Friday, October 19, 2018

On Submitting & Trusting


by Sarah Eliana 

Submission... Submission... Submission. Hal yg menyebalkan, bener gak? Jujur, untukku yang emang pada dasarnya punya sifat super bossy, submit ama suami itu hal yg super duper susah. Setiap hari, setiap waktu, aku harus selalu berdoa, minta Tuhan sendiri yg tegur kalo udah mau mulai bossy ama suami, dan ini seringgg banget lho. It’s an area that I continuously struggle with. Apalagi dulu kuliahnya di bisnis dan marketing, dimana emang kami diajarin utk memimpin. *gubraks* Jadi apa yg dulu aku pelajari, sekarang harus aku redam kalo lagi ama suami. 

Aku sering berpikir kalo submission itu ya termasuk menuruti apa kata suami, membiarkan dia membuat keputusan buat keluarga kami, dll.  Kalo kita denger kata submission, kita pasti udah langsung berpikir, “Ya, ya, aku udah tau kok. Pasti poin-poinnya sama dengan apa yg selama ini sering aku dengar.” Aku juga sering berpikir begitu. 

Beberapa hari lalu, aku baca message dari hamba Tuhan yg kukenal. Ia dan istrinya telah menikah selama lebih dari 50 tahun dan beberapa tahun lalu istrinya meninggal karena kanker. Jadi diceritakan bahwa ketika istrinya didiagnosa terkena kanker yg sangat ganas sekali, dokternya memberi pilihan: 
  1. Kemoterapi. Tapi memang ini gak akan menyembuhkan, cuma menambah waktu hidupnya beberapa minggu atau bulan aja. Dan biarpun ”memanjangkan” hidupnya untuk sementara, kemo ini akan menyebabkan sang istri sangat sangat menderita (beliau udah umur 70 tahun lebih, bayangkan kalau harus mengalami daya tahan tubuh drop, rambut rontok, muntah-muntah, pusing-pusing). 
  2. No treatment at all. Emang kalo pilih yang ini berarti kankernya akan menyebar dengan cepat sekali, tapi itu juga berarti bahwa sang istri gak akan menderita seperti kalo beliau pilih kemoterapi. 
Nah... Sang hamba Tuhan ini bercerita bahwa ketika diberi pilihan itu, sang istri berkata, “I want to do whatever my husband wants me to do (regarding the options).” 

Jleb. *suara pisau menancap di hati* Untuk kita wanita “modern”, mungkin kalo dihadapin pilihan kayak gini langsung mikir, “It’s my life. Jadi aku yg akan ambil keputusan apakah aku mau kemo atau gak.” Ya kan? Jujur sejujur-jujurnya, aku juga mungkin akan berpikir kayak gitu. Kan badanku, hidupku, pilihanku donk—iya kan? Tapi lewat kalimat sesederhana itu, aku diingetin Tuhan bahwa tunduk kepada suami itu lebih daripada hanya sekedar membiarkan dia mengambil keputusan atau menuruti dia. Firman Tuhan berkata: 

“Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”
(Efesus 5:22)

Aku selalu berpikir bahwa tunduk kepada Tuhan artinya: biarpun aku gak suka dengan rencana Tuhan, aku harus tetep jalanin dengan hati senang. Aku diajar Tuhan, kalo tunduk ama suami seperti kepada Tuhan itu yach seperti aku believe AND trust Tuhan, aku juga harus believe AND trust my husband. Seperti isteri hamba Tuhan tadi. Walaupun aku yakin gak akan ada yg salahin beliau kalo beliau mau ambil keputusan sendiri tentang pengobatannya, she chose  to put herself under the authority of her husband and believed that he would make the best decision for her. She trusted  him, even with her life!! 

See, selama ini aku pikir aku harus tunduk kepada suami karena Tuhan perintahkan aku untuk berbuat demikian. Tapi lewat kalimat simple itu, Tuhan ajar aku bahwa tunduk kepada suami itu harus datang dari keinginanku sendiri. Aku belajar kalo tunduk pada suami bukan hanya sekedar membiarkan dia mengambil keputusan dalam keluarga, but also trusting him regarding MY life, MY body, MY choices; AND trusting that GOD will work the best for me THROUGH my husband. Oh how difficult this is! I know! Kita pasti berpikir, ”Kenapa Tuhan gak langsung ngomong ke aku aja. Kenapa harus lewat suami aku?” Well, girls, that’s because our husband is the authority that God has put above us. Sama seperti bangsa Israel punya imam, keluarga kita juga punya “imam”, dan imam keluarga kita ya suami kita. Sama seperti bangsa Israel harus menuruti perkataan imam mereka, kita juga harus menuruti suami, dan percaya bahwa keputusannya berasal dari Tuhan. Susah kan? Kita melihat suami tiap hari, kita tau dia manusia biasa, kita tau semua kelemahannya. But that’s when submission goes to a whole other level and that’s when our trust is tested. Do we love him enough to trust him? Do we respect him enough to let him be the “priest” in our family? 

Do we trust our husband enough with our life? Keputusan tentang keluarga mungkin masih gampang untuk diserahkan kepada suami. Tapi kalo keputusannya udah berhubungan langsung dengan hidup kita? Badan kita? Do we trust him enough? We should. It comes with a price, sure. Sama seperti mempercayakan diri kepada Tuhan berarti membayar harga, percaya dan tunduk pada suami juga datang dengan segala macam pengorbanan dan harga. But guess what? It’s worth it. You know why? Because marriage is based on trust (and Jesus, of course). Kalo kita gak bisa percaya pada suami, waduhhh, kacau kan. Without trust there is no relationship. 

But what is trust? Apakah sekedar percaya bahwa suami kita gak akan macam-macam di belakang kita, gak akan godain cewek-cewek lain? Tidak. Of course, we trust him not to do those things behind our back, but trust goes beyond that. Trusting our husband means we allow ourselves to be vulnerable. Artinya kita memberitahu dia pikiran dan perasaan kita yang terdalam. Dan ini juga artinya “dua menjadi satu”—gak hanya sekedar menjadi satu tubuh melalui seks, tapi juga menjadi satu pikiran, satu hati. Gimana mau jadi satu kalo kita gak cukup percaya dia untuk membagi pikiran dan perasaan kita yang terdalam? Kata Firman Tuhan: 

”Apa yg disatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.”
(Matius 19:6)

Tau gak, setelah menikah, aku baru betul-betul sadar betapa dalamnya arti ayat ini. Gak hanya sekedar, “Eh udah nikah, jangan selingkuh ya,” tapi juga, “Kalau udah menikah, DON'T LET your pride divorce you.” Coba lihat berapa banyak pasangan yg cerai karena mereka tidak saling percaya, karena mereka gak betul-betul berusaha untuk menjadi satu kesatuan. 

Tapi selain itu, kita juga bisa lho, bercerai tanpa betul-betul bercerai. Pernah gak denger omongan, “Ih, hebat ya, udah tua masih mesra… Masih gandengan tangan.” Pasti pernah, atau bahkan kita sendiri pernah ngomong begitu. Kenapa hebat? Karena yg kita lihat di sekeliling kita adalah: pernikahan yang sudah berpuluh-puluh tahun biasanya udah gak mesra lagi, karena udah sibuk sama anak-anak, cucu-cucu, karir, dll. Udah tua, suami istri gak lagi keliatan kayak suami istri, lebih keliatan kayak roommates doank. Sedih gak sih? Kalo udah gitu, apa bedanya dengan cerai beneran? Gak ada kan? Memang masih tinggal di bawah satu atap yg sama, tapi gak ada lagi unity antara suami istri. Disinilah aku lihat betapa dalamnya arti ayat Matius 19:6 itu. Bercerai itu gak hanya sekedar karena orang ketiga, tapi juga karena diri kita sendiri: karena kita gak mau merendahkan diri dan percaya pada suami, karena kita gak berani ambil resiko to be vulnerable with our husband, karena kita gak mau membagi pikiran dan perasaan kita yang terdalam dengan dia (biarpun dengan alasan yg kedengerannya baik, seperti, ”Ah, dia sendiri lagi pusing, banyak pikiran. Kasian.”). 

Submission means trusting your husband, even with your life. Karena suami kita juga dapat perintah dari Tuhan untuk mencintai istrinya seperti Kristus mencintai jemaat. Kristus mati di atas kayu salib untuk jemaat-Nya. Our husband, too, will sacrifice his life for us, and we HAVE TO trust that he will do that for us. Submission means trusting that God will work the best for us through our husband. Submission means humbling yourself and be vulnerable. Submission means we share our deepest thoughts, desires and feelings with our husband, and TRUST him not to use it against us. It means trusting that we will be loved and accepted despite our weaknesses and shortcomings. Submission means we constantly humble ourselves, and put ourselves under the authority of our husband, who is the “priest” of the family. 

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^