oleh Benita Vida
Pernah dengar perumpamaan domba yang hilang? Pasti sudah sering sekali ya, bahkan sudah hafal ceritanya. Setidaknya kita mendengar atau membacanya satu kali—entah itu saat masih menjadi anak sekolah Minggu, maupun dari khotbah di kebaktian. Dari situ kita tahu bahwa “domba” itu adalah manusia yang tersesat dalam dosa, dan “gembala yang baik” adalah Tuhan sendiri. Kita juga sudah paham bahwa perumpamaan ini menegaskan bahwa Allah sangat mengasihi kita—bahkan Dia mencari sedemikian rupa hingga seekor domba yang hilang (yaitu kita) itu ditemukan-Nya. Setelah menemukan si domba, gembala itu (yaitu Allah) akan membuat pesta besar; artinya, surga bergembira karena “ada satu orang yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Lukas 15:7)
Tapi kali ini, mari kita melihat perumpamaan ini dari cara pandang lain.
Sebagai domba yang sangat dikasihi, kita sering terhilang—bukan cuma satu kali, tapi berkali-kali. Salah satu penyebabnya adalah kita tidak dengar-dengaran dengan gembala kita yaitu Tuhan. Kadang-kadang rasa ingin tahu kita lebih besar daripada ketaatan kita, sehingga hal itu membuat kita keluar dari jalan yang sudah Allah tetapkan. Hmm… Seberapa sering kita berlaku seperti ini? Walaupun merasa sudah tahu apa yang menyenangkan hati Bapa, tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa ada keinginan untuk berjalan dengan cara yang berbeda dari rencana Allah. Akibatnya, kita tidak mendengarkan pesan maupun perintah dari Sang Gembala dengan baik. Bukannya menemukan jalan yang diinginkan, kita justru lebih sering tersesat, bukan? Perjalanan menuju “padang berumput hijau” yang kita bayangkan ternyata tidak seindah itu.
Rasa ingin tahu berubah menjadi rasa takut.
Kita terhilang dan merasa tidak bisa menemukan jalan lagi.
Kita “dipaksa” untuk menelan kenyataan bahwa kita sendirian di jalan yang suram itu.
Meski kita berulang kali mengabaikan firman-Nya, Allah tidak tinggal diam. Dia tetap mencari sampai menemukan kita, karena kesetiaan dan kasih-Nya yang sangat besar. Tanpa disadari, sebenarnya Allah sudah memanggil—bahkan memperingatkan—kita yang mulai melangkah di luar jalur-Nya. Sayangnya, kitalah yang sering tidak menangkap sinyal yang Allah berikan, karena kita merasa bahwa jalan yang kita pilih lebih baik dan lebih menjanjikan.
Yah, tidak ada seorangpun yang menyukai ketidakpastian. Sebaliknya, kita membutuhkan kepastian mengenai masa depan, jaminan bahwa penyakit yang diderita akan sembuh, dan sebagainya. Masalahnya adalah… hidup ini selalu memiliki ruang untuk ketidakpastian; segala sesuatu bisa berubah dalam hitungan detik. Inilah yang membuat kita menjadi gelisah dan selalu mencari cara untuk bisa mendapatkan kepastian atas keingintahuan kita. Kapasitas logika yang terbatas membuat kita menilai bahwa jalan maupun tempat yang sudah Allah sediakan justru tidak menjamin apa yang dibutuhkan—saking tampak tidak masuk akal bagi kita untuk memperolehnya.
Padahal di sisi lain, Allah tetap menetapkan cerita kehidupan bagi kita dengan cara-Nya yang unik, dan ini mempertegas sifat-Nya sebagai Pribadi yang kreatif. Artinya, apa yang orang lain lalui maupun cara yang mereka gunakan untuk berhasil belum tentu harus juga kita lakukan ketika menghadapi pergumulan yang sama. Tapi yah… karena kita ingin segala sesuatunya bisa terselesaikan secara instan, kalau melihat orang lain berhasil, kita langsung ingin melakukan hal yang sama tanpa melalui proses terlebih dahulu. Mungkin kita pernah berpikir bahwa pergumulan yang dihadapi saat ini adalah bentuk hukuman Allah, karena kita tidak mendengar dan menaati firman-Nya. Namun tidak demikian dengan apa yang Allah katakan:
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
(Yeremia 29:11)
Konteks Yeremia 29:1-23 adalah tentang firman Tuhan bagi orang-orang Yehuda yang dibuang ke Babel, karena mereka menyembah berhala dan menyeleweng dari hukum Taurat lainnya pada masa kerajaan-kerajaan sebelumnya. Sebagai bentuk hukuman-Nya, Allah membuang mereka ke Babel selama 70 tahun—namun nantinya akan memulangkan mereka ke Yerusalem lagi. See? Walaupun kita merasa diperlakukan dengan kejam, sebenarnya Allah tidak akan merancangkan sesuatu yang jahat bagi kita. Bahkan apa yang tampak buruk saat ini bisa saja menjadi berkat di kemudian hari... dan itu semua hanya karena anugerah-Nya.
Allah adalah Pribadi yang mencintai proses, karena tanpa proses hasil seindah apapun akan runtuh dalam sekejap. Kita bisa melihat penggambarannya dari tukang keramik. Ketika melihat ada bagian yang kurang baik, dia tidak akan segan untuk memecahkan keramik itu—bahkan kalaupun keramik itu hampir jadi! Kalau kita diumpamakan sebagai keramik, mungkin kita akan merasa si tukang adalah orang yang plin-plan, bukan? Namun dia melakukannya karena ingin keramiknya menjadi sesuatu yang berharga setelah melalui proses pembentukan, pembakaran, hingga pewarnaan. Begitu pula yang Allah lakukan bagi kita: Dia ingin agar kita menghargai proses. Bukannya tidak bisa memberikan yang kita mau dengan segera, bukan juga karena tidak mau melihat hidup kita bahagia, tapi Tuhan seolah-olah membuat kita berputar-putar dalam proses agar kita menikmati hasilnya di kemudian hari. Kapankah itu? Tidak ada yang tahu. Tapi satu hal yang harus kita pegang adalah… “Tuhan tidak meninggalkan kita dalam perjalanan iman ini.”
Ironisnya, sekali lagi, kita—sebagai manusia—sangat menyukai segala sesuatu yang instan. Kita ingin apapun bisa tersedia sesegera mungkin. Misalnya saja makanan instan maupun cepat saji, atau nilai yang baik tapi tidak mau belajar, atau ingin sukses tapi tidak mau belajar dari nol, dan sebagainya. Akibatnya, kita menjadi sangat tidak betah diam dalam proses yang Allah berikan, dan tidak bisa berjalan di dalam jalan yang Tuhan sudah tetapkan karena menurut kita ada jalan dan cara yang lebih cepat. Lagipula, kalau ada jalan yang seperti itu, kenapa kita harus melalui penderitaan dan ketidaknyamanan ini? Bukannya kita adalah domba yang dikasihi-Nya?
Pikiran-pikiran seperti itu membuat kita mempertanyakan banyak hal tentang kehendak Allah. “Apa sih, yang dipikirkan Allah waktu kasih penyakit ini?”, “Kenapa jalan-Nya nggak jelas banget? Padahal aku udah rajin baca Alkitab dan doa, lho!”, dan masih ada banyak pertanyaan yang membuat kita ragu-ragu akan kasih setia Allah ketika kita mengalami pergumulan. Well, Pearlians, keraguan memang bisa datang kapan saja. Namun saat kita tidak bisa melihat jalan yang Allah berikan, saat kita tidak mengerti isi pikiran dan rencana-Nya, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memercayai hati-Nya—hati yang mengasihi kita lebih dari apapun. Bukankah setiap kali kamu tersesat dan terhilang, Dia selalu datang dan membawamu kembali? Bukankah Dia yang mati untuk menebusmu—dalam diri Yesus Kristus? Bukankah kita adalah milik-Nya yang berharga?
“Teorinya emang gitu. Tapi kenapa Allah kayak diem aja kalau tahu kita ini udah bosen sama penantian yang nggak jelas gini!”
“Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH, Yang Mahakudus, Allah Israel: "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.”
(Yesaya 30:15)
Ya, tinggallah tenang dan percaya dalam hadirat-Nya, tapi jangan lupa untuk membuka telinga dan hati ini. Allah bisa berbicara melalui apapun, namun ketika momen itu tiba, kita perlu menenangkan diri agar dapat berdoa. Tanpa doa, yang adalah napas kehidupan bagi orang percaya, komunikasi kita juga akan terputus dari-Nya.
Kita juga perlu mengakui bahwa ketidakinginan untuk mendengar dan taat kepada Allah justru membuat proses yang dialami juga semakin panjang. Kadang-kadang ada perasaan yang mengatakan bahwa seharusnya kita sudah melalui proses ini. Tapi karena kita terus-menerus tidak mau mendengar, Allah seakan membuat kita harus mengulang proses yang sama sampai kita menyelesaikannya. Mungkin rasanya pergumulan kita terlalu panjang dan melelahkan untuk dilalui. Mungkin kita juga harus dihancurkan berkali-kali untuk melalui pergumulan itu. Tapi kabar baiknya: kita tidak sendirian karena Allah beserta kita. Bukankah lebih baik melalui proses yang terlihat melelahkan ini bersama Allah daripada kita berjalan sendiri di dalam apa yang kita anggap baik? Ketika berjalan bersama Allah, apa yang hilang dalam proses yang kita alami akan digantikan-Nya dengan yang lebih baik; apa yang hancur dari kita akan dipulihkan-Nya; kita akan menerima untuk memberi, kita akan diberkati lebih dari yang bisa dibayangkan untuk menjadi berkat.
Semuanya itu hanya bisa terjadi ketika kita memiliki hati yang mau untuk mendengarkan dan menaati apa yang Allah katakan, dan mengasah kepekaan terhadap suara Roh Kudus ketika kita menghadapi sebuah pergumulan. Seperti domba yang pasti mengenal suara gembalanya dan tidak akan peduli dengan suara lain selain suara gembalanya, mari kita menjadi domba-domba Allah yang selalu memasang telinga kita akan apa yang mau Tuhan sampaikan. He can speak to each of us personally in many ways. Selamat menikmati prosesmu bersama-Nya, Pearlians, sampai kita sama-sama menjadi sesuai dengan apa yang di dalam pikiran Allah ketika kita lahir di dalam hati-Nya.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^