-Ku, Nak?”
“Apa kamu ngga tau bahwa Aku sangat menyayangimu, dan bahwa Aku ngga bakal buang hal-hal yang baik atau yang kamu perlukan?”
“Apa kamu ngga bisa percaya aja, bahwa di situ cuma ada tumpukan sampah dan ngga ada bagian yang baik?”
Suatu ketika saya harus jemput anak saya dalam guyuran hujan lebat. Saya pun lewat di depan rumah "dambaan". Ternyata oh ternyata… Saya baru tau bahwa kalo hujan daerah sana banjir! Banjirnya lumayan tinggi, sampe setengah betis orang dewasa, selokan sekitarnya meluap, sampe lubang2 di jalan pun ga keliatan dan bisa bikin orang atau kendaraan kejeblos.
Kali lain saya harus jemput anak saya di tengah-tengah kekacauan demo besar-besaran di jalan arteri di dekat sekolah. Wah keadaan sangat kacau, jalanan banyak yang ditutup, sampe saya kudu memutar jauh banget and cari-cari jalan tikus untuk bisa nyampe ke sekolah. Rumah "dambaan" pun terisolir karena ga ada lagi jalan menuju ke sana. Kalo pun ada 1-2 jalan yang dibuka, jalan itu macettt penuh kendaraan yang malang melintang ga jelas. Belum lagi ancaman massa yang terkadang menyisir ke daerah perumahan itu karena di sana banyak gudang-gudang penyimpanan.
Sedangkan rumah saya yang sekarang? Lebih sederhana tetapi nyaman. Orang-orang di sekitarnya ternyata cukup ramah dan baik hati. Banyak anak-anak yang tinggal di lingkungan kami, dan setiap sore jalan-jalan kecil di kompleks ramai dipenuhi anak-anak yang bermain. Anak saya bisa berlarian dan bersepeda dengan senangnya. Air selalu mengalir dengan lancar. Tidak ada banjir. Aman karena jauh dari tempat kumpul favoritnya para demonstran anarkis.
Betapa Tuhan udah liat semuanya itu, jauuuhhhh sebelum saya sadari.
Itu baru sekelumit contoh aja.
Kemampuan berpikir dan pengetahuan manusia memang terbatas. Manusia juga tidak bisa melihat masa depan. Begitu pun anak saya, dia belum paham benar bagian ikan mana yang bisa nusuk atau nyangkut di tenggorokannya, sehingga harus dibuang.
Seperti anak yang mestinya percaya aja sama ortunya, kita manusia juga mestinya sadar akan keterbatasan kita dan bener-bener full percaya aja sama Bapa kita Yang Tidak Terbatas dan Mahamengetahui itu.
“Janganlah gelisah hatimu, percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.”
Yoh 14:1
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tentang penulis
Natalia Setiadi.
Istri
dari seorang dokter bernama Ivan. Mama dari seorang anak istimewa
berumur 5
tahun.
Tinggal di Rantau, kerja freelance sambil menjadi ibu rumah tangga.
Nge-blog di
http://nataliasetiadi.blogspot.com,
isinya postingan tentang motherhood, pernikahan, anak
berkebutuhan
khusus (ADD/ADHD), dll. Silahkan mampir, terutama buat para ortu dari
ABK,
ada
juga link ke blog-blog ABK. Saya juga rindu untuk bisa sharing dan
berkomunitas dengan para
ortu ABK yang cinta Tuhan..