by Leticia Seviraneta
“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” –Amsal 15:1
Kata kelemahlembutan terdengar kurang menarik bagi sebagian dari kita. Dalam bahasa kita, kata ini sering diasosiasikan dengan sikap yang terlihat lemah dan lembut. Namun di dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah gentleness atau meekness. Dalam bahasa Yunani, digunakan kata praotes yang artinya strength in gentleness; keseimbangan antara power dengan pengendalian diri; strength under reserve; kemampuan untuk tidak bersikap kasar yang tidak membangun namun juga dapat bersikap tegas bila diperlukan.
Kelemahlembutan dapat digambarkan sebagai kekuatan batin di dalam (inner strength), tidak terlihat namun memberi kestabilan dan ketenangan bagi yang memilikinya meski situasi di luar sedang tidak kondusif. Kita menunjukkan kualitas kelemahlembutan ketika kita sebenarnya mampu membalas, baik perkataan maupun perbuatan, namun kita mampu untuk menahan diri dan tidak melakukan pembalasan. Hal inilah yang memberikan gambaran bahwa kelemahlembutan sama sekali bukanlah atribut yang dimiliki oleh orang yang lemah, melainkan orang yang kuat, karena dibutuhkan kekuatan jauh lebih besar untuk tidak menggunakan power kita meski kita sangat mampu menggunakannya.
Di artikel ini saya ingin mengupas lebih dalam lagi mengenai kelemahlembutan secara khusus di area perkataan. Kita sebagai wanita pada umumnya senang sekali berbicara. Namun kita seringkali melupakan bahwa di dalam perkataan kita baik dari pilihan kata, nada, dan waktu pengucapannya sangat penting karena memiliki dampak besar.
“Kita semua sering membuat kesalahan. Tetapi orang yang tidak pernah membuat kesalahan dengan kata-katanya, ia orang yang sempurna, yang dapat menguasai seluruh dirinya.
Kalau kita memasang kekang pada mulut kuda supaya ia menuruti kemauan kita, maka kita dapat mengendalikan seluruh badan kuda itu. Ambillah juga kapal sebagai contoh. Meskipun kapal adalah sesuatu yang begitu besar dan dibawa oleh angin yang keras, namun ia dikendalikan oleh kemudi yang sangat kecil, menurut keinginan jurumudi. Begitu juga dengan lidah kita; meskipun lidah kita itu kecil, namun ia dapat menyombongkan diri tentang hal-hal yang besar-besar. Bayangkan betapa besarnya hutan dapat dibakar oleh api yang sangat kecil!” –Yak 3:2-5
Yakobus memberikan gambaran betapa besarnya peranan lidah atau perkataan di dalam kehidupan kita. Terlebih lagi betapa besarnya berkat yang dapat kita berikan bagi orang lain, bila perkataan kita merupakan perkataan yang lemah lembut! Seberapa besarkah kekuatan sebuah perkataan yang lemah lembut? Dalam Amsal 15:1 Salomo menuliskan, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” Dari ayat tersebut, jelas bahwa bila kita mampu berkata dengan lemah lembut, kita bagaikan air di tengah api yang membara. Kita dapat meredakan situasi yang memanas di saat orang lain mungkin sedang marah-marah. Kelemahlembutan memberikan seseorang kekuatan meski sedang diperlakukan tidak adil sekalipun. Orang yang lemah lembut tidak terpancing untuk membalas tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Apabila muncul saat yang tepat ketika ia perlu berbicara maka ia akan memikirkan kata-kata yang tepat terlebih dahulu disertai dengan nada yang baik agar tidak membuat lawan bicara menjadi semakin marah.
“Kesabaran disertai kata-kata yang ramah dapat meyakinkan orang yang berkuasa, dan menghancurkan semua perlawanan.” – Ams 25:15 [BIS]
Di dalam terjemahan bahasa Inggris dikatakan bahwa a gentle tongue breaks a bone. Hal ini mengandung makna bahwa perkataaan lemah lembut dapat mematahkan perlawanan sekeras apa pun. Ini merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa!
Apakah semua ini terdengar sulit untuk dilakukan bagi teman-teman? Lalu bagaimana cara agar tutur kata yang lemah lembut menjadi gaya hidup kita?
1. Hidup di dalam pimpinan Roh Kudus
Karena kelemahlembutan merupakan aspek dari buah Roh (Gal 5:23), maka kita tidak dapat menghasilkan kualitas tersebut di luar pimpinan Roh Kudus.
“Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.” – Gal 5:16
Hidup dipimpin oleh Roh membutuhkan penundukan dan penyerahan segenap hidup kita untuk mau taat terhadap arahan Roh Kudus. Kita juga memerlukan kepekaan untuk mendengarkan suara-Nya dengan rajin berdiam diri dan bersekutu dengan Tuhan. Saya secara pribadi adalah orang yang lebih cepat berbicara dibandingkan berpikir. Jadi kemungkinan saya untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat, di nada yang salah, serta di waktu yang salah sangat tinggi. Namun seiring dengan pertumbuhan saya, serta setelah mengalami beberapa konsekuensi dari kurangnya kelemahlembutan dalam bertutur kata, saya akhirnya belajar untuk berkata-kata sesuai dengan arahan Roh Kudus. Roh Kudus akan menuntun apa saja yang perlu dikatakan dan apa saja yang tidak perlu. Yang perlu kita lakukan adalah taat terhadap arahan-Nya. Bila Roh Kudus memberikan impresi untuk kita berhenti berbicara atau berkata dengan nada yang lembut, maka lakukanlah. Bila kita tidak mampu berbicara dengan lembut saat itu lebih baik kita diam dan mundur dari perbincangan tersebut.
“Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air; jadi undurlah sebelum perbantahan mulai.” – Amsal 17:14
2. Latihan, latihan, latihan
“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah.” –Yak 1:19
Latihlah untuk lebih berpikir sebelum bertutur kata. Apakah perkataanku ini membangun? Apakah perkataanku ini dapat kusampaikan dengan nada lembut? Apakah waktunya tepat untuk menyampaikannya? Bila salah satu dari pertanyaan tersebut jawabannya adalah tidak, maka perkataan tersebut tidak perlu diucapkan sama sekali. Tantangan berikutnya adalah ketika lawan bicara kita memancing amarah yang membuat kita sangat ingin membalas atau berbuat sesuatu untuk menunjukkan ia salah. Dalam situasi ini penting bagi kita untuk memiliki sudut pandang yang benar. Kita hendaknya berpikir bahwa kalah dalam argumentasi bukanlah berarti kita lemah ataupun payah. Kita harus berada di atas argumentasi tersebut, bukan terbawa arus olehnya. Justru hal ini menunjukkan benar-benar bahwa kita kuat. Untuk apa memenangkan perdebatan, namun pada akhirnya merusak hubungan itu sendiri? Di dalam hubungan dengan sesama tidak ada unsur kompetisi di mana ada menang maupun kalah. Di dalam Tuhan, hubungan harus bersumber dari satu hal saja: kasih. Tidak ada menang atau pun kalah di dalam kasih. Yang ada hanyalah hubungan ini penuh kasih atau tidak ada kasih di dalamnya.
“Perintah baru Kuberikan kepadamu: Kasihilah satu sama lain. Sama seperti Aku mengasihi kalian, begitu juga kalian harus saling mengasihi. Kalau kalian saling mengasihi, semua orang akan tahu bahwa kalian pengikut-pengikut-Ku.” –Yoh 13:34-35 [BIS]
Biarlah tutur kata yang lemah lembut menjadi gaya hidup kita agar orang-orang mengenali kasih yang ada di dalam setiap hubungan yang kita bina dan pada akhirnya membawa mereka ke dalam pengenalan akan Yesus Kristus.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^