by Grace Suryani
Waks... Aneh banget sih, minta maaf aja kok perlu belajar. Yang natural aja deh ... mengalir aja deeehh. Toh yang penting udeh bilang, "Maaf". Selesai toh?
Well, ini lah salah satu masalah dari bangsa kita. Kita ini bangsa 'pemaaf' tapi sangking 'pemaaf'nya, jadi tidak pernah belajar dari kesalahannya. Itulah sebabnya, permintaan maaf kita sering kali cuman jadi basa-basi semata-mata. En akhirnya, tidak ada luka yang benar-benar disembuhkan dan hubungan yang dibereskan.
Ada beberapa hal yang perlu dipelajari ketika minta maaf.
1. Posisi ketika minta maaf :p
Adik saya yang paling kecil, tuna runggu (tapi jangan salah dd gue ganteng loh!! :p kayak artis korea hahaha) Trus karena dia juga sudah mulai gede, pernah gue tanya ama dia, "Kamu nanti pengen punya istri orang normal atau orang tuna runggu?"
Mulanya dia angkat bahu en ngga mau jawab. Tapi trus dia bilang kira-kira begini, "Kata temen-temen yang sudah menikah, kalo sama anak tuna runggu lebih enak. Karena kalo berantem kalo minta maaf, pasti tepuk bahunya baru bilang, 'Aku minta maaf ya'. Kalo sama orang normal ngga usah begitu."
Guys, anak-anak tuna runggu di Indo biasanya belajar membaca bibir bukan pake bahasa isyarat. Jadinya kalo ngomong mesti berhadap-hadapan. en mereka harus saling menatap baru bisa ngerti, org satunya ngomong apa. Waktu kita ngobrol itu gue belon married. So gue ngga gitu ngerti apa hubungannya berhadap2an dengan minta maaf dengan pernikahan yang lebih baik!?!?!
But setelah gue married, gue baru ngerti. Seringkali sebagai orang 'normal', gue ngga minta maap dengan proper. Alias cuman sambil lalu doank, sambil memalingkan muka, kadang sambil nyapu bilang, "Maap ya." Selesai! Gue dah minta maaf toh?!!? Toh Tepen bisa denger. Gue kan ngga perlu berhadap-hadapan. BUT THAT'S WRONG!!! Itu sama sekali ngga menyelesaikan masalah.
Karena gue bisa banget bilang, "Maap ya" hanya untuk :
1. Basa-basi
2. Biar masalah cepet 'selesai'
3. Biar gue bisa ngelanjutin kerjaan gue yg tertunda.
Untungnya biasanya permintaan maap seperti itu selalu DITOLAK sama Tepen :p Dia selalu mau, kalo kita bertengkar, kita duduk bersebalahan, liat-liatan, en baru ngomong masalahnya apa.
You know what, ketika begitu, duduk sebelah-sebelahan en saling ngeliat, kalo akhirnya kata "Maap ya" keluar itu jauh lebih tulus en bener-bener dari hati. waktu itulah gue inget kata-kata Yahya, dd gue. Iya ya, bener. Kalo mau minta maaf mesti menyentuh dulu, mesti liat wajahnya dulu, ketika akhirnya kata maap itu keluar, itu bener-bener minta maap dan bukan sambil lalu. Coz ketika loe berhadapan muka dengan muka en loe masih sebel ama org itu, loe bakal susah banget untuk bilang, “Maap ya”
2. Jangan hanya katakan, “MAAP YA”
Kita berdua saat teduh dengan buku saat teduh utk pasangan. Yang menarik adalah ketika 1 hari yang dibahas adalah forgiveness. Penulis buku itu, David Ferguson menulis begini,
“I’ve discovered that saying ‘I was Wrong’ is much better than ‘I am sorry’. Saying the word wrong conveys more personal responsibility, remorse and repentance. The word confess means “to agree with God that what I’ve been doing is wrong.”
(Saya baru menemukan bahwa mengatakan, “Aku salah” lebih baik daripada “Maafkan aku”. Mengatakan kata “SALAH” artinya mengakui tanggung jawab pribadi, penyesalan dan pertobatan. Kata mengakui artinya setuju dengan Tuhan bahwa apa yang saya lakukan itu salah.)
Wow... dalem kan. Selama ini kita cuman berhenti di kata, “Maap ya,” tapi kita ngga berani maju lebih lanjut dengan memikul tanggung jawab. “Gue salah.” Gue en Tepen malah biasanya dilanjutkan... “Maap, hun, aku salah. Tadi aku ngga semestinya bicara kasar sama kamu. Aku salah karena aku banting pintu. Aku salah karena aku ngga menghargai kamu.”
Bilang begitu... BERAT BGT... tapi itu menyembuhkan. Itu menyembuhkan Tepen krn dia tau bahwa gue tau apa yang menyebabkan dia sedih. En itu menyembuhkan gue, krn gue jadi sadar di bagian mana gue salah!!
3. Selangkah lebih lanjut. Lanjutkan dengan. “Will you forgive me?”
Setelah kita ngaku salah dan salahnya dimana , selanjutkan kita mestinya tanya, “Will you forgive me?”
Masih dari buku yang sama,
Next, I must ask the question. “Will you forgive me?” this brings closure to the issue. The vulnerability is takes for me to ask this question demonstrates my humility and it also challenges Teresa with her decision to forgive.
(selanjutnya, saya harus bertanya “Maukah kamu memaafkan aku?,” ini membawa penutupan pada masalah. )
En... gue susah menerjemahkan kalimat berikutnya hahaha. Pokoknya intinya, ketika kita mengatakan itu, itu membuat kita jadi keliatan ‘mudah diserang’ en itu menunjukkan kerendah hatian kita en sekaligus juga menantang Teresa untuk memaafkan.
Ini mungkin kalimat yang HAMPIR TIDAK PERNAH KELUAR ketika kita minta maaf. :p Karena tanpa sadar kita berpikir, “Kalo gue dah minta maaf, maka loe HARUS memaafkan gue. Kan gue dah minta maaf. Loe mau apalagi?”
But itu salah guys. Ketika kita berpikir begitu, kita juga ngga tulus... Kita harus merendahkan diri kita, mengakui bahwa kita salah, en memohon kesediaan orang yang kita sakiti untuk memaafkan kita. Itu baru bener-bener minta maap.
BERAT?? Banget. Tapi itu menyembuhkan. Berkali-kali dalam konflik gue dan Tepen, ketika kita minta maaf dengan posisi yang tepat, mengakui kesalahan kita en selanjutnya memohon supaya Tepen memaafkan gue or vice versa, ketika akhirnya kita keluar, we’re done. Kita udeh selesai. Ngga ada lagi rasa amarah yang dipendam. Ngga ada lagi rasa sakit yang diungkit.
Ini berat tapi itu menyembuhkan. Wanna try?
(sumber: The One Year Devotions for Couples. David & Teresa Ferguson)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^