Thursday, February 8, 2018

Menolong Sesuai Kebutuhannya


by Glory Ekasari

Suatu kali ketika masih pacaran, saya dan pacar bertengkar. Kami biasanya gak heboh kalau bertengkar, paling ngomel. Tapi kali itu saya marah besar sampai telinga saya panas. Tidak ada yang berteriak sih, tapi pembicaraan memanas dan perdebatan jadi makin sengit. Dua-duanya mau menang sendiri, sampai akhirnya saya tidak mau menjawab lagi. 

Ketika saya diam, Roh Kudus memberi saya pengertian. Pacar saya itu tipe orang yang gak tahan marahan lama-lama. Setiap kali kami bertengkar (yang mana sebenarnya jarang terjadi), dia ga bisa tidur, ga enak makan, ga fokus kerja. Kepikiran. Dan dia yang akan menghubungi saya duluan buat lanjut ngomel—sebenernya dia mau baikan, tapi dia tidak bisa mengomunikasikan keinginannya itu. Beda dengan dia, saya ini cuek. Ada masalah dengan orang lain pun saya bisa kerja seperti biasa, seolah-olah tidak ada apa-apa. Saya juga lebih suka kita jaga jarak dulu aja, sampai dua-duanya adem, baru kita bicarakan baik-baik. Bayangkan dua orang yang sangat berbeda seperti itu, pacaran. Di awal pacaran, tiap kali mau menyelesaikan konflik, malah timbul konflik baru. 

Setelah setahun pacaran, saya sudah paham. Pacar yang selalu chat duluan “good morning” (iya, dia sangat perhatian) kali ini tidak menyapa good morning sampai jam 10an, lalu baru chat untuk ngomel menyalahkan saya tentang masalah kemarin, sampai kami tambah ribut karena saya tidak terima disalahkan. Tapi setelah lewat semalam, saya sempat istirahat, pikiran saya lebih jernih, dan Tuhan menjamah hati saya, satu hal muncul dalam pikiran saya: 

“Sudahlah.” 

Saya memikirkan bagaimana dia pasti tidak bisa tidur semalaman. Mungkin dia juga belum makan. Saya jadi kasihan kepada pacar saya yang menyebalkan itu. Dan sekalipun saya tidak merasa salah dan menurut saya reaksinya berlebihan, saya putuskan, saya akan minta maaf tanpa menyalahkan dia. I will take the blame. 

Langsung setelah saya minta maaf, dia juga minta maaf. Dan ketika dia masih ngomel lagi, saya tetap minta maaf dan terima disalahkan. Dalam sekejap dia berubah jadi jinak seperti biasa, dan ngomelnya berubah jadi manja, bukan marah-marah lagi. Nafsu makannya kembali, dan saya ditinggal tidur siang. (Bah.) 

Saya belajar satu hal yang penting dalam hubungan kami: melihat kebutuhannya di balik tindakannya yang ofensif. Dia perlu dihargai sebagai laki-laki, tapi dia tidak bisa mengungkapkannya (atau mungkin tidak tahu bahwa dia merasa demikian), jadi dia marah-marah untuk menunjukkan supremasinya. Dia ingin berdamai, tapi tidak tahu cara mengomunikasikannya, jadi dia malah mengungkit hal-hal yang justru membuat kami bertengkar. Dengan pertolongan Roh Kudus, saya melihat bahwa di balik marah-marah itu ada ego yang terluka, dan di balik tingkahnya yang menyebalkan ada seseorang yang mengharapkan perhatian saya. Di hadapan saya ada dua pilihan: merendahkan diri untuk menjawab kebutuhannya, atau justru meninggikan diri dan menahan jawaban kebutuhannya itu. Saya bisa tunduk dan bersikap baik kepada dia, sesuai yang dia butuhkan, atau saya bisa makin melawan dia dan menyakiti egonya sebagai pembalasan. 

Wanita diciptakan Tuhan sebagai penolong bagi pria. Kadang yang perlu ditolong dari seorang pria adalah harga dirinya. Bukan tanpa alasan Tuhan memerintahkan isteri untuk tunduk pada suami: Tuhan, yang menciptakan kita, tahu bahwa pria perlu dihargai—setidaknya oleh keluarganya, dan terutama oleh isterinya. Kalau egonya terluka, kalau isterinya terus melawan, dia bukannya tertolong, malah terpuruk. Dia perlu merasa dianggap hebat oleh wanita yang mendampinginya, dan wanita itulah yang memegang kunci kebahagiaan suaminya itu. Isteri bisa membuat suaminya berbahagia karena merasa dihormati, atau justru membuat suaminya menderita karena merasa tidak dihargai. 

Ironis sekali bila wanita Kristen, yang semestinya mengenal firman Tuhan, malah menyakiti suaminya dengan cara tidak mau mengalah, sengaja melukai harga dirinya, atau membalas dendam dengan menahan pemenuhan kebutuhannya. Sebagai pengikut Kristus, tentu kita harus mengikuti Kristus; apakah Kristus akan dengan sengaja menyakiti orang yang membutuhkan Dia? Kristus memberikan nyawa-Nya demi musuh-musuh-Nya karena mereka membutuhkan pengorbanannya; sedangkan suami bukan musuh kita—apakah kita lebih dari Kristus sampai kita tidak mau berkorban bagi pria yang sudah berjanji mengikat dirinya dengan kita seumur hidup? Apakah di mata kita dia tidak berharga? Apakah ego kita sedemikian penting sehingga kita lebih memilih mengorbankan hubungan dengan dia? 

Para wanita perlu melihat pria dari sudut pandang ini. Saya pernah mendengar orang berkata bahwa di dalam hati setiap pria dewasa, ada seorang anak kecil. Mereka tidak seperti wanita yang lebih pandai mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan dan harapkan; we women have to see through them. Pria perlu ditolong, dan pertolongan yang dia perlukan itu hanya bisa diberikan oleh wanita yang dia cintai: lewat ucapan terima kasih, lewat pujian, lewat pelayanan, lewat sentuhan dan seks (bagi suami-isteri), lewat penundukkan diri pada kepemimpinannya, dan ada kalanya, lewat pengorbanan ego wanita itu sendiri. 

Apa reward kita sebagai wanita, bila kita menjalankan peran kita sebagai penolong dan menghormati suami? Saya yakin tiap wanita yang takut akan Tuhan ingin melihat pasangannya berbahagia. Wanita diciptakan Tuhan sebagai pemberi; kita mendapatkan kepuasan ketika hal/orang yang kita rawat tumbuh dengan baik. Karena itu, kebahagiaan suami dan kemajuannya sebagai pemimpin adalah reward kita. Berbeda dengan prinsip dunia yang mendorong kita untuk mencari kebahagiaan kita sendiri, Tuhan menegaskan, “Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri, dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4). Bila pasangan kita tidak bahagia, kita pun tidak akan bahagia. Sebaliknya, bila dia berbahagia, kita pun akan berbahagia.

2 comments:

  1. Kalau saya n suami, tipe kebalikan dr cerita ini. Saya yg ga tahan marah2an, suami yg tipe cuek. In the end, salah satu hrs mengalah n minta maaf duluan. Haha. Post ini sangat memberkati. Thanks for sharing 💜

    ReplyDelete
  2. Mantap artikelnya memberkati sy. Makasih udah berbagi

    ReplyDelete

Share Your Thoughts! ^^