Monday, February 13, 2017

To Love ≠ to Be Nice All the Time

by Glory Ekasari

Be nice.
Never disagree.
Support everyone.
Never offend anyone.
Akhir-akhir ini, itulah impresi yang saya dapat dari banyak orang yang merasa diri toleran, suportif terhadap golongan masyarakat marginal (semakin marginal dan minoritas, semakin baik), open-minded, dan berpendidikan tinggi. “Bukankah Kristus mengajarkan kasih?” begitu kata mereka. Bagi mereka, tidak setuju dengan mereka = haters, bigot, fanatik, evolusi belum sempurna, tidak berpendidikan, medieval mindset, dan seterusnya.
Tentu saya penasaran apa yang dipikirkan orang-orang itu ketika mereka mendengar “Kristus” atau “ajaran Kristus”, dan apa definisi mereka tentang “kasih”. Dunia mengenal kasih sebatas tindakan yang membuat orang lain merasa nyaman. Yesus menekankan bahwa kasih itu berpasangan dengan kebenaran. Orang Kristen percaya bahwa firman Tuhan, yang digenapi oleh Yesus Kristus, adalah kebenaran. Dengan kata lain, kasih menjaga orang yang dikasihi agar tetap hidup dalam jalan kebenaran, yaitu koridor firman Tuhan. Inilah yang tidak dikenal dunia.
Kita punya standar ganda dalam hal being nice ini. Kepada orang yang tidak benar-benar kita pedulikan, kita nice. Mungkin malah super nice. Mereka mau hidup seperti apapun, secara teori, kita bisa mendukung. Hey, your life, your style—kira-kira begitulah. Kalau ada orang yang rakus makan, kita paling berkata, “Yah, itu pilihan hidup dia, mau gimana lagi.” Tapi seandainya yang makan dengan barbar seperti itu adalah pacar saya, saya tidak akan tenang-tenang aja. Saya akan marah-marah dan melarang dia makan makanan yang menyebabkan penyakit!
Jujurlah, kepada orang yang benar-benar kita kasihi, we just can’t be nice all the time. Being nice to everyone all the time means you love no one. Kenapa? Karena kasih yang sejati itu tidak tahan melihat orang yang dikasihi melakukan hal yang salah.
Inilah yang Yesus lakukan. Kalau kita yang manusia biasa dan banyak kekuranganpun tidak tahan melihat orang yang kita kasihi berbuat salah, betapa lebih lagi Tuhan yang kudus, tidak tahan melihat orang yang Dia kasihi hidup dalam dosa. Dan karena itulah, sebagaimana yang dicatat para penulis Injil, Jesus was not always nice.
Di dalam Perjanjian Lama, Allah mengutus para nabi untuk menegur orang-orang Israel, terutama para pemimpin mereka, supaya mereka bertobat. Bahasa yang digunakan para nabi itu keras. Namanya juga teguran, mana ada teguran yang nice. Begitu masuk Perjanjian Baru, Yesus lebih keras lagi! Dia tidak berkata, “Demikianlah firman Tuhan,” seperti kata para nabi, tetapi Dia berkata dengan otoritas-Nya sendiri:
“Hai orang-orang munafik!”
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik!”
“Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta!”
“Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu!”
Dan seterusnya, berkali-kali Yesus menyebut orang “munafik” dan “bodoh”. That’s not nice. Kenapa Dia begitu keras, bahkan kasar? Justru itu karena kasih. Mungkin selama ini kita ikut-ikutan benci pada orang Farisi dan ahli Taurat, mengambil peran Tuhan buat memarahi mereka tanpa berkaca pada diri kita sendiri. Tapi ketahuilah bahwa marahnya Tuhan terhadap golongan alim ulama ini bukan karena benci, melainkan karena kasih. Bukankah Paulus, salah satu murid terbaik Yesus, adalah orang Farisi?
Ketika orang yang kita kasihi berbuat salah, mencelakakan diri mereka sendiri, hidup dalam dosa, you better NOT be nice. Amsal dengan terus terang berkata, “Seorang sahabat memukul dengan maksud baik, tetapi seorang musuh mencium secara berlimpah-limpah.” Kita justru harus hati-hati pada mereka yang terus-menerus setuju dengan apapun yang kita lakukan. Membiarkan orang lain tetap dengan gaya hidup mereka yang berdosa itu bukan kasih! Kasih itu tidak toleran terhadap dosa.
Terakhir, mari kita pikirkan. Seandainya Yesus itu super nice, tentulah Dia tidak disalib. Dia disalib karena Dia terang-terangan menegur orang yang bersalah—dan kita tahu, tidak ada orang yang suka ditegur. Dia tahu bahwa konsekuensi dari mengasihi adalah dibenci oleh orang yang dikasihi. Tapi bila kita menyebut Dia Tuhan dan Guru, maka kita memposisikan diri sebagai pengikut-Nya, yang mengikuti cara hidup-Nya. True love is not always nice, because it insists that the beloved is living in righteousness.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^