Monday, January 8, 2018

Bersyukur Lahir Sebagai Perempuan



by Glory Ekasari

Ketika saya masih kecil, saya sering menyesali mengapa saya diciptakan sebagai perempuan. Gara-garanya, semua permainan yang saya suka, mulai dari memanjat pohon, yoyo, robot-robotan, sampai sepak bola, diberi label “permainan anak laki-laki.” Saya tidak suka main masak-masakan atau main boneka. Saya tidak suka rambut saya dikepang-kepang. Saya tidak suka pakai rok ala-ala Frozen! Saya juga tidak suka melihat anak kecil menangis (menurut saya, menangis tanda kelemahan), padahal anak cewek terkenal cengeng. Wah, pokoknya saya menyesal lahir sebagai anak perempuan. 

Ketika masuk usia remaja, yang membuat saya tidak suka jadi perempuan adalah karena saya mengalami menstruasi, PMS, saya jadi super sensitif, tubuh saya berubah, dan sebagainya yang berkaitan dengan pubertas. “Repot sekali jadi cewek,” pikir saya. Sementara itu cowok-cowok sepertinya gampang sekali menjalani hidup tanpa berbagai “halangan” yang saya alami. Ditambah lagi teman-teman dekat saya kebanyakan cowok. Yah, saya tidak pandai berteman dengan sesama cewek, karena saya tidak suka kegiatan yang umumnya disukai cewek-cewek. 

Setelah dewasa, saya tidak banyak memikirkan hal itu lagi. Karena saya sadar saya tidak mungkin mengubah keadaan dengan menyesalinya, saya mulai berpikir: “Ya mau diapakan lagi, saya memang perempuan. Now what?” Sejujurnya saya tidak pernah mempelajari dengan serius tentang serba-serbi wanita secara kristiani; tapi semakin saya mengenal Tuhan, semakin saya mengenal diri saya sendiri—termasuk peran spesifik yang Tuhan berikan kepada saya sebagai perempuan. 

Rasa kesal saya karena lahir sebagai perempuan, sebagian besar berhubungan dengan hal-hal eksternal: kondisi fisik, mainan, potongan rambut, pakaian, aktivitas, dan pergaulan. Saya dulu tidak tahu bahwa menjadi seorang perempuan (atau laki-laki) lebih dari sekedar hal-hal fisik itu. Menjadi perempuan atau laki-laki adalah tentang peran di dalam kehidupan; peran yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri. 

Harus diakui, saya semakin menyadari peran saya sebagai wanita ketika mulai pacaran dengan suami. Kalau sebelumnya saya hidup sendiri, bebas beraktivitas semau saya, sejak pacaran saya jadi terikat dengan seseorang dan harus mempertimbangkan banyak hal berkaitan dengan aktivitas saya, karena saya perlu menyesuaikan diri dengan dia. Kami adalah lawan jenis—in every sense. Cara dia berpikir, cara dia mengambil keputusan, apa yang penting bagi dia, apa yang menarik bagi dia, hampir semuanya beda dengan saya, dan sebagian perbedaan itu adalah karena dia laki-laki dan saya perempuan. 

Setelah menikah, perbedaan itu lebih terasa lagi. Saya ini sebetulnya tidak terlalu rapi, tapi toh tetap saya yang “tergerak” membereskan barang-barang kami. Setiap kali pulang ke rumah, masuk kamar, suami langsung ganti baju, tiduran di kasur, main hp. Sementara saya merapikan pakaian yang sudah digosok, membereskan ini itu—intinya ada aja deh kerjaannya. Saya juga yang sibuk cari lauk kalau meja makan kosong. Saya, sebagai wanita, punya naluri untuk merawat dan memperhatikan. Tapi tiap kali saya perlu pergi ke suatu tempat, dia selalu menawarkan untuk mengantar. Dia juga selalu gandeng tangan saya tiap kali kami menyeberang jalan. Dia punya naluri untuk menyediakan dan melindungi. 

Dan semakin saya mengenal suami saya, saya semakin mengerti bahwa pemikiran saya dulu bahwa “enak banget jadi cowok” itu keliru. Mereka bukannya tidak punya beban pikiran dan pergumulan. Hanya saja, hal yang membebani pikiran laki-laki dan pikiran perempuan itu berbeda. Bagi mayoritas cowok, ranjang dan meja berantakan tidak jadi masalah. Tapi kalah pencapaian dengan rekan kerja bisa membuat mereka frustasi. Bagi mayoritas cewek, kalah menang dalam pertandingan ya bukan hal besar. Tapi penampakan kamar berantakan bikin kepala pusing. Apa yang penting bagi laki-laki (kemenangan, penghargaan, kekuasaan) berbeda dengan apa yang penting bagi perempuan (stabilitas, kasih sayang, penerimaan). 

Ketika seorang pria bersatu dengan seorang wanita dalam pernikahan kudus, anak mereka akan melihat sifat Allah yang lengkap di dalam orang tuanya. Dia melihat Allah yang menyediakan, melindungi, mendisiplin, dan memimpin dalam diri ayahnya, serta Allah yang memelihara, menyayangi, mengajar, dan mendukung dalam diri ibunya. Anak itu juga akan melihat bagaimana ayah dan ibunya, yang memiliki peran yang berbeda, saling mengasihi, menerima, dan melengkapi. Ini tidak akan terjadi seandainya Tuhan tidak menciptakan pria dan wanita berbeda. 

Firman Tuhan itu mysteriously amazing. Ambil contoh apa yang dikatakan Yesus: “Belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Ketika firman itu diterima dan dilakukan oleh seorang pria, dia menjadi pria yang layak disebut gentleman, dan semakin maskulin-lah dia. Orang akan berkata, “Jadi cowok itu harusnya seperti dia.” Ketika firman itu diterima dan dilakukan oleh seorang wanita, dia menjadi wanita yang terpuji dan dihormati—dan semakin feminim-lah dia. Saya percaya bahwa feminim dan maskulin bukan sekedar penampilan, tetapi kualitas-kualitas yang berhubungan dengan seksualitas secara utuh, yang adalah pemberian Tuhan. Semakin kita menaati firman Tuhan, semakin baik kita dalam menjalankan peran yang Tuhan berikan sebagai wanita. Di dalam pria dan wanita ada sifat-sifat Allah, dan keduanya saling melengkapi. 

Jadi, sekarang saya sudah tidak menyesali keadaan karena saya lahir sebagai perempuan. Saya senang bahwa saya punya dorongan untuk merawat suami saya, bahwa saya gampang kasihan, bahwa saya lebih cermat soal keuangan, bahwa saya bisa multitasking, bahwa saya bawel mengingatkan orang yang saya kasihi, bahwa saya lebih bisa mengekspresikan emosi saya, bahkan bahwa saya lebih gampang nangis dibanding laki-laki. Saya suka tubuh saya (yang tadinya saya pikir gendut) yang (ternyata) membawa sukacita bagi suami saya. Saya suka memastikan bahwa keluarga saya terurus dengan baik. Saya suka diri saya yang melengkapi suami saya dan yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Semakin saya mengenal Tuhan, semakin saya bisa mengaminkan bahwa, “Semua ini sungguh amat baik.”

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^