Monday, August 24, 2020

THE LAST = THE FIRST? HOW COME!


by Benita Vida

Siapa sih, yang tidak mau jadi orang yang diutamakan, atau jadi orang nomor satu (dari depan, tentunya)? Apalagi kalau kita seorang wanita, wah… pengen banget jadi yang pertama dan diutamakan. Kan, ada istilah “ladies first”, tuh. Bahkan di beberapa tempat, ada tempat parkir dan diskon khusus bagi para wanita di hari-hari tertentu. Hayo, siapa yang pernah memanfaatkan situasi seperti itu? Hahahaa...

Semua orang ingin menjadi yang pertama dan diutamakan. Gimana nggak? Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama; sejak kita bersekolah saja sudah dikenalkan sistem ranking, begitu juga sistem di dalam dunia ini yang membuat manusia berlomba-lomba mau jadi nomor satu. Bahkan saat mengantre pun kita tidak sabar untuk segera berada di depan kasir (apalagi kalau antrean cukup mengular). Tapi pertanyaannya, salahkah jika kita ingin jadi yang terdepan? Hmmm... sebenarnya nggak, sih. Disadari atau tidak, insting kita—secara alamiah—memiliki kecendurungan untuk menginginkan hal itu. Namun keinginan ini justru menjadi sesuatu yang salah adalah ketika kita mengusahakan segala cara yang tidak benar, bahkan menyakiti orang lain.

Merasa diutamakan itu penting karena itu membuat kita menyadari bahwa orang lain menghargai kita, tetapi menjadi yang pertama dan diutamakan bukanlah segalanya.

Salah satu hal yang diajarkan oleh dunia adalah agar kita harus menjadi yang pertama. Kita dituntut harus bisa menguasai segala sesuatu. Karena itulah, kita memiliki mindset untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Kalau kita lengah dan mengalah, posisi itu bisa direbut oleh orang lain. Nah, disadari atau tidak, kita justru menjadi orang yang egois dan mudah iri hati. Kita marah jika ada orang lain yang lebih pintar dari kita, kita iri jika orang lain malah lebih berhasil dari kita. Akibatnya, keegoisan dan rasa iri hati ini membuat banyak orang menghalalkan segala cara hanya untuk bisa mendapatkan posisi yang utama. Misalnya, kita menyontek saat ujian agar mendapatkan nilai yang baik—bahkan juara pertama; kita “menginjak” dan memanfaatkan orang lain dalam perusahaan kita agar kita bisa dipromosikan. See? Dunia menyatakan bahwa menjadi yang pertama dan yang utama berarti kita menguasai segala hal, orang-orang hormat dan tunduk sama kita, juga menjadi orang yang dilayani dalam berbagai hal.

Tapi pernahkah Pearlians berpikir... Kenapa kita bisa memiliki keinginan untuk selalu menjadi yang diutamakan?

Alasannya bisa bermacam-macam. Mungkin saat masih anak-anak, kita dituntut oleh orang tua untuk memperoleh peringkat terbaik di kelas maupun perlombaan tertentu (bahkan sekolahan). Bisa saja ini dikarenakan mereka melihat potensi di dalam diri kita, sehingga “harapannya” kita mengerahkan seluruh usaha untuk mencapai hasil yang terbaik. Namun tidak jarang pola seperti ini terjadi karena orang tua kita sendiri tidak sanggup memenuhi tuntutan orang lain di masa lalu (misalkan kakek-nenek kita, atasan, dan sebagainya). Selain itu, kalau berada di posisi terdepan, kita akan merasa lebih diterima oleh orang lain; harga diri pun akan meningkat. Lebih asyik, kan, kalau kita dianggap lebih hebat daripada orang lain? Padahal kalau mau jujur, sebenarnya ada perasaan bahwa kita ingin diterima sebagaimana adanya kita (literally)—bukan hanya melulu karena pencapaian kita.

Lalu, apa kata Tuhan Yesus mengenai hal ini?

Kita bisa membacanya di Lukas 14:7-11. Di suatu hari Sabat, Yesus—yang datang ke rumah salah satu pemimpin orang Farisi untuk makan bersama—baru saja menyembuhkan seorang penderita busung air. Berhubung saat itu sedang dilangsungkan perjamuan makan, ada beberapa tamu yang berusaha menduduki tempat kehormatan di sana. Nah, berbeda dari pemikiran mereka untuk berusaha dipandang para tamu yang lain, Yesus mengajarkan hal sebaliknya.

Bagi-Nya, ketika kita merendahkan hati dan diri masing-masing, justru itulah yang akan membuat kita menjadi yang terutama. Hmm, aneh ya? Bagaimana caranya bisa jadi nomor satu tapi posisinya paling rendah? Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengajarkan kalau diundang dalam suatu acara, jangan sampai kita langsung mengambil posisi paling depan, melainkan mengambil posisi paling belakang supaya sewaktu pemilik acara melihat kita, pemilik acara tersebut yang akan memanggil kita dan membawa kita ke posisi paling depan. 

Yesus ingin agar sebagai anak-anak Allah, kita tidak menjadi sombong dan menganggap diri sendiri lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, Dia memberikan teladan supaya kita menjadi rendah hati dan mengutamakan orang lain—sebab yang akan meninggikan dan membawa kita ke posisi paling depan adalah si pemilik acara, yaitu Tuhan sendiri. Kalau menggunakan istilah dalam bisnis, “promosi” itu datangnya dari Tuhan dan bukan karena kehebatan atau usaha kita.

Kenapa sih, harus jadi yang terendah supaya bisa jadi yang terutama?

Kenapa yang terakhir bisa menjadi yang pertama? Ini hukum yang aneh, atuh. Bagaimana caranya?

Coba deh, kita perhatikan tokoh-tokoh dan pahlawan iman yang kisahnya diceritakan di dalam Alkitab. Sadarkah kita kalau Tuhan mengambil mereka dari posisi terendah, dan Dia sendiri yang membawa mereka ke tempat tertinggi. Contohnya adalah Daud. Dia adalah anak yang paling kecil dan hampir dilupakan sama papanya sendiri (baca 1 Samuel 16:1-13, khususnya pada bagian Samuel mengundang seluruh keluarga Isai, namun Daud malah masih menggembalakan kambing domba). Bukannya memilih kakak-kakaknya, Tuhan justru memilih Daud yang seperti itu untuk menjadi raja di Israel. Belum lagi Yusuf, salah satu anak Yakub yang termuda (sekaligus anak kesayangan).Walaupun di awal dia dibenci oleh para saudaranya, pernah menjadi budak dan mantan narapidana, tapi Yusuf malah menjadi orang kepercayaan Firaun—dimana semua orang harus tunduk dan taat dengan kata-katanya. Siapa yang sangka orang-orang dengan masa lalu yang buruk dan bisa dibilang orang “rendahan” tapi bisa sukses dan jadi orang nomor satu. Tentunya, semua ini hanya bisa terjadi karena Allah berkenan untuk memilih mereka. Well, bukankah perkenanan-Nya tidak bisa digoyahkan oleh perlawanan manusia?

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat...”
(1 Korintus 1:27)

Di sisi lain, Yesus juga ingin agar kita memahami bahwa potensi yang dimiliki tidak membuat posisi kita menjadi yang pertama di hadapan Allah. Alasannya karena Allah melihat jauh ke dalam hati kita, He sees our motivation! Itulah sebabnya kerendahan hati adalah kunci yang penting bagi kerajaan Allah. Ya, bertentangan dari apa yang dunia ajarkan, kehormatan di hadapan Allah hanya bisa didapat dengan memiliki kerendahan hati—bukan keegoisan dan iri hati. Bagi Allah, karakter dan sikap hati kitalah yang terpenting. Dia menghargai orang yang mau dibentuk dan memiliki hati yang teachable.

Mungkin ketika menerapkan prinsip kerajaan Allah ini, rasanya progress kita dalam mencapai sesuatu cenderung lebih lambat dari orang lain yang (mungkin) sampai harus saling menyikut. Bisa saja kita merasa minder karena posisi terbelakang yang kita alami. Namun bukankah berkat Tuhan tidak selalu tentang materi dan prestasi? Bukankah Dia juga menghargai proses pembentukan karakter kita? Lagipula, Tuhan tidak menjanjikan bahwa kesuksesan akan selalu bersama kita—karena bagi-Nya, penyertaan-Nya bagi kitalah yang lebih penting. Who knows, melalui kerendahan hati kita, orang lain menemukan Pribadi yang selama ini mereka cari? Who knows, mereka justru memberikan respect yang lebih kepada kita ketika melihat bagaimana kita tetap berada di track yang benar (menurut firman Tuhan) untuk memperoleh sesuatu?

Karena itu, baik saat kita sudah berada di posisi terdepan menurut manusia, “biasa saja”, bahkan di tempat yang paling dianggap remeh oleh orang lain, kiranya ayat ini menjadi pengingat kita:

Apapun juga yang kamu lakukan, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.
(Kolose 3:23-24)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^