Monday, April 27, 2020

Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya dan Tomas



by Febe Frisela

(Lukas 24:36-39, 47-49;  Yohanes 20:19-29)

Surat dari kami, murid-murid-Nya... 

Air yang menjadi anggur telah menjadi saksi bisu. Kebersamaan kita di Kana... Lima roti dan dua ikan yang menjadi katering prasmanan dadakan, kebersamaan kita di danau Tiberias... 

Sejumlah besar kawanan babi yang terjun dari tepi jurang ke dalam danau karena dirasuki 'Legion dan komplotannya’, juga menjadi saksi bisu kebersamaan kita di Gerasa. Kau menunjukkan kasih-Mu yang mengganggap keselamatan satu orang berharga.

Belum lagi kebersamaan kita di atas perahu... Topan, angin dan air yang mengamuk hebat, menjadi saksi bisu. Kami melihat betapa seketika mereka taat, saat diredakan dan diteduhkan, menjadi peneguhan bahwa kuasa-Mu, Yesus, sungguh dahsyat... 

Kebersamaan kita yang manis... Kebersamaan kita yang memukau... Kebersamaan kita yang menakjubkan... Kebersamaan kita yang menyenangkan.... 

Tapi, mengapa perpisahan kita begitu menegangkan dan mengenaskan? 

Kau ditangkap. Kau dituduh. Kau diejek. Kau dihujat. Kau dipukul. Kau ditikam. Kau dicambuk. Kau dipaku. Kau diperlakukan semena-mena dan semau-maunya. Kau disalib. Kau mati. 

Maaf... Di Getsemani, semua murid meninggalkan-Mu dan melarikan diri. 

Maaf... Kami takut, kami sangat takut. 

Maaf… Kami bersalah. Kami payah. Kami tidak tahu berterima kasih. Kami memikirkan diri kami sendiri. 

Setelah Engkau pergi, kami bersembunyi dibalik pintu-pintu yang terkunci. Kami takut pada orang-orang Yahudi. Kami merasa sendiri. Seperi tak ada harapan lagi. Begitu sepi, sunyi dan ngeri.

...... 

...... 

...... 

Tapi akhirnya, kami mendengar, kubur telah kosong, kain kafan tergeletak di tanah, Kau telah bangkit.

Lalu Kau datang dan berdiri di tengah-tengah kami. Bukan dengan penghakiman atas ketidaksetiaan kami. Tapi, Kau datang dan berkata... 

“Damai sejahtera bagi kamu. Damai sejahtera bagi kamu. Damai sejahtera bagi kamu.”

Tiga kali. Tiga kali Engkau membawa damai sejahtera, ketika Engkau menampakkan diri kepada kami – termasuk menampakkan diri kepada Tomas yang tidak percaya.

Kami mau menjadi seperti-Mu. Kami mau menjadi pembawa damai sejahtera-Mu. Kami mau mengingat perkataanmu dulu, “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” 

Iya, kami anak-anak-Mu, ingin hidup membawa dan membagikan damai sejahtera-Mu.

Thursday, April 23, 2020

Maria Magdalena: Terakhir dekat Salib, Termula dekat Kubur


by Eunike Santosa 

Halo teman-teman! Dalam rangka merayakan Jumat Agung dan Paskah, aku pengen mengajak temen-temen untuk mengenal seorang perempuan yang namanya sudah tidak asing lagi, yaitu Maria Magdalena. Siapakah dia? 

Sebuah puisi karya Eaton S. Barrett tentangnya berbunyi demikian: 
Not she with traitorous kiss her Saviour stung,
Not she denied Him with unfaithful tongue;
She, while apostles fled, could danger brave,
Last at His cross, and earliest at His grave. 
Maria Magdalena, bukan orang yang memberikan ciuman pengkhianatan seperti Yudas Iskariot. Dia juga bukan orang yang menyangkal Tuhannya seperti Simon Petrus. Ketika para murid lain kabur, dia berani tinggal dekat Kristus yang disalib, dengan resiko bahaya. Dialah orang terakhir dekat salib Kristus, dan yang paling pertama hadir di kubur-Nya. Seorang pengikut Kristus yang setia. 

Kita biasanya mendengar namanya dalam cerita Paskah sebagai salah satu perempuan yang datang ke kuburan Tuhan Yesus pagi-pagi benar. Ya memang bener sih, ga salah. Tapi ketika saya membaca dan meneliti lebih jauh tentang sosok wanita ini, ternyata ada banyak hal yang saya temukan tentang dia. Dan semakin jauh saya mempelajarinya, saya ikut terharu dan nangis sendiri. Hehe... Jadi, saya berharap, sebagaimana saya telah diberkati dan dikuatkan ketika saya menggali tentang sosok Maria Magdalena ini, kiranya kalian juga akan mendapatkan berkat yang sama. Yuk, mari kita belajar pelan-pelan. :) Maria Magdalena adalah... 
  1. Salah satu dari perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus (Matius 27:55, Lukas 8:1-3) 
  2. Salah satu perempuan yang menjadi saksi kematian Kristus di atas salib (Matius 27:56, Markus 15:40, Lukas 23:49, Yohanes 19:25) 
  3. Salah satu perempuan yang hadir saat Yesus dikuburkan (Matius 27:61, Markus 15:47) 
  4. Salah satu saksi awal dari Kebangkitan Kristus (Matius 28:1-10, Markus 16:1-8, Lukas 24:1-10, Yohanes 20:1-2) 
  5. Orang pertama yang Yesus menampakkan dirinya setelah bangkit (Markus 16:9, Yohanes 20:11-17) 
  6. Salah satu orang pertama yang memberitakan kabar kebangkitan Kristus (Matius 28:7, Lukas 24:9, Yohanes 20:18) 
  7. Bisa dibilang ketua dari para perempuan-perempuan pengikut Kristus atau setidaknya mempunyai posisi yang signifikan karena namanya sering dicatat duluan sebelum perempuan-perempuan lainnya (Matius 27:56, 61, 28:1; Markus 15:40, 47, 16:1; Lukas 24:10) 
Lumayan panjang kan, ‘rekam jejak’ Maria Magdalena ini? Hehehe… Saya tercengang sendiri waktu nge-list ‘penemuan-penemuan’ ini. Nah, itu adalah Maria Magdalena setelah menjadi murid Kristus. Tapi siapakah dia sebelumnya? Alkitab mencatat bahwa dia dulunya dirasuki oleh tujuh roh jahat, dan Yesus mengusir semua roh tersebut (Markus 16:9, Lukas 8:2). Namanya Maria Magdalena, yang menunjukkan bahwa dia berasal dari kota Magdala di provinsi Galilea (Matius 27:55). Kota ini katanya merupakan kota yang lumayan kaya raya karena industri tekstil di provinsi Galilea. Trus, menurut Lukas, para perempuan-perempuan ini melayani Kristus dengan kekayaan mereka (Lukas 8:3), jadi bisa diasumsikan kalau si mbak Maria Magdalena ini lumayan berduit sebelum dia melayani Kristus. 

Coba kita memahami hati Maria dengan menempatkan diri di posisinya. Ketika ketemu Yesus, Dia dibebasin dari belenggu roh-roh jahat. Beberapa komentator bilang, ketika seseorang dirasuki roh jahat, kemungkinan yang terjadi adalah dia jadi gila—alias ga bisa mengontrol pikirannya sendiri. Kebayang gak tuh, betapa menderitanya dia? Lalu datanglah Juruselamat yang melihat dia, dan membebaskan dia; seorang Pribadi yang melihat penderitaannya dan menyelamatkannya. Terus seiring berjalannya waktu, dia ikut Tuhan dan dia melihat bagaimana Pribadi ini menyembuhkan banyak orang, mengajar banyak orang, diikuti banyak orang. Sungguh waktu-waktu yang indah bagi Maria. 

And then… Tuhannya ditangkap, diadili depan Pilatus. Maria melihat Tuhannya dihina, diludahi, dicambuk, difitnah, dibenci oleh banyak orang (mungkin bahkan orang-orang yang tadinya mengelu-elukan Yesus!). Pribadi yang mengusir roh-roh jahat darinya, sekarang harus memikul salib yang hina dan berjalan ke Kalvari. Pribadi yang melihat dirinya dan segala kebutuhannya, sekarang dipaku di atas kayu salib. Tuhannya, yang dekat dengannya, yang tadinya banyak bercakap-cakap dengannya, sekarang menderita secara fisik, emosi, dan rohani, tergantung di salib. Tuhannya, yang dekat dengan hatinya, sudah mati. 

*menghela nafas sejenak…* 

Ketika saya merenungkan kisah Maria Magdalena ini, saya teringat akan sebuah lagu hymne. Lagu ini berasal dari wilayah perkebunan di Amerika Serikat pada masa perbudakan orang kulit hitam sekitar tahun 1899, judulnya "Were you there when they crucify my Lord?" Berikut saya terjemahkan liriknya. 

Apakah engkau di sana ketika mereka menyalibkan Tuhanku? 
Apakah engkau di sana ketika mereka menyalibkan Tuhanku? 
O, terkadang ini membuatku gemetar, gemetar, dan gemetar! 
Apakah engkau di sana ketika mereka menyalibkan Tuhanku? 

Apakah engkau di sana ketika mereka memaku-Nya di salib? 
Apakah engkau di sana ketika mereka memaku-Nya di salib? 
O, terkadang ini membuatku gemetar, gemetar, dan gemetar! 
Apakah engkau di sana ketika mereka memaku-Nya di salib? 

Apakah engkau di sana ketika mereka menaruh-Nya di kubur? 
Apakah engkau di sana ketika mereka menaruh-Nya di kubur? 
O, terkadang ini membuatku gemetar, gemetar, dan gemetar! 
Apakah engkau di sana ketika mereka menaruh-Nya di kubur? 

Maria tetap ada di sana, di setiap tahap penyaliban Kristus. Menyaksikan dengan hati bergetar Tuhannya disiksa. Saya mencoba menempatkan diri saya di posisi Maria, merenungkan Tuhanku, Yesusku, dipaku, disalib, mati… Buat saya. Karena saya. 

Seolah belum cukup kesedihan Maria, pada hari minggu pagi-pagi ketika ia dan perempuan-perempuan lainnya pergi ke kubur Yesus dengan membawa rempah-rempah bagi jenazah Yesus, dia menemukan pintu kubur Yesus terbuka, dan kubur itu kosong! Mereka pikir tubuh Kristus dicuri orang. Di injil Yohanes dicatat kalau si Maria Magdalena langsung lari ke murid-murid lain buat lapor bahwa tubuh Yesus hilang. Murid-murid Yesus ikut ke kubur itu dan melihatnya kosong, sehingga mereka beranggapan mayat Yesus memang hilang. Mereka semua balik dan meninggalkan kubur. Tinggalah si Maria Magdalena yang menangis sedih. Apa gak cukup Tuhannya dibunuh, trus sekarang mayat-Nya harus hilang pula dicuri? Why?

Lalu Yesus muncul dan bertanya, “Mengapa kamu menangis?” 

Ketika membaca kalimat pertanyaan yang Tuhan Yesus lantarkan ini, saya coba membayangkan wajah Yesus yang penuh kelemahlembutan dan kesabaran, bertanya kepada Maria yang sedang menangis tersedu-sedu. Maria akhirnya sadar bahwa itu Tuhan Yesus, ketika namanya disebut (Yohanes 20:16). Disini saya melihat, ada sentuhan yang sangat pribadi dan personal dari pertanyaan Yesus dan ketika Yesus menyebutkan nama Maria. Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya pertama kali setelah Dia bangkit kepada Maria, seorang perempuan. I don’t know about you, tapi buat saya, kalo saya jadi Maria, saya akan merasa sangat tersentuh, dihargai, dan dicintai! Ini salah satu bukti bahwa Allah peduli terhadap wanita, isi hati wanita, tangisan wanita. Dia dekat denganmu ketika kamu nangis, ketika kamu sedih. Dia adalah Tuhan yang mendengar, berempati, melihat dan menjawab. 

Sebagai saksi pertama akan kebangkitan Kristus, penampakan Kristus, Maria Magdalena pun menjadi pengabar berita kebangkitan Kristus. Setelah ketemu Yesus, Maria langsung pergi dan mengabarkan pada murid-murid, sesuai dengan perintah Kristus. Nah, hal ini adalah hal yang secara teologis sangat signifikan. Mengapa? Maria Magdalena hidup di zaman dimana kesaksian seorang perempuan itu tidak dianggap oleh hukum. Apa yang dikatakan oleh seorang wanita dianggap tidak penting, dibanding apa yang dikatakan seorang pria. Jadi untuk sebuah peristiwa yang begitu penting dalam sejarah kekristenan—kebangkitan Kristus sendiri, Tuhan memakai seorang wanita untuk menjadi saksi pertama-Nya. Ini artinya, once again, Yesus mendobrak nilai budaya. Bagi Allah, perempuan itu penting! Sama pentingnya dengan pria. Allah bisa memakai perempuan untuk kepentingan kerajaan-Nya. Allah mengasihi perempuan. Dan melalui kesaksian perempuan-perempuan ini, berita kebangkitan Kristus dapat tersebar. Dicatat di Alkitab, sebagai bukti bagaimana kekristenan itu berbeda dengan budaya, bukti bahwa Allah tidak memandang gender. Dia bisa memakai kaum yang tidak dianggap untuk mengukir sejarah. Kebenaran ini didokumentasikan oleh Alkitab: keempat Injil menuliskan nama Maria Magdalena sebagai saksi penting kebangkitan Kristus. 

Tidak dicatat lagi kelanjutan kisah Maria Magdalena, tapi bisa kita asumsikan bahwa dia terus melayani dan mengikuti Kristus setelah Kristus naik ke surga, dan menjadi bagian dari gereja mula-mula. 

Teman-teman, saya ngga tau teman-teman sedang apa ketika membaca artikel ini. Tapi saya ingin mengajak kalian ambil waktu sejenak untuk merenung. Boleh juga sambil dengerin lagu di bawah ini. Coba pikirkan sebentar, bagaimana komitmen kalian dalam mengikut Yesus sejauh ini? Apakah kamu telah menghidupi kematian dan kebangkitan Kristus dalam keseharianmu? Dan apa yang dapat kamu pelajari dari kisah Maria Magdalena ini? Renungkan sebentar… Kemudian tutuplah dengan doa respon pribadimu dengan Tuhan. :) 



*** 

Bapa, terima kasih buat kasih-Mu. Terima kasih buat karya keselamatan. Terima kasih buat Kristus yang mau dihina, dicambuk, disalib, dan mati untukku. Terima kasih buat kebangkitan-Nya. Terima kasih karena aku mempunyai Allah yang memperhatikanku secara pribadi, Allah yang mengerti hatiku, Allah yang hadir dan menjawabku ketika aku menangis. Dan biarlah kiranya, seperti Maria Magdalena, aku bisa setia mengikuti-Mu, melayani-Mu, mengasihi-Mu dengan segenap hatiku, jiwaku dan pikiranku. Amin. 

Selamat paskah teman-teman! :) 

Monday, April 20, 2020

Tuhan di Atas Kemustahilan


by Benita Vida

Banyak hal ajaib yang Yesus perbuat saat menjadi manusia di bumi. Dari semua hal itu, menurutmu, mana yang paling ajaib? Mukjizat air menjadi anggur saat perkawinan di Kana? Atau mengutuk pohon ara sehingga tidak berbuah lagi? Semua itu memang luar biasa, tetapi ada satu hal paling ajaib yang dampaknya oleh semua manusia di bumi, bahkan sampai saat ini, yaitu saat Yesus bangkit dari kematian. 

Saat harapan dari para murid mulai hilang, saat kepercayaan para pengikut dan saksi dari perbuatan Yesus mulai hancur, Yesus membuat mukjizat yang tidak pernah mereka pikirkan yaitu bangkit dari kematian-Nya. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Yesus ditangkap, diadili, dicambuk, berdarah, dan mati di atas kayu salib. Mereka juga melihat Yesus sudah dikuburkan di tempat yang ditutup dengan batu besar dan dijaga oleh dua orang pengawal. Tidak sekalipun terlintas di benak mereka bahwa yang terjadi kemudian adalah Yesus bangkit. 

Dalam duka yang besar karena melihat orang yang mereka kasihi telah mati dan dikubur, para wanita datang mengunjungi kubur Yesus dan terkejut melihat bahwa kubur itu telah kosong. Duka mereka semakin besar, mengira bahwa Tuhan mereka diambil oleh orang, bahkan sampai detik itu pun tak terlintas di benak mereka bahwa Yesus telah bangkit. Inilah manusia, terkadang kita terlalu mengandalkan penglihatan dan pemikiran kita. Kita menganggap masalah kita sudah tidak mungkin diubah – tidak mungkin air menjadi anggur, tidak mungkin saya menang tender melawan perusahaan sebesar itu, tidak mungkin saya diterima kerja di perusahaan besar karena saya lulusan universitas yang tidak popular, dan lain-lain. Di sisi lain, kita juga kerap lebih percaya pada apa yang orang lain katakan, bahwa tidak ada harapan lagi, lebih baik menyerah, penyakit kita sudah tidak bisa sembuh, anakmu tidak bisa jadi orang berhasil, dan banyak lagi hal lain. 

Sadarkah kita bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan di atas segala kemustahilan? Bangkit dari kematian adalah hal yang sangat mustahil terjadi, apalagi bangkit dan hidup selama-lamanya. Kebangkitan Yesus menjadi kabar baik bagi kita, menjadi pengharapan saat kita putus asa, dan keteguhan bagi yang percaya, bahwa kita mampu menang dari semua situasi dan keadaan yang tampak mustahil bagi manusia. Ya, sebab Tuhan kita telah melampaui akal sehat dan berdiri di atas segala kemustahilan. 

Sang Pencipta sangat memahami ciptaan-Nya. Ia paham bagaimana cara kerja manusia, bagaimana cara pikir manusia, dan apa yang dirasakan manusia – karena Yesus pun adalah seorang manusia sampai saat Dia harus mati untuk kita. Dia sangat mengerti bahwa tanpa melihat, merasakan, dan mendengar, sangat sulit bagi kita untuk percaya walaupun sudah sering mengalami dan melihat perbuatan ajaib-Nya. Alkitab mencatat malaikat Tuhan yang diutus untuk memberitahukan berita kebangkitan-Nya.

Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: "Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring. Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia. Sesungguhnya aku telah mengatakannya kepadamu.” Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus.
(Matius 28:5-8)

Tapi, tidak semua percaya pada berita yang dibawa murid-murid perempuan. Sampai akhirnya, mereka menjadi percaya ketika Yesus menampakkan diri-Nya. Mereka melihat dengan mata mereka, mendengar salam Yesus dengan telinga mereka, dan memeluk kaki Yesus, sehingga mereka percaya bahwa Yesus telah BANGKIT. 

Berapa banyak dari kita yang harus melihat bukti dulu baru percaya? Kurang cukupkah Firman yang menceritakan perbuatan ajaib Yesus sehingga kita selalu merasa tak berdaya menghadapi badai? Bukankah Dia Tuhan yang sudah bangkit dan hidup untuk selama-lamanya? Ya, memang sangat sulit untuk percaya dan mempunyai iman saat belum melihat dan belum mengerti tentang rencana besar-Nya. Itu kelemahan kita sebagai manusia, kita terbiasa hidup dalam keterbatasan logika, sehingga sulit memahami ketidakterbatasan Tuhan. 

Namun, dalam segala keterbatasan manusia, firman-Nya berkata: 

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
(2 Korintus 12 : 9)

Kita butuh kasih karunia dan kekuatan-Nya, tanpa Dia kita tidak akan bisa apa-apa bahkan mungkin sulit untuk percaya. Tuhan mau kita mengandalkan-Nya agar kuasa-Nya selalu terlihat paling nyata dalam kelemahan kita. 

Kebangkitan Yesus membawa pengharapan baru bagi kita, memberikan bukti bahwa kita tidak sedang menyembah Allah yang sia-sia. Kebangkitan Yesus memampukan kita untuk terus percaya bahwa ada kuasa Allah yang besar dan tidak terbatas. Ada hal-hal mustahil yang bisa kita lakukan dengan dan hanya bersama Yesus saja. Ia Allah yang sudah menang, dan kemenangannya adalah jaminan kemenangan kita juga, "Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kaki-Nya." (1 Korintus 15:27a).

Keadaan yang semakin tidak menentu akhir-akhir ini bisa membuat iman kita goyah. Pandemik di seluruh dunia menimbulkan banyak ketidakpastian. Pekerjaan kita saat ini mungkin tidak menentu dan harapan kita semakin redup, tapi percayalah dan tetap teguh dalam imanmu, jadilah kuat sebab Yesus sudah menang dari semua kemustahilan. Dia sudah bangkit dari kematian dan lihatlah tangan-Nya terulur untukmu, maukah kau melakukan hal yang mustahil bersama-Nya?

Monday, April 13, 2020

Di Hadapan Penghakiman


by Glory Ekasari

Kita yang tinggal di Indonesia pasti tidak asing dengan demo alias demonstrasi massa. Ketika massa berkumpul, mereka gagah sekali, berteriak-teriak menyuarakan tuntutan, bahkan berani melakukan tindakan anarkis: melempar batu, melawan polisi, merusak fasilitas umum, dsb. Kita juga mungkin pernah mengalami musim bahaya geng motor yang sering tawuran, bahkan membegal dan mencelakakan orang lain. Mengapa begitu nekat? Karena mereka beramai-ramai, dan ketika bersama, mereka yakin mereka tidak terkalahkan.

Tapi coba orang-orang itu dipisahkan, lalu masing-masing, sendirian, dihadapkan ke pengadilan. Masihkah ada keberanian? Biasanya mereka tertunduk takut dan malu, bicara dengan suara pelan, menyembunyikan wajahnya. Di mana keberanian mereka? Mengapa begitu takut? Sebagai bagian dari massa, mereka merasa bebas berbuat apa saja yang mereka inginkan. Ketika dihakimi oleh masyarakat yang rasional, mereka tidak bisa membela diri.

Ada satu orang yang dihadapkan ke pengadilan yang tidak adil, tanpa ketakutan sedikitpun dalam hatinya. Bagaimana kita tahu? Karena Ia, dan bukan para hakimnya, yang mengendalikan situasi. Ia berbicara tanpa takut. Bahkan orang-orang yang mengeksekusinya mengakui bahwa Dia orang benar. Dialah Yesus, Tuhan kita.

Ketika saya membaca perjalanan Yesus sejak ditangkap sampai pada kematian-Nya di salib, saya tidak melihat seseorang yang ketakutan. Saya juga tidak melihat orang yang mengasihani diri sendiri. Saya tidak melihat orang yang berusaha membenarkan diri dan melepaskan diri dari hukuman mati. Saya melihat orang yang tenang, berkuasa, dan mengerti dengan jelas apa yang sedang terjadi. Para pemimpin bangsa menentang Dia, hukuman mati menanti-Nya, namun tidak sedikitpun Dia gentar. Yesus menghadapi kematian-Nya dengan kepala tegak.

// YESUS DITANGKAP
Yohanes memberi cerita yang jelas tentang penangkapan Yesus. Setelah Yesus selesai berdoa di taman Getsemani, datanglah sepasukan prajurit Romawi dan para penjaga Bait Allah, juga Yudas, dengan senjata dan lentera. Yesus bertanya siapa yang mereka cari. Kita bisa bayangkan prajurit menjawab dengan suara tegas dan keras - seperti polisi membentak orang yang mereka tangkap: “Yesus dari Nazaret!” Kebanyakan orang pasti ciut nyalinya ketika berhadapan dengan polisi bersenjata yang membentak mereka. Namun apa yang terjadi berikutnya sungguh mengherankan:

Kata-Nya kepada mereka: “Akulah Dia.” Ketika Ia berkata (demikian), mundurlah mereka dan jatuh ke tanah.
(Yohanes 18:5-6)

Apa yang terjadi? Yesus menjawab mereka dengan ketenangan dan kuasa yang luar biasa, seperti saat Ia meredakan badai di danau Galilea, dan para prajurit yang gagah itu dilanda oleh kuasa-Nya. Di hadapan para prajurit, Yesus menunjukkan bahwa Ia sungguh bukan manusia biasa. Saat Petrus hendak membela-Nya dengan pedang, Yesus berkata,

“Sarungkanlah pedangmu itu. Bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa-Ku?”
(Yohanes 18:11)

Yesus tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi. Ia tidak kuatir akan keselamatan nyawa-Nya; Ia sudah siap menghadapi salib. Hanya orang yang sudah siap mati yang akan berkata seperti itu. Sekalipun kemudian para murid lari dan meninggalkan Dia (sangat masuk akal, karena mereka tentu takut ikut ditangkap - kitapun akan berbuat yang sama) Yesus tidak menjadi lemah. Sendirian, Ia tetap penuh keberanian dan kuasa.

// YESUS DI HADAPAN MAHKAMAH AGAMA
Markus menulis Injilnya seperti sebuah gunung: makin lama makin menuju ke puncak. Di awal Injil Markus, saat Yesus membuat mujizat, Ia selalu memperingatkan orang-orang yang menyaksikan-Nya agar mereka tidak menyebarluaskan apa yang mereka lihat itu. Namun semakin lama kita membaca Injil Markus, semakin jelas Markus menyatakan siapakah Yesus sebenarnya. Puncaknya adalah pada saat Yesus dihadapkan pada Mahkamah Agama.

Sidang yang digelar Mahkamah Agama ini adalah sidang ilegal: diadakan mendadak pada malam hari tanpa pemberitahuan agar tersembunyi dari masyarakat, Yesus tidak diberi pembela atau saksi pendukung, dan banyak saksi palsu yang berdusta melawan Dia. Jelas sekali mereka ingin Yesus segera mati, sekalipun dengan cara yang curang. Imam Besar akhirnya bertanya pada Yesus:

“Apakah engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji (yaitu Allah sendiri)?”
(Markus 14:61) (tambahan oleh penulis)

Jawaban Yesus memastikan hukuman mati bagi diri-Nya sendiri:

“Akulah Dia. Dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit.”
(Markus 14:62)

Inilah yang mereka tunggu-tunggu: pernyataan yang dianggap menghujat Allah, sehingga Yesus harus dihukum mati. Yesus mengutip dari kitab Daniel pasal 7, penglihatan Daniel tentang Anak Manusia yang menerima segala kuasa dan pemerintahan dari Allah dan memerintah bersama Allah - yang artinya, Dia adalah Allah. Bagaimana mungkin seorang rabi Yahudi biasa terang-terangan menyamakan diri-Nya dengan Allah?

Bila Yesus tahu bahwa jawaban seperti ini akan mendatangkan malapetaka bagi Dia, mengapa Dia masih menjawab demikian? Di bawah ancaman maut, manusia akan mengatakan apa saja yang dapat menyelamatkan dirinya; namun Yesus malah memberi jawaban yang pasti mencelakakan-Nya! Mengapa? Karena Dia bukan manusia biasa; karena Dia memang lahir untuk salib.

“Apakah yang akan Kukatakan? ‘Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini’? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah Nama-Mu!”
(Yohanes 12:27-28)

Yesus berdiri di hadapan Mahkamah Agama yang akan menjatuhkan putusan hukuman tentang Dia. Namun sungguh mereka tidak tahu bahwa saat itu Yesuslah yang menentukan nasib-Nya sendiri, bukan mereka.

// YESUS DI HADAPAN HERODES
Lukas adalah satu-satunya yang menyebutkan tentang pertemuan Yesus dengan Herodes. Herodes sangat penasaran dengan kuasa Yesus dan ia berharap Yesus akan melakukan “atraksi” di hadapannya. Bukankah dia raja di Yudea? Namun Yesus sama sekali tidak berkata apa-apa, bahkan tidak menjawab pertanyaan Herodes. Malah imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat sibuk mendakwa Dia, dan akhirnya Herodes dan pasukannya pun menista dan mengolok-olok Dia.

Yesus tahu bahwa Herodes, sekalipun raja, hanyalah raja boneka. Kemuliaannya di wilayah Yudea tidak ada artinya, bahkan rakyat pun tidak menyukainya. Yesus tidak terpancing dengan permainan politik Israel. Herodes tidak sadar bahwa di hadapannya berdiri Raja segala raja, Tuan segala tuan, yang suatu hari akan menghakimi-Nya. Yesus tidak berkata apa-apa, karena percumalah bicara pada orang yang tidak ingin mendengarkan. Sekali lagi, Yesus menunjukkan karakter dan kuasa-Nya.

// YESUS DI HADAPAN PILATUS
Injil Yohanes mencatat percakapan singkat Yesus dengan Pilatus. Sebelumnya Pilatus menolak mengadili Yesus dan menyerahkan-Nya pada Herodes. Namun Herodes tidak bisa membuat keputusan dan mengembalikan-Nya pada Pilatus. Kepada Pilatus Yesus berterus terang bahwa Ia memang adalah Raja, tetapi kerajaan-Nya bukan di dunia ini. Pilatus tidak memahaminya, namun satu hal yang dia tahu: Yesus tidak berbuat kesalahan yang setimpal dengan hukuman mati.

Pilatus berusaha dengan berbagai cara agar Yesus tidak dihukum mati. Pertama, ia menawarkan agar Yesus ditukar dengan Barabas. Ia berpikir, orang tentu tahu betapa jahatnya Barabas dan tidak mungkin mereka memilih dia daripada Yesus. Namun ternyata mereka memilih Barabas! Kemudian Pilatus menyuruh prajurit menyesah Yesus, dengan harapan orang banyak akan puas setelah melihat Yesus dalam keadaan luka-luka. Tapi mereka malah meminta Yesus disalibkan. Pilatus masih berusaha meyakinkan orang Yahudi bahwa Yesus tidak bersalah. Namun mereka berseru:

“Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”
(Matius 27:25)

(Catatan: Sumpah kutuk yang mengerikan ini akhirnya menimpa kepala mereka sendiri ketika bangsa Romawi menghancurkan Yerusalem tahun 70 Masehi.)

Bayangkan seandainya kita di posisi Yesus. Orang banyak menghendaki agar kita mati dengan cara yang paling menyakitkan, mereka berteriak-teriak meminta nyawa kita, dan kita tahu pasti kematian sudah di depan mata. Apa yang kita rasakan? Saya rasa manusia paling berani pun pasti takut sekali. Namun ketakutan sama sekali tidak nampak pada Yesus. Pilatus mendesak Dia membantunya dengan memberikan pembelaan, dan ia berkata:

“Tidakkah Engkau tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?”
(Yohanes 19:10)

Jawaban Yesus tidak disangka oleh Pilatus:

“Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jika kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.”
(Yohanes 19:11)

Sekali lagi kita melihat bahwa Yesus bukan hanya tahu apa yang akan terjadi, namun Ia juga berkuasa atasnya. Yesus sama sekali tidak kelihatan seperti orang yang akan disalib: Dia sangat tenang dan berani.

// YESUS DISALIBKAN
Salib adalah hukuman mati yang mengerikan. Orang yang disalib akhirnya akan mati karena kehabisan nafas, tetapi setelah melalui beberapa hari yang penuh penderitaan. Yang kita lihat di film-film adalah orang-orang yang sangat tenang saat disalib. Tapi sebenarnya korban penyaliban akan terus mengerang-erang karena sakitnya, nafasnya tersengal-sengal, bahkan tercekik, punggungnya terus-menerus menggesek kayu salib saat mengambil nafas dan membuang nafas. Belum lagi penderitaan lainnya seperti demam, sakit kepala luar biasa, dan otot serta sendi tangan dan kaki yang makin lama makin kejang karena direntangkan terus-menerus.

Dalam keadaan seperti itu, manusia mencapai breaking point. Tidak ada lagi kepura-puraan atau etika. Apapun yang ada dalam hatinya: kemarahan, kebencian, kesedihan, sakit hati, dsb, tidak mungkin ditutupi lagi. Salah satu orang yang disalib di sisi Yesus menghujat Dia dan meminta-Nya menurunkan dia dari salib - pasti karena penderitaannya tidak tertahankan lagi. Namun apa yang kita lihat dari Yesus sungguh berbeda.

Ada tujuh perkataan Yesus yang Dia sampaikan saat disalib. Kita akan lihat satu contoh saja. Saat Yesus disalibkan, Ia berkata,

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
(Lukas 23:34)

Akankah kita berkata seperti itu bila kita disakiti orang lain secara sengaja? Mereka jelas tahu apa yang mereka perbuat! Namun di saat-saat breaking point itu, apa yang ada di dalam hati Yesus tidak bisa ditutupi lagi:

Kasih-Nya bagi kita.

Ia tahu bahwa manusia tidak bisa memahami sepenuhnya akibat dari dosa mereka. Ia tahu mereka tidak mengenal Dia. Hati-Nya dipenuhi belas kasihan. Dan saat tangan dan kaki-Nya dipakukan ke kayu salib, Ia bersyafaat untuk orang-orang yang menyalibkan-Nya.

Ini bukan kata-kata yang diucapkan demi gimmick. Ini adalah perkataan orang yang pikirannya sehat, sangat rasional, bahkan bisa berpikir lebih jauh dari orang lain yang tidak sedang disalib. Ia tahu untuk siapa Ia ada di salib itu, dan Ia berdoa bagi kita.

// TUHAN YANG MAHAKUASA
Saya percaya bahwa di taman Getsemani lah semua urusan pribadi-Nya diselesaikan oleh Yesus sebelum Ia menghadapi pengadilan dan salib pada akhirnya, yang bisa dibaca disini.

Kesiapan dan keberanian Yesus menghadapi salib terjadi karena Ia sudah lebih dahulu melewati taman Getsemani. Kita biasanya langsung terjun ke dalam masalah tanpa melalui taman Getsemani pribadi kita terlebih dahulu, tempat kita bergumul dengan Allah. Sebagai akibatnya, deru masalah dan penderitaan di dunia ini menjatuhkan kita. Ini tidak perlu terjadi lagi kalau kita senantiasa berdoa dan berjaga-jaga, seperti yang Yesus perintahkan.

Di sisi lain kita juga melihat Tuhan kita yang memegang kendali penuh atas semua yang terjadi, bahkan kematian-Nya. Yesus menghadapi salib sebagai seorang pemenang, seorang hamba yang menyelesaikan tugasnya. Bila kematian pun ada dalam rencana Allah, apa lagi yang kita takutkan? Bukankah kita ini anak-anak Allah yang menjadi tanggung jawab-Nya? Bukankah hidup kita, di dunia ini maupun yang akan datang, dijamin oleh Dia? Mari kita mengingatnya kembali, dan mengucap syukur. Sekacau dan setidak pasti apapun dunia ini, kita punya Gunung Batu yang teguh, tempat kita berlindung.

Monday, April 6, 2020

Getsemani: Saksi Peperangan Sunyi


by Glory Ekasari

Peperangan yang dialami Tuhan Yesus tidak terjadi di ruang sidang majelis imam saat Dia diadili. Tidak juga di istana Herodes. Tidak juga di ruang gubernur Pilatus. Tidak juga di hadapan orang banyak yang berseru, “Salibkan Dia!” atau bahkan di Golgota saat Ia dipaku ke kayu salib. Peperangan yang dialami Tuhan kita terjadi di Taman Getsemani. Ketika Ia melangkah keluar dari taman itu, Ia sudah berjalan sebagai pemenang.

Tiga dari empat Injil menceritakan apa yang terjadi di Taman Getsemani. Rasul Yohanes tidak menulis tentang peristiwa ini, kemungkinan karena orang-orang Kristen saat itu sudah tahu tentang peristiwa Getsemani saat Yohanes menulis Injilnya (Injil Yohanes adalah Injil yang terakhir ditulis). Pada dasarnya, kisah ini memalukan; terutama bagi ketiga murid Yesus yang terdekat: Petrus, Yohanes, dan Yakobus. Namun penulis Injil jujur menuliskannya bagi kita untuk menunjukkan bahwa, tidak seperti kita yang lemah, Yesus mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi pencobaan terberat dalam hidup-Nya.

// BERPERANG DENGAN BERDOA
Sebagai manusia, Yesus tidak bersikap sok berani menghadapi penderitaan dan salib. Dengan jujur Ia mengatakan apa yang Ia rasakan, sesuatu yang belum pernah kita baca tentang Yesus, yang selalu kelihatan tenang dan penuh kuasa:

Lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.”
(Markus 14:34)

Lukas menulis bahwa Yesus begitu ketakutan sampai “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44). Tentunya Dia gemetar, bahkan menggigil, dan pakaian-Nya basah kuyup oleh keringat karena intensitas ketakutan yang luar biasa. Mengapa? Karena Yesus tahu apa yang sedang menanti-Nya.

Hukuman salib adalah hukuman yang kejam. Tujuan dari hukuman itu adalah menimbulkan teror dengan cara menyiksa seseorang selama mungkin agar orang lain bisa melihat penderitaannya yang mengerikan sampai akhirnya ia mati. Pemerintah Romawi memakai hukuman ini agar jajahan mereka tidak berani membangkang karena takut akan kekejaman tersebut.

Orang yang akan disalib terlebih dahulu disiksa. Penyiksaan ini kadang bisa begitu brutal sehingga korban sudah mati sebelum disalib. Bila korban bertahan melewati penyiksaan ini, ia kemudian disalib: dipaku tangan dan kakinya pada kayu dan dibiarkan tergantung sampai mati. Setelah kehabisan banyak darah dan tenaga dari penyiksaan, serta didera rasa sakit yang luar biasa dari syaraf yang dipaku, korban harus berjuang hanya untuk sekedar mengambil nafas. Kematian akhirnya terjadi karena tercekik: ia sudah tidak kuat lagi bergerak untuk bernafas. Karena itu tidak ada orang yang disalib dalam keadaan tenang seperti di film-film; orang yang disalib harus bergerak untuk menarik nafas dan membuang nafas, dengan punggungnya yang sudah robek menggesek-gesek kayu salib terus-menerus. Orang yang disalib berharap agar kematian cepat datang dan penderitaan mereka segera berakhir.

Yesus tahu bahwa Ia akan segera menghadapi penderitaan ini. Dan Dia ketakutan. Ini sangat manusiawi. Tapi yang lebih menakutkan dari itu ialah Ia akan menghadapi semuanya itu sendirian.

Saat terjadi banjir di kota saya, ada wawancara dengan seorang warga yang kebanjiran. Dengan wajah yang biasa saja, tidak seperti orang kebanjiran, dia berkata, “Nggak apa-apa… Wong kebanjirannya rame-rame, semua kebanjiran.” Dia merasa tenang karena banyak yang sepenanggungan dengannya.

Berbeda dengan Yesus. Dia harus menghadapi salib sendirian tanpa murid-murid-Nya yang akan segera lari meninggalkan Dia. Tetapi yang lebih penting, tanpa Bapa-Nya, yang sejatinya tidak mungkin terpisahkan dengan Dia. Kematian-Nya bukan karena kesalahan-Nya, tetapi dosa kita. Namun, tidak ada yang mendukung-Nya ketika Ia berkorban bagi kita (termasuk mereka yang menyalibkan Dia). Di atas kayu salib itu Yesus benar-benar sendirian: ditolak oleh dunia, dan dihukum oleh Allah. Sungguh kesepian dan kekosongan yang menakutkan.

Lalu bagaimana Yesus menghadapi semua ketakutannya itu? Lukas menulis:

Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa.
(Lukas 22:44)

Makin bersungguh-sungguh berdoa, itulah cara Yesus menghadapi ketakutan. Yesus memang berharap murid-murid-Nya akan mendukung Dia dalam doa, namun mereka malah tidur (sesuatu yang pasti sangat mereka sesali ketika mereka tahu apa yang kemudian menimpa Yesus). Namun itu tidak melemahkan Yesus. Ia kembali lagi pada doa-Nya. Seorang malaikat dari surga datang untuk menghibur-Nya. Yesus sekali lagi menilik murid-murid-Nya yang tertidur nyenyak, dan kemudian Ia kembali berdoa. Ia berdoa, berdoa, berdoa, sampai Ia menang.

Mengapa saya katakan bahwa Yesus menang? Karena setelah Yesus selesai berdoa dan Ia ditangkap, tidak ada sedikitpun bukti bahwa Yesus ketakutan di hadapan majelis imam, atau di istana Herodes, atau di hadapan Pilatus, atau di hadapan massa, atau di hadapan tentara yang menyalibkan Dia. Perkataan-Nya bukan perkataan orang yang ketakutan; sikap-Nya tidak seperti orang yang ketakutan; bahkan tentara Romawi yang menyaksikan penyaliban-Nya bersaksi, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!” (Matius 27:54). Mereka tidak akan berkata demikian seandainya Yesus kelihatan takut, marah, atau mengasihani diri sendiri saat disalib. Mereka bersaksi demikian melihat ketegaran-Nya dan fenomena alam yang menyertai kematian-Nya.

Jadi Yesus berjalan menuju salib sebagai orang yang menang. Pergumulan yang hebat terjadi justru di Taman Getsemani, saat Ia berdoa dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan semua ketakutan-Nya di hadapan Allah.

// CAWAN YANG DIMINUM YESUS
Sebelum Yesus berdoa di Taman Getsemani, Ia telah makan malam bersama murid-murid-Nya, dan dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan cawan berisi anggur. Tentang cawan itu Ia katakan,

“Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku.”
(I Korintus 11:25)

Yesus tahu bahwa agar perjanjian baru—yang dinubuatkan oleh para nabi dan direncanakan oleh Allah sendiri—dapat disahkan, darah-Nya harus tertumpah. Kematian-Nya di salib, curahan darah-Nya, akan mengisi cawan perjanjian baru, dan semua orang yang minum dari cawan itu mengambil bagian dalam perjanjian baru dengan Allah.

Tetapi ketika di Taman Getsemani, Yesus berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Bapa-Nya:

“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”
(Markus 14:36)

Doa ini bukanlah penolakan terhadap apa yang harus Yesus alami, tetapi merupakan sebuah pergumulan. Sama seperti Yakub yang bergumul dengan Allah dan tidak mau melepaskan-Nya sampai ia diberkati, demikian pula Yesus bergumul dengan Bapa di dalam doa. Perhatikan bahwa Yesus tidak hanya berkata, “Saya tidak mau,” tapi Ia menutup permohonan-Nya dengan penyerahan diri, “Janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

Ini bukan berarti kehendak Yesus dengan kehendak Bapa berbeda. Fakta bahwa Yesus datang ke dunia, menjadi manusia, melayani selama tiga tahun lebih, bahkan berlutut di Taman Getsemani pada hari itu, menunjukkan bahwa kehendak-Nya selaras dengan kehendak Bapa. Yang Yesus katakan ialah: Ia tidak menginginkan penderitaan (siapa yang mau menderita?), tetapi Ia lebih ingin kehendak Allah diwujudkan, sekalipun itu berarti Ia harus menderita. Perhatikan perkataan Yesus dalam bagian lain:

“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.”
(Yohanes 12:27)

Maka kata Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau adalah raja?” Jawab Yesus: ‘Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.”
(Yohanes 18:37)

“Untuk itulah Aku datang.” Yesus tahu pasti mengapa Ia harus datang ke dunia: agar Allah dimuliakan dan manusia diselamatkan. Salib adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan itu. Yesus tidak ingin menderita—sebagaimana kita tidak ingin menderita, tapi Dia lebih menginginkan tujuan Allah digenapi, sekalipun itu melalui penderitaan-Nya.

// MENGHADAPI PENCOBAAN
Kontras dengan tindakan Yesus yang begitu serius di Taman Getsemani, murid-murid Yesus melakukan sesuatu yang sungguh memalukan: mereka tidur.

Mereka lelah setelah beraktivitas seharian, mendengarkan Yesus mengajar, dan makan malam. Mereka mengantuk, mata mereka berat. Kita mengerti apa yang mereka rasakan. Namun sayangnya mereka tidak menuruti apa yang dikatakan oleh Guru mereka, perintah-Nya yang terakhir sebelum Ia mati, agar mereka berjaga-jaga dalam doa bersama Dia.

“Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.”
(Matius 26:40-41)

Yesus berkata demikian karena dua alasan: pertama, Ia ingin dibantu dalam doa menjelang penderitaan yang berat yang menanti-Nya; kedua, Ia tahu bahwa sebentar lagi murid-murid-Nya juga akan mengalami pencobaan. Yesus akan diambil dari mereka; dan mereka, seperti domba tanpa gembala, akan tercerai-berai.

Mereka tidak menuruti Yesus, dan karena itu mereka kalah dalam pencobaan dengan memalukan. Saat Yesus ditangkap, mereka bingung dan melarikan diri. Petrus, murid Yesus yang paling vokal, bahkan akhirnya menyangkal Yesus. Murid-murid yang lain entah di mana keberadaannya. Mereka bahkan tidak percaya ketika mendengar kabar bahwa Yesus bangkit. Keadaan mereka menyedihkan dan penuh ketakutan, tidak seperti Yesus yang berjalan menuju salib dengan penuh keberanian.

Kita tidak tahu kapan pencobaan akan datang. Tetapi apapun pencobaan yang datang dalam hidup kita, itu tidak akan lebih serius dari salib yang dihadapi oleh Tuhan Yesus. Karena itu mari kita mengikuti Yesus, yang lebih dahulu menang, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan (Ibrani 12:2). Dua hal yang harus kita pelajari dari Tuhan kita:

1. Ketika Roh Kudus mengingatkan kita untuk berdoa dan berjaga-jaga, lakukanlah. Jangan tidur seperti murid-murid Yesus. Dalam kesesakan, bergumullah dengan Allah dalam doa. Semakin berat masalahnya, semakin sungguh-sungguh berdoa. Bila Yesus yang harus menghadapi salib saja mencari kekuatan dalam doa, betapa lebih lagi kita yang menghadapi “pencobaan biasa” (I Korintus 10:13).

2. Selalu bersedia mengutamakan kehendak Allah dibanding keinginan kita. Yesus bersedia menderita dan mati demi melakukan kehendak Allah; kita tidak dituntut seberat itu. Bila kita mengasihi Allah, tidak ada yang boleh menghalangi kehendak Allah dalam hidup kita, bahkan (atau terutama) kehendak kita sendiri. Taklukkan kehendak kita itu di Taman Getsemani pribadi kita dengan Allah, dan berjalanlah keluar dari taman itu, menghadapi salib yang harus kita pikul, dengan penuh kemenangan.


Marilah kita berlomba dengan tekun, dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan; yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(Ibrani 12:2)