Monday, August 21, 2017

Good Samaritan: Too Good to be True?


by Yunie Sutanto

Suatu kali di sebuah jalan dari Yerusalem menuju Yerikho, lewatlah seorang pedagang dengan membawa berbagai barang berharga. Namun para penyamun-penyamun menghadangnya, merampok semua hartanya dan tak cukup rupanya, merekapun memukulinya sampai babak belur. Tergeletaklah ia di tepi jalan itu dalam kondisi sekarat. 

Sayup-sayup di dengarnya ada yang melewati jalan tersebut. Sayangnya, mulutnya sudah tak kuat untuk berteriak meminta tolong. Namun, tahukah siapa sosok yang melalui jalan dari Yerusalem menuju Yerikho tersebut? Seorang imam yang berpakaian rapi jali. Rupanya sang imam sedang dalam perjalanan menuju tempat ibadat untuk memenuhi undangan berkotbah disana. Sang pedagang yang matanya memar dan berdarah karena luka pukulan berusaha dengan keras memincing-mincingkan matanya menatap sang imam. Mulutnya tak sanggup bersuara lagi, namun hatinya melonjak dan bergirang:

Imam Santer! Aku mengenalinya! Aku sering menunggu-nunggu jadwal kotbahnya! Imam yang terkenal tak pernah terlambat! Iman Santer, tolong aku! Oh betapa baiknya Tuhan Allah mengirimmu padaku yang sekarat ini!

Betapa kebetulan, Imam Santer berjumpa dengan salah seorang pemujanya. 

Betapa sejuk, saat sang pedagang mendengar gumaman doa-doa yang diucapkannya sambil berjalan.

Imam Santer menatap sejenak ke arah orang di pinggir jalan tersebut. Kotor, penuh luka memar, bau, darah dimana-mana dan terlihat sekarat.

Aku tidak punya waktu untuk menolong orang ini, nanti aku telat. Aku ga mau mengecewakan para pendengarku dan aku ini terkenal tidak pernah terlambat. Aku benci orang yang suka datang telat! Mereka tidak menghargai waktu orang lain. 

Hari ini ada dua jadwal mengajar di dua lokasi yang berbeda. Aku pasti telat beruntun jika menolong orang yang tak kukenal ini!

Betapa kagetnya sang pedagang ketika ia melihat sang imam pujaannya ternyata memutuskan meninggalkannya mati di tepi jalan! 

Mau menangis pun rasanya sudah terlambat, sudah kering stok airmatanya. 

Dehidrasi akut, kata malaikat yang berada disebelahnya.

Tak lama berselang, suara langkah kaki terdengar. Kali ini suara derap kaki yang berlarian tergesa-gesa! Siapakah sosok berikutnya yang tak kebetulan diijinkan-Nya melintas jalan tersebut?

Rupanya seorang Lewi! Ia mengenakan jubah rapi namun wajahnya nampak gelisah dan tak tenang. 

Ia bergumam sendiri, tak disadarinya bahkan ada seorang sekarat yang mendengar gumamannya:

Aku butuh lebih banyak uang. Aku harus lebih banyak bertugas, agar dapat lebih banyak persembahan kasih. Aku tak bisa diam terus, beberapa tagihan harus segera kulunasi.

Sang Lewi melirik sejenak ,melihat ke sudut jalan dimana sang pedangang yang sekarat tergeletak. 

Ia seorang imam Lewi, ya betul! Imam Lewi yang bertugas meniup sangkakala di Bait Allah. Ia bisa saja kebagian bertugas meniup sangkakala di zaman Yosua jika ia hidup di zaman itu.Sang Lewi lanjut bergumam:

Aku harus segera ke bait Allah untuk bertugas disana! Aku bahkan tak punya cukup uang untuk menolong orang ini, jika aku menolongnya, aku nanti makin susah! 

Ia melewati jalan tersebut dengan tanpa peduli, gumamannya pun berlanjut. Kegelisahan karena terbelit hutang terus menjadi fokus pikirannya.

Sang pedagang tahu bahwa ia sudah semakin mendekati ajal. Hatinya berharap pada Allah, tak lagi diharapkannya para manusia wakil Allah untuk menolongnya. Mereka bukan Allah! Mereka hanya wakil-Mu yang tak beda denganku, pendosa juga!

Lalu terdengarlah langkah keledai, derap kaki keledai yang berjalan melintas. Ia melihat seseorang menunggangi keledai itu dengan aneka barang dagangan. Oh, orang ini mirip denganku, kurasa ia pedagang juga. Lalu mendekatlah sang saudagar tersebut menghampirinya.

“Apakah engkau baik-baik saja?” tanyanya dengan logat Samaria kental.

“Aku dalam perjalanan menuju Yerikho, apakah engkau mempunyai kerabat disana?”

Sang pedagang tak bisa lagi menjawab dan pingsan. 

Saudagar itu membalut luka-luka sang pedagang dengan kain dan menaikkannya ke atas keledai. Orang Samaria yang menolong orang yang tak dikenalnya, bahkan ia tak bertanya dahulu: Apakah kau memeluk agama orang Samaria juga? Ia tidak perhitungan apakah orang yang ditolongnya nanti bisa membalas budinya atau tidak. Ia tidak punya pamrih dan tulus menolong orang ini, no! Tidak ada udang di balik batu! Tidak ada pula upaya jaga citra agar terlihat baik! Tidak ada yang melihatnya di jalan sunyi itu! Tak cukup sampai disitu, ia membawa sang pedagang ke tempat penginapan dan merawatnya.

Keesokan harinya, saudagar itu menitipkan dua dinar uang kepada pemilik penginapan. Satu dinar setara dengan nilai kerja seseorang dalam satu hari. Ia meminta pemilik penginapan merawat sang pedagang hingga sembuh dan jika uang tersebut kurang, ia akan menggangtinya saat kembali. Wow... si Samaria ini orang baik pake banget deh judulnya! Too good to be true? 

Dari ketiga orang ini, yang mana yang adalah sesama manusia? Siapa yang berperikemanusiaan? Yang mana yang mengamalkan belas kasihan dan menjadi pelaku Firman Tuhan? Yang ketiga tentunya! Padahal ia seorang Samaria, berbeda keyakinan dan ras. Ia tidak dianggap, dipandang sebelah mata di kalangan orang Israel!

Padahal dua orang yang pertama adalah orang “baik-baik” dan terpandang di kalangan umat Israel. Imam dan Lewi adalah contoh dua orang baik yang bertanggung jawab dengan tugas di Bait Allah. Tidak lalai dan berusaha datang tepat waktu. Bukankah itu khas orang bak-baik? 

Citra orang baik melekat kuat menghinggapi para Hamba Tuhan, aktivis dan pekerja Gereja. 

Tapi apakah jadi “orang baik-baik” saja cukup? Puas dengan predikat inikah anda?

Apakah dengan “dikenal baik-baik” saja cukup? Puas dengan stigma inikah anda?

Adakalanya rutinitas agamawi begitu mengikat hidup kerohanian kita, sampai belas kasihan Allah hilang dari hati kita. Terburu-buru mau tepat waktu ke ibadah, sampai memaki anak-anak agar lekas dan bergegas, melanggar lampu merah dan tidak punya waktu untuk menolong seorang nenek tua yang berjalan tertatih-tatih menuju pintu lift? #ironisAgamawi

Adakalanya kacamata penghakiman begitu tebal kita kenakan, sampai kita tidak punya lagi ruang untuk mengasihi sekeliling kita. Lupa mengasihi, saking sibuknya membenarkan diri dan menyalahkan orang lain? Hmmm….merasa begitu kenal Tuhan sampai sering berperan menggantikan Tuhan? #stopPlayingGOD!

Adakalanya kesibukan seorang hamba-Nya begitu padat, sampai tak ada jeda untuk hal-hal mendesak dan tak terencana. Tak ada waktu untuk kairos-Nya? Hmmmm……bukankah itu yang kita tunggu-tunggu? Detik-detik kairos yang tak terulang dua kali! #firstThingsfirst?

Jika ada orang “awam”, orang sekuler, orang yang duniawi, orang dengan keyakinan lain, atau orang tak masuk hitungan lainnya”versi anda”… mungkin ia hanya tukang parkir, tetangga sebelah, pembantu Anda, atau siapapun yang Anda pandang sebelah mata. Dan saat orang ini—yang Anda remehkan kehadirannya—berbuat kebaikan, maka janganlah dengan cepat anda menghakimi: “Sok rohani lu”, “Kebaikan mah ga menyelamatkan” “Sok baik padahal ga ngerti”… “Too good to be true lah, pasti ada maunya nih baik-baik”

Hikmat-Nya mengatasi semua pemikiran manusia! Mari dengan rendah hati terus belajar pada Yesus Kristus, sang Sumber Kasih! Let God be God; penghakiman adalah hak Tuhan. Bagian saya adalah mengasihi dan berbuat baik karena Kristus telah terlebih dulu mengasihi saya.

Do all the good you can. By all the means you can. In all the ways you can. In all the places you can. At all the times you can. To all the people you can. As long as ever you can. – John Wesley

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. – Galatia 6:9

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^