Friday, June 26, 2015

Sacrificial Love

by Sarah Eliana

Tulisan ini aku tulis beberapa tahun yang lalu. Kemarin aku baca lagi, dan jleb jleb jleb! :p Thought it'd be a good idea to post it here too :)

Sebagai seorang anak Tuhan, hubungan kita dengan sesama manusia sangatlah penting. Kenapa? Karena hubungan kita dengan orang lain mencerminkan hubungan kita dengan Tuhan. When there is something wrong with our relationship with God, it will show in our relationship with other people too. Selain itu, kita juga terpanggil untuk meneladani Tuhan Yesus. Kita harus membangun relationships yang memuliakan nama-Nya. Nah, salah satu dari hubungan yang terpenting dalam hidup kita adalah hubungan suami istri. Sebagai suami istri, kita telah berkomitmen untuk saling mengasihi dan mencintai, through thick and thin, ups and downs. Tapi... seperti apa sih cinta dan kasih yang diciptakan Tuhan untuk suami istri?


Dua hari lalu, sewaktu membaca Kejadian 2 tentang penciptaan Hawa, satu ayat yang menarik perhatianku adalah Kejadian 2:21, 

Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.

Ayat yang udah sering kita baca, baik waktu bimbingan pra nikah maupun waktu mendengar khotbah, ya kan? Tapi, kemaren itu sewaktu membaca ayat ini lagi, aku jadi bertanya-tanya... kenapa yach Tuhan harus ambil tulang rusuk Adam? Kan Tuhan yach Tuhan... bisa aja kan Dia menciptakan Hawa tanpa perlu tulang rusuk Adam? Bisa aja toh kalo Tuhan bikin Hawa dari tanah seperti waktu Dia bikin Adam? Yach bisalah... namanya juga Tuhan =) So... kenapa Tuhan harus ambil tulang rusuk Adam?

Mungkin jawaban yang paling sering kita dengar adalah "karena Tuhan mau Hawa menjadi satu bagian dengan Adam" atau "karena Tuhan mau Adam menjadi kepala Hawa". OK.. maybe. Tapi satu hal yang kemaren betul-betul menarik untukku adalah apa yang Tuhan mau ajarkan kepada Adam dengan mengambil tulang rusuknya? Dan aku rasa, Tuhan mau mengajarkan Adam tentang konsep sacrificial love - kasih yang rela berkorban. Tuhan ingin Adam belajar bahwa mencintai sama dengan pengorbanan. Ada pengorbanan yang harus dilakukan saat kita mencintai seseorang. Untuk menciptakan Hawa, Adam harus mengorbankan salah satu tulang rusuknya - the first sacrifical love done by man! =)

Dari ayat 21 ini, aku jadi ingat ayat di Efesus 5:25-27

Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya, untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.

Wahhh... baca ini aku betul-betul tertohok! Kenapa? Memang sih ayat ini ditujukan untuk para suami, tapi tetap saja aku tertohok karena ternyata konsep aku selama ini tentang sacrificial love itu salah! HAH? Salah? Maksudnya? Well... emang betul aku udah berkorban dalam mencintai DH , misalnya aku udah pindah jauh-jauh ke negaranya yang diujung dunia, atau aku udah susah-susah belajar masak walaupun sebetulnya aku betul - betul gak terlalu enjoy masak, atau aku udah belajar bersih- bersih rumah (which I hate! hehe). Mungkin untuk orang lain, ini sacrifice yang sangat kecil, tapi untuk aku ini cukup besar (secara aku tuan putri kalo di rumah ortu gitu lho... hahahaha). Tapi yach, ternyata kalau aku baca Efesus 5:25-28 ini... berkorban aja gak cukup. Pertanyaannya adalah apa motivasi aku saat aku berkorban ini dan itu? Apa motivasi aku saat aku bersih-bersih rumah? Iya, aku bersih-bersih supaya DH senang (dan juga karena aku gak mau rumah kayak kandang hewan... hehe), tapi aku juga senang kalo DH say thank you waktu liat rumah udah bersih. Aku happy banget waktu dia give me a kiss abis dinner. Nah, yang bikin aku bertanya–tanya... kalau misalnya DH gak say thank you atau dia gak show appreciation, gimana perasaan aku? Apakah aku masih akan rajin masak-masak untuk dia? Atau aku akan manyun sambil nyanyi “pulangkan sajaaa aku pada ibuku... atau ayahkuuuuuu..” =P

Pernah nih aku dengar seseorang yang ngomong gini "Huh! Suamiku gak pernah lho bilang thank you, dll, kalo rumah dah bersih, makanan dah beres, dll. Seolah-olah aku pembantunya. Pembantu aja masih dapat gaji! Aku tuh gak perlu dikasih hadiah ini itu... aku cuman pengen tau aja kalo dia appreciate kerja aku di rumah". Perasaan yang aku yakin banyak sekali di-amin-kan oleh ibu-ibu dan istri-istri, tul gak? Aku rasa aku juga bisa ngerti perasaan ibu ini... tapi kembali lagi ke "sacrificial love". Apa motivasi kita saat kita sacrifice untuk suami? Apakah supaya kita mendapatkan something in return (a gift... a thank you... or just simply an appreciation of our efforts?)? atau murni karena kita mau melayani pasangan kita, karena kita mengasihi dia?

Kalau teman-teman baca lagi posting-an aku di blog dari beberapa tahun yang lalu, maybe you'll see di mana aku pernah tulis that kalo kita mau diberlakukan dengan baik oleh suami yach kita harus treat him right first. Sacrifice something for him first. Tapi, sekarang... setelah membaca ayat-ayat ini dengan benar, aku akhirnya ngerti. Kalau aku melakukan sesuatu yang baik untuk suamiku supaya aku juga diberlakukan baik oleh dia... well... itu sama dengan manipulasi! Mencintai suami kita dengan betul adalah dengan melayani dia secara murni, bukan dengan embel-embel supaya dia menjadi lebih happy dan kalo dia happy, aku juga jadi diperlakukan dengan benar oleh dia, dan aku juga jadi happy. NO! Salah besar kalo begitu, karena akar dari melayani suami dengan motivasi seperti itu adalah keegoisan (supaya aku jadi lebih happy juga). Bahkan berkorban untuk suami supaya dia happy aja gak cukup. There is someting more than just making our spouse happy. Kita harus treat suami kita dengan baik karena kita murni mau melayani. Tapi pelayanan kita terhadap suami atau istri itu harus ada tujuan yang betul. So... apa tujuan yang betul itu?

Lihat ayat 26 & 27:

…untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.

Kita mengasihi dan berkorban untuk suami/istri kita supaya ia bertumbuh menjadi karakter dan pribadi that God intended him/her to be. Kurasa, itulah fungsi istri yang paling penting: menjadi pendukung. Kita mendukung suami kita supaya terus bertumbuh di dalam Firman Tuhan, dan kita juga membangun dia dengan kata-kata dan perbuatan kita supaya dia pun terus setia berjalan bersama Tuhan. Jadi, sisters, loving our husband/wife sacrificially itu artinya adalah kita dengan motivasi yang benar melayani dia supaya ia terus bertumbuh dan menjadi dewasa di dalam Tuhan, dan menjalankan tujuan dan rencana Allah bagi hidupnya. 

Tapi nih...kalo kita mencintai yang seperti ini, mungkin timbul juga pertanyaan di hati, “Kalo mencintai yang terus-terus berkorban, apa enaknya? Emang bisa bahagia?" Well, jawabannya adalah: a BIG YES! =) Love is enjoyable. Waktu kita mencintai sacrificially seperti ini, kita memberikan perhatian yang lebih kepada pasangan kita daripada kepada diri sendiri. Kita gak lagi tiap hari mikirin "Apa yang akan ia lakukan untukku hari ini? Apakah ia akan mengucapkan terima kasih? Akankah ia membelikan buket bunga mawar untukku?". Tak ada lagi pikiran - pikiran yang egois!  Karakter kita bertumbuh! Dan kita pun belajar untuk makin menjadi seperti Yesus. =)

Waktu kita love sacrificially, kita lebih memikirkan perasaan dia, harapan dia, impian dia, his desires, dll. Waktu kita mencintai sacrificially kita bisa dengan efektif membantu dia dalam pergumulannya. Dan dalam semuanya itu, kita bisa berbagi ikatan yang lebih indah dari apapun (kecuali ikatan kasih antara kita dan Kristus!). Di sinilah aku lihat perbedaan orang-orang yang terus belajar untuk mencintai pasangannya sacrificially. I see an unbreakable bond! Misalnya, opa dan oma-ku! Setelah 50 tahun menikah, mereka masih memanggil each other dengan "sweetheart", "honey". Ada berapa banyak coba pasangan-pasangan yang masih begini bahkan hanya setelah sepuluh tahun menikah? Dan yang aku perhatikan juga adalah waktu melihat pernikahan mereka, aku terdorong untuk terus belajar mengasihi pasangan aku... karena aku mau pernikahan yang seperti pernikahan mereka! Aku terdorong untuk terus menggali firman Tuhan & membangun hubungan yang intimate dengan Tuhan karena aku tahu letak kekuatan pernikahan mereka adalah pada cinta mereka akan Tuhan first, and then love each other sacrificially just like Jesus loves us!

Ladies, if we don't love sacrificially, susah untuk kita bisa mengerti pasangan kita dengan baik, dan susah sekali akan tercipta that beautiful bond between us and our husband. At the end, pernahkah we look around and see gimana pasangan-pasangan yang sudah lama menikah akhirnya hanya menjadi seperti roomate saja? Orang bilang "Sh normal koq. Namanya juga udah married lama.., pastilah gak mesra lagi... gak romantis lagi". But that's not how God intended marriage to be! Dia mau pernikahan kita bertumbuh setiap hari, setiap waktu, until death do us apart! And I think, one of the secrets for that to happen is if we learn to love our spouse sacrificially, with no strings attached! So, kembali ke pertanyaannya: bisakah bahagia kalo mencintai yang berkorban terus menerus? No, actually the question is: MAUkah kita mencintai dan berkorban terus menerus demi menciptakan pernikahan yang terus bertumbuh dan memuliakan Tuhan? Are we willing to give up selfish thoughts dan menempatkan pasangan kita di atas diri kita sendiri? Bahagiakah kita saat kita mencintai dan mengharapkan balasan/penghargaan? I'm sorry to say, tapi kalo kita mencintai seperti itu, akan ada banyak sekali waktu dimana kita kecewa karena let's face it... pasangan kita hanyalah manusia biasa yang tentu ada saatnya tidak bisa memuaskan keinginan kita, dan pada akhirnya kita gak satisfied dengan pernikahan kita. Tapi saat kita mengasihi sacrificially, we know that God's Name will be glorified, dan itulah tujuan pernikahan dan hidup kita, bukan? Kita punya purpose yang lebih dalam daripada sekedar menjadi bahagia. We are called to glorify the Lord of lords.

Mari, sisters, kita belajar untuk mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi kita. To put ourselves second and our spouse first. To love him the way God wants us to love. To honor him with our love. To minister to him according to the blue print God has created. To glorify God in and through our marriage, because everything in our life is about God... always about GOD!


Dear Lord, I want to learn to be like Adam yang harus berkorban supaya Hawa dapat diciptakan. To love my husband sacrificially tanpa embel apa-apa. To love sacrificially so that he can grow to be the man that you created & inteded him to be. To love sacrificially so our marriage can grow to be the one You want it to be, so that at the end, we may glorify YOUR name! =)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^