Monday, October 15, 2018

Suffering for a Better Future


by Poppy Noviana

Take this cup from Me.
(Mark 14:36) 

Perkataan ini bisa jadi sebuah ungkapan kegalauan hati tentang kehidupan. Sebuah respon yang sangat manusiawi. Namun, it was also the ultimate statement of surrender (the best part at all). Di mataku, tindakan Yesus untuk setia berjalan dalam penderitaan demi keselamatanku di masa depan itu romantissss tisss tisss... Bayangkan! Yesus berkorban nyawa demi cinta-Nya kepadaku. Sebagai Anak Allah, Yesus bisa saja menolak kehendak Bapa-Nya dalam melakukan karya keselamatan yang agung itu. Tapi di sisi lain, Yesus juga memikirkan umat-Nya terkasih (termasuk kita, ladies!) yang akan binasa jika Dia tidak mengorbankan diri-Nya untuk menebus dosa-dosa kita. Jadilah Dia berkata,

“…Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”
(Lukas 22:42)

Anyway, aku mau sharing tentang bagaimana Tuhan memrosesku menjadi seorang pribadi yang lembut dan murah hati dalam pengampunan. Proses ini adalah latihan bagiku untuk bersedia menderita demi masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Lah... maksudnya gimana? Silakan baca bagian berikut, ya! :) 


--**-- 


“For you have been given… the privilege of suffering for him.”
(Php 1:29 NLT) 

Setelah memperoleh renungan ini dari mentor grup retreat Pearl (yang diadakan tahun 2014 lalu), aku sempat kemalingan di kos yang terletak di Jakarta Selatan. Laptop dan speaker-ku dicuri. Yang bikin para penghuni kos lainnya heran adalah fakta di mana hanya aku satu-satunya “korban” atas peristiwa itu—padahal aku juga punya roommate dan barangnya tidak ada yang dicuri. Well, entah bagaimana caranya, tapi pencuri itu berhasil masuk ke kamarku yang tertutup rapat—bahkan meninggalkan bekas jejak sepatunya! Yang lebih parah lagi, peristiwa itu terjadi sehari setelah aku menyampaikan keberatanku untuk tetap tinggal di sana; hubungan yang tidak harmonis antara roommate-ku dengan asisten rumah tangga di kos serta caranya dalam menyimpan barang. Tapi waktu itu roommate-ku bersikeras bahwa tinggal di kos itu dengan biaya yang relatif murah plus banyaknya fasilitas adalah jauh lebih penting dibandingkan penyelesaian atas masalah dalam hubungannya dengan orang lain. 

Aku merasa tidak nyaman kalau sampai merusak hubunganku dengannya, karena aku ingin tetap mengedepankan prioritasku untuk tetap menjaga relasi yang baik dan harmonis dengan sesama (Matius 22:39). Jadi sampai aku kemalingan itu, aku memutuskan untuk tetap tinggal di sana, walaupun hati ini merasa tidak nyaman. Tapi “berkat” kejadian itu, aku kembali berani mengungkapkan keinginanku untuk pindah dan—puji Tuhan—roommate-ku menerima keputusanku. Plus, Tuhan juga memberiku kamar kos di bulan berikutnya di daerah yang strategis dengan biaya yang terjangkau dari seseorang yang pernah kutolong sebelumnya—sehingga aku bisa langsung masuk dan melanjutkan uang sewanya =) 

Ini kisahku mengenai sebuah rasa sakit karena kehilangan barang yang kuanggap berharga, tapi berubah menjadi sukacita yang cukup menakjubkan. Sebagai manusia, kita mengakui bahwa pada awalnya, perubahan itu terasa tidak mengenakkan. Benar, kan? Tapi kalau hal tersebut memang harus terjadi demi masa depan yang lebih baik, kenapa tidak? Masalahnya, kadang-kadang sesuatu yang kita pikirkan baik-baik saja sebenarnya adalah kondisi yang membuat kita stuck dan tidak bertumbuh... Kita cenderung ingin cari aman sendiri, merasa enggan untuk meninggalkan zona nyaman masing-masing. Pendek kata, kita enggan untuk menderita bagi Tuhan—sekalipun itu untuk kebaikan kita. Tapi sebagai anak Tuhan, bagaimana seharusnya kita menyikapi penderitaan itu? Dan apa kaitannya dengan Christian attributes yang sedang kita bahas sepanjang bulan Oktober ini? 


--**-- 


Bicara tentang suffering, aku teringat pada sebuah kisah mengenai seorang wanita yang berani melangkah untuk melindungi suaminya yang tidak pantas dibela. Yaps, dia adalah Abigail. Kisah singkatnya dituliskan dalam kitab 1 Samuel 25. Dia berani melangkah dalam ketidakpastian, bahkan berani untuk mengorbankan harga diri membela suaminya, Nabal, yang jahat dan sombong. Tampaknya, saat itu memang Tuhan menyertai Abigail sehingga ia mampu meluluhkan hati Daud sehingga menerima permintaannya. Dalam hal ini, Abigail telah menyelamatkan banyak kehidupan pengikut Nabal saat itu. Memang wanita ini sangat bijak dan layak memperoleh harapannya; namun tidak hanya itu, ternyata perbuatannya juga membuat kisahnya dituliskan dan kita bisa saksikan sampai hari ini—bahkan mungkin sampai anak cucu kita nanti. 

Abigail memperoleh kemenangan setelah bergumul dalam penderitaan atas perilaku suaminya yang bebal. Tidak lama setelah pertemuan Abigail dan Daud itu, Tuhan membela perkara Abigail dan memukul Nabal hingga mati. Kemudian, Daud mengambil Abigail menjadi istrinya. Ya, masa depan Abigail berada di dalam tangan Tuhan, tapi dia juga mengambil keputusan yang berisiko untuk merespon tantangan yang ada, berani berkorban, dan tidak cari aman sendiri. Tiga poin penting ini yang menjadi reminder bagiku untuk bertahan dalam penderitaan dan senantiasa berseru pada Tuhan—sampai Dia bertindak dengan cara-Nya. Aku percaya bahwa Dia mengasihiku sebagai putri-Nya, jadi aku juga harus mewarisi citra-Nya :) 


--**-- 


NB: “Lalu apa hubungan sharing-mu di atas dengan judul artikel ini, Pop?”

Nah, setelah aku memutuskan untuk pindah kos, ada seorang teman dari agama lain yang bertanya-tanya padaku, “Kok, kamu bisa sesabar itu? Kok bisa kamu kuat sekamar sama teman kamu yang karakternya seperti itu? Kalo gue sih, udah ribut pastinya.” Awal dari pertanyaan ini sebenarnya adalah awal dari sebuah keingintahuan seseorang atas value apa yang aku adopsi dalam keseharianku. Dari sini aku belajar, penderitaan yang Tuhan ijinkan membawa kita kepada kemuliaan di masa depan dan menjadi kesaksian bagi orang-orang. 

“I consider that the sufferings of this present time are not worthy to be compared with the glory which shall be revealed in us.”
(Romans 8:18 NKJV)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^