Monday, May 27, 2019

Pelayan Istri Naaman: Seorang Anak Perempuan yang Menjadi Berkat


by Alphaomega Pulcherima Rambang 

Naaman, panglima raja Aram, adalah seorang terpandang di hadapan tuannya dan sangat disayangi, sebab oleh dia TUHAN telah memberikan kemenangan kepada orang Aram. Tetapi orang itu, seorang pahlawan tentara, sakit kusta.  Orang Aram pernah keluar bergerombolan dan membawa tertawan seorang anak perempuan dari negeri Israel. Ia menjadi pelayan pada isteri Naaman.  Berkatalah gadis itu kepada nyonyanya: “Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya.” 
(2 Raja-Raja 5:1-3)

Saat ini kita akan mengenal lebih dekat seorang anak perempuan yang hidupnya menjadi berkat bagi seseorang dari bangsa lain. Tidak disebutkan siapa nama anak perempuan yang menjadi pelayan istri Naaman ini di Alkitab. Umurnya pun tidak disebutkan dengan jelas. Alkitab hanya menyebutnya sebagai “anak perempuan”, jadi kemungkinan dia berusia muda, mungkin dibawah 20 tahun. Ia adalah orang Israel yang menjadi tawanan Naaman, seorang panglima Raja Aram. Sebenarnya ia bisa saja dendam pada Naaman yang telah membawanya keluar dari negerinya dengan paksa dan menjadikan dia budak. Tapi dia tidak dendam dan malah ingin Naaman sembuh. Dengan berani dia memberi saran kepada isteri Naaman untuk membawa Naaman kepada nabi Elisa, agar sang nabi menyembuhkannya dari penyakit yang merupakan aib tersebut. Melalui ketulusan dan kebaikan hatinya, Naaman, seorang perwira bangsa lain yang tidak mengenal Allah mendapatkan mujizat kesembuhan dan memuliakan nama Allah Israel. Pada akhirnya Naaman berkata: 

“Sekarang aku tahu bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah, kecuali di Israel.” 
(2 Raja-Raja 5:15) 


Apa yang dapat kita pelajari dari anak perempuan yang menjadi hamba Naaman ini? 
1. Tidak Pendendam dan Mau Mengampuni 
Anak perempuan ini sudah menjadi tawanan orang Aram dan dijadikan budak. Seorang budak menjadi milik majikannya: mereka tidak punya hak apa-apa, mereka harus melayani tuannya, dan hidup di bawah belas kasihan tuannya. Bayangkan, di usia muda sudah harus hidup jauh dari orang tua, menjadi budak pula! Dia punya alasan untuk sakit hati dan menyimpan kepahitan kepada Naaman dan keluarganya. Lebih masuk akal kalau dia berkata, “Syukurin!” saat tahu bahwa Naaman terkena penyakit kusta. Tapi ternyata dia tidak melakukannya. Responnya saat mengetahui Naaman sakit malah menunjukkan kalau dia telah mengampuni dan tidak menyimpan dendam. 

Jadiiii… Kalau kita berada pada posisi yang sama dengan anak perempuan ini, sakit hati dan ada kesempatan menertawakan penderitaan dia yang menyakiti kita, apakah kita akan merespon seperti orang pada umumnya, atau seperti si anak ini? Perhatikan apa kata firman Tuhan: 

Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. (Efesus 4:31-32) 

Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.
(Lukas 6:36)

Bermurah hatilah seperti anak perempuan ini dan lepaskanlah pengampunan bagi orang yang menyakitimu. Anak perempuan ini sudah bermurah hati seperti Bapa di sorga, bagaimana dengan kita? 

2. Dapat Dipercaya 
Istri Naaman dengan segera menyampaikan perkataan anak perempuan pelayannya ini kepada suaminya, dan sang suamipun segera menyampaikan kepada Raja Aram. Tentunya mereka berbuat demikian karena mereka mempercayai anak perempuan ini; kalau tidak, mana mungkin mereka meresponnya dengan serius. Di zaman ini, kepercayaan menjadi barang yang langka. Maukah kita juga menjadi orang yang dapat dipercaya? Orang pintar banyak, tapi bagaimana dengan orang yang dapat dipercaya? Sedikit! Firman Tuhan berkata bahwa orang yang dapat dipercaya mendapat banyak berkat, tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman (Amsal 28:20). Kita harus dapat dipercaya oleh Tuhan dan manusia. Bagaimana caranya? 
  • Setia dan bertanggung jawab sekalipun dalam perkara yang kecil (Lukas 16:10).
  • Lakukan segala sesuatu dengan segenap hati seperti untuk Tuhan (Kolose 3:23).
  • Tetap konsisten dengan prinsip kita, baik ada atau tidak ada orang yang melihat.
3. Memiliki Belas Kasihan 
Penyakit kusta membuat seseorang dihindari oleh orang lain. Ketika kita bertemu dengan orang yang butuh pertolongan, kiranya kita tergerak untuk menolong dengan tidak egois. Anak perempuan itu merasa kasihan terhadap tuannya yang terkena penyakit kusta. Dia menginginkan tuannya sembuh, sehingga dia memberikan informasi yang diketahuinya kepada istri Naaman. Ia memiliki belas kasihan. Belas kasihan adalah kehendak Allah bagi setiap orang percaya: 

Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.
(Matius 9:13)

Seringkali kita juga melihat dalam Injil bahwa hati Yesus tergerak oleh belas kasihan. 

Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” 
(Markus 1:41) 

Pertanyaannya, apakah kita juga mau digerakkan oleh belas kasihan dan melakukan sesuatu bagi orang lain? Belas kasihan memampukan kita bersukacita dengan orang yang bersukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Roma 12:15). Belas kasihan membuat kita melakukan tindakan yang bisa kita lakukan dan merespon kebutuhan seseorang—termasuk yang tak terucapkan—untuk meringankan penderitaan mereka. David Roper berkata: “Temukanlah berkat Allah dengan memperhatikan orang yang lemah.” Maukah kita menemukan berkat Allah dengan berbelas kasihan kepada mereka yang lemah? 

4. Beriman kepada Allah 
Anak perempuan ini beriman kepada kuasa Allah. Dia percaya Allah bekerja melalui nabi-nabi-Nya, sehingga dengan penuh keberanian dia menyampaikan tentang nabi yang bisa menyembuhkan penyakit Naaman. Anak perempuan ini tidak berpikir, bagaimana kalau nabi yang dikatakannya ternyata tidak dapat menyembuhkan tuannya? Dia hanya percaya. Dia melakukan tindakan iman. 

Ada sebuah ayat yang indah tentang iman yang aku sukai. Ayatnya berbunyi demikian: 

Jawab Yesus: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?”
(Yohanes 11:40)

Anak perempuan ini mungkin tidak pernah mendengar ayat ini, tapi kemuliaan Allah sungguh dinyatakan karena imannya. 

***

Dari anak perempuan ini, kita belajar: 
  1. Dalam segala kesempatan kita dapat melayani Tuhan, bahkan dalam situasi yang menyakitkan. 
  2. Allah mengizinkan penyakit, kesukaran, masalah, dan penderitaan terjadi agar Allah dapat dimuliakan. 
  3. Lakukan hal kecil dengan kesetiaan yang besar. Kita tidak pernah tahu dampak dari apa yang kita perbuat. Anak perempuan ini tentu tidak menyangka ‘hal kecil’ yang dilakukannya menjadi berkat bagi seseorang yang tidak mengenal Allah.

Monday, May 20, 2019

Izebel


by Glory Ekasari 

Kalau kamu pembaca setia Alkitab, pasti pernah dengar nama Izebel. Sepanjang tahun ini kita belajar tentang banyak wanita dalam Alkitab, orang-orang yang mencatat sejarah dengan kesalehan mereka, maupun dengan kejahatan mereka. Tapi kalau nama Izebel sudah disebut, semua lewat deh, karena wanita ini memang keterlaluan jahatnya. Suaminya, raja Ahab, adalah raja terjahat sepanjang sejarah kerajaan Israel, tapi raja inipun kalah saing dengan isterinya, yang ternyata lebih jahat. Wow! 

Seperti apa kejahatan Izebel? Pertama-tama sekali, dia membenci TUHAN, Allah Israel. Alasan Izebel membenci TUHAN dapat dipahami kalau melihat latar belakangnya. 

Izebel bukan orang Israel, dia berasal dari kota Sidon. Sidon di abad ke-8 SM adalah kota yang kaya raya di daerah Fenisia, sekaligus kota yang sarat dengan penyembahan berhala, dan Baal menjadi dewa utama di sana. Kota itu adalah kota maritim, beroleh kekayaan dari perdagangan laut, dan Baal adalah dewa badai, yang “bertanggung jawab” memberi mereka pelayaran yang aman dan langit yang cerah. Ayah Izebel, raja Etbaal, mengangkat dirinya menjadi imam Baal dan memimpin semua ritual penghormatan bagi dewa Baal. Penyembahan terhadap Baal meliputi berbagai ritual, mulai dari korban binatang sampai prostitusi di kuil. 

Ketika Izebel menikah dengan Ahab, ia ikut ke Samaria untuk menjadi ratu atas Israel. Di sana, ia mempengaruhi suaminya untuk ikut beribadah kepada dewa Baal. 

Ahab bin Omri melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, lebih dari pada semua orang yang mendahuluinya. Seakan-akan belum cukup ia hidup dalam dosa-dosa Yerobeam bin Nebat, maka ia mengambil pula Izebel, anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya. Kemudian ia membuat mezbah untuk Baal itu di kuil Baal yang didirikannya di Samaria. Sesudah itu Ahab membuat patung Asyera, dan Ahab melanjutkan bertindak demikian, sehingga ia menimbulkan sakit hati TUHAN, Allah Israel, lebih dari semua raja-raja Israel yang mendahuluinya. 
(1 Raja-raja 16:32-33) 

Izebel tidak mau meninggalkan allahnya di Sidon; ia mau supaya bukan hanya ia tetap beribadah kepada Baal, tetapi juga seluruh orang Israel yang dipimpin oleh suaminya ikut menyembah Baal. Sebenarnya sebelum Izebel menjadi ratu, orang Israel sudah tercemar penyembahan berhala. Tapi, she is really something else; dia membuat penyembahan Baal menjadi agama negara. Pada akhir pelayanan nabi Elia, hanya tersisa 7000 orang di Israel yang tegas menolak menyembah Baal. Izebel menjadi ratu di Israel, tetapi dia tidak pernah menjadi orang Israel: hatinya tidak pernah tunduk kepada Allah Israel. 

Dalam Taurat Musa, jelas sekali dinyatakan bahwa sekalipun Israel punya raja, raja yang sesungguhnya dari Israel adalah TUHAN Allah. Izebel menentang kepemimpinan Allah atas Israel. Ia berusaha memusnahkan agama Yahwe dengan cara membunuh semua nabi Tuhan. Tuhan tidak tinggal diam dan mengutus Elia untuk berbicara keras kepada Ahab dan Izebel. Puncak perseteruan Izebel, wakil Baal, dan Elia, wakil Tuhan, adalah ketika Elia bertarung dengan 850 nabi Baal di gunung Karmel. Elia menang dan membantai nabi-nabi Baal tersebut. Tetapi Izebel bukannya tunduk kepada Allah yang telah membuktikan kemahakuasaan-Nya, malah dia mengejar Elia untuk dibunuh. Jadi, Izebel tetap berkeras hati walaupun Tuhan sudah menunjukkan bahwa Dialah Allah yang benar. 

Berikutnya, Izebel menunjukkan kejahatannya lewat tindakan yang amoral. Kasus kebun anggur Nabot adalah contoh yang jelas dari hal ini. Singkat cerita, raja Ahab mau membeli kebun anggur Nabot di daerah Yizreel, tapi Nabot tidak mau menjualnya karena itu tanah warisan. Izebel turun tangan dan menyabotase ladang Nabot dengan cara fitnah dan tipu muslihat. Nabot akhirnya mati dirajam massa, dan Ahab mendapatkan tanah yang ia inginkan. Kalau begini cara mereka mendapatkan apa yang mereka mau, saya yakin ada setumpuk kejahatan lain yang mereka lakukan juga, yang tidak dicatat dalam Alkitab. 

Tetapi Tuhan tidak tinggal diam melihat kejahatan sepasang pemimpin bangsa itu. Kematian yang mengerikan menunggu mereka, terutama Izebel: 

“Izebel akan dimakan anjing di kebun di luar Yizreel dengan tidak ada orang yang menguburkannya.” (2 Raja-raja 9:10) 

Kutuk yang ngeri ini akhirnya benar-benar menimpa Izebel. Ia mati karena jatuh didorong dari balkon oleh pegawainya sendiri. Ketika orang akan mengambil mayatnya untuk dikubur, yang mereka jumpai hanya kepala, telapak tangan, dan kakinya, karena sisanya sudah dimakan anjing. 

Nah, akhirnya Izebel mati. Tapi ternyata dalam Wahyu, kitab paling terakhir dalam Alkitab, namanya muncul lagi! 

“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Tiatira: Inilah firman Anak Allah, yang mata-Nya bagaikan nyala api dan kaki-Nya bagaikan tembaga: 
Aku tahu segala pekerjaanmu: baik kasihmu maupun imanmu, baik pelayananmu maupun ketekunanmu. Aku tahu bahwa pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari pada yang pertama. Tetapi Aku mencela engkau karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku supaya berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala.”
(Wahyu 2:18-20) 

Sebagaimana Izebel menjadi ratu Israel tetapi tidak mau tunduk kepada Allah Israel, demikian pula “wanita Izebel” dalam kitab Wahyu ini ada di tengah jemaat Tuhan—bahkan mungkin sebagai pemimpin—tetapi tidak mau tunduk kepada Tuhan. Caranya? Ia mengajar jemaat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan firman Tuhan. 

Kota Tiatira memiliki serikat-serikat pekerja. Sama seperti kota-kota lain, pertemuan serikat kerja itu dimulai dan diakhiri dengan penyembahan berhala, yang melibatkan makan persembahan berhala, kemabukan, dan segala macam ritual seksual. Sebagaimana orang Kristen di kota-kota lain menghadapi resiko kehilangan pekerjaan apabila mereka mengucilkan diri dari upacara semacam itu, demikian pula jemaat di Tiatira menghadapi ancaman yang sama. “Wanita Izebel” ini menyatakan bahwa tidak apa-apa bila orang Kristen mau berkompromi dengan ritual-ritual berhala tersebut, karena hal itu demi penghidupan mereka. Tidak apa-apa mencampur ibadah kepada Tuhan dengan gaya hidup duniawi! Singkatnya, ia terang-terangan mendorong jemaat agar melanggar firman Tuhan. 

Apa pesan Tuhan Yesus bagi jemaat yang menghadapi penyesat ini? Ia berkata, “Inilah firman Anak Allah, yang mata-Nya bagaikan nyala api dan kaki-Nya bagaikan tembaga” (Wahyu 2:18). Dari surat kepada ketujuh jemaat, hanya dalam surat kepada jemaat Tiatira ini Yesus menyebut dirinya “Anak Allah”. Ia mengingatkan jemaat bahwa Ialah Tuhan mereka yang sesungguhnya, dan mereka harus sujud kepada-Nya, bukan para berhala. Mata-Nya bagaikan nyala api: Ia melihat semua perbuatan umat-Nya. Kaki-Nya bagaikan tembaga: logam yang kuat dan keras, yang akan mendatangkan kehancuran besar dengan sekali injak. Seperti inilah Tuhan Yesus menyatakan diri kepada jemaat yang disesatkan oleh wanita Izebel! 

Bayangkan bila wanita yang begitu berpengaruh seperti Izebel, memakai pengaruhnya untuk memuliakan Tuhan, dan bukan melawan Dia. One can only wonder. Mari kita belajar dari cerita Izebel dan nasibnya, agar kita tunduk pada kepemimpinan Allah dalam hidup kita dengan penuh hormat. Dan berhati-hatilah terhadap Izebel jaman now, yang berjuang keras melawan Tuhan dengan menyeret orang lain untuk hidup dalam daging.

Monday, May 13, 2019

Wanita yang Berzinah: Bagaimana Seharusnya Menanggapi Kasih Karunia?




by Eunike Santosa

Siapa di antara kita yang: 
a. tidak pernah berbuat dosa? 
b. punya masa lalu yang kelam? 
c. kenal dengan orang yang punya masa lalu yang kelabu? 

Kalo nggak ada, pernahkah Pearlians mendengar cerita tentang kehidupan seseorang yang kelabu, nggak? Hahahaha… #maksa :p

Mungkin di sini kita bakal teringat dengan satu-dua cerita tentang orang-orang tertentu. Tapi coba deh, dipikirkan lagi. Apakah kita pernah merasa diri ini lebih baik daripada … (isilah titik-titik ini sesuai dengan orang yang muncul di pikiranmu)?

Sudah? Oke, next question. Siapa yang saat ini sedang bergumul dengan dosa? *saya ikutan angkat tangan kalo begini. Hehe*. Nah, bagaimana pergumulan Pearlians sejauh ini? Apakah: 
a. jatuh dalam dosa yang sama? 
b. sudah bebas dan lanjut bergumul dengan dosa lainnya? 
c. malah keenakan berkubang di lubang dosa itu? 

Kenapa saya menanyakan semua pertanyaan tersebut sebagai pendahuluan?

Karena once upon a time, ada sebuah kisah di mana terdapat karakter-karakter yang—kurang lebih— berada dalam situasi seperti itu. So, kali ini kita akan belajar dari kisah wanita yang berzinah. Ceritanya terdapat dalam Yohanes 8:1-11. Yuk, kita liat baik-baik apa yang terjadi di sini. (Peringatan: ini bahasa parafrase, jadi Pearlians sangat dihimbau tetap membuka Alkitab masing-masing dan baca dari situ dulu, ya. Hehehe...)

Kisah ini dimulai dengan: 
  1. Tuhan Yesus jalan ke bukit Zaitun. Itu masih pagi bangettt, and Dia lagi di Bait Allah. Nah, trus orang-orang (rakyat) datang nih. Jadinya Tuhan Yesus duduk dan ngajarin mereka. (ay. 1&2). 
  2. Trus muncullah… *Jreng jreng* para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (pada dasarnya, mereka itu orang-orang yang tahu banget hukum Musa—karena mereka belajar sampai paham total—kayak ahli teologi pada zamannya gitu, deh! Kalo sekarang, kira-kira mirip sama para pendeta atau hamba Tuhan gitu laahhh). Mereka dateng bawa cewek yang kedapatan lagi berzinah (baca: lagi ML sama cowok yang bukan suaminya) (ay.3). 
  3. Nah, si cewek ini ditaruh aja di tengah-tengah kerumunan yang ada di depan Tuhan Yesus, lalu “para pendeta” itu ngomong ke Tuhan Yesus, “Ini cewek ketangkap basah baru berzinah (ay.4), dan dalam hukum Taurat (hukum Israel), Musa bilang kalo cewek ini kudu dilemparin batu. Menurut lu gimana noh? (ay.5)” 
  4. Ayat 6 langsung nunjukkin dengan jelas motivasi para manusia ini adalah untuk mencobai Tuhan Yesus. ”Haaa… pengen nyalahin Tuhan Yesus, nih.” Eh tapi, respon Tuhan Yesus adalah nulis-nulis di tanah pake jari. (perihal lagi nulis apa, ga ditulis sih sm Alkitab) 
  5. Trusss, karena didesak sama pertanyaan-pertanyaan itu, akhirnya Yesus bilang, “Kalo di antara kalian ada yang ga berdosa, silakan aja jadi yang pertama lemparin batu ke cewek itu.” (ay.7) Abis itu Dia langsung lanjut nulis-nulis di tanah lagi (ay.8). 
  6. Nah, setelah Tuhan Yesus ngomong gitu, satu-satu mulai pergi, deh. Dari yang paling tua ke paling muda, sampai cuma tinggal Dia dan cewek itu doang (ay.9). 
  7. Abis itu, Tuhan Yesus berdiri dan nanya ke si cewek, “Yang lain mana, yah? Gak ada yang mau ngehukum kamu kah?” (ay. 10) 
  8. Si cewek jawab, “Gak ada, Tuhan.” Trus Tuhan Yesus bilang, "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (ay. 11) 
Nah, dari kisah tersebut, coba kita cermati ada siapa aja di situ. Pastinya ada Tuhan Yesus, kemudian para ahli Taurat dan orang Farisi, serta si perempuan yang berzinah. Dari situ, kita akan membahas lebih dalam tentang dua hal; kemunafikan rohani dari para “petinggi” agama tersebut, serta hubungan pengampunan dan pertobatan yang disampaikan oleh Yesus pada perempuan itu. 


--**--

1. KEMUNAFIKAN ROHANI
Secara eksplisit, Alkitab mencatat motivasi para ahli Taurat dan orang Farisi, “Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya.” (ay. 6). Bagaimana kita bisa melihat kemunafikan mereka yang lebih jelas? Dari catatan kaki yang ada di Alkitab (baik Alkitab cetak maupun yang berbentuk apps. Kalo di apps, bentuknya kayak bintang yang perlu di-klik gitu). Catatan kaki ini berisi ayat Alkitab yang terkait dengan ayat yang kita baca, tujuannya untuk membantu menjelaskan bagian yang sedang dibaca. Gak percaya? Cek aja langsung hehe. Oke, kita akan baca dua ayat yang berkaitan dengan Yohanes 8:6 ini:

Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.
(Imamat 20:10)

Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.
(Ulangan 22:22)

Kitab Pentateukh (5 kitab pertama di Alkitab) merupakan kitab Musa, salah satunya adalah Imamat yang berisi berbagai hukum Israel—yang diulang lagi nantinya di Ulangan (setelah Israel keliling-keliling gurun selama 40 tahun). Nah, dari dua ayat di atas (yang ada di dalam hukum Musa), bisa kita lihat kalo semestinya yang ditangkap itu dua-duanya, si cowok dan si cewek. Tapi kenyataannya, yang dibawa kepada Tuhan Yesus cuma yang cewek.

Lah, lakinya kemana? Kok, cuman si cewek aja yang dibawa ke Dia? Kan, katanya mau sesuai hukum, ya? Berarti harusnya yang cowok juga ikut dihukum, kan? Gimana, sih…

Nggak berhenti di situ, setelah didesak melulu, akhirnya Tuhan Yesus bilang untuk mempersilakan mereka yang tidak pernah berbuat dosa buat ngelemparin batu duluan. Pada dasarnya, hal ini sesuai dengan apa yang Musa tulis:

Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
(Ulangan 17:7)

Di situ dibilang, kalo beneran nih cewek berzinah, siapa yang ‘dapetin’ dia harus jadi yang paling pertama buat lemparin batu. Kenapa? Biar mereka tahu, dan orang-orang nggak asal aja laporin orang yang mau dilemparin batu (dibunuh). Dengan hukum ini, para saksi dituntut untuk mengambil konsekuensi dan tanggung jawab atas testimoni mereka—bukan hanya sekadar lempar batu sembunyi tangan. Artinya, adalah satu hal ketika kamu bisa berkoar-koar sebarin hoax, tapi itu jadi lain kalo mereka harus benar-benar berhadapan dengan konsekuensi atas apa yang kamu katakan. Dengan jadi orang yang pertama untuk lemparin batu, maka ada beban etis dan moral dari sekadar memberikan tuduhan. Jadi ada sebuah proses peradilan yang terjadi di sini. 

Nah dari dua hal keganjilan tersebut, alasan sebenarnya dari para ahli Taurat dan orang Farisi ini bisa kita lihat dengan lebih jelas: pengen nyalahin dan nyudutin Tuhan Yesus. Kalo Tuhan Yesus main mengampuni aja nih cewek, tandanya Yesus melanggar hukum Musa donk (big no no!). Di sisi lain, kalo Tuhan Yesus mengikuti hukum Musa, maka di mana kasih dan pengampunan itu? Nah, ngerti kan gimana dilemanya Tuhan Yesus? Hahaha... Kira-kira gitu deh, pemikiran para ahli Taurat dan orang Farisi yang mau menjebak Tuhan Yesus. Mereka pikir pasti Tuhan Yesus akan memilih di antara dua hal tersebut; either way, kena deh!

Tapi, ups! Respon Tuhan Yesus beneran keren, deh. “Silakan lempar batu kalo kalian tidak pernah berbuat dosa!” Pernyataan ini membalikkan kedudukan orang-orang yang tadinya merasa diri lebih benar daripada si perempuan yang kedapetan berdosa ini. Yesus seolah-olah balik nanya, “Oke deh, kalo kamu mau hukum nih cewek karena dia buat dosa. Tapi kamu sendiri gimana? Sucikah kamu?” Standar kekristenan yang Tuhan Yesus kasih untuk kesucian itu sampai dengan, “Kalo kamu liatin orang lain dengan nafsu, kamu udah berzinah (Mat 5:28). Pernah ga kamu liatin orang kayak gitu? Sadar gak kalo kamu itu sama berdosanya, dan gak lebih baik dari cewek ini?”

Tadi di awal-awal, saya kasih pertanyaan, “Apa kamu pernah merasa lebih baik dari orang lain?” Kalo jawaban “ya” untuk pertanyaan seperti itu pernah muncul di pikiran kalian, maka pemikiran seperti ini dalam bahasa Inggris disebut “self-righteousness” atau dengan kata lain… merasa benar sendiri. Google Translate sih, bilangnya “kemunafikan”. Hehehe… :$ Ini sikap waktu kita merasa kalo kita ini lebih kudus dari orang lain, lebih superior secara moral dan perilaku, lebih hebat, bahkan lebih ‘spiritual’ dibandingkan mereka!

Jujur saja, ini pergumulan tersendiri bagi saya. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di lingkungan gereja, menghakimi orang lain dan melihat diri saya sendiri lebih baik daripada yang lain secara moril itu adalah sebuah kecenderungan yang perlu saya perangi. Gampang banget buat lihat balok di mata orang lain, tapi saya justru nggak lihat gajah se-mammoth di depan mata sendiri -.-“ Bagaimana pun, kemunafikan spiritual ini adalah dosa dan menyedihkan hati Allah. Saya harus bertobat!

2. PENGAMPUNAN & PERTOBATAN
Singkat cerita, orang-orang itu udah pada pergi. Baguslah, tandanya mereka masih sadar diri hahaha… Yang tersisa cuma Tuhan Yesus dan si perempuan. Setelah gak ada orang yang lemparin batu, Tuhan Yesus bilang gini di ayat ke-11:

“Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."
(Yohanes 8:11)

Apa yang bisa kita pelajari dari kalimat Tuhan Yesus tersebut?

Yang pertama adalah pengampunan, alias dibebaskan dari penghukuman. Pernah lihat orang-orang yang diberikan abolisi atau amnesti dari presiden? Wuihhh, pasti rasanya senang dan lega bukan? Misalnya kamu kedapetan mencuri kue chiffon pandan dari Pasar Baru, eh kamu ketangkep sama orang-orang se-RT! Abis itu kamu dibawa (biar lebih dramatis, diseret) ke Pak RT—yang sekaligus adalah yang pemilik toko kue tempat kamu ambil kuenya hahaha. Bukannya ngehukum, beliau malah bilang, “Saya gak akan hukum kamu. Saya mengampunimu.” Ha, kalo gini kamu pasti senang, donk :p Lega kan, pastinya karena diberikan kesempatan untuk berubah.

Demikian juga dengan Allah yang mau mengampuni kita. Yohanes 3:17 menuliskan, “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” Pengampunan itu telah Dia berikan kepada kita, dan itu bukti kasih karunia dari-Nya buat kita, umat manusia yang berdosa ini.

Nah, terus sebagai orang yang sudah diampuni, apa yang harus kita lakukan? Jawabannya ada di bagian kedua dari kalimat Tuhan Yesus, yaitu, “Jangan berbuat dosa lagi” alias… Bertobat!

Maukah engkau menganggap sepi (baca: remeh, versi BIMK) kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?
(Roma 2:4)

Dosa itu emang enak, TAPI addictive, merusak serta mematikan! Dalam Roma 6 Paulus menerangkan dengan gamblang bagaimana sebagai orang yang telah dimerdekakan oleh Kristus: kita ini bukan budak dosa lagi! Kita dimampukan untuk say “NO!” terhadap dosa, dan kita membenci dosa karena tahu bahwa dosa mendukakan hati Allah. Alasan Tuhan marah dan sedih ketika kita berdosa itu karena Dia kasihan liatin kita yang lagi melukai diri sendiri. Bayangkan: Dia marah dan sedih untuk kita! :(

Lah, terus bagaimana kita bertobat? Apa itu pertobatan?

Dalam Perjanjian Baru, “pertobatan” menggunakan kata dalam bahasa Yunani, “μετάνοια” (metanoia), yang artinya “berbalik arah”—kehidupan yang benar-benar berubah 180

°

 (tentunya dengan mengarahkan diri sepenuhnya kepada Kristus, yaa). Perjanjian Lama pun memberikan beberapa contoh ungkapan mengenai bentuk pertobatan, misalnya di Yehezkiel 14:6; 18:30 (dengan kata “berpalinglah!”). Di samping itu, pertobatan juga memiliki unsur pengakuan dosa—dan yang paling terkenal tuh, kayak di Mazmur 51, di mana Daud mengaku dosa setelah berzinah dan membunuh suami orang. Sebagai contoh, kita bisa berdoa demikian, “Tuhan, aku telah . . . (isi dan deskripsikan apa yang kamu lakukan yang melukai hati Allah).” Jangan lupa: pengakuan ini harus diikuti penyesalan dan dukacita akan dosa tersebut, seperti yang dikatakan Paulus,

… karena dukacitamu membuat kamu bertobat. Sebab dukacitamu itu adalah menurut kehendak Allah, sehingga kamu sedikitpun tidak dirugikan oleh karena kami. Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan . . . 
(2 Korintus 7: 9-10)

Ketika kita bersedih karena dosa, itu bagus :) It’s a part of repentance! Ketika kita malu dan membenci dosa, itu adalah bentuk pertobatan. Walaupun harus tertatih-tatih dan bergumul keras untuk berkata TIDAK kepada dosa, itu adalah perwujudan dari pertobatan kita! Ketika kita jatuh untuk kesekian kalinya, namun bangkit kembali dan mau senantiasa untuk “balik arah’ dan mengikuti kehendak Allah, itulah pertobatan.

Jadi teman-teman, pertobatan itu adalah respon otomatis dari pengampunan. Dua-duanya sepaket.

“Anugerah murahan adalah rahmat yang kita berikan pada diri kita sendiri. Anugerah murahan adalah khotbah pengampunan tanpa membutuhkan pertobatan, baptisan tanpa disiplin gereja, Komuni tanpa pengakuan... Anugerah murahan adalah anugerah tanpa pemuridan, anugerah tanpa salib, anugerah tanpa Yesus Kristus, hidup dan berinkarnasi.”

(Terjemahan dari: “Cheap grace is the grace we bestow on ourselves. Cheap grace is the preaching of forgiveness without requiring repentance, baptism without church discipline, Communion without confession…. Cheap grace is grace without discipleship, grace without the cross, grace without Jesus Christ, living and incarnate.”)

—Dietrich Bonhoeffer

Kasih pengampunan yang Allah berikan kepada kita memang diberikan secara cuma-cuma, tapi kasih yang melatarbelakanginya itu sangat mahal, Pearlians! Menutup tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk merenungkan, “Bagaimana selama ini kita telah menghidupi kasih karunia Allah itu? Have we actually taken it for granted?

Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, 
karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia?
“Sekali-kali tidak!”
(Roma 6:15)

Beranikah kita mengatakan hal yang sama seperti Paulus di atas?

Monday, May 6, 2019

Batsyeba: Bangkit Melampaui Masa Lalu


by Yuni Sutanto 

Masa lalu kita tentunya beragam. Ada yang membanggakan, ada juga yang memalukan. Ada yang membahagiakan, ada juga yang ingin kita lupakan. Dari semua itu, memori tentang masa lalu mana yang sering muncul di benak kita – sengaja atau tidak? Apakah rasa sedih saat kehilangan ayah tercinta? Atau kenangan putus cinta saat orang yang kita doakan ternyata memilih gadis lain? Mungkin juga ingatan tentang masa lajang yang diwarnai pergaulan yang buruk. Kadang kenangan tentang peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan itu datang tanpa diundang. Lain halnya dengan kenangan yang baik, kita menjaganya agar tidak terlupakan. Misalnya, perasaan saat lulus kuliah dengan predikat summa cum laude, euforia bulan madu, atau keharuan saat melahirkan bayi mungil yang memberi kita status sebagai seorang ibu. 

Ada lorong-lorong di batin kita yang menjadi semacam “hall of pride”, dimana kita memajang momen-momen membanggakan. Ada pula lorong-lorong “hall of shame” tempat kita meletakkan ingatan tentang momen memalukan, menyedihkan dan penuh penyesalan. 

Masa lalu memang tidak bisa diubah. Tapi ia membangkitkan emosi dan pikiran tertentu saat kita mengingatnya. Emosi dan pikiran yang dapat menentukan masa kini dan masa sekarang. Nah, apapun warna masa lalu kita, jangan sampai masa lalu itu jadi batu penghalang untuk kita maju saat ini. Keputusan yang salah di masa lalu dengan segala konsekuensinya biarlah membuat kita lebih bijak dalam mengambil keputusan di masa kini dan akan datang. 

Kita bisa belajar dari Batsyeba. 

Batsyeba bukanlah wanita biasa. Ya, ia jelas berbeda dari wanita-wanita di Perjanjian Lama, sampai-sampai namanya diabadikan di silsilah Yesus. Dalam budaya patriarki bangsa Yahudi, biasanya hanya kaum pria yang namanya dicatat dalam silsilah. Tapi, dari silsilah Yesus, ada tertulis beberapa nama wanita. Mereka ini adalah para wanita yang “tidak biasa”, sehingga penulis Alkitab merasa perlu memberikan sedikit catatan tentang mereka. Salah satu dari nama wanita yang tercatat di silsilah Yesus ialah Batsyeba! 

Namun, bagaimana kisah Batsyeba diabadikan di silsilah Mesias tersebut? Catatan apa yang ditulis tentang seorang Batsyeba? Apa sih kisah tak biasa itu? Apakah kisah yang layak dipajang di hall of fame, atau skandal yang harus diletakkan di hall of shame

Ternyata, Batsyeba tidak dituliskan sebagai “Batsyeba anak Eliam” padahal ayahnya tercatat sebagai salah seorang pahlawan gagah perkasa Israel. Ia juga tidak dituliskan sebagai “Batsyeba cucu Ahitofel”, padahal kakeknya adalah salah satu dari penasehat Raja. Ia juga tidak dicatat sebagai “Batsyeba istri Daud”, tidak demikian! Namanya dicatat sebagai “istri Uria”, orang Het. 

Demikian firman Tuhan di Matius 1:6

“Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria.” 

Jadi, silsilah Tuhan Yesus mencatat bahwa Raja Daud memperanakkan Salomo, sang pewaris tahtanya dari “isterinya Uria”. Sungguh sebuah catatan hall of shame. Sebuah skandal perzinahan yang jejaknya diabadikan dalam silsilah seorang Juru Selamat. 

*** 

Siapa gerangan suami resmi Batsyeba? Siapa Uria orang Het itu? 

Uria ternyata adalah salah satu pahlawan perang Daud. Jadi, ayah dan suami Batsyeba termasuk dalam daftar 37 pahlawan perang Daud. Pahlawan perang di zaman Raja-Raja ibarat samurai yang hidup di zaman Edo di Jepang. Mereka adalah kaum terhormat yang dipandang berjasa dan bermartabat. Batsyeba berasal dari keluarga yang termasuk kalangan ini. Rasa hormat terhadap istri dan anak dari pahlawan perang ini tentu membuatnya cukup dipandang oleh masyarakat era itu. Sebuah reputasi awal yang sangat terhormat bukan? 

Namun setelah skandal “one night stand” bersama Raja Daud, predikat Batsyeba sebagai istri dan anak pahlawan perang yang terhormat seolah sirna. Rusak susu sebelanga hanya karena nila setitik. Rusak sudah nama baik yang selama ini terjaga. 

Hal ini berbeda dengan Ester yang menjalani setahun dalam kontes ratu Persia. Ia mempersiapkan diri sekian lama demi mendapat kesempatan “one night with King Ahasyweros”. Ia melakukan berbagai ritual kecantikan demi bertemu sang Raja. Kontras sekali dengan Batsyeba yang tanpa persiapan ternyata lalu seranjang dengan Raja Daud. Ia bahkan tak sadar bahwa sang Raja menyaksikannya mandi tanpa sehelai benang di tubuhnya, tepatnya saat Batsyeba berada di atas sotoh rumahnya menjalankan ritual membersihkan diri sesuai tradisi wanita Yahudi. Ritual membersihkan diri di era itu memang dilakukan dengan air hujan yang di tampung di tempayan-tempayan di atas sotoh. Ia tak tahu bahwa aksi mandinya membangkitkan birahi seorang Raja, yang posisinya begitu strategis untuk menyaksikan pemandangan sekelilingnya! 

Saat sang Raja memanggilnya menghadap pun, ia mungkin mengira sesuatu telah terjadi pada Uria suaminya di medan perang. Terluka parahkah Uria? Tak disangkanya ternyata ia diundang ke istana untuk memuaskan birahi sang Raja yang kebetulan sedang “tak ikut berperang”. Tindakan itupun membuahkan benih di rahimnya. Bathsyeba hamil, dan kehamilan itu terjadi suaminya berperang. Semua orang akan tahu ia berzinah. 

“Wanita macam apakah yang bersedia tidur dengan Raja sementara suaminya bertarung di medan perang?” begitu mungkin cibiran dan bisik-bisik di antara para dayang dan kerabat istana. Atau mungkin bisik-bisik itu hanya muncul di kepalanya, ungkapan tajam hati nurani yang tak henti menuduh dirinya sendiri! 

Singkat cerita, Batsyeba akhirnya diperistri oleh raja Daud, setelah Uria suaminya “tewas” di medan perang. Anak yang terlahir dari hasil hubungan terlarangnya dengan sang Raja pun meninggal sebagai hukuman Tuhan. Namun Batsyeba masih melahirkan empat putra lagi bagi Daud: Simea, Sobab, Natan dan Salomo. Tuhan tetap membuka rahim Batsyeba. 

Bastsyeba memang pernah melakukan kesalahan, namun ia tidak berkubang dalam kesalahannya. Bersama Daud, ia bangkit dari masa lalunya. Pertobatan Batsyeba memang tidak diceritakan secara khusus di Alkitab. Firman Tuhan hanya mencatat pertobatan Daud. Tapi, kita bisa melihat perkenan Tuhan bagi keluarga ini, melalui kehidupan Salomo, dan bagaimana Tuhan memilihnya menjadi leluhur seorang Mesias. 

*** 

Mungkin ada di antara kita yang memulai pernikahan dengan problema seperti Batsyeba. Ada pasangan yang memulai pernikahan dengan bimbingan pranikah, penuh persiapan beberapa tahun sebelumnya, setelah sebelumnya melalui proses menjaga kekudusan. Namun, tidak menutup mata, banyak pula yang memulai pernikahan tanpa persiapan matang, bisa saja demi menutupi aib keluarga, karena terlanjur hamil di luar nikah, dikejar target usia, memakai jasa biro jodoh, atau bisa saja menikah dengan seseorang yang ternyata pasangan orang lain. Ada berbagai motif dan alasan yang salah saat seseorang memasuki gerbang pelaminan. 

Batsyeba pun demikian, ia memulai rumah tangganya dengan Daud dengan cara yang salah, namun ia bangkit mengatasi masa lalunya. Ia memang menjalani konsekuensi dari perbuatannya yang salah. Ia harus menjalani kesedihan karena anak hasil hubungan dengan Daud meninggal dunia. Ia harus hidup dengan Raja Daud yang juga mempunyai istri-istri lainnya. Ia harus diingat sebagai istri Uria yang berzinah dengan sang Raja. Cukup memalukan dan mengerikan ya konsekuensi dari kesalahannya? 

Tapi, meskipun Alkitab tidak menceritakan pertobatan Batsyeba dengan detail, kita bisa melihat bagaimana Batsyeba kemudian berperan dalam kehidupan Daud dan Salomo sebagai istri dan ibu yang takut akan Tuhan. Saat polemik pergantian raja, Batsyeba, atas nasihat Nabi Natan, mencegah Daud mengangkat Adonia dan memperjuangkan Salomo menjadi Raja sesuai kehendak Tuhan. Natan adalah seorang Nabi yang punya integritas, dialah yang menegur Daud atas perzinahan yang ia lakukan bersama Batsyeba. Apabila Natan tidak percaya pada Batsyeba, mustahil rasanya ia menyuruh Batsyeba bicara pada Daud. Dan Batsyeba, mengikuti nasihat Nabi Natan dengan taat. Atas peran Batsyeba, Daud memerintahkan Salomo diurapi menjadi raja menggantikan dia. 

Mustahil rasanya Batsyeba bisa melupakan masa lalunya, tapi ia menebus semua itu dengan pertobatan, hingga kemudian melakukan perannya sebagai istri Daud dan ibu bagi Salomo dengan benar. Ia memulai dengan salah, tapi ia berupaya mengakhiri dengan benar! Bukankah demikian juga seharusnya dengan hidup kita? Entah kita memulai dengan awal yang benar atau salah, bagian kita adalah terus mengerjakan keselamatan hingga garis akhir! Jangan puas atau takabur dengan awal yang benar, tapi pastikan kita mengakhiri hidup kita dengan benar! Lebih baik seorang mantan pelacur yang bertobat daripada seorang mantan hamba Tuhan yang murtad. Bagaimana kita menyelesaikan pertandingan imanlah yang menentukan. 

Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh! 
(1 Korintus 10:12)

Hiduplah di masa kini, jangan hidup di masa lalu! Fokus mengingat kegagalan di masa lalu membuat hidup kita tidak maksimal di masa kini. Yang kita miliki hanyalah “saat ini” dan “pelajaran” dari masa lalu. Keputusan di tangan kita: apakah kita terus melanjutkan sisa hidup ini dalam kebenaran atau tidak. Batsyeba memilih untuk tidak mengijinkan masa lalunya yang salah mengikatnya dalam mengambil keputusan benar di saat ini. Kita pun bisa memilih melakukan hal yang sama. Mari terus berjuang mengerjakan keselamatan sampai akhir hidup kita! 

Never quit in your journey of faith! Finish strong!