Friday, October 6, 2017

Lemah Lembut pada Suami


by Alphaomega Pulcherima Rambang


Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah. (Amsal 15:1 (TB))


Pernahkah bertengkar karena perkataan?

Aku pernah. Sering.

Biasanya ini TKP-nya di rumah.

Sasarannya? Suamiku.


Semula aku mengira ini terjadi karena isi perkataanku, tapi kupikir-pikir ga ada tuh isi omonganku yang perkataan kotor (sampai perlu disensor). Penyebabnya nggak cuma itu. Lalu aku me-review, memutar ulang pertengkaran kami dan AHA!!! Aku menemukan jawabannya. Masalahnya ada di aku. Nada suaraku terkadang meninggi. Aku membantah pak suami karena menganggap diriku yang paling benar. Sewaktu aku kesal dengan suamiku, aku nggak bisa mengendalikan lidahku. Kalau nggak diam (baca: ngambek), aku berkata ketus. Bukan yang pakai teriak sampai terdengar tetangga sih, tapi nada bicaraku nggak menyenangkan. Kasar. Nah, masalahnya adalah nggak ada orang yang senang mendengarkan orang berkata-kata kasar padanya, bahkan orang yang kasar sekalipun. Ibaratnya api disiram bensin makin besar, maka jawaban yang pedas membuat masalah semakin besar. 

Bagaimana caranya bersikap lemah lembut terhadap suami? 
1. Lebih banyak mendengar dibanding berbicara
Berlambatlah berkata-kata dan banyak mendengar supaya kita bisa mengerti apa isi hati suami yang sesungguhnya. Terkadang kita nggak mengerti karena nggak mau mendengarkan lalu respon kita jadi salah. Padahal kalau kita mau mendengarkan dengan baik, kita akan mengerti isi hati suami yang sesungguhnya dan nggak mengasumsikan yang negatif. Nah, kalau suami ngomong satu kalimat dan kita menyambar balas puluhan kalimat, kira-kira apa yang terjadi? Apakah suasana mendingin atau memanas? Lebih baik diam jika kita tidak punya hal baik untuk diucapkan. 

2. Perhatikan isi perkataan kita
Sebelum berbicara... THINK:

T = is it True? (apakah yang kubicarakan ini benar?)

H = is it Helpful? (apakah yang kubicarakan ini menolong?)

I = is it Inspiring? (apakah yang kubicarakan ini menginspirasi?)

N = is it Necessary? (apakah yang kubicarakan ini penting?)

K = is it Kind? (apakah yang kubicarakan ini baik?)

Kalau memang kita pikir itu bukan hal yang benar, atau nggak menolong, atau nggak menginspirasi, atau nggak penting, atau hal yang nggak baik... lebih baik nggak usah kita katakan.

Suatu kali aku kesal karena suamiku menghabiskan waktu weekend-nya bukan dengan kami tapi malah memasang parabola kami. Begitu ada masalah, aku berkomentar, ”Tuh kan, nggak bisaaaa... Coba suruh orang saja, bayar sedikit. Pasti nggak kayak gini.” Bisa diduga kan, akibatnya? Kami bertengkar karena aku nggak berhati-hati dengan ucapanku. Kalau dipikir sekarang aku merasa tolol, apa coba aku berkomentar seperti itu? Nggak ada gunanya, nggak membantu mempercepat pekerjaannya, eh membuat kesal iya. 

3. Perhatikan sikap dan nada kita saat berbicara 
Terkadang kita nggak sadar kalau bahasa tubuh, nada suara dan sikap kita saat berbicara itu kasar. Kendalikan diri. Kita harus punya kontrol atas segala tindakan kita. Terkadang tanpa sadar kita memalingkan muka saat suami berbicara, menaruh barang dengan kasar, membanting pintu karena kesal, dll. Ini memancing pertengkaran. Begitu juga dengan nada suara kita, kita harus tenang supaya nada bicara kita nggak meninggi. Suami tahu looo... kalau kita mulai menaikkan nada bicara kita. Tetaplah menghormati suami dan bersikap lembut padanya.

Kalau dengan orang lain kita bisa berlemah lembut, kenapa tidak pada suami? ^^V

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^