Wednesday, May 17, 2017

It Ends With Me



by Glory Ekasari

Papa saya seorang pendeta. Suatu kali ketika dia berkhotbah di gereja, dia menceritakan pengalamannya ketika marah pada seseorang. Katanya, mama menasehati dia dan mengingatkan sebuah ayat firman Tuhan, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18). Rupanya nasehat itu berkesan buat papa, sampai diceritakan dalam khotbahnya.

Kalau kata dunia, kita baiknya memperlakukan seseorang sebagaimana dia memperlakukan kita. Kalau orang itu baik pada kita, ya be nice in return. Tapi kalau dia kurang ajar, yah mungkin orang itu perlu diajarin tata krama. Tapi yang dikatakan dalam ayat ini sangat berbeda.

Sedapat-dapatnya, ketika kita diprovokasi orang lain (dihina, dimarahi, dipermalukan, disakiti dll), rasanya pengen membuat pengecualian untuk kasus kita, supaya kita boleh membalas dendam, marah balik, atau apapun yang memuaskan ego kita. Ketika saya membaca “sedapat-dapatnya”, saya mendapat kesan, “Tahan sedikit lagi.” Ada perkataan bijak, “Ketika hendak berbicara, hitung sampai tiga sebelum perkataan keluar dari mulutmu, supaya kamu punya waktu untuk memikirkan perkataanmu. Ketika hendak marah, hitung sampai sepuluh sebelum berkata-kata.” Jangan buru-buru ngamuk. Sabar sedikit lagi, sebentar lagi, tahan sehari lagi. Stretch your heart as wide as possible.

Kalau hal itu bergantung kepadamu. Ah, ini dia. Kadang yang timbul dari kita semata-mata adalah reaksi dari apa yang orang lain lakukan terhadap kita. Tapi tidak. Firman Tuhan yang adalah kebenaran menunjukkan pada kita bahwa kita punya kuasa atas diri kita sendiri. Kuasa itu diberikan oleh Roh Kudus. Ketika orang lain melemparkan permusuhan kepada kita, kita punya pilihan: lempar balik, atau letakkan bola api itu dan tidak mempermasalahkannya lagi. Ini bergantung pada kita. Kita bukan mahkluk yang pasif memantulkan apa yang orang lemparkan pada kita. Kita bukan cermin yang mencerminkan ketidaksukaan orang lain terhadap kita. Kita adalah gambar dan rupa Allah, menampilkan Allah kepada siapapun yang memandang kita. Membalas berarti mengikuti kelemahan daging kita. Menjaga perdamaian berarti tunduk pada pimpinan Roh Kudus. Yang mana pilihan kita?
Paulus meneruskan nasehat yang indah ini dengan sebuah tantangan bagi kita: 
“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, Firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”
—Roma 12:19-21
Menyerah pada kejahatan dengan membalasnya adalah suatu kekalahan. Berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat pada kita adalah kemenangan. Bukan sebaliknya! Siapa yang memiliki Roh Kudus, hatinya dipenuhi damai sejahtera, dan ini kelihatan dari perbuatannya: dia membawa damai bagi orang lain.

Ketika kita diprovokasi, ketika orang mengusik damai yang ada dalam hati kita, ketika orang hendak mengalahkan kita dengan kejahatan, mari kita hitung sampai sepuluh dan sementara itu berpikir: “Sekarang ini tergantung saya, apakah saya akan membalas kejahatan atau membawa damai. Bola panas ada di tangan saya, saya harus mengambil keputusan untuk melempar balik, atau mengakhiri masalah ini. Since I have the power, I have decided, it ends with me.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^