Friday, March 27, 2015

Anak Adalah Anugerah

by Natalia Setiadi

Anak adalah anugerah.
Anugerah yang gak layak saya dapatkan. Saya manusia yang penuh kelemahan, kekurangan, dan masalah hidup. Saya sering heran, bagaimana mungkin Tuhan percayakan anak-Nya yang begitu berharga untuk saya asuh, didik dan besarkan? Gimana kalo saya salah mendidik atau lalai?

Tapi lima tahun yang lalu, Tuhan menganugerahkan seorang anak untuk kami. Anak itu kami beri nama D. D adalah anak yang menakjubkan. Cakepnya di atas rata-rata (huekekeke...), meskipun kelakuannya sering di bawah rata-rata. Pergumulan dan kasih karunia yang saya dapat melalui anak ini juga luar biasa.

Bulan-bulan pertama mengasuh D, kami kebingungan karena D susah banget tidur. Kalo mau tidur malem harus digendong diayun-ayun (tidur siang sih lebih mendingan dikitlah), dibuai sambil dibawa jalan ke sana ke mari, kadang-kadang sampe dua jam baru berhasil tidur. Kalo udah tidur, dalam satu jam pertama gampang banget kebangun. Trus seluruh usaha nidurin kudu diulang lagi. Stres. Kami baca buku, praktekin tips ini itu, kasih empeng (pacifier), pokoke berbagai teknik dan training dicoba, hasilnya nihil.


Waktu D berumur dua tahun lebih, kami pindah kota, ngikut papanya D yang back to school. Keadaan di rantau sangat sulit buat kami, terutama buat saya. Selain 24 jam di rumah aja bareng my strong-willed son, suami superduper sibuk banget, di tempat baru juga gak ada temen, sanak saudara, bahkan kenalan pun gak ada. Saya urus anak dan rumah tanpa bala bantuan. Saat anak udah tidur, saya melek terkadang sampe subuh untuk mengerjakan kerjaan freelance. Saya kecapean lahir batin. Rencana saya mau kerja full-time di luar rumah lagi gagal, buka praktik pribadi juga gak memungkinkan. Akhirnya saya tetep kerja freelance, sambil jadi ibu RT full-time. Sehari-hari, orang dewasa yang bisa saya ajak ngomong selain suami cuma tukang sayur dan tukang putu yang saban pagi dan sore lewat di depan rumah kontrakan kami. Saya sampe tau bahwa bapak tukang putu ternyata adalah transmigran dari kampung papa saya, dan dia juga takjub nun jauh di sini bisa ketemu mantan tetangga, hahaha...

D cukup sulit beradaptasi dengan tempat baru, ga ada kontak sosial lain selain saya dan papanya. Keadaan finansial yang terbatas dan lingkungan yang masih asing membuat kami gak punya banyak alternatif kegiatan di luar rumah. Tambahan lagi, makanan dan cemilan yang ada di sini beda banget sama yang ada di kampung halaman. Dengan pantangan D yang segambreng karena alerginya, sampe puyeng saya berusaha “memunculkan” makanan-makanan yang bisa dan biasa D makan. Kalo saya perlu info tentang toko, bengkel, atau bahan makanan yang saya perlukan, saya harus sabar nunggu suami nanya ke teman-teman kuliahnya. Hal-hal kecil aja ribet deh urusannya.

Setelah survei ke sana sini, akhirnya kami dapat gereja yang cocok. Sayang gereja itu jauuuhhh banget dari rumah kami. Alhasil saya gak bisa ikut beraktif-ria di komunitas gereja. Dengan ibu-ibu yang sama-sama nganterin anaknya ke sekolah minggu, saya berusaha ngajak kenalan dan berteman, tapi sampe hari ini gak berhasil dapet teman yang cukup dekat yang bisa diajak ngomong lebih dari sekedar basa-basi.
Sementara itu, makin tambah umur, perilaku D makin menantang. D sangat ogah tunduk pada otoritas, membangkang, sengaja mengabaikan omongan kami, atau testing, bahasa Jawanya “njarak”. Contohnya, kalo diminta supaya berhenti mainin sesuatu, dia justru bakal sengaja terus mainin barang itu, karena pengen ngetes reaksi kami. Disiplin dan konsisten udah kami terapkan, tapi gak kunjung membuahkan hasil ketaatan. Sifat impulsif dan ngototnya makin menyulitkan buat D untuk nurut dan berperilaku seperti yang diharapkan. Setiap kali gak sengaja makan alergen (misalnya coklat, MSG, makanan yang mengandung pewarna atau pemanis buatan), D jadi “error”: berlari-lari kian kemari, gampang marah, lebih ngotot, lebih impulsif, gak bisa fokus, gampang distracted, ngomong terus kayak radio rusak, teriak-teriak dan lain-lain, gak bisa tenang. Kalo udah berhasil ditenangkan, baru sebentar udah ngaco lagi. Peristiwa jatuh, nabrak, kebentur, dan sejenisnya frekuensi dan intensitasnya paling tinggi di saat-saat seperti ini. Membantah dan membangkangnya juga lebih parah, bikin saya frustrasi, ikut marah-marah, dan gak jarang ikut nangis putus asa. Saya heran sekali, ada apa dengan D? Kok sulit sekali dijinakkan... Kami sampe frustrasi dan kewalahan.

Sekitar setahun yang lalu, di usia menjelang empat tahun, setelah mengevaluasi D, seorang psikolog menyimpulkan bahwa D mempunyai kesulitan konsentrasi yang disebut Gangguan Atensi, mungkin disertai Hiperaktivitas [Attention Deficit (Hyperactivity) Disorder/AD(H)D] dan gangguan koordinasi. Dia juga gampang banget ter-overstimulasi karena rangsangan dari lingkungan (overload stimulus audiovisual atau terlalu banyak orang), maupun dari diri sendiri (misalnya karena melakukan aktivitas yang kelewat heboh).

Di satu sisi, kesimpulan ini cukup melegakan, karena ternyata saya gak gila atau mengada-ada, ada sebab valid yang bikin kami begitu kewalahan dan frustrasi. Kesimpulan ini juga sedikit mengobati luka di hati karena selama ini kami sering dapat komentar-komentar seperti: “perilaku D begitu karena kurang perhatian” atau “D jadi keras karena ortunya terlalu keras” atau “ortunya kurang mendisiplin sih”, dan seterusnya. Di sisi lain, denger kesimpulan ini kayak kejatuhan duren di siang bolong, awalnya bingung gak ngerti apa yang terjadi, sesaat kemudian rasa sakitnya mulai terasa.

Kami segera dirujuk ke seorang dokter spesialis anak yang ahli masalah autis, ADD/ADHD, dan sejenisnya. Baru tiga menit masuk di ruang konsultasi, saya udah sukses jadi bulan-bulanan cercaan, karena sebagai dokter saya dianggap lalai menangani masalah alergi dan terlambat membawa D konsultasi. Saya coba menjelaskan kondisi kami dan ketidakmengertian kami, tapi apa yang saya sampaikan seperti angin lalu. Dokter itu geleng-geleng kepala mendengar istilah-istilah awam yang saya gunakan. Minimnya pengetahuan saya tentang gangguan ini sepertinya semakin membuktikan kelalaian saya. Keterangan saya diputarbalikkan dicocokin dengan pengertian pribadinya sang dokter. Saya dianggap denial dengan “kelainan” yang diderita D. Padahal sebenernya saya justru berusaha kasih keterangan seakurat mungkin, supaya kesimpulannya bener-bener sesuai dengan kenyataan yang ada, gak lebih gak kurang. Saya dicap mama yang kaku dan gak bisa berinteraksi dengan baik dengan anak saya sendiri. Duh rasanya nano-nano: sedih, kesal, putus asa, bingung, gemas pingin meluruskan, campur aduk. Setelah sia-sia berusaha menjelaskan, akhirnya saya telan bulat-bulat judgement demi judgement itu, sambil berusaha keras menahan airmata yang hampir jatuh, semua yang saya dengar begitu menyakitkan. Saya jadi mempertanyakan diri saya sendiri, ibu macam apa saya ini? Jangan-jangan bener anak saya itu korban “salah asuhan”? Kalo memang begitu, betapa kasihannya anak saya...

Waktu diagnosis itu adalah salah satu masa tergelap dalam kehidupan saya sebagai ibu. Saya kuatir memikirkan masa depan D, apa dia bisa tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lain? Apa aja yang harus saya lakukan buat bantu D mengatasi kesulitannya? Bagaimana dengan sekolah dan hidupnya, apa nanti-nanti D bakal banyak problem? Di mana kami bisa follow up dan terapi karena kami harus kembali ke rantau? Berapa biaya yang dibutuhkan? Apakah ada ahli/terapis yang lebih bisa kerjasama, karena saya pun perlu menjaga kondisi mental saya, jangan sampe setelah D membaik malah saya yang jadi konslet dan perlu diterapi...

Kemudian kami coba mencari pendapat lain, kami konsultasi dengan seorang psikolog yang juga anak Tuhan. Kali ini D dinyatakan tidak mempunyai gangguan atensi, cuma gangguan koordinasi aja. Umur 4 tahun masih terlalu dini untuk memastikan diagnosis ADD/ADHD. Total ada tiga orang ahli yang udah kami datangi, tiga-tiganya beda kesimpulan. Kami jadi tambah bingung.

Akhirnya saya dan suami bikin kesimpulan sendiri aja dah (gak tau diri banget ya, haha...): ahli-ahli di luar sana boleh bilang anak kami A, B, atau C, tapi kami memutuskan untuk tidak memberi label tertentu buat D. Kami pake istilah ADHD dan gangguan koordinasi buat sekedar memudahkan aja, supaya ngasih gambaran tentang kesulitan-kesulitannya D. Diagnosis pastinya kami serahkan ke tangan Bapa Surgawi.

Sejak saat itu kami masih konsultasi ke psikolog untuk mengevaluasi perkembangan D, di rumah kami berikan berbagai aktivitas buat melatih koordinasi dan beberapa kesulitan D yang lain, mengatur diet D seoptimal mungkin, menerapkan disiplin ketat untuk hal-hal tertentu dan memberi kelonggaran buat hal-hal lain.

Masalah disiplin jadi dilema tersendiri. Menurut psikolog, disiplin yang kami terapkan itu gak fair buat D, karena dia punya pola pikir yang beda, cara kerja otak yang beda, malah ada istilahnya yaitu “disfungsi otak”. Juga karena D belum begitu paham sebab akibat: perilaku yang buruk bakal kena penalti (misalnya timeout atau disetrap), perilaku yang baik bakal dapet pujian atau imbalan (misalnya boleh beli buku yang dia suka). Tapi saya dan suami dengan segenap hati percaya bahwa Tuhan mau kami tetap mendisiplin D. “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun dia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). James Dobson menulis di buku The Strong-Willed Child, bahwa anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) pun perlu didisiplin. Justru mereka LEBIH perlu disiplin, batasan memberikan rasa aman buat mereka, begitu katanya. Tapi orangtua perlu tau standar yang tepat untuk mendisiplin, sekaligus perlu lebih toleran dan nrimo bahwa standar itu mungkin bisa jarang kesampean.

ABK jelas lebih susah di-training atau didisiplin. Maka dari itu orangtua harus lebih toleran: sering kali anak gak bisa nurut sesuai standar, misalnya kalo lagi error. Saat seorang ABK lagi “error”, dia gak bisa mempertanggungjawabkan perilakunya. Saat D lagi “off”, seharusnya saya gak boleh hukum kesalahannya. Tapi, saya dan suami sepakat bahwa meskipun lagi “error” waktu bikin salah, D tetap perlu minta maaf dan kalo kesalahannya besar, dia tetap dapat penalti. Karena kita hidup di dunia yang jahat, yang gak punya toleransi dan belas kasihan, bahkan buat anak-anak berkebutuhan khusus. Maka dari itu kami pengen agar D, pelan-pelan sesuai umurnya, belajar life skills yang dia perlukan supaya kelak bisa survive menghadapi dunia yang jahat ini, punya kemampuan buat menghadapi kecaman, judgement, ketidakadilan, dan lain lain.

Menurut suami saya, yang juga punya beberapa kesulitan seperti D di masa kecilnya dulu, D tetap perlu belajar mengendalikan diri dan menenangkan diri di saat gangguannya muncul. Ini proses yang paaaanjaang, tapi kami percaya bahwa dengan keistimewaan yang Tuhan kasih buat D, Dia juga tentu melengkapi D dengan kemampuan buat me-manage-nya. Gak putus-putusnya kami berdoa, memohon supaya D diberi semua perlengkapan yang dia perlukan untuk bisa survive.

Sebagai mama, saya punya kekurangan yang saya udah berusaha keras untuk perbaiki, dan doa dengan sama kerasnya, tapi kok belum kunjung berhasil. Saya orang yang emosian, gampang jengkel dan ngomong dengan nada tinggi. Kadang saya merasa bersalah, andaikan D punya mama yang lebih sabar, mungkin lebih baik buat dia. Tapi yah, memang saya udah begini modelnya, mau gimana lagi? Saya memutuskan untuk berdamai aja dengan kekurangan ini, dan berusaha terus memperbaiki. Kalo menurut Tuhan D perlu mama yang lebih sabar, mungkin dia udah kasih mama yang lebih sabar atau ciptakan saya sebagai orang yang sabar dan lemah lembut ya. Sementara itu belom terjadi, mungkin D lebih butuh mama yang sama strong willed-nya :) Saya yakin Tuhan gak pernah salah, D anak yang terbaik buat kami dan kami orangtua terbaik buat D. Rencana-Nya indah.

Bagaimana caranya saya mengalami peace atau damai sejahtera di tengah segala pergumulan dan sukacita membesarkan D? Ada beberapa hal yang saya lakukan:

  1. Saya pegang teguh janji yang Tuhan berikan buat saya di Mazmur 125:5-6, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.” Biarpun dengan berurai airmata, kami harus terus berjalan maju sambil terus menabur, meskipun hasilnya gak kelihatan.

  1. Kasih karunia Tuhan selalu cukup. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” 2 Korintus 12:9a. Memang benar, dalam segala tantangan dan keterbatasan, justru kami belajar untuk semakin mengandalkan kuasa Tuhan dan bukan kemampuan kami sendiri. Kami makin sadar betapa segala yang baik dan segala kemudahan semata adalah kemurahan Tuhan, bukan karena kekuatan dan kehebatan kami.

Saya yakin di depan sana masih akan ada bad days dan good days. Masih bakal ketemu peristiwa dan orang-orang yang menyusahkan maupun menyukakan. Tapi kami gak mau galau. Kasih karunia-Nya cukup. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Filipi 4:7.

Begitulah. Kadang rasanya kami jalani hari-hari dengan lumayan OK, kadang kami gak begitu OK, kadang sangat-sangat ngga OK. Ada good days dan bad days. Demikian juga kemajuannya D. Kadang-kadang rasanya kami bisa liat hasil dari sekian lama berdoa dan berjerih lelah mengusahakan yang terbaik buat D. Ada hari-hari di mana saya berbesar hati dan liat D kayanya gak jauh beda dengan anak-anak seumurannya. Di hari-hari yang kurang bagus dan yang sangat tidak bagus, gak banyak yang bisa kami lakukan selain bertekun dan berdoa, sambil menanti-nantikan pertolongan Tuhan.

Together, we shall overcome.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^