Monday, October 8, 2018

Seperti Kristus Menundukkan Diri


by Glory Ekasari

“Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.”
(1 Korintus 11:3 / TB) 

Tidak seperti tulisan Paulus dalam Efesus 5, dalam 1 Korintus 11:3 ini Paulus menambahkan kalimat yang menarik (dan penting): “Kepala dari Kristus adalah Allah.” Dari sinilah asal-usul penundukan diri istri kepada suami, dan karena itu dari sinilah kita perlu belajar. 


// PENUNDUKAN DIRI KRISTUS KEPADA BAPA 

Ada dua hal yang penting dalam penundukan diri. Pertama, siapapun yang percaya doktrin Tritunggal, percaya bahwa Allah Bapa dan Yesus Kristus itu setara. Bapa adalah Allah dan Kristus adalah Allah. Tetapi karena dikatakan bahwa, “Kepala dari Kristus ialah Allah,” ini menunjukkan bahwa Kristus dengan rela dan sukacita menundukkan diri kepada Allah Bapa, sehingga keduanya berbeda dalam hierarki, tetapi tidak pernah berbeda dalam derajat. 

Kedua, Kristus menundukkan diri kepada Allah justru karena keduanya adalah satu. Kesatuan yang sejati dibuktikan dengan kepercayaan yang sempurna. Aliansi di dunia memiliki titik lemah, di mana pihak yang satu tidak sepenuhnya percaya pada pihak yang lain. Tidak demikian halnya dengan Kristus dan Bapa; karena mereka satu, Kristus menyerahkan hidup-Nya sepenuhnya kepada Bapa, tunduk dan percaya penuh pada Bapa. This is real unity. 

Kesatuan ini juga meliputi kesatuan tujuan. Salib itu bukan hanya rencana Allah Bapa, melainkan rencana Allah Tritunggal. Bapa, Anak, dan Roh Kudus, berkehendak agar manusia diselamatkan dan memuliakan Allah. Untuk mencapai tujuan inilah Kristus menundukkan diri kepada Bapa, sampai Dia mati di atas kayu salib (Filipi 2:8). Akhirnya, dengan Allah Bapa sebagai Kepala, “tubuh” rohani itu menggenapi tujuan-Nya: membawa keselamatan bagi manusia. 


// TUJUAN PERNIKAHAN

Saya ingat ketika saya masih kecil, saya sering bertanya, “Buat apa?” atau “Kenapa?” Dua pertanyaan itu pasti saya ajukan ketika ingin mengetahui tentang hampir segala hal (sampai orang dewasa yang saya tanyai jadi jengkel—ini anak kok, tanya terus?!). Semakin besar, saya bukannya semakin menerima apa adanya, “Ya sudahlah, memang harus begitu. Dijalani saja,” tapi saya justru semakin berontak dan bertanya-tanya, “Kenapa saya harus melakukan ini? Kenapa saya harus taat pada Tuhan? Kenapa istri harus tunduk pada suami?” Saya merasa, tanpa tujuan yang jelas, percuma saya melakukan segala sesuatu. 

Ini juga yang harus jadi pertanyaan bagi setiap kita. Ada satu pertanyaan yang tidak saya dapatkan ketika akan menikah, dan saya belum pernah mendengar orang lain yang menikah ditanya demikian juga. Tapi pertanyaan ini penting untuk dijawab oleh semua orang yang ingin menikah, akan menikah, dan sudah menikah. Mari pikirkan baik-baik: 

- Untuk apa Anda menikah? -

Untuk apa Anda mengikat diri dengan seorang pria, harus menerima semua kekurangannya, harus mengurus dua orang (bukan lagi diri sendiri saja), harus mengandung selama sembilan bulan (bahkan bisa lebih), susah payah melahirkan, mengurus anak, mendukung suami dalam segala hal, mengorbankan hidup bagi orang lain? Untuk apa? Bagi yang single, lebih baik tanya sekarang, daripada nanti setelah menikah bertanya-tanya dengan frustasi, “Duh, kenapa ya, dulu saya mau menikah sama dia??” 

Satu hal yang saya rasa kita semua perlu tahu: pernikahan bukanlah tujuan. Pernikahan adalah kendaraan untuk mencapai tujuan. Kendaraan yang tidak punya tujuan tidak akan sampai ke mana-mana. Lalu apa tujuan dari pernikahan? Sama dengan tujuan hidup kita: untuk memuliakan Tuhan. Tentang hal ini, kita harus renungkan: 
  • Bagi yang belum menikah: Kalau hidup single kamu saja tidak bertujuan untuk memuliakan Tuhan, apalagi pernikahanmu nanti. 
  • Bagi yang sudah menikah: Bila pernikahanmu tidak bertujuan untuk menyenangkan Tuhan, menundukkan diri kepada suami akan jadi beban maha sulit yang tidak bisa dipraktikkan. Tujuan hidup hanya ada dua: memuliakan Tuhan atau menyenangkan daging. Dan, kita akui, tunduk pada suami seringkali tidak menyenangkan daging. 

Mari kita luruskan tujuan hidup dan tujuan pernikahan kita (jika kita akan maupun sedang menjalaninya). Pernikahan, sama seperti hidup, tidak selalu mulus. Kemarin saya melihat post teman saya di Instagram, merayakan tahun kesekian pernikahannya, dan dia dengan jujur berkata bahwa setelah sekian tahun menikah, sebagian besar perasaan cintanya dulu sudah terkikis. Pria yang dulu perhatian, sekarang cuek. Orang yang dulu mau melakukan apa saja bagi dia, sekarang bahkan tidak mau meski itu hanya sebatas menyapu kamar. Itulah realita pernikahan bagi banyak orang. Tentu saja itu tidak ideal, tapi orang yang menikah harus tahu bahwa itu bisa jadi masa depannya kelak. Kalau tujuan hidup dan pernikahan kita adalah mendapat kebahagiaan dari suami, celakalah kita: kita akan jadi wanita yang tidak bahagia. 


// MENUNDUKAN DIRI KEPADA SUAMI 

Belajar dari penundukan diri Kristus kepada Allah, kita mengerti bahwa tunduk pada suami bukan berarti istri lebih rendah derajatnya dibanding suami. Keduanya setara dan sepadan. Berdua, mereka membentuk satu keluarga yang utuh—di dalam Tuhan, tentunya. Kalau demikian halnya, maka penundukan diri istri kepada suami adalah pemberiannya bagi sang suami, sebagaimana Kristus memberikan diri-Nya untuk tunduk kepada Bapa. Dalam penundukan diri ini ada kepercayaan: istri percaya bahwa suaminya akan berjalan sesuai firman Tuhan, bahwa suaminya mengasihi dia, dan bahwa suaminya diberi hikmat oleh Tuhan untuk mencapai tujuan mereka bersama: memuliakan Tuhan. 

Penundukan diri istri kepada suami itu sendiri juga merupakan sebuah persembahan bagi Tuhan, yang memuliakan Dia. Alasannya, penundukan diri kepada suami bukan semata-mata urusan istri dengan suaminya; ini adalah urusan istri dengan Tuhan. Tuhanlah yang memberi perintah, dan istri, sebagai hamba Tuhan, harus menaati Tuhan. Suami juga punya urusan sendiri dengan Tuhan (untuk mengasihi istrinya). Kalau kita, para istri, tunduk pada suami, ini berarti kita melakukan firman Tuhan, dan kita memuliakan Dia. Dan janji Tuhan adalah, bila kita melakukan firman Tuhan, kita akan berbahagia. 

Siapa memperhatikan firman akan mendapat kebaikan, 
dan berbahagialah orang yang percaya kepada Tuhan. 
(Amsal 16:20)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^