Saturday, March 3, 2018

Saluran


by Glory Ekasari

Semua kita (termasuk yang nulis) pasti pernah mengalami kesulitan mengampuni orang. Entah itu karena baju kesayangan yang dipinjam adik ketumpahan kecap, atau karena dikhianati oleh pasangan. Pengampunan itu salah satu hal yang lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Kita maunya menahan pengampunan dan sebisa mungkin “menghukum” orang yang bersalah pada kita dengan cara menolak mengampuni mereka. Tapi bagaimana bila kita sungguh-sungguh ingin mengampuni?


Ada satu metafor yang sering dipakai dalam Alkitab untuk menjelaskan seperti apa kehadiran Tuhan dalam hidup kita, yaitu air; secara khusus sumber mata air atau sungai yang mengalir. Nah, bagi kita yang hidup di Indonesia, yang 2/3 wilayah negaranya adalah laut, yang dikit-dikit ketemu sungai, bahkan sering kebanjiran, metafor ini mungkin tidak banyak bermakna. Tapi bila kita menempatkan diri pada posisi orang-orang di Timur Tengah (tempat di mana naskah Alkitab ditulis), yaitu mereka yang tinggal di daerah kering dan kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada sungai, “mata air” atau “sungai” adalah suatu metafor yang sangat hidup.


Saya ingat ketika belajar sejarah peradaban kuno waktu sekolah dulu, nama peradabannya selalu seperti ini: “Peradaban Sungai Indus”, “Peradaban Sungai Nil,” “Peradaban Sungai Efrat,” “Peradaban Sungai Yang Tse”semuanya mengandung kata “sungai”. Di Mesir, misalnya, dulu kehidupan berpusat di sepanjang aliran sungai Nil. Setiap tahun sungai itu meluap, dan endapan lumpur banjirnya membuat tanah di sekitarnya subur. Karena orang-orang kuno sangat bergantung pada pertanian, mereka berkumpul di sekitar tanah endapan sungai yang subur itu. Begitu pentingnya sungai dan mata air bagi mereka.

Lalu bagaimana dengan daerah yang tidak kebagian sungai? Hampir sama dengan sekarang, pemerintah akan membuat waduk. Mereka lalu membuat saluran air dari mata air terdekat ke waduk tersebut, supaya air selalu tersedia. Salah satu raja yang membuat saluran seperti ini adalah Hizkia, raja Yehuda. Sekitar tahun 701 SM Hizkia membuat saluran dari sumber mata air Gihon ke Yerusalem, tepatnya ke kolam Siloam, untuk mengantisipasi krisis air yang bisa terjadi sewaktu-waktu karena saat itu bangsa Asyur sedang menyerang Yerusalem.

Oke, sekian pelajaran geografi dan sejarahnya. Ehm.

Apa yang bisa kita pelajari dari semua itu?

Pertama-tama kita harus menyadari satu hal penting: sebagaimana air/sungai/mata air selalu diasosiasikan dengan Tuhan sendiri, dan dengan firman Tuhan (sebagaimana dalam Mazmur 1), dan dengan Roh Kudus (Yohanes 7), kita harus sadar bahwa posisi kita ini bukan sebagai sumber. Kita tidak seperti Tuhan yang tidak terbatas, yang self-sufficient, yang tidak akan pernah kehabisan sekalipun Dia membagi-bagikan dengan murah hati. Sejak manusia jatuh dalam dosa, kita bahkan mati; secara rohani, dan sebentar lagi, secara jasmani juga. Ini membuat hati manusia seperti kolam yang keruh, yang banyak jentik-jentik nyamuknya, berlumut, dan jadi sumber penyakit. Makin lama air di kolam itu makin habis dan akhirnya kering sama sekali. Tetapi Tuhan berbeda dengan kita. Dia adalah sumber segala karakter ilahi, sebagaimana mata air adalah sumber air. Tidak ada orang yang bisa berkata, “Aku adalah kasih,”paling banter, “Aku memiliki kasih”; tapi Alkitab tanpa ragu-ragu berkata, “Allah adalah kasih.” Kasih-Nya bukan hanya begitu luas, tapi juga tidak akan habis.

Dari sumber inilah pertama-tama kita sendiri harus minum. Kita perlu mengenal Dia secara pribadi, memiliki mata air itu di dalam hati kita. Kita perlu mengalami pengampunan-Nya, pembaharuan oleh Roh-Nya, sehingga kita menjadi manusia baru. Manusia baru, menurut firman Tuhan, adalah orang-orang yang menerima benih ilahi; mereka menjadi “keturunan-keturunan Allah” yang memiliki sifat-sifat Allah, termasuk kasih. Dan di dalam kasih, ada pengampunan. Pengampunan itu tidak bersumber dari penyesalan atau bahkan pertobatan orang yang bersalah kepada kita, tetapi dari Allah sendiri, yang hidup di dalam kita.

Sebagaimana raja Hizkia membuat saluran dari mata air Gihon ke Yerusalem, demikian pula kita membuat saluran dari Tuhan ke orang lainmelalui diri kita. Kita tidak perlu memikirkan dari mana airnya, karena sudah tersedia dari Sumbernya, yaitu Tuhan sendiri. Tidak perlu lagi kita berkata, “Aku tidak bisa mengampuni!” Tuhan tidak minta kita membuat air sendiri kok. Kita cukup berkata, “Tuhan, biar kasih-Mu mengalir kepada orang itu melalui aku.”

Selain itu, ada satu prinsip sederhana dalam fisika praktis yang muncul dalam benak saya: air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Bila kita mau dipakai Tuhan untuk mengalirkan kasih-Nyatermasuk pengampunan, kita harus punya hubungan yang baik dengan Tuhan (yaitu “menempel” ke tempat yang tinggi), dan merendahkan diri, yaitu mengakui bahwa kita juga orang berdosa yang butuh pengampunan Tuhan, sama saja dengan orang yang menyakiti kita (yaitu “menempel” ke tempat yang rendah). Bila posisi kita senantiasa seperti itu: hubungan yang baik dengan Tuhan dan kerendahan hati untuk memberkati orang lain, ke manapun kita diarahkan, kita akan selalu mengalirkan kehidupan bagi orang lain.

Banyak anak Tuhan merasa tertekan karena tidak bisa melakukan firman Tuhan, termasuk mengampuni. Mari kita ingat kembali: kita ini bukan sumberkita hanya saluran. Hari ini mintalah Tuhan mengalirkan kasih-Nya melalui kita, dan besok lagi, dan besok lagi, karena Sumber yang mengalir melalui kita itu tidak akan habis mengalir sampai pada hidup yang kekal.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^