Wednesday, August 22, 2018

Search My Heart, O Lord


by Leticia Seviraneta

“Above all else, guard your heart, for it is the wellspring of life.”
(Proverbs 4:23 / NIV)

Kita mungkin sering mendengar pengajaran mengenai menjaga hati, seperti beberapa bulan ini kita sudah belajar bagaimana musuh sering menyerang hati serta pikiran kita dan betapa pentingnya kita untuk memakai perlengkapan perang rohani. Ya, hati dan pikiran kita adalah medan perang di mana kita dapat dengan mudah terlena memikirkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Raja Salomo menuliskan nasihat yang sarat dengan kebenaran di Amsal 4:23 yaitu “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Di dalam terjemahan Alkitab Yang Terbuka ayat tersebut berbunyi: “Di atas segala-galanya hati-hatilah terhadap yang kaupikirkan karena pikiranmu mengendalikan hidupmu.” Wow... betapa dahsyat peranan hati dan pikiran kita bukan? Melalui hikmat Salomo, Tuhan berkata bahwa hati kita adalah sumber dari kehidupan. Apa yang ada di dalam hati kita sangat berperan penting menentukan arah hidup kita. Nah, bila hati dan pikiran kita biarkan melalang buana ke tempat yang tidak seharusnya, hidup kita pun berarti akan “nyasar” dari tujuan yang Tuhan sediakan bagi kita.

Berbeda dengan pengajaran dunia yang bahkan sering ada di lirik-lirik lagu seperti “Follow your heart”, Alkitab justru mengajarkan kita untuk tidak mempercayai hati kita atau istilahnya: “Don’t follow your heart!” Mengapa demikian? Karena di dalam kitab Yeremia, Tuhan mendeskripsikan betapa liciknya hati manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Hati kita tidak lagi dapat diandalkan untuk menjadi penentu arah kehidupan kita.

“Betapa liciknya hati, lebih licik dari segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan perbuatannya.”
(Yeremia 17:9-10)

Hati kita sudah terkontaminasi dengan dosa, tidak lagi dapat diandalkan untuk menentukan mana yang sesuai kehendak Tuhan mana yang tidak. Oleh karenanya, kita harus kembali mengandalkan Tuhan untuk senantiasa menguji hati kita, menunjukkan area-area mana saja yang perlu dibersihkan, supaya kita dapat melihat kembali dengan jernih kehendak-Nya.

Hati dan pikiran yang tidak benar (asumsi) juga bisa menjadi awal penyebab hubungan kita dengan sesama dapat dengan mudah retak. Ketika teman kita memberikan hadiah ulang tahun yang ‘murah’ kita dapat dengan mudah berpikir, “Ah betapa dia ga menganggap aku. Aku aja berikan dia kado yang mahal...” atau “Hiks pelitnya... masak kasih kado barang beginian?” Atau ketika dalam pelayanan teman kita yang baru saja join malah diangkat jadi pemimpin grup kita dapat berpikir, “Mengapa dia yang dipilih? Bukankah aku sudah lebih lama melayani dan lebih berpengalaman?” Hayo... Pernahkah teman-teman berpikir hal yang serupa? Skenario pertama yang tentang hadiah itu adalah pengalaman pribadiku sendiri. Aku merasa nyesek karena aku merasa berkorban lumayan besar memberikan kado untuk temanku itu, namun ia membalas hadiahku dengan sesuatu yang ia tidak pakai ketika ulang tahunku. Cukup lama aku bergumul di dalam hati dan pikiranku, semua yang negatif pokoknya menari-nari di dalamnya. Namun di situ aku ditegur Tuhan, Ia menunjukkan bahwa motivasiku ketika memberi itu berarti tidak tulus karena aku mengharapkan imbalan yang setimpal. Saat itu aku sadar hatiku tidak dalam kondisi baik, namun kesadaran saja pun belum cukup untuk mengembalikan hatiku sehat seperti semula. Dibutuhkan perjuangan dan waktu yang cukup lama untuk terus menggantikan pikiran-pikiran semacam itu dengan kebenaran.

The heart of the problem is the problem of the heart. Bila kita mau jujur, letak kunci dari permasalahan kita dalam hal relationship baik dengan Tuhan maupun sesama biasanya adalah masalah di dalam hati kita sendiri. Bila hati yang dijaga dengan baik oleh Firman Tuhan memancarkan kehidupan, maka sebaliknya bila hati tidak kita jaga dengan baik akan memancarkan “kematian”. Bau “kematian” itu yang akhirnya kita bawa dalam setiap relationship yang kita jalin hingga membuat hubungan menjadi retak, kemudian renggang, lalu pada akhirnya terputus sama sekali (mati). Bukan berarti juga pasti kita melakukan kesalahan, untuk beberapa kasus mungkin teman kita yang hati dan pikirannya kurang benar. Tapi menghadapi teman kita yang hatinya kurang benar, hati kita juga bisa terpengaruh tidak benar jika tidak dijaga. Yang bisa kita kendalikan adalah hati dan pikiran kita sendiri karenanya kita perlu terus jujur dan terbuka lalu meminta Tuhan untuk menguji hati kita. Atau dengan kata lain, kita sendiri membutuhkan yang namanya “heart check-up” secara rutin.

Daud yang diberi julukan “a man after God’s own heart” pun meminta heart check-up kepada Tuhan. Ia mengatakan,

“Search me, O God, and know my heart; test me and know my anxious heart; test me and know my anxious thoughts. See if there is any offensive way in me, and lead me in the way everlasting.” (Psalm 139:23-24)

Kata “search” yang dipakai dalam ayat ini dalam bahasa Ibrani adalah “chaqar” yang berarti to examine thoroughly, menyelidiki dengan seksama. Jadi Daud seperti memberikan dirinya secara terbuka dan meminta Tuhan untuk dengan bebas menyelidikinya dengan seksama, membuka hatinya serta mengenal seluruh pikirannya yang terselubung. Lalu kata “offensive way” dalam bahasa Ibrani memakai kata “otseb” yang dapat berarti pain, sorrow, idol. Daud bahkan meminta Tuhan untuk mengecek apakah ada rasa sakit, kesedihan, atau berhala dalam hatinya? Wow... di sini kita bisa melihat betapa rendah hatinya Daud karena ia benar-benar se-transparan itu di hadapan Tuhan dan mengakui betapa tidak sempurnanya ia. 

Seorang dokter dapat lebih mungkin menyembuhkan pasien yang sadar dirinya sakit dan memiliki keinginan untuk sembuh dibandingkan pasien yang tidak mau mengakui dirinya sakit, demikian juga halnya dengan Tuhan kita. Tentu saja Tuhan mau bekerja dalam hidup kita, dengan senang hati Tuhan mau menyelaraskan hati dan pikiran kita sesuai rencana-Nya. Namun dibutuhkan kerendahan hati dan transparansi dari pihak kita untuk memungkinkan Tuhan mengerjakan bagian-Nya juga. Tuhan memandang yang di dalam jauh lebih penting dari pada yang terlihat di luar.

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1 Samuel 16:7)

Jangan sampai kita lose focus, sibuk menjaga penampilan di luar namun keadaan hati yang jauh lebih penting justru terbengkalai.

Nah, sekarang bila kita sudah menyadari betapa pentingnya menjaga serta meminta Tuhan mengecek hati dan pikiran kita senantiasa, bagaimana kah caranya untuk dapat terbebas dari pikiran dan asumsi berlebihan tersebut? Paulus menuliskan,

“Don’t copy the behavior and customs of this world, but let God transform you into a new person by changing the way you think. Then you will learn to know God’s will for you, which is good and pleasing and perfect.”
(Romans 12:2 / NLT)

Dalam terjemahan lain Paulus menggunakan istilah “renewing of your mind”. Pikiran kita harus senantiasa diperbaharui, kebiasaan berpikir yang lama harus kita gantikan dengan yang baru. Apakah pola pikir yang baru itu?

“...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.”
(Filipi 4:8-9)

Bila pikiran kita seumpama gelas yang berisi air keruh, cara untuk membuatnya bersih kembali adalah dengan membuang seluruh air keruh tersebut dan mengisinya kembali dengan air jernih. Namun pada praktiknya, mustahil kita dapat menghapus semua pikiran negatif dalam sekejap seperti mengkosongkan air keruh tersebut. Jadi yang dapat kita lakukan adalah terus mengisi gelas tersebut dengan air bersih, sehingga air keruh itu perlahan namun pasti akan tergantikan dengan air baru. Proses renewing our mind sama halnya dengan menggantikan air keruh tersebut dengan air bersih, kita perlu ‘menimpa’ pikiran-pikiran yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dengan yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, penuh kebajikan, patut dipuji tersebut. Jadi ketika ada pikiran yang menari di pikiran kita, kita dapat langsung tanyakan kepada diri kita sendiri: Apakah ini benar? Apakah ini mulia? Apakah ini adil? Apakah ini suci? Apakah ini manis? Apakah ini sedap didengar? Apakah ini sebuah kebajikan? Apakah ini patut dipuji? Bila jawabannya tidak, maka kita dapat menanyakan kembali kepada diri kita sendiri, “Apa yang Tuhan ingin aku pikirkan tentang itu? Apa kata Firman Tuhan dalam situasi ini?” Kita harus membuat sebuah tujuan untuk memakai kacamata Tuhan dalam melihat segala sesuatu. Belajar untuk melihat dari sudut pandang Tuhan dan bukan sudut pandang kita saja, apalagi membiarkan hidup kita dikendalikan oleh apa yang hati kita rasakan (hati itu menipu teman-teman, ingat don’t just follow your heart!) Tapi bukan berarti kita menjadi seorang yang naif. Yesus dapat menjaga pikiran-Nya senantiasa selaras dengan kehendak Tuhan, namun Yesus tidak naif.

“Dan sementara Ia di Yerusalem selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya, karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya. Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.”
(Yohanes 2:23-25)

Yesus mengetahui hati manusia tidak stabil, karenanya ia tidak mempercayakan hati-Nya kepada mereka. Sama halnya dengan kita, kita harus mengatur ekspektasi kita terhadap sesama. Kita perlu melihat setiap individu di bawah terang kasih Tuhan, namun di saat yang bersamaan kita juga perlu mengingat bahwa setiap manusia rentan jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian, ketika seseorang tidak memenuhi standar yang kita harapkan, kita tidak mudah kecewa. Bila kita tidak mudah kecewa, kita tidak membuka ruang untuk mengundang rasa sakit hati, tersinggung, maupun kepahitan dalam hidup kita.

Kita sering percaya dengan kebohongan yang mengatakan bahwa pikiran berada di luar kendali kita. “Pikiran ini selalu muncul setiap kali dia melakukan itu. I can’t help it!” Karena menganggap pikiran berada di luar kendali kita maka kita sering membiarkannya lepas tidak terkendali begitu saja. Ketika teman-teman sekarang membaca artikel ini, aku ingin meyakinkan bahwa pikiran sangat dapat kita kendalikan. Namun butuh ketekunan dan kedisiplinan. It takes time to train our mind, but that doesn’t mean it’s impossible. Bila Tuhan memberikan suatu perintah, ia memastikan juga perintah tersebut dapat dilaksanakan. Sama halnya bila kita punya hewan peliharaan seperti anjing, perintah yang kita berikan adalah “Sit!”,“Stand!”, atau “Run!” Kita tidak akan memberikan perintah “Fly!” kepada seekor anjing karena kita tahu itu tidak mungkin untuk dilakukan. Di dalam Kolose 3:2 dalam terjemahan NIV dikatakan, “Set your mind on things above, not on earthly things.” Dalam bahasa Indonesia tertulis, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Jadi pikiran jelas dapat kita kendalikan teman-teman ☺ No excuse.

Yuk, kita sama-sama meminta Tuhan menyelidiki hati dan pikiran kita. Biarlah kita terbuka di hadapan Tuhan supaya Tuhan dapat menolong kita untuk menggantikan setiap pikiran kita yang tidak benar menjadi selaras dengan kehendak Tuhan. With God, yes we can defeat all negative thoughts and replace it with Godly thoughts!

“To change your life, you must change the way you think.”- Rick Warren

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^