by Glory Ekasari
Semua kita (termasuk yang nulis) pasti pernah
mengalami kesulitan mengampuni orang. Entah itu karena baju kesayangan yang
dipinjam adik ketumpahan kecap, atau karena dikhianati oleh pasangan.
Pengampunan itu salah satu hal yang lebih gampang diucapkan daripada dilakukan.
Kita maunya menahan pengampunan dan sebisa mungkin “menghukum” orang yang
bersalah pada kita dengan cara menolak mengampuni mereka. Tapi bagaimana bila
kita sungguh-sungguh ingin mengampuni?
Ada satu metafor yang sering dipakai dalam
Alkitab untuk menjelaskan seperti apa kehadiran Tuhan dalam hidup kita, yaitu air; secara khusus sumber mata air atau
sungai yang mengalir. Nah, bagi kita yang hidup di Indonesia, yang 2/3 wilayah
negaranya adalah laut, yang dikit-dikit ketemu sungai, bahkan sering
kebanjiran, metafor ini mungkin tidak banyak bermakna. Tapi bila kita
menempatkan diri pada posisi orang-orang di Timur Tengah (tempat di mana naskah
Alkitab ditulis), yaitu mereka yang tinggal di daerah kering dan kelangsungan
hidupnya sangat bergantung pada sungai, “mata air” atau “sungai” adalah suatu
metafor yang sangat hidup.
Saya ingat ketika belajar sejarah peradaban
kuno waktu sekolah dulu, nama peradabannya selalu seperti ini: “Peradaban
Sungai Indus”, “Peradaban Sungai Nil,” “Peradaban Sungai Efrat,” “Peradaban
Sungai Yang Tse”—semuanya mengandung kata “sungai”. Di Mesir, misalnya, dulu kehidupan
berpusat di sepanjang aliran sungai Nil. Setiap tahun sungai itu meluap, dan
endapan lumpur banjirnya membuat tanah di sekitarnya subur. Karena orang-orang
kuno sangat bergantung pada pertanian, mereka berkumpul di sekitar tanah
endapan sungai yang subur itu. Begitu pentingnya sungai dan mata air bagi
mereka.
Lalu bagaimana dengan daerah yang tidak
kebagian sungai? Hampir sama dengan sekarang, pemerintah akan membuat waduk.
Mereka lalu membuat saluran air dari mata air terdekat ke waduk tersebut,
supaya air selalu tersedia. Salah satu raja yang membuat saluran seperti ini
adalah Hizkia, raja Yehuda. Sekitar tahun 701 SM Hizkia membuat saluran dari
sumber mata air Gihon ke Yerusalem, tepatnya ke kolam Siloam, untuk
mengantisipasi krisis air yang bisa terjadi sewaktu-waktu karena saat itu
bangsa Asyur sedang menyerang Yerusalem.
Oke, sekian pelajaran geografi dan sejarahnya.
Ehm.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua itu?
Pertama-tama kita harus menyadari satu hal
penting: sebagaimana air/sungai/mata air selalu diasosiasikan dengan Tuhan
sendiri, dan dengan firman Tuhan (sebagaimana dalam Mazmur 1), dan dengan Roh
Kudus (Yohanes 7), kita harus sadar bahwa posisi
kita ini bukan sebagai sumber. Kita tidak seperti Tuhan yang tidak
terbatas, yang self-sufficient, yang
tidak akan pernah kehabisan sekalipun Dia membagi-bagikan dengan murah hati.
Sejak manusia jatuh dalam dosa, kita bahkan mati;
secara rohani, dan sebentar lagi, secara jasmani juga. Ini membuat hati manusia
seperti kolam yang keruh, yang banyak jentik-jentik nyamuknya, berlumut, dan
jadi sumber penyakit. Makin lama air di kolam itu makin habis dan akhirnya
kering sama sekali. Tetapi Tuhan berbeda dengan kita. Dia adalah sumber segala
karakter ilahi, sebagaimana mata air adalah sumber air. Tidak ada orang yang
bisa berkata, “Aku adalah kasih,”—paling banter, “Aku memiliki kasih”; tapi Alkitab tanpa ragu-ragu
berkata, “Allah adalah kasih.”
Kasih-Nya bukan hanya begitu luas, tapi juga tidak akan habis.
Dari sumber inilah pertama-tama kita sendiri
harus minum. Kita perlu mengenal Dia secara pribadi, memiliki mata air itu di
dalam hati kita. Kita perlu mengalami pengampunan-Nya, pembaharuan oleh
Roh-Nya, sehingga kita menjadi manusia baru. Manusia baru, menurut firman
Tuhan, adalah orang-orang yang menerima benih ilahi; mereka menjadi
“keturunan-keturunan Allah” yang memiliki sifat-sifat Allah, termasuk kasih.
Dan di dalam kasih, ada pengampunan. Pengampunan itu tidak bersumber dari
penyesalan atau bahkan pertobatan orang yang bersalah kepada kita, tetapi dari
Allah sendiri, yang hidup di dalam kita.
Sebagaimana raja Hizkia membuat saluran dari
mata air Gihon ke Yerusalem, demikian pula kita membuat saluran dari Tuhan ke
orang lain—melalui diri kita. Kita tidak perlu memikirkan dari mana airnya, karena
sudah tersedia dari Sumbernya, yaitu Tuhan sendiri. Tidak perlu lagi kita
berkata, “Aku tidak bisa mengampuni!” Tuhan tidak minta kita membuat air sendiri kok. Kita cukup
berkata, “Tuhan, biar kasih-Mu mengalir kepada orang itu melalui aku.”
Selain itu, ada satu prinsip sederhana dalam
fisika praktis yang muncul dalam benak saya: air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Bila
kita mau dipakai Tuhan untuk mengalirkan kasih-Nya—termasuk
pengampunan, kita harus punya hubungan yang baik dengan Tuhan (yaitu
“menempel” ke tempat yang tinggi), dan merendahkan diri, yaitu mengakui bahwa
kita juga orang berdosa yang butuh pengampunan Tuhan, sama saja dengan orang
yang menyakiti kita
(yaitu “menempel” ke tempat yang rendah). Bila posisi kita
senantiasa seperti itu: hubungan yang baik dengan Tuhan dan kerendahan hati
untuk memberkati orang lain, ke manapun kita diarahkan, kita akan selalu
mengalirkan kehidupan bagi orang lain.
Banyak anak Tuhan merasa tertekan karena tidak
bisa melakukan firman Tuhan, termasuk mengampuni. Mari kita ingat kembali: kita ini bukan sumber—kita hanya saluran. Hari ini mintalah Tuhan
mengalirkan kasih-Nya melalui kita, dan besok lagi, dan besok lagi, karena
Sumber yang mengalir melalui kita itu tidak akan habis mengalir sampai pada
hidup yang kekal.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^