by Mekar Andaryani Pradipta
Memasuki minggu terakhir di bulan Juli, kita masih akan belajar dari perumpamaan yang diajarkan Yesus. Kali ini adalah tentang hakim yang tidak benar, seperti yang tertulis di Lukas 18:1-8. Perumpamaan ini unik; kalau perumpamaan-perumpamaan lain punya makna yang tersirat, Lukas justru menegaskan maksud perumpamaan ini sejak awal.
Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu.
(Lukas 1:8)
Ayat tersebut senada dengan judul yang diberikan oleh Alkitab versi The Passion Translation untuk perumpamaan ini, yaitu “Jesus Gives a Parable about Prayer”.
Perumpamaan ini sebenarnya sederhana. Ada seorang hakim yang tidak mengenal Tuhan, dan ada pula seorang janda miskin yang memohon kepada hakim itu agar memberinya keadilan. Meskipun permintaannya tidak dipedulikan oleh sang hakim, si janda miskin tetap memohon siang dan malam—sampai akhirnya hakim itu berubah pikiran. Dia mengabulkan permohonan si janda miskin, agar janda itu tidak mengganggunya lagi.
Yesus menutup perumpamaan ini dengan perkataan, “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru-seru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka?”
Hal pertama yang bisa kita pelajari dari perumpamaan ini adalah tentang pribadi Allah. Sama seperti pada pengajaran Yesus tentang pengabulan doa (Matius 7:7-10), Yesus membandingkan pribadi Allah dengan sosok yang bertolak belakang dari manusia yang berdosa. Allah digambarkan sebagai Hakim yang Adil dibandingkan dengan hakim yang tidak benar. Allah sebagai Bapa yang Baik, dibandingkan dengan bapa yang jahat.
Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
(Matius 7:11)
Yesus ingin kita belajar bahwa Allah itu baik dan Dia hanya memberikan pemberian yang baik bagi kita. Tapi, jujur saja, berapa kali kita berprasangka kepada Allah ketika hidup kita tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Kita lupa bahwa “baik” di sini adalah menurut hikmat dan kedaulatan Tuhan, bukan “baik” menurut keinginan kita. Kita lupa bahwa kita hanyalah manusia yang tidak akan mampu menyelami pikiran Allah, jika Dia tidak menyatakannya kepada kita.
Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir.
(Mazmur 139:17-18a)
Ketika kita berdoa, mengenal pribadi Allah akan membuat kita punya sikap hati yang benar. Kita dimampukan untuk memiliki hati yang memahami bahwa jawaban Allah—apapun itu—adalah baik untuk kita, dan percaya bahwa Allah—sebagai Bapa yang Baik—tidak pernah merancang hal yang jahat untuk kita, anak-anak-Nya.
Hal kedua yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah kesabaran dan keteguhan hati janda miskin. Melihat kemiskinannya, janda miskin ini tidak punya sumber daya lain untuk mendapatkan haknya. Karena yang dihadapinya adalah hakim yang tidak benar, seandainya si janda punya uang pelicin, bisa saja kasusnya langsung selesai. Tapi, alih-alih berutang atau mencuri, dia memilih menjalani proses yang memang seharusnya dia jalani. Janda miskin itu tidak mengambil jalan pintas... hingga akhirnya kasusnya dapat teratasi.
Banyak orang ketika berdoa menginginkan hasil yang instan, namun lupa bahwa Tuhan bukan tukang sulap. Padahal Dia adalah Allah yang berkenan kepada proses. Meski demikian, di saat yang sama, Dia juga bukanlah Allah yang mengulur-ulur waktu sebelum memberikan pertolongan—bahkan di luar dari yang bisa kita bayangkan (Lukas 18:7b). Ya, Dia adalah Allah yang tepat waktu.
Jawaban doa yang seakan tertunda bisa menampakkan sikap hati kita sesungguhnya. Sebagai contoh, Alkitab mengisahkan tentang kegagalan Saul dalam menanti-nantikan waktu Tuhan (1 Samuel 13). Pada waktu terhimpit serangan orang Filistin, Saul berada di Gilgal. Seharusnya dia menunggu Samuel untuk bersama-sama mempersembahkan korban bakaran. Tapi kenyataannya, karena tuntutan orang banyak dan ketidaksabarannya sendiri, Saul justru melanggar hukum Allah. Bukannya menunggu Samuel, Saul sendirilah mempersembahkan korban bakaran. Karena itulah, saat Samuel datang, dia menegur Saul dan menyatakan hukuman Allah untuk Saul.
Memang tidak mudah untuk bersabar menunggu sampai pertolongan Allah datang. Rasanya membosankan ketika melakukan sesuatu yang seakan sama setiap hari dan berusaha tanpa henti, namun hasilnya tidak juga kelihatan. Lalu, apakah kita berhak untuk berhenti berharap? Kiranya perkataan Yesus ini menguatkan kita semua,
“He will not delay to answer you and give you what you ask for. He will give swift justice to those who don’t give up. So be ever praying, ever expecting, just like the widow was with the judge.”
(Luke 18:7b-8a)
Di masa yang sulit dan penuh ketidakpastian ini, mungkin ada di antara kita yang merasa seperti janda miskin. Berdoa menaikkan permohonan—bahkan berulang kali—setiap hari, tapi Tuhan seolah-olah tidak peduli. Namun setelah membaca tulisan ini, mari mengingat lagi pribadi Allah dan membangkitkan kembali iman kita. Dia adalah Allah yang baik, yang tahu waktu terbaik untuk setiap doa anak-anak-Nya. Dia tidak berlambat-lambat, melainkan selalu menjawab tepat pada waktu-Nya. Bagian kita adalah tetap berdoa dan berusaha dengan keteguhan iman dan ketekunan menunggu timing Tuhan. Be still, and know that He is God, The Emmanuel.