Monday, March 20, 2017

Sukacita dalam Ketaatan


by Glory Ekasari


Manusia pada umumnya berpikir bahwa mereka akan senang bila dibebaskan melakukan apa saja yang mereka mau. Hukum atau aturan adalah beban yang membuat kita merasa terkungkung. Bila tidak ada larangan, tidak ada aturan, bebas sebebasnya, baru kita akan bahagia! Tapi benarkah demikian? Bila kita bebas melakukan apapun yang kita mau, dan tidak ada seorangpun yang membatasi kita, bukankah itu berarti tidak ada yang peduli dengan kita?

Saya akan memberi contoh sederhana dalam hal ini. Baru kemarin saya ngobrol dengan pacar tentang bentuk kepedulian saya kepada dia. Saya bilang, kalau saya peduli pada seseorang, saya justru jadi banyak ngomel (maklum, wanita). Kalau dia makan makanan yang tidak baik untuk kesehatan, melakukan aktivitas yang membahayakan, atau sekedar naik motor tidak pakai jaket, saya akan ngomel-ngomel. Itu bukan karena saya tidak sayang diasebaliknya, justru karena saya peduli pada keadaannya, makanya saya cerewet.

Di sisi lain, pacar saya jadi sering minta izin kalau mau makan makanan yang kira-kira akan bikin saya ngomel (sudah tentu izin tidak keluar :p), atau melakukan aktivitas yang akan membuat dia dimarahi oleh saya. Saya tahu itu bukan karena dia takut, tapi karena dia tidak mau membuat saya kuatir atau marah atau sedih. Dia memperhatikan perasaan saya, dan karena itu dia merespon dengan menjaga dirinya baik-baik, sebagaimana yang saya inginkan.

Itu contoh dari manusia yang tidak sempurna. Tuhan mah lebih baik dari kita, Dia tidak ngomel seperti saya. Tapi prinsipnya sama: Tuhan memberi kita aturan karena Dia memperhatikan dan mengasihi kita; kita taat kepada Tuhan bukan karena takut, tapi kita merespon kasih-Nya itu, dan menunjukkan kepada Tuhan bahwa Dia penting bagi kita.

Dan ketika kita mengasihi Tuhan, menyenangkan Dia menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kita. Tuhanlah yang menciptakan kita, dan Dia tahu apa yang paling memuaskan hati kita: diri-Nya sendiri. Karena itu ketika orang Israel datang dan bertanya, apa sebenarnya yang paling Tuhan inginkan dari manusia, apa yang menjadi tujuan keberadaan kita, Dia menjawab:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.” Matius 22:37

Ketika kita mengasihi Dia, sukacita meluap dalam hati kita. Ketika kita menaati firman-Nya, kita mendapat kebahagiaan. Kitab Mazmur dibuka dengan kata “berbahagialah”, dan orang yang berbahagia adalah orang yang mencintai firman Tuhan dan melakukannya dalam hidupnya. Dunia bisa berkata lain; mereka menjanjikan sukacita dari harta benda, berbagai kesenangan, dan sebagainya, tetapi sukacita yang sejati hanya ada ketika kita hidup dalam ketaatan kepada Tuhan.

Banyak anak berkata bahwa cita-cita mereka adalah membahagiakan orang tua. Bisa jadi yang dimaksud adalah mewujudkan keinginan orang tua yang belum dapat mereka penuhi sendiri. Saya ingat ketika saya kecil, saya tanya mama, apa yang dia inginkan untuk hadiah ulang tahun. Mama menjawab, “Mama cuma mau kamu nurut.” (Saya waktu itu memang bandel.)

Tuhan pun berkata, “Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti perintah-perintah-Ku.” Ini yang paling Tuhan inginkan; dan bila kita mengasihi Dia, kita tentu ingin mewujudkan keinginan-Nya. Bila kita berhasil mewujudkan keinginan-Nya,
Bila kita berkata “tidak” pada pencobaan dan bertahan dalam ketaatan,
Bila kita lebih mementingkan melayani Tuhan daripada bersenang-senang,
Bila kita memilih menderita karena iman daripada berbuat dosa,

Kita akan bersukacita, karena kita telah menyenangkan Dia yang kita kasihi.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^