by Tabita Davinia Utomo
“Kalau udah mengampuni, no more fishing.”
Ketika mendengarkan kalimat tersebut dari seorang dosen konseling, saya jadi bertanya pada diri sendiri. “Loh, bukannya kita punya memori? Tujuan Tuhan kasih memori kan, biar kita belajar. Lah ini gimana kalo nggak sengaja inget kenangan buruk di masa lalu?”
Beberapa waktu kemudian, dalam sebuah obrolan singkat, seorang teman membagikan ungkapan dari Pdt. Julianto Simanjuntak yang menegaskan perkataan dosen itu, “Mengampuni adalah ketika kita mampu mengingat tanpa merasa sakit lagi.”
Pearlians sering nggak habis pikir kan, kalau ada peristiwa-peristiwa yang berjalan beriringan dan menekankan satu poin yang sama? Seolah-olah Tuhan mengizinkannya terjadi lalu kita jadi cocoklogi. Hahaha. Itulah yang saya rasakan ketika di minggu-minggu terakhir perkuliahan semester tiga lalu, saat sebagian topiknya membahas tentang pengampunan—dan memang pada saat itu saya sedang bergumul dengan hal itu. Bagaimana bisa saya bersikap baik-baik saja, jika realita yang sedang dijalani membuat hidup ini semakin terlihat suram dan terpuruk? Bagaimana saya tetap bisa “tertawa tentang hari depan”, jika saya sering tergoda untuk “memancing” masa lalu saya dan ingin memproyeksikan kesalahan yang ada di sana pada siapa pun (termasuk diri sendiri)?
--**--
Tema mengenai pemulihan dan pengampunan sudah sangat sering (bahkan hampir selalu) dibahas di gereja maupun di komunitas-komunitas lainnya. Di
Pearl sendiri ada banyak artikel tentang
pengampunan. Jangankan dari sisi teologi, banyak orang yang juga membahasnya dari sisi psikologi. Bahkan mungkin ada
Pearlians yang pernah mendengar istilah
self-healing. Tapi, tapi... kenapa kita masih aja susah buat mengampuni? “Mau sih, buat mengampuni. Kan, pengampunan adalah awal dari pemulihan. Cuma kok, berat banget yaa buat dilakuin. Sedih aku tu...”
*sigh
Tenang, Pearlians! Kalau ada yang berpikir demikian, kamu tidak sendirian—karena saya juga begitu hehe... Yuk, kita kulik sedikit kenapa pengampunan itu sulit untuk dilakukan—walaupun secara teori kita sudah paham betul bahwa Tuhan pun ingin agar kita saling mengampuni.
1. Kita kan, manusia berdosa
Dosa membuat kita tidak bisa menilai dengan objektif kebenaran, dan gagal dalam memahami kasih Allah yang tercurah bagi kita, orang-orang berdosa. Akibatnya, tidak ada setitik pun keinginan untuk mengampuni orang lain—atau justru membuat kita self-pity karena merasa terikat untuk selamanya dalam masa lalu yang kelam. Walaupun natur dosa ini sudah ditaklukkan melalui Yesus Kristus, tapi kita kan, masih hidup di dunia yang tercemar ini, Pearlians. Iya, Dia menguduskan umat pilihan-Nya, tapi ingat: pengudusan itu—seringkali—menyakitkan. Salah satu proses tersebut diwujudkan melalui “training” pengampunan.
Seorang teman yang kembali ke asrama setelah berkuliah dari rumah (dan mengalami ups-and-downs selama tinggal bersama keluarganya) pernah berkata, “Di rumah itu kayak di purgatory (api penyucian).” Yes, sebagai manusia berdosa, kita—secara tidak sadar—sudah terlena dengan “kenyamanan” yang semu di dunia fana ini. Kita membenci perubahan yang menguduskan itu, sehingga kita memilih untuk merasionalisasi (atau memproyeksikan) luka maupun trauma yang ada.
Rasionalisasi itu contohnya seperti ini:
“Nggak apa-apa. Kan, abis putus, aku jadi lebih deket sama Tuhan.”
(padahal di balik ungkapan ini, ada hati yang masih mendendam pada mantannya yang sudah menikah dengan orang lain, yang dipacarinya satu minggu setelah mereka putus.)
“Kan, aku juga orang berdosa. Ya udahlah nggak apa-apa, toh suamiku juga lahir dalam keluarga yang disfungsional. Emang ini salib yang harus aku pikul...”
(sebuah ungkapan yang tercetus dari seorang istri yang mengalami KDRT, namun sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya untuk mengampuni suaminya dengan sungguh-sungguh.)
Kalau proyeksi kemarahan? Hmm… contohnya banyak banget. Ada yang karena tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya sejak kecil, dia jadi orang yang agresif-destruktif agar diperhatikan orang lain. Ada juga orang yang karena pernah dilecehkan/diperkosa sebelumnya (baik secara fisik, verbal, maupun seksual), dia jadi tidak mau berelasi dengan lawan jenis. Ada juga orang yang terlihat sangat aktif dalam pekerjaan dan pelayanan, tapi sebenarnya dia sedang melampiaskan kemarahannya terhadap pasangan yang berselingkuh. Oke deh, mungkin contoh pertama itu “buah” dari kemarahan yang terpendam dan tidak tersalurkan sebagaimana mestinya.
2. Firman Tuhan dianggap klise
Rasanya orang-orang yang ada di Alkitab itu terlalu suci untuk dijadikan panutan, ya? Padahal mereka juga orang-orang berdosa. Salah satu contohnya adalah Daud, yang menulis Mazmur 23 dan Mazmur 103. Konteks pergumulan kita dengan Daud mungkin tidak 100% sama, tapi setidaknya dua mazmur itu menggambarkan betapa bahagianya orang yang hidupnya bersandar penuh kepada Allah, dan dengan sadar menerima pengampunan-Nya serta tidak take it for granted. Masalahnya adalah... proses yang kita jalani tidak akan bisa berbuah secara instan, tapi kita justru menginginkannya demikian. Padahal Daud juga melalui proses pengudusan itu—dan dia melaluinya dengan jatuh-bangun. Lha wong dia manusia berdosa kayak kitaaa...
3. Kita aja belum mengampuni dan berdamai dengan diri sendiri
Matius 22:39 berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tindakan kasih yang dimaksud ini bukan hanya tentang memberikan hadiah atau melayani satu sama lain. It talks deeper, termasuk tentang pengampunan dan penerimaan. Pertanyaannya, kalau kita belum menginternalisasi dua hal dari Allah tersebut secara sadar, bagaimana kita bisa meneruskannya pada orang lain? Ibarat wadah yang bocor, lama-kelamaan kita akan jadi cepat lelah untuk menerapkannya pada mereka—apalagi kalau yang kita lakukan tidak bergayung sambut.
Kalau boleh jujur, rasanya mengingat memori buruk jauh lebih cepat connect-nya daripada memori yang manis. Kenapa? Karena natur kita sebagai orang berdosa memang seperti itu: literally tidak ada satupun hal baik yang berkenan bagi Allah. Memori kita—meskipun sudah mencoba untuk dihapus—tapi tetap saja ada satu atau dua stimulus yang bisa membuat kita teringat pada luka-luka di masa lalu. Jadi kalau ada orang yang bilang agar kita melupakan trauma maupun hal-hal yang melukai kita, sorry to say: kita nggak akan pernah bisa melupakannya. Kalaupun “berhasil”, sebenarnya kita sedang menekan kenangan-kenangan itu ke unconsciousness kita (lihat gambar). Jika tidak segera dibereskan, hal-hal terpendam itu akan dimanifestasikan melalui pikiran, perkataan, dan tindakan kita. It will get worse if we ignore that pain.
Lalu bagaimana kita harus menyikapi luka-luka itu?
1. Berikan waktu bagi diri (dan orang lain) untuk berduka
Salah satu alasan kenapa kita cenderung memendam luka adalah karena tidak ada ruang yang tersedia untuk berduka. Apalagi bagi orang-orang yang dianggap teladan (misalnya hamba Tuhan), ada stigma yang menekankan bahwa mereka tidak boleh menangis jika ada
anggota keluarganya yang meninggal (sekalipun itu pasangan hidupnya!)
Seorang dosen saya pernah bercerita ada pendeta yang kehilangan pasangannya, dan saat upacara berlangsung, dia mendengar ada orang yang berkata, “Loh kan, situ pendeta. Kok, nangis!? Harus kuat, dong!” Saya lupa seperti apa (dan kapan) persisnya kejadiannya, tapi yang jelas beliau tidak diizinkan untuk menunjukkan kerapuhannya “hanya” karena statusnya sebagai hamba Tuhan. Barulah setelah konseling dengan dosen tersebut, pendeta itu bisa mengeluarkan tangisan dan semua unek-unek terpendamnya.
Tuhan tidak melarang kita untuk berduka. Malahan, dalam Mazmur 34:19 dikatakan, “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” It’s okay to not be okay. Tuhan menghargai kejujuran ungkapan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan segala bentuk emosi lainnya yang kita sedang alami.
Well, jika tidak ada seorangpun yang bersedia menyediakan hati dan telinga bagi
Pearlians untuk berduka, saya sangat
suggest untuk konseling (sebagian
counseling center bisa dilihat
di sini). Melalui empati dan
reflective listening yang dilakukan konselor,
we will be helped to realize what we feel and think. Tapi selalu ingat yaa, apapun kondisi kita, Tuhan selalu bisa menghadirkan diri-Nya melalui berbagai cara yang unik—asalkan kita siap menerima intervensi dari-Nya dan taat pada setiap proses yang Dia berikan. Jangan lupa untuk siap-siap bangkit dari keterpurukan dan menyongsong masa depan yang penuh pengharapan bersama Tuhan :)
2. No more fishing
Sebagai manusia, kita sering ingin menyalahkan orang lain atas semua pengalaman buruk di masa lalu (apalagi kalau memang terbukti mereka berandil besar di situ). Tapi tidak jarang juga kita justru menyalahkan diri sendiri yang salah mengambil keputusan, bahkan mengasihani diri sendiri. Oke, berduka itu boleh, tapi mengasihani diri menunjukkan bahwa kita masih suka “memancing” masa lalu dan mengikatkan diri padanya. Pertanyaannya, bagaimana pemulihan bisa terjadi kalau kita masih mengingat DENGAN SENGAJA hal-hal buruk di sana dan blaming others (and ourselves)?
3. Let go and let God
Tidak ada seorang pun yang bisa mengampuni dengan kekuatannya sendiri. Kalaupun ada, fondasi pengampunannya belum tentu kasih Tuhan (agape love). Padahal, kekuatan pengampunan sesungguhnya hanya bersumber dari kasih agape Allah. Paulus menulis, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang tergadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Efesus 4:31-32) Aneh kan, kalau orang-orang yang (katanya) percaya kepada Yesus Kristus justru lebih sulit mengampuni dibandingkan mereka yang bukan orang percaya? Tapi memang di situ poinnya: semakin sulit sebuah pengampunan diberikan, semakin besar kesadaran kita (seharusnya) untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, dan membiarkan-Nya bertindak. Proses melepaskan masa lalu memang sulit, karena itu kita perlu secara bertahap untuk mengampuni. Then how? Berikut salah satu penerapan praktis yang bisa dilatih oleh Pearlians:
a. Uncover your anger
Alasan kenapa kita marah dan belum bisa mengampuni ini harus ditulis satu per satu secara spesifik dan sangat terperinci. Dari situ, kita bisa memahami betapa sulitnya pengampunan karena ada sangat banyak sudut dan segi dari hal-hal yang tidak bisa kita pahami. Pertama, seleksi dulu lalu tuliskan poin-poinnya secara umum. Setelah itu, pilihlah poin apa yang akan “dikerjakan” terlebih dulu dan tuliskan secara rinci. Kenapa harus diseleksi seperti ini? Karena pasti akan ada poin-poin yang overlap. Capek kan, kalau cuma muter-muter di situ doang? Lukanya sembuh nggak, bosen iya.
b. Make a decision with God
Ambil salah satu poin yang paling berat, agar beban di hati kita bisa terangkat cukup banyak. Entah sepertiga, seperempat, bahkan setengahnya. Walaupun prosesnya penuh air mata, tapi tahap ini—jika terlalui—akan sangat melegakan. Itulah sebabnya kenapa kita tidak bisa melakukannya seorang diri; once again, I suggest you to ask a help from a counselor! Kenapa kok saya menekankannya berulang kali; atau kenapa nggak cukup hanya dengan minta tolong ke teman? Karena tanpa tenaga profesional, semangat kita bisa hilang kapan saja—bahkan jadi kolaps. Iya, support system is a must—tapi ada kalanya mereka juga jenuh kalau luka kita tidak kunjung pulih (belum lagi kalau kitanya memang pada dasarnya tidak mau mengampuni, tapi hanya cari pembelaan). Apalagi decision with God ini tidak bisa hanya dilakukan satu kali untuk selamanya; it takes time and needs to be done again and again.
c. Working stage
Misalnya kita sudah memiliki 10 poin yang terdaftar pada tahap pertama. Nah, kalau sudah ada poin yang dikerjakan dan cukup tuntas, ambil poin yang lain. Demikian seterusnya sampai poin-poin itu semakin berkurang. Anehnya, kecenderungan reborn love untuk muncul itu sangat bisa terjadi.
d. Reborn love
Reborn love yang dimaksud berasal dari kita ke orang yang sedang kita perjuangkan untuk diampuni, bukan dari dianya ke kita. Kadang-kadang yang bersangkutan bisa saja sudah meninggal terlebih dulu. Namun jika dia masih hidup, reborn love ini akan mulai bisa tumbuh. Tetap ingat untuk selalu berserah kepada Tuhan dan mengizinkan-Nya bekerja sesuai kehendak-Nya, ya. Siapa tahu proses pengampunan ini bukan hanya memulihkan satu orang saja (yaitu kita), tapi bahkan seluruh keluarga maupun sistem relasi yang rusak antara kita dengan orang lain.
Tahun-tahun sebelumnya mungkin adalah the worst year(s) ever karena ada banyak luka yang belum terselesaikan. But it’s okay, adalah lebih baik kita menyadari bahwa luka-luka ini harus dibereskan dan mensyukuri kehadiran Tuhan di masa-masa sulit ini. Jika seandainya ada masa-masa yang membuat kita sulit untuk bersabar pada proses yang terbentang, kiranya ungkapan dari Adel Bestavros ini menguatkan kita:
“Patience with others is love. Patience with self is hope. Patience with God is faith.”
— Adel Bestavros
“Pengampunan itu harus terjadi dulu, baru lukanya disembuhkan. Itu bedanya orang percaya dari yang bukan orang percaya. Kalau kamu udah mengampuni, Tuhanlah yang memampukanmu untuk melihat orang itu dari perspektif yang baru.”
— Ibu Esther Susabda
Catatan penulis:
Sebagai pelengkap artikel ini,
Pearlians bisa menyimak sebagian kisah di atas
di sini dan
di sini :)
By the way, saya juga merekomendasikan surat Filemon untuk bacaan tambahan hehe...