Tuesday, August 29, 2017

A Testimony: Doing Good All Times


by Azaria Amelia Adam

“Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik”
- 2 Tesalonika 3:13 

Kali ini saya ingin berbagi kesaksian dari teman saya, seorang dokter yang mengabdi di pedalaman Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namanya dr. Junita, dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Puskesmas Noebeba, Kecamatan Noebeba, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Buat yang gak pernah dengar, mungkin langsung buka Google Maps saja, ya. Cari di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), karena kalau di peta biasa, daerahnya ga tercatat. Hehehe...

Setelah selesai menempuh pendidikan dokter di Jakarta, dr. Junita memilih untuk mengabdi di Kabupaten TTS. Kabupaten ini berjarak 2 jam dari Kupang, ibukota provinsi, tetapi masuk dalam katagori daerah tertinggal. Dari Soe, ibukota kabupaten TTS, perlu perjalanan darat 2-3 jam lagi baru sampai ke kecamatan Noebeba. Dalam pelayanannya di Noebeba, dr. Junita sering membantu banyak pasien. Melayani pasien rawat jalan di Puskesmas, pelayanan kebidanan, juga program kesehatan masyarakat. Saya tahu masyarakat di Noebeba senang sekali dr. Junita di sana. Setelah berapa tahun Noebeba tidak ada dokter, sekarang kalau berobat tidak perlu jauh-jauh ke kecamatan lain apalagi ke Soe. Sekarang sudah ada dokter umum di puskesmas. 

Suatu kali, tante dari dr. Junita mengalami vertigo dan dibawa ke puskesmas di Niki-Niki. Mungkin ada yang bertanya, “Di mana lagi itu ya?”. Niki-Niki juga merupakan salah satu kecamatan di TTS. Ternyata setelah diperiksa, vertigo yang dialami tantenya itu disebabkan stroke—penyumbatan pembuluh darah—di otak kecil (serebelum). Serebelum merupakan pusat keseimbangan, sehingga sumbatan pembuluh darah di sana menimbulkan gejala vertigo. Tenaga kesehatan di Puskesmas jelas tidak bisa menangani pasien stroke. Bahkan di RSUD kota Soe TTS, tidak ada dokter ahli saraf yang bertugas. Tante harus dirujuk ke Kupang untuk mendapatkan penanganan di fasilitas yang memadai. 

Kemudian, beliau dibawa ke RSUD provinsi. Tetapi karena saat itu ICU sedang penuh, terpaksa harus dirawat di ruangan biasa. Sebagai teman sejawat, saya tahu Junita tidak akan tenang jika tantenya tidak dirawat di ICU, ruangan dengan suhu dan kelembapan terkontrol serta monitoring yang lengkap. Pasien dengan stroke perlu dirawat di ICU untuk observasi ketat dan ruangan yang bersih agar tidak mengalami infeksi selama perawatan di rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi? Ruangan ICU di rumah sakit tersebut sudah penuh. 

Jika dilihat dari kesadaran yang menurun, secara ilmu kedokteran, kami tahu prognosisnya memburuk. Bahkan ada dokter ahli saraf yang berkomentar, “Sudahlah dek, kita doakan saja” ketika melihat luasnya daerah otak yang mengalami sumbatan pembuluh darah di hasil CT Scan. Tetapi sebagai keluarga dekat, pastinya kita tidak akan berhenti berusaha. “Meskipun prognosisnya buruk, tapi kami baru bisa lega kalau tante dapat penanganan yang maksimal. Kalau kami sudah lakukan yang terbaik, apapun yang terjadi kami tidak akan menyesal.” begitu kata dr. Junita.

Kebetulan saat itu, saya mendapat giliran jaga shift siang di rumah sakit swasta yang punya fasilitas ICU. Setelah diberitahu, dr. Junita dan keluarganya memutuskan untuk memindahkan tante ke rumah sakit swasta tempat saya bekerja. Dijemput dengan ambulans, beliau segera diantar ke rumah sakit swasta. Setelah sampai di rumah sakit tersebut, pasien langsung diantar ke ICU. Biasanya pasien yang baru datang harus masuk lewat IGD, kemudian mendapatkan penanganan dari dokter umum yang stand by di situ, baru dipindahkan ke ICU. Tetapi pada saat itu, dokter ahli penanggung jawab ICU sudah tiba. Dokter langsung memeriksa kondisi pasien, menginstruksikan terapi kepada tim dan pasien bisa mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal. Di luar perkiraan kami, belum sejam di ICU, pasien sudah terjadi perbaikan klinis. Tante dr. Junita membuka mata saat dipanggil. Meskipun kesadarannya belum pulih sempurna, saya bisa melihat senyum dan tangis ucapan syukur dari wajahnya. Surely, that expression of a family seeing the patient recovering is so priceless. I would do anything to see that expression from patient’s family again. 

Dr. Junita sangat bersyukur, dia berkata bahwa Tuhan itu baik, dan apa yang kita tabur benar-benar akan kita tuai. “Mungkin karena dulu saya sering menolong pasien-pasien saya, memudahkan mereka dalam proses rujukan, membantu transportasi. Maka saat ini, saya menuai hasilnya, saat saya membutuhkan bantuan. Saat tante saya sakit seperti ini, ada yang menolong. Proses pindah ke rumah sakit yang ada ICU jadi semudah ini,” kata dr. Junita.

Dalam perawatannya, tante mengalami perbaikian keadaan. Kesadaran mulai pulih, naik secara bertahap. Hampir seminggu dirawat, beliau sudah sadar penuh, bisa diajak komunikasi, makan dan minum dengan baik. Terakhir informasi yang saya dapatkan, tante sudah diperbolehkan pulang dan mendapat terapi rawat jalan di klinik rehabilitasi medik (fisioterapi). 

Mungkin secara ilmu, kami tahu progonisinya buruk. Hanya sekitar 20-30% saja tingkat keberhasilannya. Pasien bisa meninggal atau hidup dengan gejala sisa kerusakan saraf yang berat. Tetapi jika 20-30% itu disetujui Tuhan, maka kita melihat mujizat. Seketika saya berpikir, jika saya menjadi tenaga medis yang hanya bisa mendiagnosa, dan memprediksi kematian seseorang, lalu untuk apa? Sekalipun kita punya ilmu dan keterampilan yang sempurna, jika tidak ada kemauan berbuat baik untuk pasien, kita akan kehilangan semangat untuk melayani. Kesaksian dr. Junita mengingatkan kita untuk terus berbuat baik, jangan pernah berhenti. Karena, kita tidak tahu kapan kita akan menuai.

“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.”
- Galatia 6:9

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^