Monday, January 25, 2021

Hidup dalam Anugerah dan Kekudusan




by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan : Lukas 18:9-14 (Perumpamaan tentang Orang Farisi dan Pemungut Cukai)

Saat membicarakan anugerah, orang Kristen umumnya akan mengingat anugerah terbesar yang telah mereka terima di dalam hidupnya. Anugerah apakah itu? Ya, benar. Anugerah keselamatan. Penebusan Kristus adalah anugerah terbesar dalam hidup orang percaya karena sebenarnya kita tidak layak menerimanya, dosa dan pelanggaran kita terlalu besar. Hanya melalui penebusan Kristus kita layak diselamatkan. Krsistus telah mati supaya kita hidup bagi Dia. Bagaimana seharusnya kita hidup setelah menerima anugerah keselamatan dari-Nya?

“Sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” 
(1 Petrus 1:16 / TB)

“Sebab sudah tersurat: Hendaklah kamu kudus, karena Aku kudus.”
(1 Petrus 1:16 / TL 1954)

Hidup bagi Dia berarti hidup kudus sebagaimana Kristus telah hidup.

Allah ingin kita mengejar kekudusan. Tetapi mengejar kekudusan harus diiringi pemahaman yang semakin mendalam akan anugerah Allah, jika tidak kita akan menjadi ahli Taurat dan orang Farisi yang hanya melakukan kewajiban dan aturan agamawi. Sayangnya, berita anugerah ini hanya dikhotbahkan saat masa pra-Paskah padahal kita membutuhkan khotbah Injil setiap hari, karena kita membutuhkan anugerah-Nya setiap saat. Kita juga perlu memeriksa diri terus menerus supaya tidak menjadi ahli Taurat atau orang Farisi yang “mengajarkannya tetapi tidak melakukannya”. Memeriksa diri memang tidak nyaman, bahkan menyakitkan, tapi perlu dilakukan. Proses memeriksa diri ini yang akan membuat kita menyadari bahwa “saya membutuhkan anugerah Allah seumur hidup saya”.

Pada bacaan kali ini kita akan melihat dua tokoh dalam perumpamaan yang diceritakan Yesus : Pemungut cukai dan orang Farisi. Dua tokoh ini dapat menggambarkan dua sikap ekstrim orang Kristen jika kita tidak berhati-hati :

1. Orang Farisi menggambarkan orang Kristen yang puas terhadap hidup kekristenannya dan merasa dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. Kita dapat menjadi seperti orang Farisi ini jika kita berpikir sudah melakukan segala yang yang benar bila dibandingkan dengan orang di sekeliling kita. Ia membenarkan dirinya karena perbuatannya.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
(Lukas 18:11-12)

Orang Farisi ini melakukan disiplin rohani, taat pada Taurat dan melayani. Orang Kristen banyak yang seperti orang Farisi ini. Membandingkan dirinya dengan orang lain lalu merasa apa yang dilakukannya yang telah membuatnya layak di hadapan Allah, lupa bahwa yang membenarkannya adalah karya Yesus di kayu salib. Perasaan membenarkan diri ini akan selalu ada saat kita membandingkan diri dengan orang lain. Dosa yang kita lakukan tidak ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Kecenderungan menghakimi orang lain di dalam pikiran pun adalah dosa, tapi apakah kita menyadarinya? Kebanyakan nggak. Biasanya baru disadari setelah terucap. Tanpa sadar kita sudah menjadi seperti orang Farisi ini. Tuhan ingin kita sadar bahwa dosa adalah dosa. Dosa bisa saja berwujud kesulitan kita mengampuni, ketidaktaatan, cepat marah, tidak sabar, semangat menghakimi, ketidakjujuran dan masih banyak lagi. Semua yang mendukakan Allah adalah dosa. Sayang sekali kita sering membenarkan dosa ‘ringan’ sendiri dan menghakimi orang lain seperti orang Farisi. 

2. Pemungut cukai menggambarkan orang Kristen yang merasa bersalah karena selalu jatuh dalam dosa. Ada sebagian besar orang Kristen yang selalu terikat pada dosa-dosanya, kegagalannya untuk hidup kudus, dan ketidaktaatan.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
(Lukas 18:13)

Ya, kita memang orang berdosa seperti si pemungut cukai ini, namun kita tidak boleh melupakan kalau saat menerima penebusan Kristus kita adalah ciptaan baru di dalam Kristus yang telah dimampukan melawan kuasa dosa. Ketika hati nurani kita terusik karena dosa, penting bagi kita tetap mengingat bahwa sekalipun dosa kita tidak terampuni, keadilan Allah sudah terwujud melalui pengorbanan Kristus, hukuman sudah dijalani sepenuhnya oleh-Nya. Kita dapat hidup dengan kesadaran bahwa anugerah Allah melalui Yesus tersedia bagi kita setiap hari. Yang menguduskan kita bukan sekedar rasa sedih atau duka karena dosa, atau pertobatan kita, atau hukuman bagi diri sendiri. Yang menguduskan kita adalah pendamaian karena darah Kristus sudah tertumpah bagi kita. 

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”
(1 Yohanes 1:9)

Semudah sekaligus sesulit itu, mempercayai bahwa hanya pengakuan dosa cukup untuk membuat Allah mengampuni kita, bukankah terkadang kita meragukannya? Seringkali hati nurani menghakimi dengan lebih kejam, tapi ya, itu cukup bagi Allah. 

Bagian lain yang indah adalah: kematian Kristus tidak hanya memberikan kita anugerah keselamatan, kita tidak hanya bebas dari hukuman dosa tetapi juga dari pemerintahan dosa di dalam hidup kita. Mungkin ada di antara kita yang masih bergumul dalam dosa dan tidak percaya, tapi ini benar. Dosa tidak berkuasa lagi atas kita dan kita dimampukan berkata tidak terhadap dosa karena anugerah-Nya.

“Jika demikian, apa yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah anugerah itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?”
(Roma 6:1-2)

“Kita telah mati bagi dosa” berarti disadari atau tidak kematian ini sudah terjadi melalui persekutuan dengan Kristus. Kristus mewakili kita telah mati bagi dosa, sehingga kita kemudian sama dengan-Nya, hidup bagi Allah. Dosa tidak berkuasa lagi atas kita, kita telah berpindah dari kegelapan ke dalam kerajaan Allah. Persekutuan dengan Kristus memampukan kita berkata tidak terhadap dosa sebagaimana Ia juga berkata tidak terhadap dosa. Jadi, hidup kudus selalu didasarkan atas anugerah yang telah kita terima, bukan pekerjaan kita semata.

Setiap hari anugerah Allah, yakni kemurahan-Nya diberikan kepada kita. Setiap pilihan yang kita ambil, salah atau benar tidak pernah mengurangi anugerah-Nya. Hanya saja, melalui pilihan ini kita menentukan apakah hidup saya akan semakin menyerupai Kristus atau tidak. Menghentikan kebiasaan berbuat dosa dan melakukan kebiasaan yang kudus dimulai dengan menaati Allah setiap hari. Maukah kita menerima anugerah-Nya dan hidup dalam kekudusan hari ini?

Monday, January 18, 2021

Starting a New Day Without Fishing



by Tabita Davinia Utomo

“Kalau udah mengampuni, no more fishing.

Ketika mendengarkan kalimat tersebut dari seorang dosen konseling, saya jadi bertanya pada diri sendiri. “Loh, bukannya kita punya memori? Tujuan Tuhan kasih memori kan, biar kita belajar. Lah ini gimana kalo nggak sengaja inget kenangan buruk di masa lalu?”

Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah obrolan singkat, seorang teman membagikan ungkapan dari Pdt. Julianto Simanjuntak yang menegaskan perkataan dosen itu, “Mengampuni adalah ketika kita mampu mengingat tanpa merasa sakit lagi.”

Pearlians sering nggak habis pikir kan, kalau ada peristiwa-peristiwa yang berjalan beriringan dan menekankan satu poin yang sama? Seolah-olah Tuhan mengizinkannya terjadi lalu kita jadi cocoklogi. Hahaha. Itulah yang saya rasakan ketika di minggu-minggu terakhir perkuliahan semester tiga lalu, saat sebagian topiknya membahas tentang pengampunan—dan memang pada saat itu saya sedang bergumul dengan hal itu. Bagaimana bisa saya bersikap baik-baik saja, jika realita yang sedang dijalani membuat hidup ini semakin terlihat suram dan terpuruk? Bagaimana saya tetap bisa “tertawa tentang hari depan”, jika saya sering tergoda untuk “memancing” masa lalu saya dan ingin memproyeksikan kesalahan yang ada di sana pada siapa pun (termasuk diri sendiri)?

--**--

Tema mengenai pemulihan dan pengampunan sudah sangat sering (bahkan hampir selalu) dibahas di gereja maupun di komunitas-komunitas lainnya. Di Pearl sendiri ada banyak artikel tentang pengampunan. Jangankan dari sisi teologi, banyak orang yang juga membahasnya dari sisi psikologi. Bahkan mungkin ada Pearlians yang pernah mendengar istilah self-healing. Tapi, tapi... kenapa kita masih aja susah buat mengampuni? “Mau sih, buat mengampuni. Kan, pengampunan adalah awal dari pemulihan. Cuma kok, berat banget yaa buat dilakuin. Sedih aku tu...” *sigh

Tenang, Pearlians! Kalau ada yang berpikir demikian, kamu tidak sendirian—karena saya juga begitu hehe... Yuk, kita kulik sedikit kenapa pengampunan itu sulit untuk dilakukan—walaupun secara teori kita sudah paham betul bahwa Tuhan pun ingin agar kita saling mengampuni.

1. Kita kan, manusia berdosa
Dosa membuat kita tidak bisa menilai dengan objektif kebenaran, dan gagal dalam memahami kasih Allah yang tercurah bagi kita, orang-orang berdosa. Akibatnya, tidak ada setitik pun keinginan untuk mengampuni orang lain—atau justru membuat kita self-pity karena merasa terikat untuk selamanya dalam masa lalu yang kelam. Walaupun natur dosa ini sudah ditaklukkan melalui Yesus Kristus, tapi kita kan, masih hidup di dunia yang tercemar ini, Pearlians. Iya, Dia menguduskan umat pilihan-Nya, tapi ingat: pengudusan itu—seringkali—menyakitkan. Salah satu proses tersebut diwujudkan melalui “training” pengampunan.

Seorang teman yang kembali ke asrama setelah berkuliah dari rumah (dan mengalami ups-and-downs selama tinggal bersama keluarganya) pernah berkata, “Di rumah itu kayak di purgatory (api penyucian).” Yes, sebagai manusia berdosa, kita—secara tidak sadar—sudah terlena dengan “kenyamanan” yang semu di dunia fana ini. Kita membenci perubahan yang menguduskan itu, sehingga kita memilih untuk merasionalisasi (atau memproyeksikan) luka maupun trauma yang ada.

Rasionalisasi itu contohnya seperti ini:

“Nggak apa-apa. Kan, abis putus, aku jadi lebih deket sama Tuhan.”
(padahal di balik ungkapan ini, ada hati yang masih mendendam pada mantannya yang sudah menikah dengan orang lain, yang dipacarinya satu minggu setelah mereka putus.)

“Kan, aku juga orang berdosa. Ya udahlah nggak apa-apa, toh suamiku juga lahir dalam keluarga yang disfungsional. Emang ini salib yang harus aku pikul...”
(sebuah ungkapan yang tercetus dari seorang istri yang mengalami KDRT, namun sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya untuk mengampuni suaminya dengan sungguh-sungguh.)

Kalau proyeksi kemarahan? Hmm… contohnya banyak banget. Ada yang karena tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya sejak kecil, dia jadi orang yang agresif-destruktif agar diperhatikan orang lain. Ada juga orang yang karena pernah dilecehkan/diperkosa sebelumnya (baik secara fisik, verbal, maupun seksual), dia jadi tidak mau berelasi dengan lawan jenis. Ada juga orang yang terlihat sangat aktif dalam pekerjaan dan pelayanan, tapi sebenarnya dia sedang melampiaskan kemarahannya terhadap pasangan yang berselingkuh. Oke deh, mungkin contoh pertama itu “buah” dari kemarahan yang terpendam dan tidak tersalurkan sebagaimana mestinya.

2. Firman Tuhan dianggap klise
Rasanya orang-orang yang ada di Alkitab itu terlalu suci untuk dijadikan panutan, ya? Padahal mereka juga orang-orang berdosa. Salah satu contohnya adalah Daud, yang menulis Mazmur 23 dan Mazmur 103. Konteks pergumulan kita dengan Daud mungkin tidak 100% sama, tapi setidaknya dua mazmur itu menggambarkan betapa bahagianya orang yang hidupnya bersandar penuh kepada Allah, dan dengan sadar menerima pengampunan-Nya serta tidak take it for granted. Masalahnya adalah... proses yang kita jalani tidak akan bisa berbuah secara instan, tapi kita justru menginginkannya demikian. Padahal Daud juga melalui proses pengudusan itu—dan dia melaluinya dengan jatuh-bangun. Lha wong dia manusia berdosa kayak kitaaa...

3. Kita aja belum mengampuni dan berdamai dengan diri sendiri
Matius 22:39 berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tindakan kasih yang dimaksud ini bukan hanya tentang memberikan hadiah atau melayani satu sama lain. It talks deeper, termasuk tentang pengampunan dan penerimaan. Pertanyaannya, kalau kita belum menginternalisasi dua hal dari Allah tersebut secara sadar, bagaimana kita bisa meneruskannya pada orang lain? Ibarat wadah yang bocor, lama-kelamaan kita akan jadi cepat lelah untuk menerapkannya pada mereka—apalagi kalau yang kita lakukan tidak bergayung sambut.

4. Memori itu melekat
Kalau boleh jujur, rasanya mengingat memori buruk jauh lebih cepat connect-nya daripada memori yang manis. Kenapa? Karena natur kita sebagai orang berdosa memang seperti itu: literally tidak ada satupun hal baik yang berkenan bagi Allah. Memori kita—meskipun sudah mencoba untuk dihapus—tapi tetap saja ada satu atau dua stimulus yang bisa membuat kita teringat pada luka-luka di masa lalu. Jadi kalau ada orang yang bilang agar kita melupakan trauma maupun hal-hal yang melukai kita, sorry to say: kita nggak akan pernah bisa melupakannya. Kalaupun “berhasil”, sebenarnya kita sedang menekan kenangan-kenangan itu ke unconsciousness kita (lihat gambar). Jika tidak segera dibereskan, hal-hal terpendam itu akan dimanifestasikan melalui pikiran, perkataan, dan tindakan kita. It will get worse if we ignore that pain.



Lalu bagaimana kita harus menyikapi luka-luka itu?

1. Berikan waktu bagi diri (dan orang lain) untuk berduka

Salah satu alasan kenapa kita cenderung memendam luka adalah karena tidak ada ruang yang tersedia untuk berduka. Apalagi bagi orang-orang yang dianggap teladan (misalnya hamba Tuhan), ada stigma yang menekankan bahwa mereka tidak boleh menangis jika ada
anggota keluarganya yang meninggal (sekalipun itu pasangan hidupnya!)

Seorang dosen saya pernah bercerita ada pendeta yang kehilangan pasangannya, dan saat upacara berlangsung, dia mendengar ada orang yang berkata, “Loh kan, situ pendeta. Kok, nangis!? Harus kuat, dong!” Saya lupa seperti apa (dan kapan) persisnya kejadiannya, tapi yang jelas beliau tidak diizinkan untuk menunjukkan kerapuhannya “hanya” karena statusnya sebagai hamba Tuhan. Barulah setelah konseling dengan dosen tersebut, pendeta itu bisa mengeluarkan tangisan dan semua unek-unek terpendamnya.

Tuhan tidak melarang kita untuk berduka. Malahan, dalam Mazmur 34:19 dikatakan, “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” It’s okay to not be okay. Tuhan menghargai kejujuran ungkapan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan segala bentuk emosi lainnya yang kita sedang alami. 

Well, jika tidak ada seorangpun yang bersedia menyediakan hati dan telinga bagi Pearlians untuk berduka, saya sangat suggest untuk konseling (sebagian counseling center bisa dilihat di sini). Melalui empati dan reflective listening yang dilakukan konselor, we will be helped to realize what we feel and think. Tapi selalu ingat yaa, apapun kondisi kita, Tuhan selalu bisa menghadirkan diri-Nya melalui berbagai cara yang unik—asalkan kita siap menerima intervensi dari-Nya dan taat pada setiap proses yang Dia berikan. Jangan lupa untuk siap-siap bangkit dari keterpurukan dan menyongsong masa depan yang penuh pengharapan bersama Tuhan :)


2. No more fishing

Sebagai manusia, kita sering ingin menyalahkan orang lain atas semua pengalaman buruk di masa lalu (apalagi kalau memang terbukti mereka berandil besar di situ). Tapi tidak jarang juga kita justru menyalahkan diri sendiri yang salah mengambil keputusan, bahkan mengasihani diri sendiri. Oke, berduka itu boleh, tapi mengasihani diri menunjukkan bahwa kita masih suka “memancing” masa lalu dan mengikatkan diri padanya. Pertanyaannya, bagaimana pemulihan bisa terjadi kalau kita masih mengingat DENGAN SENGAJA hal-hal buruk di sana dan blaming others (and ourselves)?


3. Let go and let God

Tidak ada seorang pun yang bisa mengampuni dengan kekuatannya sendiri. Kalaupun ada, fondasi pengampunannya belum tentu kasih Tuhan (agape love). Padahal, kekuatan pengampunan sesungguhnya hanya bersumber dari kasih agape Allah. Paulus menulis, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang tergadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Efesus 4:31-32) Aneh kan, kalau orang-orang yang (katanya) percaya kepada Yesus Kristus justru lebih sulit mengampuni dibandingkan mereka yang bukan orang percaya? Tapi memang di situ poinnya: semakin sulit sebuah pengampunan diberikan, semakin besar kesadaran kita (seharusnya) untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, dan membiarkan-Nya bertindak. Proses melepaskan masa lalu memang sulit, karena itu kita perlu secara bertahap untuk mengampuni. Then how? Berikut salah satu penerapan praktis yang bisa dilatih oleh Pearlians:

a. Uncover your anger

Alasan kenapa kita marah dan belum bisa mengampuni ini harus ditulis satu per satu secara spesifik dan sangat terperinci. Dari situ, kita bisa memahami betapa sulitnya pengampunan karena ada sangat banyak sudut dan segi dari hal-hal yang tidak bisa kita pahami. Pertama, seleksi dulu lalu tuliskan poin-poinnya secara umum. Setelah itu, pilihlah poin apa yang akan “dikerjakan” terlebih dulu dan tuliskan secara rinci. Kenapa harus diseleksi seperti ini? Karena pasti akan ada poin-poin yang overlap. Capek kan, kalau cuma muter-muter di situ doang? Lukanya sembuh nggak, bosen iya.

b. Make a decision with God

Ambil salah satu poin yang paling berat, agar beban di hati kita bisa terangkat cukup banyak. Entah sepertiga, seperempat, bahkan setengahnya. Walaupun prosesnya penuh air mata, tapi tahap ini—jika terlalui—akan sangat melegakan. Itulah sebabnya kenapa kita tidak bisa melakukannya seorang diri; once again, I suggest you to ask a help from a counselor! Kenapa kok saya menekankannya berulang kali; atau kenapa nggak cukup hanya dengan minta tolong ke teman? Karena tanpa tenaga profesional, semangat kita bisa hilang kapan saja—bahkan jadi kolaps. Iya, support system is a must—tapi ada kalanya mereka juga jenuh kalau luka kita tidak kunjung pulih (belum lagi kalau kitanya memang pada dasarnya tidak mau mengampuni, tapi hanya cari pembelaan). Apalagi decision with God ini tidak bisa hanya dilakukan satu kali untuk selamanya; it takes time and needs to be done again and again.

c. Working stage

Misalnya kita sudah memiliki 10 poin yang terdaftar pada tahap pertama. Nah, kalau sudah ada poin yang dikerjakan dan cukup tuntas, ambil poin yang lain. Demikian seterusnya sampai poin-poin itu semakin berkurang. Anehnya, kecenderungan reborn love untuk muncul itu sangat bisa terjadi.

d. Reborn love

Reborn love yang dimaksud berasal dari kita ke orang yang sedang kita perjuangkan untuk diampuni, bukan dari dianya ke kita. Kadang-kadang yang bersangkutan bisa saja sudah meninggal terlebih dulu. Namun jika dia masih hidup, reborn love ini akan mulai bisa tumbuh. Tetap ingat untuk selalu berserah kepada Tuhan dan mengizinkan-Nya bekerja sesuai kehendak-Nya, ya. Siapa tahu proses pengampunan ini bukan hanya memulihkan satu orang saja (yaitu kita), tapi bahkan seluruh keluarga maupun sistem relasi yang rusak antara kita dengan orang lain.


Tahun-tahun sebelumnya mungkin adalah the worst year(s) ever karena ada banyak luka yang belum terselesaikan. But it’s okay, adalah lebih baik kita menyadari bahwa luka-luka ini harus dibereskan dan mensyukuri kehadiran Tuhan di masa-masa sulit ini. Jika seandainya ada masa-masa yang membuat kita sulit untuk bersabar pada proses yang terbentang, kiranya ungkapan dari Adel Bestavros ini menguatkan kita:

“Patience with others is love. Patience with self is hope. Patience with God is faith.” 
— Adel Bestavros 

“Pengampunan itu harus terjadi dulu, baru lukanya disembuhkan. Itu bedanya orang percaya dari yang bukan orang percaya. Kalau kamu udah mengampuni, Tuhanlah yang memampukanmu untuk melihat orang itu dari perspektif yang baru.”
— Ibu Esther Susabda


Catatan penulis:
Sebagai pelengkap artikel ini, Pearlians bisa menyimak sebagian kisah di atas di sini dan di sini :)
By the way, saya juga merekomendasikan surat Filemon untuk bacaan tambahan hehe...

Monday, January 11, 2021

What Would Jesus Do?




by Alphaomega Pulcherima Rambang

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.”
(1 Yohanes 2:6)

Slogan WWJD mungkin tidak terlalu sering terdengar sekarang seperti pada tahun 2000 awal. Kepanjangan dari WWJD adalah ‘What Would Jesus Do?’, sebuah pertanyaan singkat yang sebaiknya ditanyakan pada diri sendiri sebelum mengambil keputusan atau tindakan apa yang akan dilakukan. Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir antara melakukan sesuatu atau tidak, seperti apa yang akan Yesus lakukan jika dia berada di posisi kita. Jika kita tidak melakukan seperti yang akan Dia lakukan, jangan-jangan kita tidak mengenal Yesus dengan baik sehingga tidak meneladani Yesus dalam kehidupan kita. Well, pada akhirnya memang kita harus mengenal Dia secara pribadi untuk bisa melakukan seperti yang Yesus lakukan.

"Bayangkan suatu hari Yesus bangun dari tidurnya dan menjalani hidup kita yang sekarang, adakah yang berbeda dari hidup kita?"

Demikian pertanyaan seorang Kakak saat membawa kami dalam perenungan pada persekutuan doa yang aku ikuti di UKM Kristen bertahun-tahun lalu.

Aku ingat kami merenungkan pertanyaan tersebut dan sharing, kira-kira bagaimana Yesus akan menjalani hidup kami. Aku membayangkan jika Yesus akan bangun pagi-pagi sekali, saat teduh, bersih-bersih rumah (Yesus gak mungkin males saat teduh lah ya, hihihi), lalu Ia akan menyiapkan sarapan, duduk sarapan bersama eyangku-mengobrol tentang banyak hal-mendengarkan eyang menceritakan tentang apapun, lalu Ia berangkat kuliah naik motor dengan santai tanpa ngebut sambil ngobrol dengan BapaNya atau bernyanyi-nyanyi - tersenyum melihat mereka yang ngebut. Yesus tidak akan telat tiba di kampus, Ia membantu kawan yang belum mengerjakan tugas - bukan memberi contekan, sesekali Ia bercanda dengan kawan-kawannya-tentunya bukan lelucon kotor yang dikeluarkannya, tidak pula gosip, tapi tanpa begitupun Ia mampu membuat orang lain tertawa, sense of humour Nya terbaik, dst. Yesus menjadi diriku dalam versi terbaik.

Membayangkan Yesus menjalani kehidupanku sangatlah menarik, membayangkan Dia berbicara, kuliah, ikut ujian, pelayanan, dll. Aktivitasnya kurang lebih apa yang aku lakukan TAPI minus DOSA pastiiii... plus hubungan mesra dengan Bapa Surgawi. Saat kita memberikan Yesus tempat istimewa dalam hati dan hidup kita, Dia akan melakukan berbagai hal dengan caraNya, dan PASTI, hidup kita akan berbeda. Aku yang sekarang (memiliki Yesus) akan berbeda dengan aku yang sebelumnya. Tentu saja, yang memimpin adalah Yesus di dalamku, biar Yesus saja yang semakin bertambah dan aku yang semakin berkurang. Kira-kira demikianlah seharusnya hidup kita saat kita telah menerimaNya sebagai Juruselamat kita. KehadiranNya nyata nampak dalam hidup kita. ”Tapi ini sulit, aku gak bisa Tuhan, jeritku dalam hati, kenapa Tuhan tidak membiarkanku seperti ini saja?”

“Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Dia tidak akan membiarkan kita seadanya. Dia akan mengubah kita menjadi seperti Kristus.” 
- Max Lucado
Beberapa waktu kemudian aku mendapat kesempatan membaca sebuah buku yang di dalamnya bertuliskan seperti ini : Bagaimana, kalau Yesus menjadi anda untuk satu hari? Max Lucado dalam bukunya ini, Just Like Jesus, mengatakan bahwa untuk menjadi serupa dengan Kristus harus dimulai dari memiliki hati seperti hati-Nya dan hal itu dimulai dengan pembentukan hati oleh Roh Kudus. Kita perlu belajar memiliki hati seperti hatiNya. Ia menjabarkan ciri hati Kristus yang harus dimiliki oleh umat-Nya, yaitu hati yang mengampuni, penuh belas kasihan, mau mendengar, hati yang haus akan Tuhan, haus beribadah, terfokus pada Allah, jujur, murni, penuh pengharapan, bersukacita, dan tabah. Berikut ini beberapa ciri hati Yesus yang harus kita miliki:


HATI YANG MENGAMPUNI

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”
(Kolose 3:13)

Mengampuni memang sulit tapi Yesus melakukannya, mari kita pandang Yesus yang telah memberikan teladan pengampunan terlebih dahulu terhadap kita. Ingat malam dimana Dia membasuh semua kaki murid-muridNya? Yesus bukannya tidak tahu kalau di antara murid-muridnya akan mengkhianati dan menyangkalNya tapi nyatanya Dia tetap membasuh kaki mereka. Dia memberikan anugerahNya kepada mereka yang tidak pantas diampuni TERLEBIH DAHULU. Dia menawarkan kasih dan pengampunanNya tanpa diminta dan memberikannya cuma-cuma. Kupikir, apa yang kita alami tidak lebih menyakitkan dari yang Dia alami, tapi Dia tetap mengampuni yang menyakitiNya. Inilah yang harus kita teladani


HATI YANG MENDENGAR

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.” 
(Yakobus 1:22-23)

Yesus dalam khotbahNya berkali-kali mengatakan : Siapa bertelinga hendaklah Ia mendengar. Seperti yang Yesus mendengar BapaNya dan taat, kita sangat perlu dengar-dengaran dengan Firman dan kehendak Allah di hidup kita. Bagaimana cara mendengarkan Tuhan? Dimulai dengan Alkitab yang terbuka dan membiarkan Dia berbicara melalui firmanNya yang berisi kehendak dan isi hatiNya, seperti yang Yesus lakukan. Lalu, lakukan! Semudah sekaligus sesulit itu. 


HATI YANG JUJUR

“Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.” 
(Efesus 4:25)

Pernahkah mendapati Yesus berdusta? Sepanjang hidupnya selama 33 tahun kehidupan Yesus di muka bumi, tak ada cerita tentang kebohonganNya sekalipun keadaan Yesus sangat mendesak. Bagaimana dengan kita? Terkadang kita menambah atau mengurangi kebenaran, berbohong demi kebaikan, berdusta untuk melindungi diri kita, dll, apapun itu namanya, tetap saja kita tidak jujur. Bahkan kita menyampaikan hanya setengah kebenaran dan berkata kita telah jujur. Kita perlu meneladani hati Yesus yang jujur, yang tidak ada dusta 


HATI YANG MURNI

“sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” 
(Markus 7:21-22)

Hati manusia dipenuhi dengan segala kejahatan, hal-hal terburuk yang ingin dilakukan. Berbeda dengan hati Yesus yang murni. Setiap hari hatiNya dimurnikan oleh firman Tuhan dan Ia menjaga hatiNya sungguh-sungguh supaya tidak ditumbuhi benih yang jahat. Mudah bagi Yesus untuk merasa sombong karena kuasa yang dimilikiNya, tetapi nyataNya Ia mengakui dan menyadari karya Allah di dalamNya dan memuliakan Allah. Yesus memilih apa yang ingin Dia rasakan dengan selektif sehingga tindakanNya juga selektif. Perbuatan dan perkataan kita adalah cermin dari hati kita.


HATI YANG PENUH PENGHARAPAN

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
(Roma 12:12)

Yesus berkata bahwa segala sengsara yang harus dialamiNya telah dinubuatkan. Dia melihat tujuan dalam penderitaanNya sebagai pemenuhan rencana besar Allah. Dia tidak membiarkan diriNya mengasihani diriNya atau mengutuki keadaan. Dia tetap berharap pada BapaNya dan meminta namun dengan rendah hati menginginkan kehendak BapaNya yang terjadi karena Ia tahu rancangan Allah adalah yang terbaik.

Kita perlu berlatih agar memiliki hati seperti hatiNya. Allah ingin agar kita menempatkan Kristus sebagai TELADAN atas seluruh hidup kita (Roma 8:28-29). Dia mau kita menjadi serupa dengan gambaran anakNya, lewat segala sesuatu yang kita alami. Melalui pilihan-pilihan yang kita ambil, Dia ingin membentuk hati kita menjadi serupa dengan Kristus.

Sebelum melakukan sesuatu, kita perlu menanyakan pertanyaan penting ini:

Apakah ini membuatku makin SERUPA dengan Kristus?

Friday, January 1, 2021

Anugerah Istimewa bagi Keluargaku: Sebuah Kesaksian mengenai Covid-19




by Mathilda A. Batlayar Tanasale

Berbicara tentang anugerah dalam iman Kristiani tentu berhubungan dengan kasih Allah. Dalam bahasa Yunani, anugerah disebut dengan kata “charis” (χαρης). Merangkum apa yang disampaikan oleh Perjanjian Baru, kata ini bermakna kemurahan hati Allah yang tidak pantas diterima oleh orang yang layak dihukum.

Saya pribadi adalah orang berdosa yang harus dihukum, namun Allah memberikan kasih karunia-Nya pada saya melalui Yesus yang lahir di dunia. Yesus lahir untuk mati bagi saya—manusia berdosa. Yesus lahir untuk menebus dosa saya, sehingga saya boleh merasakan kasih karunia Allah dan oleh kasih karunia itu saya mendapatkan hidup kekal. 

Di tahun 2020 yang baru saja lewat beberapa hari lalu, ada banyak sekali kasih karunia Allah yang saya dan keluarga alami—terutama di masa pandemi Covid-19. Kami benar-benar bersyukur karena senantiasa merasakan kasih karunia Allah dalam kehidupan keluarga dan pelayanan. Walaupun begitu, bukan berarti kami terbebas dari pergumulan yang mengikuti pandemi tersebut… dan hal itulah yang akan saya bagikan di sini.

Ketika pandemi mulai muncul pada Maret 2020, penyusunan skripsi Dave (anak sulung kami) terkena imbasnya. Skripsi yang sudah sampai bab 3 harus dirombak total: ganti judul, ganti topik, dan ganti metode. Durasi pengerjaan skripsi yang diberikan hanya sampai awal Juni 2020. Kami dapat merasakan tekanan yang dialami Dave, namun kami percaya Allah pasti menolong dia sampai tepat pada waktu-Nya. Kami mendampingi dan berdoa agar Dave memiliki hati yang damai sejahtera dan suka cita dalam penyusunan skripsi dari awal ini. Puji Tuhan Dave dapat menyelesaikan skripsi tepat waktu. Sungguh nyata kasih karunia Allah pada Dave yang dapat menyelesaikan skripsi dalam waktu yang singkat.

Atensi kami terhadap Dave tentu tidak terlepas dari pemberlakuan #StayatHome #dirumahaja oleh pemerintah. Padahal sebelum pandemi terjadi, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Namun melalui #dirumahaja inilah, kami merasakan kasih karunia Allah untuk mengembalikan peran kami sebagai orang tua dan keluarga yang sudah menerima kasih karunia Allah. Karena itulah kami sangat menikmati waktu kebersamaan walau ada perasaan aneh karena 24 jam selalu bersama. Banyak waktu yang kami pakai untuk berbicara dari hati ke hati, berdiskusi, family altar, renungan bersama, bermusik dan berkarya bersama. Tidak hanya itu, di masa-masa keterbatasan ruang gerak seperti saat ini, Tuhan justru memberikan banyak kesempatan pada kami dalam pelayanan virtual.

Namun dari sekian momen yang kami alami selama pandemi ini, puncaknya terjadi pada bulan November 2020. Di hari ulang tahun pernikahan ke-24 antara saya dan suami, “hadiah” yang didapatkan adalah ketika kami sekeluarga terpapar Covid-19. Iya, totally. Kami tidak pernah membahas asalnya dari siapa, di mana kenanya, mengapa bisa kena sementara kami sangat memperhatikan protokol kesehatan.

Di awal November, Dave mengalami demam selama tiga hari dan kehilangan indra penciuman (tapi dia tidak lapor ke saya). Setelah Dave sembuh, giliran saya yang demam dan kehilangan indra penciuman dan perasa. Awalnya saya pikir karena batuk-pilek dan alergi. Saya memiliki alergi cuaca; jika musim berganti, saya pasti batuk-pilek dan kehilangan suara sebagai tanda alergi kambuh. Setelah itu, Joy—anak kedua—mengalami demam dan kehilangan indra penciuman selama tiga hari (dia juga tidak memberitahu kami karena dipikirnya itu hanya batuk-pilek). Terakhir, giliran suami yang kena demam dan kehilangan indra penciuman. Menyadari ada yang aneh (bagaimana bisa satu keluarga terkena penyakit yang serupa dalam waktu singkat), saya dan suami menjalani tes swab dan hasilnya kami positif terkena Covid-19. Dengan diagnosis tersebut, kami memutuskan agar anak-anak juga menjalani tes swab

Selama menunggu hasil swab anak-anak, kami sudah melakukan isolasi mandiri di rumah dan memberlakukan prokes dengan ketat bahkan sampai pakai sarung tangan. Kami bahkan sudah membicarakan apa yang harus dilakukan jika hasil tes swab anak-anak ternyata negatif. Namun karena hasil tes tersebut menunjukkan bahwa anak-anak juga positif, kami bisa melakukan isolasi mandiri bersama di rumah. Kami tak dapat membayangkan kalau yang kena hanya saya dan suami tentu kami harus berpisah dengan anak-anak. Tapi mungkin bagi Tuhan, sepertinya ini yang akan lebih baik bagi kami… dan apapun yang Dia izinkan terjadi, kami tetap bersyukur karena Dialah yang menopang kami untuk tetap beriman serta bersandar penuh pada anugerah-Nya. Kami juga bersyukur karena Covid-19 yang kami alami termasuk dalam kategori yang ringan, sehingga anak-anak masih bisa melakukan berbagai aktivitas meskipun sedang isolasi mandiri (misalnya mengarang lagu, kuliah, main musik, menyanyi dan sebagainya). Walaupun begitu, mungkin bisa dikatakan tingkatan Covid-19 yang saya alami cukup berat karena ketika berbicara, saya jadi batuk dan nafas sangat pendek (tapi tidak sesak napas).

Selama menjalani masa isolasi mandiri, kami sangat merasakan bahwa Allah selalu bersama kami. Dia mengirimkan segala yang kami butuhkan melalui jemaat yang begitu mengasihi kami. Mereka mengirimkan vitamin, obat-obatan, telur, suplemen, buah-buahan, sayuran, dan makanan jadi sehingga saya tidak perlu memasak. Bahkan kebutuhan dana yang sangat besarpun Allah siapkan melalui mereka. Betapa luar biasanya Allah yang bekerja di hati jemaat dan mereka meresponinya dengan taat untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya bagi kami!

Ketika menerima hasil swab kedua, kami juga sangat bersyukur karena suami sudah negatif sedangkan saya dan kedua anak masih positif. Bagaimanapun kami tetap harus menerapkan protokol kesehatan di rumah karena hanya suami yang sudah negatif. Sore hari setelah menerima hasil swab, kami membuat rekaman audio dan video untuk pelayanan Natal—secara virtual—gereja tempat kami melayani. Hanya karena kasih karunia dan anugerah Allah, kami bisa menyelesaikannya walau saya harus take vokal berulang-ulang karena masih batuk dan napas pendek yang membuat saya sulit untuk menyanyi.

Banyak waktu yang Allah berikan pada kami selama masa isolasi mandiri membuat kami semakin banyak berkarya melalui talenta yang Allah berikan. Anak-anak semakin banyak membuat lagu dan musik untuk beberapa perayaan Natal, baik untuk gereja kami maupun untuk gereja lain. Bersyukur Tuhan memberi kesempatan pada saya untuk membuat channel Youtube khusus untuk anak-anak usia balita dengan membuat video singkat cerita Alkitab. Suami lebih banyak berdiam diri di hadapan Tuhan untuk menyelidiki Firman-Nya. Itulah respon kami terhadap anugerah Allah yang telah kami terima. Dalam proses pemulihan dari Covid-19, Dia masih tetap menguatkan kami untuk melayani jemaat melalui video call dan Zoom.

Jika mendengar cerita orang-orang yang terpapar Covid-19, tentu kami juga sangat sedih. Namun ketika mengalaminya secara langsung, kami justru bisa merasakan sukacita; perasaan takut akan kematian itu sama sekali tak muncul dalam benak kami. Kami hanya merasakan bahwa kasih karunia Allah pada kami sangat luar biasa. Dalam kelemahan kami justru kami dapat merasakan kasih karunia Allah yang sangat luar biasa, dan kami percaya Dia memiliki tujuan khusus melalui pandemi ini.


--**--


Kami sangat bersyukur di akhir tahun 2020 ini Tuhan memroses iman kami sekeluarga untuk lebih memahami rencana Tuhan dalam kehidupan keluarga dan pelayanan. Kami percaya Allah sedang menyiapkan kami untuk sebuah tanggung jawab besar di tahun 2021. Memang saat ini kami belum tahu dalam bentuk apa, tapi yang kami rasakan adalah sekarang waktu-Nya untuk memroses kami. Kami senang dan bersyukur karena dalam mengakhiri tahun 2020 memiliki pengalaman iman bersama Yesus.

Siapakah kami sehingga kami dilayakkan untuk menerima kasih karunia Allah? Kami orang berdosa yang tak layak menerima anugerah Allah. Tetapi Allahlah yang terlebih dulu mengasihi kami. Dia rela mati untuk menebus dosa kami dan agar kami beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Jelas bahwa semuanya itu bukan karena kebaikan atau intensitas pelayanan kami; hanya karena inisiatif Allah, Dia memilih kami untuk mengalami pergumulan besar selama pandemi untuk membawa kami semakin mendekat kepada-Nya dan mempererat relasi bersama anggota keluarga dan jemaat. Kami hanya bisa membalas kasih karunia Allah dengan meresponi panggilan-Nya sebagai pelayan-Nya melalui talenta yang telah diberikan pada kami.

Ketika merenungkan kembali siapakah kami sehingga kami masih bisa bernapas, diampuni dosanya, diberi jaminan hidup kekal, melayani Allah, dapat melewati tahun 2020 ini dan memasuki tahun 2021, itu semua semata-mata hanya karena anugerah-Nya. Mungkin itulah yang sedang Allah ingin ajarkan kepada kami—dan juga pada setiap orang percaya: agar kita menyadari dan menghargai anugerah-Nya yang terus-menerus dinyatakan pada kita.

Segala kemuliaan hanya bagi TUHAN.

*

Pearl’s note:
Terima kasih untuk kesediaan Ibu Mathilda A. Batlayar Tanasale dalam membagikan kisah pergumulannya selama berjuang menghadapi Covid-19. Kiranya kasih karunia Tuhan senantiasa melingkupi kehidupan Ibu Mathilda dan keluarga.