Wednesday, August 15, 2018

Speaking Gracious Words


by Glory Ekasari

Sudah jadi rahasia umum bahwa wanita lebih hobi ngomong dibanding pria. Wanita memang cenderung mengekspresikan diri lewat kata-kata; jadi ngga mengherankan kalau kita melihat sekelompok tante-tante ngerumpi dengan begitu serunya – tapi tentu mengherankan kalau yang ngerumpi itu om-om. Wanita itu, kalau sedang senang, bawaannya cerita. Kalau sedih, maunya curhat (ga beda juga sama cerita). Kalau lagi marah, ngomel panjang lebar. Kalau lagi ngga ada teman bicara, rasanya kesepiaaan banget. 

Tema artikel ini adalah gracious words, atau secara lepas bisa diterjemahkan “kata-kata yang membangun”. Bagi kita, kaum wanita yang suka bertutur kata, tema ini adalah refleksi yang penting. “Apakah kata-kata saya membangun?” adalah pertanyaan yang harus terus-menerus kita tanyakan pada diri sendiri. Sesekali salah bicara itu wajar; tapi kalau banyakan salahnya dibanding benernya, itu berarti ada yang ngga beres. Kalau mayoritas kata-kata kita tidak berguna (contoh: ngomongin orang, mengucapkan makian, membicarakan diri sendiri mulu, dsb), ini waktunya kita berubah. Mengapa harus berubah? Karena kita anak-anak Allah; pikiran, perbuatan, dan perkataan kita adalah persembahan yang hidup bagi Allah (Roma 12:1). Masa Tuhan diberi persembahan yang cacat, yang penuh cela? Selayaknyalah kita memberi Tuhan persembahan terbaik lewat kata-kata kita. 


// “Mengapa kata-kata saya tidak membangun?” 

Demikianlah pertanyaan yang saya ajukan pada diri sendiri lalu. Pembaca bertahun-tahun mungkin memikirkan hal yang sama. “Kenapa ya, saya suka ngomongin orang?” “Kenapa saya sering berkata-kata kasar?” Pembaca mungkin pernah mendengar sebuah pameo yang berbunyi, “Hurt people will hurt others.” Orang yang terluka cenderung melukai orang lain. Ini adalah contoh penyebab tindakan negatif manusia. Kita secara naluriah memanifestasikan apa yang ada di dalam kita dalam bentuk perbuatan. Bila yang ada di dalam kita baik dan sehat, tindakan dan perkataan kita juga baik dan sehat. Demikian pula sebaliknya, bila kita “sakit” di dalam, hal itu juga nampak dari perkataan dan perbuatan kita. 

Tuhan Yesus menyatakannya dengan kalimat yang lebih jelas: 

“Yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat.”
(Matius 12:34-35)

Jadi bila kita menyadari kata-kata kita tidak membangun, ungracious, menyakiti orang lain, kita wajib bertanya pada diri sendiri, “Apa yang ada di dalam saya?” Jangan-jangan yang ada di dalam saya adalah: 
  • Rasa minder 
  • Rasa tidak aman atau insecure
  • Iri hati 
  • Dendam atau sakit hati
  • Trauma karena pengalaman tertentu 
  • Hati yang keras dan menolak bertobat dari dosa 
Apapun yang ada di dalam kita, yang kita tahu tidak sesuai kehendak Tuhan, harus kita bereskan. Seumpama penyakit, ditembak langsung ke akarnya. Bila kita hanya berniat mengubah kata-kata tanpa menyembuhkan apa yang ada di dalam, itu sama saja dengan minum obat turun panas untuk penderita demam berdarah; itu hanya meringankan gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya. Dengan kata lain: mubazir, karena gejala itu akan kembali lagi selama penyakitnya masih ada. 

Kalau hati kita penuh dengan kasih, kita cenderung maklum pada kekurangan orang lain dan mengharapkan yang baik untuk dia, dan itu terwujud dari kata-kata kita. 

Kalau hati kita penuh luka, secara tidak sadar kita ingin orang lain ikut merasakan sakit yang kita alami, jadi kita menyakiti dia lewat perkataan kita. Kalau hati kita penuh damai sejahtera, dikritik pun kita bisa legawa. Tapi kalau kita insecure, kita akan membela diri habis-habisan dan balik menyerang orang yang mengkritik kita. 


// Belajar dari tokoh-tokoh Alkitab 

Salah satu contoh yang mentereng tentang orang yang gracious dalam berkata-kata adalah Yusuf. Orang lain mungkin dendam dan super sakit hati bila dijual sebagai budak oleh kakak-kakaknya dan menyalahkan mereka atas penderitaan selama belasan tahun. Tapi lihat apa kata Yusuf kepada saudara- saudaranya ketika mereka sujud ketakutan di hadapannya: 

“Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” Demikianlah ia menghiburkan mereka dan menenangkan hati mereka dengan perkataannya. 
(Kejadian 50:19-21)

Selama bertahun-tahun ia menanggung penderitaan, kita bisa berasumsi Yusuf sempat sakit hati pada kakak-kakaknya; tapi seiring berjalannya waktu, ia jadi bersahabat dengan Tuhan dan hidup untuk melayani Dia. Kedewasaan imannya bisa kita lihat saat dia menolak berselingkuh dengan isteri bosnya. Hubungannya dengan Tuhan membangun imannya dan menyembuhkan hatinya. 

Contoh lain dalam Firman Tuhan adalah Rut. Pembaca mungkin berpikir, emangnya Rut ngomong apa? Tepat sekali! Rut memang sedikit bicara, bahkan dalam kitab yang menyandang namanya. Tapi ketika dia bicara, kata-katanya tidak sembarangan. Seperti Yusuf, yang melatarbelakangi karakter Rut yang mengesankan ini adalah pengenalannya akan Allah. Ketika Naomi menyuruh Rut pulang ke rumah orang tuanya, jawaban wanita muda itu adalah: 

“Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; dimana engkau mati, aku pun mati di sana, dan disanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi daripada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain daripada maut!” 
(Rut 1:16-17)

Dia memilih mengembara di negeri orang bersama mertuanya dibanding pulang ke rumah orang tuanya. Mengapa? Karena Rut sudah mengadopsi iman sang mertua, dan ia tidak mau kembali lagi ke kehidupan lamanya. Bagi Naomi, yang sedang berduka, betapa menghiburkan jawaban Rut ini. 

Setelah sampai di tanah Betlehem, kita bisa memperhatikan apa yang tidak dilakukan Rut: ia tidak mengeluh, ia tidak meratapi nasibnya, ia tidak membicarakan penderitaannya dengan orang lain. Dia bekerja dengan tekun untuk menyambung kehidupannya dan mertuanya. Ini contoh orang asing yang karakternya bahkan lebih baik dibanding orang Israel sendiri. 

Contoh terakhir adalah Stefanus. Sebagai martir pertama dalam Kisah Para Rasul, dia hanya diceritakan sebentar saja dalam Alkitab. Tapi kata-kata terakhir yang diucapkannya bisa dibilang lebih dari gracious. Saya akan memberinya ranking impressive. Bagaimana tidak, dia meneladani Tuhan Yesus dengan kata-kata yang hampir sama: 

Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia. 
(Kisah Para Rasul 7:60)

Di tengah lemparan batu orang-orang yang membencinya, permintaan terakhir Stefanus kepada Tuhan adalah supaya Ia mengampuni orang-orang yang membunuhnya. Kata-kata ini tidak dibuat-buat – konon orang yang sedang sekarat akan berkata jujur. Lagi-lagi, seperti Yusuf dan Rut, yang membuat Stefanus bisa bertindak sedemikian mulia adalah Tuhan yang ada di dalam dirinya. Ketika bejana hidupnya dipecahkan, harta yang berlimpah-limpah – Kristus yang ada di dalam dirinya, menjadi kelihatan bagi semua orang. 

Satu-satunya cara agar perkataan kita menjadi gracious words adalah dengan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan. Tuhan sanggup mencabut apapun yang tidak baik yang ada dalam hati kita dan menyembuhkannya dengan sempurna. Prosesnya tidak terjadi dalam satu-dua hari, tapi bila kita tekun berdoa dan membaca Firman Tuhan, perlahan tapi pasti hati kita berubah. Dan bila hati kita berubah, perkataan dan perbuatan kita juga akan berubah. 

Dulu saya terkenal sering menyakiti orang lain dengan perkataan saya. Usut punya usut, di dalam hati saya merasa tidak cukup baik sebagai manusia; saya selalu merasa kurang dan harus membuktikan diri. Saya merendahkan dan menyakiti orang lain dengan kata-kata saya untuk memenuhi kebutuhan dalam hati itu. Tapi ketika saya mulai hidup bersama Tuhan, Dia membentuk dan mendidik saya dengan Firman-Nya. Beberapa tahun kemudian, seorang teman berkata tentang saya, “Setiap kali aku ngobrol sama kamu, I get something. Your words are full with wisdom. Saya hanya bisa terharu mengingat seperti apa saya dahulu dan betapa drastis Tuhan telah mengubah saya. Dan bila Dia bisa mengubah saya, Dia bisa mengubah siapa saja. 


// Bagaimana Caranya? 

"Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya."
(Yehezkiel 36:26-27) 

Amin bagi janji Tuhan. 

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^