by Benita Vida
Pada dasarnya, kita—sebagai manusia—selalu mencari “untung”, profit, atau upah dalam melakukan sesuatu karena kita tidak mau apa yang sudah kita lakukan dan kerjakan dengan susah payah itu sia-sia, apalagi merugi. Salahkah itu? Sebenarnya tidak salah dan itu manusiawi kok, selama masih dalam batas wajar dan tidak merugikan orang lain. Ketika kita ditawarkan pekerjaan atau diajak berbisnis, pasti kita akan menghitung untung-rugi dan itu sangat wajar. Jangan sampai kita sudah mencurahkan tenaga, waktu, dan biaya tapi ujung-ujungnya membuat kita rugi. Ya, kan?
Hal yang sama pernah ditanyakan oleh Petrus kepada Yesus,
“... Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau;
jadi apakah yang akan kami peroleh?”
(Matius 19:27)
Petrus sudah meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus: pekerjaannya, keluarganya, teman-temannya, dan kenyamanannya sewaktu Yesus memanggilnya menjadi murid-Nya. Namun sebagai manusia, Petrus mulai mempertanyakan, “Apa ya untungnya mengikut Yesus? Atau jangan-jangan setelah mengikut Yesus sekian tahun, ujung-ujungnya malah nggak dapet apa-apa. Percuma dong.” Yesus memahami pemikiran dan perasaan ini, dan jawaban Yesus di luar perkiraan Petrus:
“Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.”
(Matius 19:18-19)
Ternyata dari jawaban Yesus, kita menangkap kesimpulan bahwa menjadi pengikut-Nya tidak berarti membuat kita menjadi kaya atau populer; sebaliknya, jawaban Yesus adalah janji-Nya. Dari jawaban tersebut, kita bisa memahami bahwa definisi “keuntungan” sebagai pengikut Yesus bukanlah untuk mendapatkan untung dalam hal materi, melainkan kita (melalui anugerah Allah) dilayakkan untuk menerima janji-Nya yang kekal. Yup... semua janji-Nya itu yang tertulis dalam surat cinta-Nya (a.k.a. Alkitab) untuk kita.
Oke, kita sudah tahu kalau kita mengikut Tuhan, kita perlu meninggalkan zona nyaman dan dosa-dosa kita, lalu kita berkomitmen untuk mengubah pusat hidup (dari diri sendiri menjadi kepada Tuhan saja). Sayangnya, banyak di antara orang percaya (mungkin termasuk kita) yang sudah sungguh-sungguh mengikut Tuhan tapi malah merasa makin berat dan “rugi”. Kita juga tidak bisa memanipulasi orang lain! Padahal kalau jujur kita bisa saja tidak akan mendapatkan promosi; tidak bisa membalas orang lain yang jahat sama kita sementara hati ini sudah sangat tersakiti. Wah… wah… ini untung atau rugi nih? Kok, malah jadi makin tidak enak? Nah, dalam situasi-situasi seperti ini, mulai deh kita mempertanyakan ulang apa untungnya mengikut Tuhan.
Kita harus memahami dan mengimani bahwa saat kita menyerahkan hidup dan mengikut Tuhan dengan sungguh-sungguh, kita telah menerima upah yaitu janji-Nya. Tapi harus dicatat ya: kita memang sudah menerima janji-Nya yang adalah ya dan amin—yang artinya pasti terjadi di hidup kita cumaaaaa tidak selalu instan yah, teman-teman. Selain perlu menunggu dalam ketaatan dan kesetiaan, kita juga membutuhkan iman supaya kita tidak menyerah di tengah jalan. Ada waktu untuk menerima janji-Nya, tapi pasti juga ada proses yang harus dilalui agar janji-Nya bisa terealisasi di hidup kita.
Bila kita melihat kehidupan Daud, Tuhan menjanjikannya menjadi seorang raja bagi bangsa Israel di waktu umurnya masih sangat muda, tetapi Daud perlu puluhan tahun untuk benar-benar jadi raja dan mengalami janji Tuhan di hidupnya. Selama perjalanannya menanti janji Tuhan dan hidup sungguh-sungguh ikut Tuhan, apakah Daud senang dan damai hidupnya? Sangat jauh dari kata senang dan damai. Bahkan Daud pernah harus bertingkah seperti orang gila untuk menyelamatkan nyawanya dari Raja Filistin. Daud juga tidak membunuh Saul yang sudah sangat jahat dan membuat hidup Daud berantakan sekalipun Daud memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Kita semua pernah berada di posisi Daud—atau mungkin saat ini kita sedang merasa menjadi seperti dirinya. Rasanya penantian ini begitu panjang dan tiada akhir. Rasanya mengikut Tuhan tidak memberikan keuntungan untuk kita; kita sudah memberikan semuanya tetapi tidak dapat apa-apa dan kita merasa sia-sia sudah “pengorbanan” kita. Hmm… walaupun terdengar klise, tapi bersabarlah, teman-teman. Tetap pegang teguh imanmu, karena janji-Nya tidak pernah terlambat. Mungkin saat ini kamu sedang diproses untuk siap menerima janji-Nya. Terkadang memang janji dan kenyataan tidak sejalan, tapi yakinlah jika Allah sanggup menjadikan seorang gembala menjadi seorang raja, jika Allah sanggup menjadikan seorang kakek bernama Abraham menjadi bapa segala bangsa, Allah pun sanggup mengubah keadaanmu.
Walaupun begitu ada satu hal yang harus kita ingat: Jika Tuhan menghendakinya, kita bisa saja seumur hidup tidak memperoleh janji-Nya. Buktinya saja Abraham. Meskipun masih bisa menatap Ishak—anak yang dijanjikan Allah melalui Sara—sebelum meninggal, tapi dia tidak pernah melihat keturunannya yang banyak seperti bintang di langit maupun pasir di pantai. Abraham juga tidak melihat tanah perjanjian yang subur dan “berlimpah susu dan madunya” (hal ini baru digenapi lebih dari 600 tahun kemudian, yaitu saat bangsa Israel masuk ke Kanaan). Karena merasa bahwa hidupnya tidak akan bertahan sampai dua hal itu terjadi, Abraham meminta konfirmasi dari Tuhan (Pearlians bisa membaca kisah selengkapnya di Kejadian 15). Tapi manakah yang lebih penting: kehadiran Tuhan sendiri di dalam hidup kita (bahkan dalam titik terendah), atau janji-Nya yang tergenapi namun tanpa penyertaan-Nya secara nyata? Bukankah Tuhan juga memakai penderitaan dalam masa penantian dan perjuangan kita untuk mendewasakan kita, bukannya berpangku tangan dan mengasihani diri sendiri karena ngambek pada-Nya?
Ketika saya masih kecil, ada saat dimana Papa—bisa dibilang—kurang sayang dan kurang memperhatikan saya. Tapi suatu hari, Tuhan berbicara secara langsung kepada orang tua melalui seorang dokter, “Kamu bisa diberkati sekarang karena anak ini. Kalo kamu gak mau sama anak ini, sini kasih saya aja.” Mendengar cerita itu dari Mama ketika sedang berjuang mengerjakan skripsi, saya tahu jika di masa lalu (baca: saat saya kecil dan belum kenal Tuhan sungguh-sungguh) saja Tuhan perhatikan dan bela, apalagi mengenai masa depan: pasti Tuhan berikan yang terbaik. Saya imani bahwa janji Tuhan bagi masa depan yang penuh harapan itu pasti terjadi untuk saya, tapi ternyata kenyataannya tidak seindah itu: proses pengerjaan skripsi saya terasa berat. Tiba-tiba dosen pembimbing saya dipromosikan sehingga sulit diajak untuk berdiskusi, bahan yang saya cari untuk pembuatan produk skripsi saya tidak bisa didapatkan di mana-mana, dan itu belum termasuk air mata perjuangannya yang entah berapa kali tertumpah. Singkat cerita, entah bagaimana caranya, Tuhan selalu membuka jalan saya. Apa yang saya lakukan adalah percaya bahwa pembelaan-Nya sempurna seperti saat saya masih kecil. Janji-Nya di awal masa perkuliahan bahwa saya pasti lulus tepat waktu pun ditepati. Saya lulus dengan nilai yang memuaskan bahkan dengan predikat terpuji.
Kadang-kadang ada perasaan minder karena dunia memandang kita sebagai orang bodoh. Mana ada yang mengharapkan upah “tidak nyata” dan tidak berbentuk? Bahkan tidak sedikit juga orang percaya yang menyerah dan berhenti berharap. Tapi mari kita belajar bersama untuk setia dan taat kepada Tuhan. Dia tidak pernah berutang. Dia melihat pengorbanan dan ketaatan kita untuk setia mengikuti-Nya, dan percayalah… akan ada waktu di mana kamu akan menerima upah dari ketaatan dan kesetiaanmu.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^